Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK


PADA NY. D DENGAN REUMATIK

Laporan ini Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik
Semester Kelima Tahun Pelajaran 2017/2018

Disusun Oleh :

1. Diah Sinto Revadila P1337420515007


2. Mia Arbiyana L. P1337420515014
3. Indri Kusyani P1337420515020
4. Rizky Dhian P. P1337420515043

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyusun makalah ini.
Makalah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Gerontik pada Ny. D dengan Reumatik”
ini disusun guna memenuhi tugas terstruktur mata kuliah keperawatan keluarga semester
kelima tahun pelajaran 2017/2018.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak lain, makalah ini tidak akan
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Tiada gading yang tak retak. Penulis yakin bahwa makalah ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang
ada. Penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna, khususnya bagi penulis sendiri dan
umumnya bagi pembaca.

Magelang, Agustus 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat proses


alamiah yaitu proses menua dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis,
maupun sosial yang saling berinteraksi memperlihatkan dari beberapa masalah
kesehatan yang secara simbolis berhubungan dengan penuaan antara lain gangguan
pendengaran, penglihatan, rematik, dan masalah jantung (Indriana, 2012).
Menurut Sekretariat Jendral Departemen Kesehatan (2008), bahwa hasil studi
tentang kondisi kesehatan lansia, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita
lansia adalah penyakit sendi (52,3%) yakni rematik. Rematik adalah penyakit yang
menyerang sendi dan struktur atau jaringan penunjang disekitar sendi.
Menurut WHO (2012), menjelaskan bahwa sekitar 335 juta orang di dunia
mengidap penyakit rematik, itu berarti enam orang di dunia ini satu diantaranya adalah
penyandang rematik dan sekitar 25% penderita rematik akan mengalami kecacatan
akibat kerusakan pada tulang dan gangguan pada persendian. Depkes (2012), sekalipun
belum ada angka pasti tentang jumlah penderita rematik di Indonesia, diperkirakan
hampir 80% penduduk yang berusia 40 tahun atau lebih menderita gangguan otot dan
tulang.
Menurut Junaidi (2012), masyarakat kurang peduli akan bahaya rematik. Di
mana, dalam waktu singkat, tepatnya kurang dari tiga tahun rematik dapat
mengakibatkan kecacatan serius pada persendian yang terserang. Kecenderungan
umum yang dilakukan masyarakat bila mengalami gejala pegal, linu, nyeri dan kaku
pada sendi atau otot, yang besar kemungkinan adalah gejala awal rematik yakni
mengambil langkah pertama dengan membeli obat yang dijual bebas di warung-warung
terdekat.
Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Zeng QY et al (2008) dalam Ayad
(2013), prevalensi nyeri rematik di Indonesia mencapai 23,6 % hingga 31,1 % di mana
angka ini menunjukkan bahwa rasa nyeri akibat rematik sudah cukup mengganggu
aktifitas masyarakat Indonesia. Hasil penelitian rematik di Malang oleh Handono
(2005), menunjukkan 64,5% mengalami nyeri persendian akibat rematik dan
melakukan berobat sendiri, seperti: obat bebas, jamu atau campurannya, yang berobat
ke Dokter hanya 26,6% dan 16,6% sisanya berobat bukan ke Dokter. Sedangkan dari
hasil penelitian Ayad (2013), diperoleh bahwa responden yang tinggal di panti Tresna
Werdha Ilomata Kota Gorontalo berjumlah 35 orang, paling banyak memiliki tingkat
pengetahuan yang kurang sebanyak 23 orang sekitar 65,7% disebabkan karena
pendidikan terakhir lulus SD dan kurang mendapatkan informasi tentang penyakit
rematik. Itulah sebabnya, mengapa informasi dan pendidikan terhadap penyakit rematik
sangat penting untuk diupayakan dan dilakukan, karena dengan bertambahnya
pengetahuan yang didapat oleh lansia dapat membantu dirinya sendiri atau orang lain
dalam melakukan permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit rematik.
Hal inilah yang mendorong penulis mengangkat topik “ Asuhan Keperawatan
Gerontik dengan Reumatik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep dasar gerontik?
2. Bagaimana konsep dasar reumatik?
3. Bagaimana asuhan keperawatan gerontik dengan reumatik?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis mempunyai beberapa tujuan yaitu :


1. Mengetahui konsep dasar gerontik.
2. Mengetahui konsep dasar reumatik.
3. Mengathui asuhan keperawatan gerontik dengan reumatik.

D. Manfaat Penulisan

Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan tentang asuhan


keperawatan reumatik, khususnya pada lansia.
1.
BAB II
LANDASAN TEORI

KONSEP DASAR GERONTIK

A. Pengertian Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih
dari 60 tahun. (Maryam dkk, 2008)
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh
untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individual. (Efendi, 2009)

B. Batasan Umur Lanjut Usia

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang
mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut :
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang
berbunyi “ Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun ke atas”.
2. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat
kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua
(very old) ialah di atas 90 tahun.
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase
inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase
presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.
4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age) : > 65
tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga
batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80
tahun). (Efendi, 2009)

C. Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI
(2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri dari : pralansia (prasenilis) yaitu
seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih, lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia
potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya
mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

D. Karakteristik Lansia

Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai
dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang
bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai
spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat
tinggal bervariasi. (Maryam dkk, 2008)

E. Tipe Lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,


lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho 2000 dalam
Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak
menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan
pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan
acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus
asa (benci pada diri sendiri).

F. Proses Penuaan

Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multidimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai
pada keseluruhan sistem. (Stanley, 2006)
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel
yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan
fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan. (Maryam dkk,
2008)
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak
dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi secara
normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan
lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang
tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang
memiliki fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian
puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh
mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat
tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit
demi sedikit sesuai dengan bertambahnya usia. (Mubarak, 2009)
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara
biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka kemampuan
fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada
peran-peran sosialnya (Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu perlu membantu individu
lansia untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal meskipun dalam keadaan
kehilangan fisik, sosial dan psikologis. (Smeltzer, 2001)

G. Teori Proses Penuaan

Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses
penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
1. Teori biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori
stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi.
b. Immunology slow theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
c. Teori stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa
digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel
tubuh lelah terpakai.
d. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
e. Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
2. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan
dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan
berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan
adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan
kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga
terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
3. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory),
teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age
stratification theory).
a. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia,
kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial
mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan
mereka untuk mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya
derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik
diri dari pergaulan di sekitarnya.
c. Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan
aktivitas yang dilakukan.
d. Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan
lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya
kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah
menjadi lansia.
e. Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan
suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan
tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak
menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
f. Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia
secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut
pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.
Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia
secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis
serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.
g. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.
H. Tugas Perkembangan Lansia

Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring
penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiring
penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan
ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Adanya
penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap
kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi terhadap
penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan
penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai
individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan
kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan
kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).
KONSEP DASAR REUMATIK

A. Pengertian

Rheumatoid arthritis adalah penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak


diketahui penyebabnya. Karakteristik reumatik adalah terjadinya kerusakan dan
proliferasi pada membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi,
ankilosis, dan deformitas. Mekanisme imunologis tampak berperan penting dalam
memulai dan timbulnya penyakit ini. Pendapat lain mengatakan, Rhuematoid Arhtritis
adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai sistem organ. Penyakit ini adalah
salah satu dari sekelompok penyakit jaringan penyambung difus yang diperantarai oleh
imunitas. (Ningsih, 2012)
Rheumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang menyebabkan
proses inflamasi pada sendi (Lemone & Burke, 2001 : 1248). Reumatik dapat terjadi
pada semua jenjang umur dari kanak-kanak sampai usia lanjut. Namun resiko akan
meningkat dengan meningkatnya umur. (Felson dalam Budi Darmojo, 1999)
Reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang manifestasi
utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan
seluruh organ tubuh. (Hidayat, 2006)

B. Klasifikasi

Menurut Buffer (2010), Rheumatoid arthritis diaplikasikan menjadi 4 tipe, yaitu:


1. Rheumatoid arthritis klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
Sedangkan jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas
dan gangguan fungsi secara menetap.

C. Etiologi

Penyebab rhemotoid artritis tidak diketahui, tetapi beberapa hipotesa menunjukan


bahwa rhemotoid artritis dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. Jenis kelamin
Perempuan lebih mudah terkena daripada laki-laki. Perbandingannya adalah 2-3:1.
2. Umur
Rheumatoid Arthritis biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (arthritis
rheumatoid juvenil).
3. Riwayat keluarga
Apabila anggota keluarga ada yang menderita penyakit Rheumatoid Arthritis, maka
anggota keluarga yang lain kemungkinan besar akan terkena juga.
4. Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala rheumtoid Arthritis yaitu seperti, nyeri persendian, bengkak
(reumatoid nodule), kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari,
terbatasnya pergerakan, sendi-sendi terasa panas, demam (pireksia), anemia, berat
badan menurun, kekuatan berkurang, tampak warna kemerahan di sekitar sendi,
perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal, pasien tampak anemik, gerakan
menjadi terbatas, adanya nyeri tekan, deformitas bertambah pembengkakan,
kelemahan, dan depresi.
Tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia
yaitu sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut,
bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak
setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa
sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi
berulang.
(Buffer, 2010)

E. Patofisiologi

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti


vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial
menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi. Pada persendian
ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk
ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan
gangguan pada nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi. Bila
kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena
jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang
menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau
dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan
osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa
adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Terutama yang mempunyai
faktor rhematoid (seropositif gangguan rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang
progresif.

F. Pathways

Reaksi faktor R dengan antibodi, faktor metabolik, infeksi


dengan kecenderungan virus
Nyeri
Reaksi peradangan
Kronis
Sinovial serebral

Kurang informasi tentang Pannus Nodul Deformitas sendi


proses penyakit
Infiltrasi ke dalam
os. subcondria
Defisiensi Gangguan
Pengetahuan Citra
Hambatan nutrisi
Tubuh
pada kartilago artikularis

Kerusakan kartilago Kartilago nekrosis


dan tulang
Erosi kartilago
Tendon & ligamen
melemah Adhesi pada permukaan sendi

Ankilosis fibrosa Kekakuan sendi

Hilangnya Mudah luksasi Ankilosis tulang


kekuatan & subluksasi
otot Hambatan
Mobilitas Fisik

Terbatasnya gerakan
sendi

Hambatan
Pemeliharaan
Rumah
G. Komplikasi

1. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi
di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2. Pada otot dapat terjadi myosis, yaitu proses granulasi jaringan otot.
3. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli.
Tromboemboli adalah adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan
oleh adanya darah yang membeku.
4. Terjadi splenomegali.
5. Slenomegali merupakan pembesaran limfa,jika limfa membesarkemampuannya
untuk menyebabkan berkurangnya jumlah sel darahputih dan trombosit dalam
sirkulasi menangkap dan menyimpan sel-seldarah akan meningkat.

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi rheumatoid arthritis adalah :


1. Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2. Memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita
3. Mencegah atau memperbaiki deformitas
Program terapi dasar terdiri dari lima komponen di bawah ini yang merupakan
sarana pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu :
a. Istirahat
b. Latihan fisik
c. Pengobatan
d. Nutrisi dan diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
e. Bila reumatoid artritis progresif dan menyebabkan kerusakan sendi,
pembedahan dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki fungsi.

I. Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2015)

1. Domain : 12. Kenyamanan (hal. 471)


Kelas : 1. Kenyamanan Fisik
Kode : 00133. Nyeri Kronis
Definisi : Pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau
digambarkan sebagai suatu kerusakan; awitan yang tiba-tiba
atau lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi
Batasan : konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau
Karakteristik diprediksi dan berlangsung lebih dari tiga (>3) bulan.
:
Faktor yang - Ekspresi wajah nyeri
- Keluhan tentang intensitas dan karakteristik nyeri
Berhubungan
Agens pencedera
2. Domain : 4. Aktivitas/Istirahat (hal. 232)
Kelas :
2. Aktivitas/Olahraga
Kode :
Definisi : 00085. Hambatan Mobilitas Fisik
Keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih
Batasan :
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Karakteristik
:
Faktor yang Penurunan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
Berhubungan
Kaku sendi, penurunan kekuatan otot
3. Domain : 6. Persepsi Diri (hal. 293)
Kelas :
3. Citra Tubuh
Kode :
Definisi : 00118. Gangguan Citra Tubuh
Batasan :
Konfusi dalam gambaran mental tentang diri-fisik individu.
Karakteristik
: Perubahan gaya hidup
Faktor yang
Berhubungan
Perubahan fungsi tubuh (karena penyakit)

4. Domain : 4. Aktivitas/Istirahat (hal. 257)


Kelas : 5. Perawatan Diri
Kode : 00098. Hambatan Pemeliharaan Rumah
Definisi : Ketidakmampuan untuk secara mandiri mempertahankan
lingkungan yang meningkatkan pertumbuhan yang aman.
Batasan :
Permintaan bantuan untuk pemeliharaan rumah
Karakteristik
:
Faktor yang Penyakit yang berdampak pada kemampuan pemeliharaan
Berhubungan rumah
5. Domain : 5. Persepsi/Kognisi (hal. 274)
Kelas : 4. Kognisi
Kode : 00126. Defisiensi Pengetahuan
Definisi : Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan
dengan topik tertentu.
Batasan :
Kurang pengetahuan
Karakteristik
:
Faktor yang Kurang informasi
Berhubungan

J. Rencana Tindakan Keperawatan

1.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C., Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Alih Bahasa
: Irawati, Et Al. Jakarta : EGC.

Herdman, T. H., S. Kamtisuru. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi Edisi 10.
Jakarta : EGC.

Ningsih N, dan Lukman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Muskuskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai