Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL PENELITIAN

TINGKAT KESUKAAN DAN KEKENYALAN NUGGET IKAN DENGAN


VARIASI BAHAN PENGISI BERBAGAI JENIS UMBI

ANIK SETYANIGSIH
NIM.201010070311088 / KELAS. BIOLOGI VII-D

Tugas Mata Kuliah Seminar Proposal


Pembina : Drs. Agus Krisn0, M.Kes.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMAMDIYAH MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein berfungsi untuk membuat dan memperbaiki sel-sel tubuh
yang rusak. Protein merupakan salah satu zat makanan yang diperlukan
tubuh agar dapat tumbuh dengan baik. Dengan demikian, ketersediaan
protein dalam menu makanan tidak saja diperlukan oleh anak-anak yang
masih dalam masa pertumbuhan, protein juga dibutuhkan oleh orang-
orang dewasa. Perkiraan kebutuhan manusia akan protein sekitar satu
gram per kg berat badan per hari. Seseorang yang memiliki berat badan 60
kg perlu mengkonsumsi protein 60 gram per hari. Dari total kebutuhan
protein, sekitar 30% disarankan untuk disuplai dari sumber protein
hewani, antara lain daging, telur, dan susu, agar asam amino esensialnya
menjadi lengkap (Sediaoetama, 2000).
Salah satu sumber protein hewani yang mudah diperoleh dan
digemari oleh masyarakat adalah daging ikan. Daging ikan banyak
dikonsumsi masyarakat dalam bentuk olahan biasa, nugget merupakan
produk olahan daging yang terbuat dari daging, yang dicetak dalam bentuk
potongan persegi empat dan dilapisi dengan tepung berbumbu (baterred
dan braded). Biasanya naget hanya terbuat dari daging sapi, daging ayam,
jarang ang membuat nugget ikan. Nugget banyak dijual di pasaran dibuat
dengan menggunakan tepung terigu sebagai bahan pengisi. Padahal tepung
terigu harganya cukup mahal sehingga sulit dijangkau olah masyarakat
ekonomi menengah ke bawah. Nugget dikonsumsi setelah proses
pengorengan rendam . Pada dasarnya nugget merupakan suatu produk
olahan daging berbentuk emulsi, yaitu emulsi minyak di dalam air, seperti
halnya produk sosis dan bakso. Nugget dibuat dari daging giling yang
diberi bumbu, dicampur bahan pengikat, kemudian dicetak membentu
bentuk tertentu, dikukus, dipotong, dan diselimuti perekat tepung (batter)
dan diselimuti tepung roti (breading). Selanjutnya digoreng setengah
matang dan dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama
penyimpanan (Astaman, 2007).
Ikan merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan
oleh manusia karena dalam kandungan porteinnya tinggi mengandung
asam amino esensial, nilai biologisnya tinggi dan harganya murah
dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Memiliki kelemahan karena
cepat membusuknya. Melihat dari keadaan diatas perlu dilakukan
penanganan, pengolahan, dan pengawetan hasil perikanan yang bertujuan
selain mencegah kerusakan ikan yaitu juga dapat memperpanjang daya
simpan juga untuk menganekaragamkan produk olahan hasil perikanan
(Adawyah, 2007).
Data selama 20 tahun terakhir menunjukan bahwa di Indonesia
produksi ikan yang diolah hanya 23 – 24% dan sisanya dijual sebagai ikan
segar atau ikan basah. Cara pengolahan tradisional seperti penggaraman,
pengeringan ikan, pemindangan, pengasapan, dan fermentasi lebih
dominan dari pada cara pengolahan modern seperti pembekuan dan
pengalengan (Heruwati, 2002).
Menurut Respiati et al., (2008), produk olahan hasil perikanan
begitu masak dipasaran untuk memenuhi kebutuhan protein bagi
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kehidupan modern yang serba sibuk
dan banyak menyita waktu.Contoh produk olahan yang siap saji adalah
fish nugget. Nugget ikan adalah salah satu produk olahan yang dibuat dari
daging giling dengan penambahan bumbu – bumbu dan dicetak kemudian
dilumuri dengan pelapis yang dilanjutkan dengan penggorengan.
Ikan tongkol merupakan salah satu hasil olahan yang cukup
popular di Indonesia, dalam urutan hasil olahan tradisional menduduki
tempat kedua setelah ikan asin. Dilihat dari sudut program peningkatan
konsumsi protein masyarakat, Ikan tongkol mempunyai prospek yang
lebih baik daripada ikan asin. Hal ini mengingat bahwa ikan tongkol
mempunyai cita rasa yang lebih lezat dan tidak begitu asin jika
dibbandingkan ikian asin sehingga dapat dimakan dalam jumlah yang
lebih banyak (Anisah dan Susilowati, 2007).
Bahan pengisi merupakan sumber pati, bahan pengisi ditambahkan
dalam produk restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan
mensubstitusi sebagian daging sehingga biaya dapat ditekan. Fungsi lain
dari bahan pengisi adalah membantu meningkatkan volume produk. Pati
terdiri atas dua fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi
amilosa berperan penting dalam stabilitas gel, karena sifat hidrasi amilosa
dalam pati yang dapat mengikat molekul air dan kemudian membentuk
massa yang elastis (Winarno, 1997). Pati merupakan bagian terbesar
dalam ubi jalar ( Ipomea batatas L.) dan amilopektin merupakan bagian
terbesar dari pati ubi jalar. Kandungan amilosa pati ubi jalar sebesar 28,19
gram (Margono et al, 1993). Sedangkan kandungan karbohidrat dalam
kentang (Solanum tuberosum L.) sebesar 26 gram (dalam kentang
medium). Bentuk dominan dari karbohidrat ini adalah pati. Pati tersusun
dari amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda yaitu
10-20% amilosa dan 80-90% amilopektin. Amilosa memberikan sifat
keras sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Kandungan
karbohidrat dalam ubikayu (Manihot esculenta Crantz) sebesar 80,8 -83,8
gram (Samad, 2003).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tingkat Kesukaan terhadap Kekenyalan Nugget Ikan
Dengan Variasi Bahan Pengisi Berbagai Jenis Umbi?
2. Adakah pengaruh Tingkat Kesukaan dan Kekenyalan Nugget Ikan
Dengan Variasi Bahan Pengisi Berbagai Jenis Umbi?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui Bagaimana Tingkat Kesukaan terhadap Kekenyalan
Nugget Ikan Dengan Variasi Bahan Pengisi Berbagai Jenis Umbi.
2. Untuk mengetahui Adakah pengaruh Tingkat Kesukaan dan
Kekenyalan Nugget Ikan Dengan Variasi Bahan Pengisi Berbagai
Jenis Umbi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang
pengolahan nugget ikan yang kaya akan protein digabungkan
dengan penambahan berbagai jenis umbi.
1.4.2 Secara Praktis
Hasil penelitian ini secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai
sumber belajar dalam bidang kajian pendidikan yaitu pengolahan
nugget ikan panambahan berbagai jenis umbi
1.5 Batasan Penelitian
 Jenis umbi yang digunakan adalah ubi jalar ( Ipomea batatas L.)
kentang (Solanum tuberosum L.) ubikayu (Manihot esculenta
Crantz)
 Ikan yang digunakan adalah jenis ikan tongkol
1.6 Definisi Istilah
 Ikan merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan
oleh manusia karena dalam kandungan porteinnya tinggi
mengandung asam amino esensial, nilai biologisnya tinggi dan
harganya murah dibandingkan dengan sumber protein lainnya.
 Nugget merupakan produk olahan daging yang terbuat dari daging,
yang dicetak dalam bentuk potongan persegi empat dan dilapisi
dengan tepung berbumbu.
 Bahan pengisi merupakan sumber pati, pati merupakan bagian
terbesar dalam ubi jalar (Ipomea batatas L.), sedangkan kandungan
karbohidrat dalam kentang (Solanum tuberosum L.) sebesar 26
gram (dalam kentang medium). Bentuk dominan dari karbohidrat
ini adalah pati. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin dalam
komposisi yang berbeda-beda yaitu 10-20% amilosa dan 80-90%
amilopektin. Amilosa memberikan sifat keras sedangkan
amilopektin menyebabkan sifat lengket. Kandungan karbohidrat
dalam ubikayu (Manihot esculenta Crantz) sebesar 80,8 -83,8
gram.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jarak Kepyar (Ricinus communis L.)

2.1.1 Klasifikasi Jarak Kepyar

Menurut Richharia dalam Zimmerman (1958) jarak merupakan tanaman

polyploid. Di Indonesia jarak mempunyai istilah sendiri-sendiri yaitu gloah

(Gayo), lulang (Karo), jarag (Lampung), lapandru (Nias), Jarak (Jawa), kaleke

(Madura), tatanga (Bima), kalangan (Sulawesi Utara), alele (Gorontatalo), jarak

kaliki (Sunda), tanggang-tanggang raja (Makasar), peleng kaliki (Bugis) , paku

perunai (Timor) (Heyne, 1987). Menurut Plantamor (2011) di berbagai Negara

seperti Inggris jarak dikenal dengan castor bean, castor oil plant, palma christi,

wonder tree. Negara di melayu mengenal dengan istilah pokok jarak, kacang

kastor. Sedangkan di Thailand: Lahung daeng, Pilipina: Tangan-tangan Cina: Bi

ma, ma hong liang, Jepang: Hima, rishin.

Menurut Plantamor (2010), klasifikasi tanaman jarak kepyar adalah

sebagai berikut:

Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Ricinus
Spesies : Ricinus communis L.
2.1.2 Morfologi Jarak Kepyar

Jarak kepyar (Ricinus communis L.) adalah tumbuhan liar setahun

(annual) dan biasa terdapat di hutan, tanah kosong, di daerah pantai, namun sering

juga dikembangbiakkan dalam perkebunan. Tumbuhan ini merupakan spesies

tanaman dari Euphorbiaceae dan tergolong ke dalam genus Ricinus, subtribe

Ricininae (Anonim, 2010).

Akar tanaman tanaman ini memiliki akar tunggang yang dalam dan akar

samping yang melebar dengan akar rambut yang banyak. Hal ini menandakan

bahwa tanaman jarak tahan terhadap angin dan kekeringan (Monograf, 2000).

Batang jarak warnanya bervariasi dari hijau muda sampai hijau tua, dan

dari merah muda sampai merah kecokelatan. Batang tanaman beruas-ruas, setiap

ruas dibatasi oleh buku-buku dan setiap buku terdapat titik tumbuh cabang atau

daun. Panjang ruas batang bervariasi ada yang pendek dan ada yang panjang

(sekitar 20 cm). Permukaan batang mengandung lapisan lilin dan tanpa lapisan

lilin. Tinggi tanaman antara 1-4 meter, dengan diameter 3-5 cm. Tanaman jarak

dapat tumbuh terus sepanjang faktor-faktor pertumbuhan terutama air tersedia

(Monograf, 2000).

Bentuk daun menjari 5 sampai 11, dengan lekukan dangkal sampai dalam,

dengan filotaksis dua-lima. Warna daun bervariasi ada yang berwarna hijau muda

sampai hijau tua, dan ada pula yang berwarna kemerahan serta mengkilap. Pada

genotip tertentu tulang daun tampak menonjol di bawah permukaan daun. Luas

daun diperkirakan sekitar 0,55 LW (l adalah pajang maksimal daun, W adalah

lebar maksimal daun) (Weiss, 1971). Tepi daun pada umumnya bergerigi tetapi
ada pula yang rata. Tangkai daun panjang kuat, dengan panjang 17-40 cm.

Daunnya berkhasiat untuk menyembuhkan batuk dan sesak nafas. Akarnya dapat

dimanfaatkan untuk menjaga stamina tubuh (Anonim, 2010).

Bunga jarak terbentuk dalam karangan atau tandan bunga. Tandan bunga

terdapat padas bagian ujung batang utama maupun samping. Menurut Zimmerman

(1958) komposisi bunga jarak sangat bervariasi. Tanaman jarak termasuk

berumah satu dengan bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman.

Bunga betina terdiri dari 30-50% dan terletak di bagian atas tandan bunga,

sedangkan bunga jantannya terdiri dari 70-50% dan terletak di bagian bawah

tandan bunga. Menurut Weiss (1971) bunga jarak tidak mempunyai daun

mahkota, tetapi mempunyai 3-5 kelopak bunga. Kepala sari berwarna kekuningan

dan setiap bunga jantan memiliki serbuk sari sampai seratus butir. Bunga betina

memiliki 3 bakal biji dengan kepala putik terdiri dari 3 cabang. Kepala putik

berwarna merah jambu (pink).

Buah jarak muda berwarna hijau muda sampai hijau tua, berambut atau

berduri dan ada pula yang tidak berduri serta bila sudah masak berwarna keabu-

abuan mirip warna tanah. Setiap kapsul terdiri dari 3 bagian dan setiap bagian

berisi sebutir biji, sehingga setiap buah jarak berisi 3 butir biji. Pada permukaan

kulit buah yang masih muda terdapat lapisan lilin yang berwarna keputihan, dan

ada pula yang tanpa lapisan lilin. Buah jarak umumnya mudah pecah bila sudah

masak atau tua, tetapi ada pula yang sulit pecah sehingga sulit dalam proses

pembijian (Weiss, 1971).


Biji berbintik-bintik menyerupai serangga, ada yang berwarna putih,

kecokelatan dari cokelat muda sampai cokelat tua, merah, bahkan ada yang

berwarna kehitaman. Biji terdiri dari kulit biji yang agak keras dan di dalamnya

terdapat daging biji (kernel). Bentuk biji bulat lonjong (oval) dan bervariasi

dengan panjang beberapa mm sampai sekitar 2cm (BIP-NTB, 1986).

A B C
Gambar 2.1: Tanaman Jarak Kepyar (a) Daun, (b) Buah, (c) Biji
Sumber : http//tanaman.ricinus.comunnis.wikipedia.org

2.1.3 Manfaat Jarak Kepyar

Menurut Soenardi (2000), menjelaskan bahwa hasil utama tanaman jarak

adalah buah yang terdiri dari 20% bahan serabut (kulit buah) dan 80% biji yang

mengandung minyak (castor oil). Sekitar 47% dengan sifat yang tidak mudah

mengering (non drying oil). Saat ini biji jarak menjadi komoditas ekspor dan

digunakan sebagai bahan baku pembuat cat, minyak pelumas, insektisida, plastik,

sabun dan bahan bakar roket. Anonim (2011) menambahkan jarak kepyar

merupakan tanaman penghasil bahan baku industri karena minyaknya memiliki

karakteristik yang spesifik yaitu tahan terhadap temperatur tinggi dan dapat
diperbarui (renewable). Penggunaan minyak jarak antara lain untuk industri cat,

vernis, bahan pelapis dan lain-lain.

2.1.4 Kandungan Senyawa Aktif Jarak Kepyar

Tanaman ini merupakan sumber minyak jarak, kadar minyak jarak adalah

56,7% dan bijinya mengandung glycoprotein yang bersifat racun dan orang sering

menyebutnya ricin. Jarak pohon merupakan satu-satunya tumbuhan yang bijinya

kaya akan suatu asam lemak hidroksi, yaitu asam ricinoleat. Kehadiran asam

lemak ini membuat minyak biji jarak memiliki kekentalan yang stabil pada suhu

tinggi sehingga minyak jarak dipakai sebagai campuran pelumas (Monograf

Balittas, 2000).

Sinaga (2011) menambahkan biji mengandung 40–50% minyak jarak

(oleum ricini, kastrooli) yang mengandung bermacam-macam trigliserida, asam

palmitat, asam risinoleat, asam isorisinoleat, asam oleat, asam linoleat, asam

linolenat, asam stearat, dan asam dihidroksistearat. Minyak biji jarak juga

mengandung alkaloida risinin, beberapa macam toksalbumin yang dinamakan

risin (risin D, risin asam, dan risin basa), dan beberapa macam enzim diantaranya

lipase. Beberapa peneliti melaporkan biji jarak juga mengandung cursin (senyawa

yang banyak terdapat dalam biji jarak pagar (Jatropa curcas) dan abrin (banyak

terdapat dalam biji saga Abrus precatorius). Daun jarak kepyar mengandung

saponin, senyawa-senyawa flavonoida antara lain kaempferol, kaempferol-3-

rutinosida, nikotiflorin, kuersetin, isokuersetin, dan rutin. Disamping itu juga

mengandung astragalin, reiniutrin, risinin, dan vitamin C. Akar jarak kepyar


mengandung metiltrans-2-dekena-4,6,8-trinoat dan 1-tridekena- 3,5,7,9,11-pentin-

beta-sitosterol.

2.2 Helicoverpa armigera (Hubner)

2.2.1 Klasifikasi Helicoverpa armigera (Hubner)

Menurut Holloway (1988), klasifikasi Helicoverpa armigera (Hubner)

adalah sebagai berikut:

Phylum : Arthopoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Sub ordo : Noctuidae
Genus : Helicoverpa
Spesies : Helicoverpa armigera (Hubner)

2.2.2 Morfologi Helicoverpa armigera (Hubner)

Larva Helicoverpa armigera (Hubner) merusak bagian-bagian tanaman

dengan cara menggerek kuncup, bunga dan buah. Helicoverpa armigera (Hubner)

merupakan hama yang populasinya harus dikendalikan karena berpotensi merusak

tanaman jika lingkungannya mendukung. Ulat Helicoverpa armigera (Hubner)

memiliki siklus hidup mulai dari stadium telur, larva, pupa dan imago (Berril dan

Karp, 1978). Serangga ini merupakan hama utama pada tanaman tomat

(Lycopersicum esculentum Mill.) (Sastrosiswojo, 1992). Karakteristik biologi

Helicoverpa armigera adalah sebagai berikut :

1. Telur

Telur Helicoverpa armigera (Hubner) berbentuk setengah bola. Warna

telur awalnya berwarna putih kekuningan dan menjelang menetas

warnanya berubah menjadi cokelat kehitaman dengan diameter telur


berukuran 0,5 mm. Nurindah dkk (2005) menyebutkan bahwa usia telur 2-

3 hari. Telur Helicoverpa armigera (Hubner) diletakkan satu persatu pada

pucuk tanaman atau kelopak, kuncup bunga atau buah.

2. Larva

Larva yang baru keluar dari telur panjangnya sekitar 1,75 mm dan lebar

0,2 mm. Warnanya putih kekuningan dengan kepala berwarna hitam

(Subiyakto, 1991). Larva warnanya bervariasi yaitu hijau, kekuningan,

hijau orange, cokelat, kehitaman. Pada bagian lateral terdapat garis

memanjang gelap dan terang (Kalshoven, 1981). Lama stadia larva antara

13-21 hari.

Gambar 2.2 Fase Larva Helicoverpa armigera (Hubner)

Stadia larva terdiri atas 5-6 instar. Larva yang baru menetas biasanya

memakan jaringan daun atau kelopak bunga dan buah. Kerusakan yang

ditimbulkan oleh serangga hama ini terutama pada kuncup bunga, bunga

dan buah kapas. Selama masa larva dapat merusak 10-12 buah muda.

Larva Helicoverpa armigera (Hubner) bersifat kanibal yaitu saling

membunuh jika ketersediaan pakan terbatas. Panjang maksimal larva

adalah 35-40 mm (Nurindah dkk, 2000). Ciri khas Helicoverpa armigera


(Hubner) adalah bagian belakang tubuhnya tetap berada di luar buah.

Sedangkan kepala dan bagian depan tubuh berada di dalam buah serta

kotoran ditumpuk di sekitar lubang gerekan.

3. Pupa

Stadia pre pupa berkisar 2-4 hari dan sebenarnya masih dalam bentuk ulat,

hanya aktivitas makan berkurang atau berhenti. Ulat kelihatan lemah dan

pucat serta cenderung membenamkan diri dalam pasir atau tanah. Ulat

menghasilkan glandula untuk konstruksi selubung tubuhnya (Subiyakto,

1991). Pupa berwarna cokelat kekuning-kuningan, cokelat kemerah-

merahan. Sedangkan pupa yang tua berwarna gelap (Sudarmo, 1992).

Serangga ini membentuk pupa di dalam tanah yang masanya 10-15 hari

(Nurindah dkk, 2002).

4. Imago

Imago berwarna cokelat kelabu atau cokelat kekuningan. Panjang tubuh

antara 2-2,5 cm, sedangkan rentangan sayapnya antara 3-4 cm. Ukuran

imago betina biasanya lebih besar dari imago jantan (Gothama dan

Soebandrijo, 1987 dalam Lusyana, 2005). Pada betina sayap depan

berwarna kekuningan sampai orange, sedangkan pada janta berwarna abu-

abu kehijauan. Terdapat noda cokelat dan suatu bagian yang gelap dekat

tepi bagian luar pada sayap depan. Sayap depan ditandai dengan garis-

garis berombak berwarna kelabu dan bintik-bintik hitam sebagai ukuran

pada permukaan atas. Pada sayap belakang terdapat satu tanda hitam

berbentuk ginjal dan sebuah titik bulat. Sayap belakang berwarna pucat
kehijauan (Anonymous, 2000 dalam Farida, 2002). Nurindah dkk (2000)

mengemukakan bahwa serangga dewasa aktif pada malam hari dan dapat

terbang sangat jauh. Serangga dewasa dapat hidup hingga 10 hari.

Kehidupan serangga hama Helicoverpa armigera (Hubner) di alam tidak

lepas dari faktor-faktor yang berasal dari serangga hama sendiri dan lingkungan

sekitarnya yaitu fisis, makanan dan hayati. Faktor yang berasal dari dalam tubuh

serangga itu sendiri seperti struktur organ-organ tubuh serangga dan fisiologi.

Sedangkan faktor fisis yang banyak berpengaruh adalah kelembaban, angin

cahaya, warna dan bau. Faktor fisis tanaman inang yaitu sukulen, kekerasan, ada

tidaknya bulu dan adanya duri-duri dapat bertindak sebagai penghalang untuk

makan secara normal (Wahyuningati, 1995 dalam Lusyana, 2005).

Gambar 2.3 Fase imago Helicoverpa armigera (Hubner)


Sumber : http//en. Academic.ru./dic.nsfrawiki/4007166.

Menurut Adhisson et al. (1982) dalam Lusyana (2005) menyebutkan

perkembangan populasi Helicoverpa armigera (Hubner) sangat tergantung dari

tanaman inang sebagai sumber pakannya. Perkembangan kepadatan populasi

Helicoverpa armigera (Hubner) selanjutnya mengikuti perkembangan

pertumbuhan tanaman dan populasi serangga hama ini akan cepat meningkatkan

pada saat bunga pertama mekar kemudian saat menjelang tanaman tua.
Setelah serangga muda keluar dari telur, pertumbuhan selanjutnya

terhalang oleh dinding tubuh yang keras. Hal inilah yang menyebabkan serangga

setiap kali harus berganti kulit. Stadium pergantian kulit ini disebut instar.

(Sastrodiharjo,1984).

Pergantian serta pertumbuhan serangga telah dibuktikan diatur oleh

hormon yang dikeluarkan beberapa kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin yang

berperan dalam proses pergantian kulit adalah sel getah saraf dari otak yang

disebut hormon otak. Terdapat kemungkinan otak tidak hanya mengeluarkan satu

macam hormon, tapi campuran dari beberapa macam hormon. Rangsangan luar

menyebabkan sel getah saraf mengeluarkan hormon tersebut yang kemudian

dibawa oleh hemolimf ke kelenjar protorax. Kelenjar ini mengeluarkan hormon

yang disebut ekdison yang bertanggung jawab terhadap pergantian kulit. Selain

hormon otak dan ekdison, terdapat hormon juwana (juvenile hormone) yang

dikeluarkan oleh corpus allotum. Pergantian kulit disebabkan karena sejumlah

ekdison tertentu. Hormon juwana (H.J) menentukan jenis stadium yang akan

dialami oleh serangga. Apabila H.J tinggi pada waktu ekdison dikeluarkan, maka

stadium yang akan ditempuh masih tetap larva. Pupa akan terjadi bila H.J rendah

dan H.J sangat rendah terjadilah imago. Setelah serangga berada stadium imago,

H.J akan naik lagi (Sastrodiharjo, 1984).


2.3 Insektisida

2.3.1 Insektisida Kimia

Menurut Soemirat (2003) insektisida berasal dari bahasa latin insectum

yang mempunyai arti potongan, keratan, atau segmen tubuh, seperti segmen yang

ada pada tubuh serangga. Insektisida pada umumnya dapat menimbulkan efek

terhadap sistem syaraf. Secara umum pengertian insektisida dapat didefinisikan

sebagai bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang

dianggap sebagai vector yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan

kepentingan manusia.

Penggunaan insektisida sintetik merupakan metode umum dalam upaya

pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman pertanian.

Kebanyakan insektisida sintetik memiliki sifat non spesifik, yaitu tidak hanya

membunuh jasad sasaran tetapi juga membunuh organisme lain. Insektisida

sintetik dianggap sebagai bahan pengendali hama penyakit yang paling praktis,

mudah diperoleh, mudah dikerjakan dan hasilnya cepat terlihat. Padahal

penggunaannya sering menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan,

keracunan terhadap manusia dan hewan peliharaan dan dapat mengakibatkan

resistensi serta resurgensi bagi hama serangga (Rejesus, 1986). Selain itu, Ahmed

(1995) mengemukakan bahwa lebih dari 400.000 kasus keracunan setiap tahunnya

dan 1,5% diantaranya sangat parah, serta terjadinya kontaminasi air, tanah, udara

yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Insektisida dapat

diklasifikasikan berdasarkan rumus kimianya yaitu:


1. Organoklorin, golongan ini terdiri atas ikatan karbon, klorin, dan hidrogen.

Insektisida ini sedikit digunakan di negara berkembang karena secara

kimia insektisida organoklor adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki

sifat yang tahan atau persisten, baik dalam tubuh maupun dalam

lingkungan memiliki kelarutan sangat tinggi dalam lemak dan memiliki

kemampuan terdegradasi yang lambat. Contoh dari kelompok ini adalah

DDT dan lindan.

2. Organofosfat, golongan ini terdiri dari ikatan karbon dan fosfatida.

Organofosfat sering disebut insektisida antikolinesterase karena

mempunyai efek yang sama dalam sistem syaraf (perifer dan pusat).

3. Karbamat, golongan ini sama dengan organofosfat tapi keduanya

mempunyai ikatan dan struktur kimia yang berbeda.

4. Piretroid

a. Piretroid Alam

Piretrum adalah insektisida alami, yang merupakan ekstrak dari bunga

Chrysantemum, Phyretrum cinerariaefollium (Dalmantian insect

flower). Insektisida ini sudah lama dikenal dan sangat efektif.

b. Piretroid Sintetik

Sintetis ester dapat dibagi menjadi dua sub golongan yang didasarkan

pada struktur dan gejala keracunan. Pertama adalah tipe Alletrin,

Tetrometrin, dan Phenotrin dimana efek yang dihasilkan meyerupai

efek DDT. Tipe yang kedua adalah semua ester mengandung sianida,

seperti Fenvolerat, Deltametrin, dan Cifenometrin (Soemirat, 2003).


2.3.2 Insektisida Nabati

Salah satu upaya untuk mengurangi frekuensi penggunaan insektisida

sintetik adalah mengganti dengan insektisida dari bahan nabati, karena beberapa

hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bagian tanaman ada yang bersifat

toksik terhadap hama (Balfas, 1994). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui

mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin,

fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen

(Campbell, 1933). Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah

dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman

(Grainge & Ahmed, 1988). Menurut Prakash & Rao (1977) terdapat paling sedikit

850 jenis tumbuhan yang memiliki senyawa aktif terhadap serangga.

Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari

tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-

bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk

tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit

sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil

abunya dan digunakan sebagai insektisida (Thamrin dkk, 2000).

Pada umumnya insektisida sintetik dapat membunuh langsung organisme

sasaran dengan cepat. Hal ini berbeda dengan insektisida nabati yang idak dapat

mematikan langsung serangga, biasanya berfungsi seperti berikut:

1. Refelent, yaitu menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya

yang menyengat
2. Antifidan, menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya

disebabkan rasa yang pahit

3. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan

telur

4. Racun syaraf

5. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga

6. Attraktan, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan

sebagai perangkap (Thamrin dkk, 2000).

2.3.3 Sifat dan Cara Kerja Insektisida

Pada umumnya insektisida menunjukkan toksisitasnya dengan kemampuan

menyerang sistem saraf yaitu pada bagian yang paling mudah diserang dan tidak

terlindungi sehingga mengganggu mekanisme kimia dalam tubuh. Sistem saraf

serangga lebih sederhana dibanding sistem saraf mamalia. Perbedaan utama

antara sistem saraf serangga dengan mamalia adalah pada serangga tidak terdapat

sistem kolinergik yang merupakan sistem saraf luar dan tidak mempunyai

penghubung kimia selain asetilkolin yang dapat menghubungkan dengan sistem

saraf pusat (Baehaki,1993).

Cara kerja (metode of action) insektisida nabati dalam membunuh atau

mengganggu pertumbuhan hama sasaran adalah: (1) mengganggu atau mencegah

perkembangan telur, larva dan pupa, (2) mengganggu atau mencegah aktifitas

pergantian kulit dari larva, (3) mengganggu proses komunikasi seksual dan kawin

pada serangga, (4) meracun larva dan serangga dewasa imago, (5) mengganggu
atau mencegah makan serangga, (6) menghambat proses metamorfosis pada

berbagai tahap, (7) menolak serangga larva dan dewasa, dan (8) menghambat

pertumbuhan penyakit (Lisdianita, 2000). Menurut Novizan (2002) cara kerja

insektisida dalam meracuni serangga adalah terlihat pada gangguan fisik pada

tubuh serangga bagian luar (kutikula), yakni mencuci lapisan lilin yang

melindungi tubuh serangga dan menyebabkan kematian karena serangga akan

kehilangan banyak cairan tubuh. Beberapa kasus menunjukkan bahwa insektisida

dapat masuk melalui organ pernafasan dan menyebabkan kerusakan membran sel

atau mengganggu proses metabolisme.

Menurut Baehaki (1993) cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga

dengan berbagai cara, diantaranya sebagai racun kontak yang dapat masuk ke

dalam tubuh melalui kulit atau dinding tubuh serangga, racun perut atau mulut

yang masuk melalui alat pencernaan serangga, dan yang terakhir dengan fumigant

yang merupakan racun yang masuk melalui pernafasan serangga. Menurut

Kasumbogo (2006), cara masuknya insektisida ke dalam tubuh serangga melalui

racun perut yaitu senyawa toksik akan menembus dinding usus yang selanjutnya

akan mengganggu metabolisme serangga dan menyebabkan kekurangan energi

yang diperlukan untuk aktivitas hidupnya, kejang dan menyebabkan kematian.

Ada beberapa cara insektisida mematikan serangga, menurut Wudianto

(1992) adalah sebagai berikut:


1. Racun perut

Biasanya insektisida jenis ini digunakan untuk mengendalikan serangga yang

menyerang tanaman dengan cara memakan tanaman tersebut. Tanaman

disemprotkan dengan insektisida sehingga bagian-bagian tanaman akan

mengandung racun. Apabila ada serangga yang memakan bagian tanaman yang

telah disemprot, serangga akan mengalami keracunan yang bisa menimbulkan

kamatian karena bahan aktif atau racun akan bekerja di dalam perut serangga.

2. Racun kontak

Cara kerja racun ini adalah apabila serangga menyentuh insektisida atau

tanaman yang telah disemprot insektisida akan mengalami keracunan dan

akhirnya mati. Racun akan meresap ke dalam tubuh serangga sehingga akan

mati.

3. Racun sistemik

Insektisida dapat diserap oleh tanaman baik melalui akar atau bagian tanaman

yang lain tetapi tidak mengganggu atau merugikan tanaman itu sendiri.

Meresapnya racun ke dalam tanaman maka tanaman tersebut mempunyai daya

mematikan bila ada serangga yang memakannya.

4. Fumigant

Insektisida jenis ini mematikan serangga setelah zat fumigant terserap ke dalam

tubuh serangga melalui pernafasannya. Jadi, insektisida harus difungsikan atau

diuapkan dalam bentuk gas.

5. Atraktan

Insektisida dapat mengeluarkan bau-bau yang bisa menarik serangga tertentu.


Setelah serangga mendekat dan berkumpul, maka serangga tersebut dapat

dengan mudah dimusnahkan. Jadi, jenis insektisida berfungsi sebagai penarik

dan tidak bisa langsung mematikan serangga.

6. Repelent

Cara kerja insektisida ini merupakan kebalikan dari cara atraktan. Insektisida

ini dapat mengeluarkan bau-bau yang bisa menolak atau mengusir serangga.

Sehingga bau yang dikeluarkan adalah yang tidak disenangi oleh serangga.

2.4 Efektivitas Sabun Minyak Biji Jarak Kepyar sebagai Insektisida Nabati

Tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.) terdiri dari 20% bahan serabut

(kulit buah) dan 80% biji yang menggandung minyak (castor oil). Biji

mengandung 40–50% minyak jarak (oleum ricini, kastrooli) sehingga dapat

diekstraksi menjadi minyak jarak dengan cara mekanisme ataupun ekstraksi

dengan pelarut seperti heksana. Pada jarak kepyar kandungan racunnya lebih

banyak dibandingkan jarak pagar (Jatropha curcas L.) sehingga dapat digunakan

sebagai insektisida nabati.

Efektivitas minyak jarak kepyar (Ricinus communis L.) sebagai insektisida

nabati dalam bentuk sabun belum banyak digali dan diteliti. Menurut (Soenardi,

2000) minyak jarak kepyar dapat digunakan sebagai insektisida karena adanya

asam risinoleat yang dikenal dengan risin (bersifat toksik). Pengujian toksisitas

minyak biji jarak kepyar telah dilakukan uji pendahuluan dengan nilai LC 50 yaitu

7,89832 ml/l air pada 24 jam setelah aplikasi dan pengaruhnya terhadap aktivitas

sistem pencernaan serangga.


Biji jarak kepyar mengandung Glycoprotein yang bersifat racun dan orang

sering menyebutnya Ricin. Selain itu, biji jarak kepyar juga mengandung

trigliserida, asam palmitat, asam risinoleat, asam isorisinoleat, asam oleat, asam

linoleat, asam linolenat, asam stearat, asam dihidroksistearat, alkaloida risinin,

beberapa macam toksalbumin yang dinamakan risin (risin D, risin asam, dan risin

basa), dan beberapa macam enzim diantaranya lipase. Beberapa peneliti

melaporkan biji jarak juga mengandung cursin (senyawa yang banyak terdapat

dalam biji jarak pagar (Jatropha curcas) dan abrin (banyak terdapat dalam biji

saga Abrus precatorius).

Penggunaan minyak biji jarak kepyar tidak dapat langsung dimanfaatkan

dan dicampur dengan air karena bersifat multifayer. Oleh karena itu, perlu adanya

campuran detergen (emulgator). Agar lebih praktis dan mudah dalam

mengaplikasikan maka minyak tersebut digunakan dalam bentuk sabun dan

tinggal mengencerkan. Larutan insektisida sabun minyak biji jarak kepyar terbuat

dari bahan minyak biji jarak kepyar, NaOH, dan aquades. Larutan yang digunakan

sudah dalam bentuk larutan induk 4% yang diperoleh dari 8 gr sabun diencerkan

sampai 50 ml.

Cara kerja sabun minyak biji jarak kepyar dalam meracuni serangga adalah

terlihat pada gangguan fisik tubuh serangga bagian luar (kutikula), yakni mencuci

lapisan lilin yang melindungi tubuh serangga dan menyebabkan kematian, karena

serangga akan kehilangan banyak cairan tubuh. Beberapa kasus menunjukkan

bahwa sabun dapat masuk melalui organ pernafasan dan menyebabkan kerusakan

membran sel atau mengganggu proses metabolisme (Novizan, 2002).


William (1961) dalam Habibi (2007) menunjukkan cara kerja bahan aktif

minyak biji jarak kepyar (Ricinus communis L.) melalui racun kontak seperti

pada gambar 2.4 berikut:

Minyak biji jarak Meningkatkan jumlah Mempengaruhi


kepyar juvenil hormon diferensiasi seluler
pada epidermis

Hasil Akhir
Pergantian kulit larva ke pupa
serangga dewasa abnormal dan steril

Gambar 2.4 : Cara Kerja Bahan Aktif Insektisida Sabun Minyak Biji Jarak
Kepyar (Ricinus communis L.)
2.5 Kerangka Konsep

Insektisida

Nabati Kimia

Minyak biji jarak kepyar

Risin Curcin Trygliserida Abrin Risinin

Sabun
Aplikasi
Helicoverpa armigera (Hubner)

Cara masuk

Kontak Perut

Permukaan pori-pori Saluran pencernaan


Masuk melalui
tubuh menembus dinding usus
bersama darah
Peningkatan pada JH- Mengganggu
Menyebabkan
carrier protein metabolisme tubuh
serangga bersama darah
Epidermis, hemocytes, Kekurangan energi untuk
Mempengaruhi
dan lemak tubuh aktivitas hidupnya
serangga bersama darah
Pergantian kulit larva ke Kejang (konvulasi)
pupa serangga dewasa Mengakibatkan
abnormal dan steril

Mortalitas terhadap Helicoverpa armigera (Hubner)


Hama Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan hama yang umum

menyerang tanaman sayuran, tembakau,dan kapas. Pengendalian hama seperti

Helicoverpa armigera (Hubner) secara kimiawi dengan insektisida sintetik

merupakan cara yang sering dilakukan oleh petani untuk mengatasi serangan

hama. Akan tetapi hal tersebut menyebaban dampak negatif berupa resistensi,

ledakan hama sekunder dan akumulasi residu kimia pada hasil panen dan

lingkungan yang membahayakan konsumen dan agroekosistem. Untuk mengatasi

hal tersebut maka perlu dilakukan upaya untuk menggiatkan sistem pengendalian

hama terpadu (PHT) dan teknologi ramah lingkungan. Salah satu upaya yang

perlu diterapkan adalah penggunaan insektisida nabati. Insektisida nabati adalah

insektisida yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan yang memiliki beberapa

senyawa aktif yang bersifat toksik terhadap Helicoverpa armigera (Hubner).

Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah

minyak biji jarak kepyar (Ricinus communis L.).

Minyak biji jarak kepyar (Ricinus communis L.) memiliki beberapa

senyawa aktif yaitu, risin, curcin, glycoprotein, abrin, dan trygliserida yang dapat

diaplikasikan dalam bentuk sabun. Cara kerja senyawa aktif tersebut terhadap

Helicoverpa armigera (Hubner) melalui racun kontak dan perut.

Racun kontak bekerja melewati kulit yaitu pori-pori permukaan tubuh

yang menyebabkan peningkatan pada JH carrier protein. Peningkatan tersebut

mempengaruhi epidermis, hemocytes, dan lemak tubuh sehingga pergantian kulit

larva ke pupa bersifat abnormal dan steril. Sedangkan cara kerja melalui kontak

perut bekerja melewati makanan yang terkena sabun minyak biji jarak kepyar
(Ricinus communis L.). Senyawa aktif tersebut akan masuk ke dalam saluran

pencernaan yang akan menembus dinding usus sehingga menggaggu metabolisme

tubuh Helicoverpa armigera (Hubner). Gangguan tersebut menyebabkan

kekurangan energi dan pada akhirnya ulat akan mengalami kejang. Racun kontak

dan perut akan menyebabkan mortalitas pada Helicoverpa armigera (Hubner).

2.6 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan studi pustaka diatas dapat di rumuskan

hipotesis sebagai berikut :

a. Ada perbedaan mortalitas Helicoverpa armigera (Hubner) dari waktu

ke waktu setelah pemberian berbagai konsentrasi insektisida nabati

sabun minyak biji jarak kepyar (Ricinus communis L.) secara in vitro.

b. Konsentrasi 30 ml/l sabun minyak biji jarak kepyar (Ricinus

communis L.) adalah yang paling efektif mempengaruhi mortalitas

Helicoverpa armigera (Hubner) secara in vitro.

Anda mungkin juga menyukai