Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Paru
2.1 DEFINISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi dari
kuman Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau
pembuluh darah (Price, 2001) dan dapat ditularkan melalui inhalasi, kuman ini
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 /um dan tebal 0,3 – 0,6 /um.

2.2 ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk
batang. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada
pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga
disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati
dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan
lembab.Kuman dapat dormant atau tertidur sampai beberapa tahun dalam jaringan
tubuh.
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis di tentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III)
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis
yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi
hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi
primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh
dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman
dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister”
atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita
tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi
pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-
cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Infeksi pasca primer terjadi setelah
beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura(Dongoran, 2012).
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah
faktorinternal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya
sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan(Dongoran, 2012).
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh
(BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan
dengan kasus kambuh.Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat antituberkulosis
(OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis.Resistensi
terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan obat tidak sesuai
atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang
biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi dapat membunuh kuman
(Dongoran, 2012).
2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberculosis menurut Kementrian RI tahun 2014 :
1. Klasifikasi tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang terkena:
o Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput pleura) dan kelenjar pada
hilus.
o Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, salurankencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :
o Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif
 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

o Tuberkulosis paru BTA negative


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
o TB paru  BTA negative, foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
o TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
 TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, peritonitis, pleuritis,
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih,
dan alat kelamin.

4. Tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe pasien yaitu (Kemenkes RI, 2014) :
o Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4minggu)
o Kasus kambuh (Relaps)
Pasien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
o Kasus setelah putus berobat (Default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
o Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahkanya tetap positif.
2.4 KLASIFIKASI
Terdapat beberapa macam pembagian klasifikasi tuberkulosis antara lain1:
1. Berdasarkan lokasi anatomi

2. Pengobatan TB

3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

4. Status HIV pasien

1. Berdasarkan lokasi anatomi organ yang terkena infeksi, tuberkulosis


terbagi menjadi tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.
a. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru merupakan tuberkulosis yang terjadi di parenkim paru.


Tuberkulosis milier di anggap sebagai tuberkulosis paru karena terdapat lesi di
jaringan paru. Pasien dengan tuberkulosis paru yang juga menderita
tuberkulosis ekstra paru dikategorikan sebagai tuberkulosis paru.1
b. Tuberkulosis Ekstra Paru

Merupakan tuberkulosis yang mengenai organ lain selain paru antara lain
mengenai pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kemih, sendi, selaput otak
dan tulang.1 Hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1

Gambar Terdapat beberapa macam pembagian klasifikasi tuberkulosis


antara lain1:.1 Tuberkulosis Ekstra Paru
Dikutip dari: Shweta Naik and B. R. Das2

Tuberkulosis ekstra paru merupakan tuberkulosis yang mengenai


berbagai organ seperti pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kemih, sendi,
selaput otak dan tulang.

1. Tuberkulosis Pleura
Tuberkulosis pleura adalah tuberkulosis yang mengenai lapisan
pembungkus paru yaitu pleura. Tuberkulosis pleura paling sering terjadi
pada usia dibawah 45 tahun. Gambaran yang diakibatkan tuberkulosis
pleura adalah terdapatnya efusi pleura namun biasanya tidak
menimbulkan adanya gejala apabila efusi pleura kurang dari 300 ml.3
2. Tuberkulosis Limfadenitis
Tuberkulosis limfadenitis adalah tuberkulosis yang mengenai kelenjar
limfe. Gejala yang timbul adalah adenopati non inflamasi, flu, benjolan
tidak nyeri, benojolan tunggal atau multipel, biasanya bilateral dan lokasi
yang paling sering terkena adalah di daerah servikal.1
3. Tuberkulosis Abdomen
Terdapat empat bentuk tuberkulosis abdomen antara lain tuberkulisis
limfadenopati, tuberkulosis peritoneum, tuberkulosis gastrointestinal, dan
tuberkulosis viseral.4
4. Tuberkulosis urogenital

Merupakan tuberkulosis yang mengenai saluran kemih dan organ


genital. Organ yang terkena meliputi ginjal, prostat, epididimis, vesikula
seminalis, dan tuba fallopi. Tuberkulosis saluran kemih jarang terjadi
namun tuberkulosis saluran kemih merupakan tuberkulosis yang berat. 1
Gejala yang ditimbulkan adalah disuria, nokturia, nyeri punggung dan
flank, nyeri tekan atau pembengkakan pada testis dan epididimis, dan
hematuria. Pada wanita gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri
abdomen, leukorea dan perdarahan pervaginam.5
5. Tuberkulosis Tulang dan Sendi
Tuberkulosis tulang dan sendi terbagi menjadi tiga klasifikasi yaitu
skeletal, artikular, dan pott disease. Gejala yang ditimbulkan adalah
keterbatasan pergerakan, nyeri dan memburuk pada malam hari,
pembengkakan lokal daerah yang terinfeksi, demam, keringat malam, dan
penurunan nafsu makan. Tuberkulosis pada tulang belakang torakolumbar
mengakibatkan adanya gambaran gibus, dan umumnya mengenai spinal
cord sehingga mengakibatkan adanya parestesia dan paralisis.6
6. Tuberkulosis Meningens
Merupakan medical emergency dan jika terdapat keterlambatan
dalam penanganan dan diagnosis akan mengakibatkan terjadinya
gangguan neurologi yang ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada
umumnya adalah adanya sakit kepala disertai demam dan gangguan status
mental yang berubah secara progresif seiring dengan perkembangan
penyakit.5
2. Berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien
Terbagi menjadi pasien baru dan pasien yang pernah diobati TB. Pasien
baru merupakan pasien yang belum pernah menjalankan pengobatan TB
sebelumnya atau pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) namun
kurang dari satu bulan (kurang dari 28 dosis). Pasien yang sudah pernah
diobati TB merupakan pasien TB yang pernah menelan OAT selama satu
bulan atau lebih, terbagi menjadi empat klasifikasi yaitu pasien kambuh,
pasien yang diobati kembali setelah gagal, pasien yang diobati kembali setelah
putus berobat (lost to follow up) dan lain-lain.
Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Pasien yang diobati kembali setelah gagal merupakan
pasien TB yang pernah menjalankan pengobatan dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow up) merupakan pasien TB yang pernah menjalankan pengobatan dan
dinyatakan lost to follow up, dan lain-lain adalah pasien TB yang pernah
diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.7
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Terbagi menjadi lima klasifikasi yaitu mono resisten, poli resisten, multi drug
resisten, extensive drug resisten dan resisten rifampisin.1
1. Monoresistance (TB MR)

Merupakan resistensi terhadap satu OAT pada lini pertama.


2. Poly Drug Resistance (TB PR)
Merupakan resistensi terhadap lebih dari satu OAT pada lini pertama selain
isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.
3. Multidrug Resistance (TB MDR)

Merupakan resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.


4. Extensive Drug Resistance (TB XDR)

Merupakan TB MDR disertai adanya resistensi salah satu obat golongan


fluorokuinolon dan salah satu OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
kanamisin, kapreomisin, dan amikasin.
5. Rifampisin Resistance

Resistensi terhadap rifampisin disertai atau tanpa resistensi OAT lain yang
terdeteksi melalui metode genotip (tes cepat) dan fenotip (konvensional).
3. Berdasarkan status HIV pasien TB terbagi menjadi pasien TB dengan status
HIV positif dan status HIV negatif. Pasien TB dengan satus HIV positif
merupakan pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan Anti Retroviral (ART) atau hasil tes HIV positif saat didiagnosis
TB. Pasien TB dengan status HIV negatif adalah pasien TB dengan hasil tes
HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif saat didagnosis TB.1
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah1:

a. Demam

b. Malaise

c. Anoreksia

d. Penurunan berat badan

e. Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan selama berminggu –


minggu sampai berbulan – bulan)

f. Peningkatan frekuensi pernapasan

g. Ekspansi buruk pada tempat yang sakit

h. Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi

i. Demam persisten

j. Manifestasi gejala yang umum: pucat, anemia, kelemahan, dan penurunan


berat badan

2.6 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang
berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun- tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus
TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

A. Cara penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang
pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, maka semakin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

B. Risiko penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya
di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%,
berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI
di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan
reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

C. Risiko menjadi sakit TB

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI
1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB
dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50
diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,
diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor
risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
 50% meninggal
 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

2.7 DIAGNOSIS

Seseorang diduga menderita TB paru apabila terdapat batuk lebih dari 2 atau 3
minggu dengan produksi sputum dan penurunan berat badan. Gejala klinis pada
pasien dengan TB paru terbagi 2, yaitu gejala respirasi dan konstitusi. Gejala respirasi
diantaranya sakit dada, hemoptisis dan sesak nafas, sedangkan gejala konstitusi
(sistemik) adalah demam, keringat malam, cepat lelah, kehilangan nafsu makan,
amenore sekunder. Tidak ada kelainan spesifik yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik TB paru. Didapatkan gejala umum seperti demam, takikardi, jari clubbing.
Pemeriksaan dada mungkin didapatkan crackles, mengi, suara nafas bronkial dan
amforik.4
Penemuan pada Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pasien Tuberkulosis4
No Penemuan Keterangan
I Anamnesis
1 Riwayat terpapar tuberkulosis, Pasien dengan risiko terpapar tuberkulosis memiliki
riwayat terinfeksi tuberkulosis, risiko lebih besar untuk terkena tuberkulosis.
atau riwayat mendapat
tuberkulosis
2 Riwayat terinfeksi HIV atau Penderita HIV dengan infeksi tuberkulosis laten
kondisi medis lain yang dapat memiliki risiko 100 kali lebih tinggi untuk
meningkatkan risiko terinfeksi berkembang menjadi infeksi aktif.
tuberkulosis.
3 Demam Jarang terjadi pada penderita yang lanjut usia. Tidak
adanya demam tidak dapat menyingkirkan
tuberkulosis.
4 Lemah badan
5 Keringat malam Gejala ini hanya dapat muncul pada tuberkulosis
yang berlangsung lama.
6 Batuk Merupakan gejala yang paling sering terjadi pada
penderita TB paru. Penderita dengan TB ekstra
pulmonal saja sering kali tidak memiliki gejala ini.
II Pemeriksaan Fisik
1 Gejala sistemik Dapat muncul gejala demam, penurunan berat
badan, dan lemah badan
2 Berat badan Penurunan berat badan lebih sering ditemukan pada
TB yang telah berjalan lama.
3 Tenggorokan Dapat ditemukan suara serak
4 Kelenjar Getah Bening KGB dapat teraba
5 Paru - paru Dapat ditemukan adanya rales, tanda-tanda
konsolidasi atau penemuan lain yang sejalan dengan
efusi pleura (termasuk nyeri pleuritik)
6 Jantung Takikardi, peningkatan tekanan vena dan bunyi
friction rub dapat muncul pada penderita TB
7 Abdomen Asites, dinding abdomen seperti adonan roti, adanya
massa intraabdomen, dan hepatosplenomegali dapat
ditemukan pada TB diseminata atau TB abdomen.
8 Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, pembentukan gibus yang nyeri
terlokalisis dapat juga ditemukan pada penderita
tuberkulosis.
9 Neurologis Perilaku yang abnormal, nyeri kepala dan kejang.

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti
klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan
oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu5 :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Catatan :
• Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu TB
pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologik paru,
dianggap sebagai penderita TB di luar paru.
• Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB
paru.
• Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Gejala dan keluhan TB ekstra paru tergantung organ yang terkena, misalnya :
kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB, deformitas tulang belakang (gibbus)
pada spondilitis TB. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada
metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,
misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.2,4,5
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PADA ORANG DEWASA3
1. Diagnosis TB Paru :
• Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosa TB
paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikrobiologis langsung, biakan dan tes cepat.
• Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan
foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB.
• Pada sarana terbatas, penegakan diagnosis secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non
Kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.

Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung :


• Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak
SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu)
• Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari
pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA pasitif.
2. Diagnosis TB ekstra paru :
• Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
• Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari uji yang
diambil dari organ tubuh yang terkena.
• Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan
dan gejala yang sesuai, untuk kemungkinan adanya TB paru.

Standar diagnosis Tuberkulosis berdasarkan International Standards For


Tuberculosis Care (ISTC) Edisi 3, tahun 2014, yaitu6 :
Standar 1 : Untuk memastikan diagnosis dini, penyelenggara harus menyadari faktor
risiko individu dan kelompok TB dan melakukan evaluasi klinis yang
cepat dan tes diagnostik yang tepat bagi orang-orang dengan gejala
dan temuan yang konsisten dengan TB.
Standar 2 : Semua pasien, termasuk anak-anak, batuk yang tidak dapat dijelaskan
yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan sugestif
tuberkulosis pada radiografi dada harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standar 3 : Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB paru dan
mampu menghasilkan dahak harus diperiksa minimal dua dahak
apusan mikroskop atau spesimen dahak tunggal untuk Xpert® MTB /
RIF * dan pemeriksaan dilakukan di laboratorium dengan mutu yang
terjamin. Pasien yang beresiko resistensi obat, yang memiliki risiko
HIV, atau yang sakit serius, harus memiliki Xpert MTB / RIF
dilakukan sebagai uji diagnostik awal. Tes serologi berbasis darah dan
IGRA tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif.
Standar 4 : Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga memiliki TB
ekstra paru, harus dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan
pemeriksaan histologi, dimana spesimen diambil dari organ atau
jaringan yang diduga terinfeksi tuberkulosis. Pemeriksaan Xpert MTB
/ RIF pada cairan serebrospinal direkomendasikan sebagai tes
mikrobiologi awal yang lebih utama pada orang yang diduga
menderita meningitis TB karena memerlukan diagnosis yang cepat.
Standar 5 : Pada pasien yang diduga menderita TB paru dengan apusan sputum
negatif, Xpert MTB / RIF dan / atau kultur dahak harus dilakukan. Di
antara pasien dengan sputum yang negatif oleh apusan dan Xpert
MTB / RIF yang memiliki bukti klinis sangat sugestif TB, pengobatan
anti tuberkulosis harus dimulai setelah pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan kultur.
Standar 6 : Untuk semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks
(yakni, paru, pleura, dan hilus atau mediastinum atau kelenjar getah
bening), konfirmasi bakteriologi harus dicari melalui pemeriksaan
sekret pernapasan (ekspektorasi dahak, induksi sputum, bilas
lambung) untuk mikroskopi, pemeriksaan Xpert MTB / RIF, dan /
atau kultur.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa
kecurigaan/ bukti : hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat) 3
Keterangan :
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar
kondisi pasien dalam rekam medis. Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat,
pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa
kecurigaan/ bukti HIV maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat
dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto thoraks oleh seorang ahli radiologi
4) Pemberian AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan
TB termasuk golongan kuinolon
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling)
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
asesment lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB

Catatan :
1. Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat
merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan
dokter untuk tetap menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan
pada
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada
Meningitis TB, TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb.
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan
persetujuan tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa
(informed consent)
2. Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan edukasi
tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan
resiko penularan

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk Diagnosis Tuberkulosis Ekstraparu5

Mendiagnosis TB ekstra paru lainnya seperti TB milier dapat dilakukan


pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, dimana didapatkan
adanya leukopenia/ leukositosis mungkin dapat dijumpai pada tuberkulosis milier.
Reaksi leukemoid dapat terjadi; pasien mungkin mengalami anemia, terjadi
trombositopenia, dan dapat juga terjadi trombositosis. Pada sedimen eritrosit di
dapatkan peningkatan eritrosit pada sekitar 50% pasien. Dapat dilakukan pemeriksaan
kultur mikobakteria, lumbal punksi pada keadaan gangguan serebrospinal,
pemeriksaan tuberkulin tes dan pemeriksaan probe asam nukleat. Pencitraan untuk TB
milier berupa foto toraks, CT scan toraks.7

Pemeriksaan tambahan nuntuk mendiagnosis TB milier berupa pemeriksaan


funduskopi, dimana funduskopi dapat memperlihatkan tuberkel retina. Induksi dahak
memiliki sensitivitas rendah, dan ditemuan sputum BTA-negatif dan kultur sputum
negatif dalam 80% dari pasien karena penyebarannya hematogen. Bronkoskopi
fiberoptik adalah prosedur yang paling efektif untuk memperoleh kultur sputum
(bronchoalveolar lavage).8

2.8 TATALAKSANA
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT(PDPI, 2011).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif selama 2 bulan dan
tahap lanjutan selama 4 bulan.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2minggu.Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan(PDPI, 2011).
Jenis, sifat, dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3xseminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10

Pyrazinamide(Z) Bakterisid 25 (20-30) 35

Streptomycin (S) Bakterisid 15 (15-18) 15

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30

Untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi tuberkulosis dilakukan dengan


memakai panduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Yang termasuk obat lini pertama antara lain isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
etambutol dan streptomisin. Sedangkan obat lini keduanya kanamisin, PAS (Para
Amino Salicylic Acid), tiasetazon, etionamid, sikloserin, amikasin, ofloksasin,
siprofloksasin(PDPI, 2011).
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
Resimen pengobatan tuberkulosis
Kategori Kriteria pasien Resimen pengobatan
pengobatan
Kategori 1 o Pasien baru BTA positif o 2HRZE/ 4H3R3
o Pasien TB paru BTA o 2HRZE/ 4HR
o 2HRZE/ 6HE
negatif foto thorax positif
o Pasien TB ekstra paru
yang berat
Kategori 2 o Pasien kambuh o 2HRZES/HRZE/
o Pasien gagal
5H3R3E3
o Pasien default o 2HRZES/ HRZE/ 5HRE

Hasil pengobatan TB
 Sembuh

Bila hasil hasil pem ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut
negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan pada akhir pengobatan.
 Pengobatan Lengkap

Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, tapi tidak ada


pemeriksaan ulang dahak, khususnya pada akhir pengobatan.
 Gagal

- Pasien yang pemeriksaandahaknya tetappositif atau kembali positif


pada akhir bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan.

- Pasien yang pemeriksaan dahaknya negatifdan foto torakspositif


menjadi dahak positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

 Defaulted atau drop-out

Penderita yang tidak mengambil/meminum obat 2 bulan berturut-turut atau


lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
2.9 KOMPLIKASI
Penyakit tuberkulosis bila tidak ditangani dengan tepat akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi terbagi atas :
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas SOFT (sindrom obstruksi pasca
tuberkulosis), kerusakan parenkim berat  SOPT/fibrosis paru, kor
pulmonal, karsinoma paru, ARDS.

2.10 PENCEGAHAN

 Terapi pencegahan Kemoprofilaksis pada Penderita HIV/AIDS  INH


dosis 5 mg/ kg BB ( tdk lebih 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan

 Pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan.


DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Tuberkulosis. Jakarta : PDPI

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid 3 Edisi V. Jakarta : IPD FKUI

Price, Sylvia Anderson, 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jeremy, et al. 2011. At a Glance Sistem Respirasi Edisi 2. Jakarta EMS

Werdhani, 2011. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen


Ilmu Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia. [online]. Diakses tanggal
3 Mei 2015.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam Terbitan : Kementerian
Kesehatan Nasional. 2014. p. 1–210.
Naik Shweta, B.R Dash. Diagnosis of Extrapulmonary Tuberculosis: Need of the
hour. 2016; p. 1
Medecins Sans Frontieres.Tuberculosis for Clinical, Nurses, Laboratory technicians,
Medical auxiliaries. 2014. [Diunduh pada tanggal 28 Januari 2017]. Tersedia
dalam: http://refbooks.msf.org/msf_docs/en/tuberculosis/tuberculosis_en.pdf
Reyes-Ortiz CA, Soto R, Reynolds JW, Chaparro JMO. Abdominal tuberculosis
presenting as ascites in an older indigenous woman: a case report. JMM Case
Reports [Internet]. 2015;2(3):1–5.
Medecins Sans Frontieres.Tuberculosis for Clinical, Nurses, Laboratory technicians,
Medical auxiliaries. 2014. [Diunduh pada tanggal 28 Januari 2017]. Tersedia
dalam: http://refbooks.msf.org/msf_docs/en/tuberculosis/tuberculosis_en.pdf
Yungian Ku (Orthopedic Departement of Tianjin University). Tuberculosis Bones and
Joints [Diunduh 3 Februari 2017]. Tersedia dari: http://zyywk.tjmugh.com.cn
Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, Sinha SK, Sharma AK. Abdominal tuberculosis of
the gastrointestinal tract: Revisited. World J Gastroenterol.
2014;20(40):14831–40.
Zulkifli Amin, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I
ed. VI : Jakarta. Interna Publishing 2014 : 863-872.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Indonesia Bebas Tuberkulosis.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI 2014
Arto Yuwono Soeroto. Tuberkulosis. Kompendium Tatalaksana Penyakit Respirasi &
Kritis Paru. Jilid I. Perpari. 2012 : 129-141.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Kementerian
Kesehatan 2013.
Diagnosis, Treatment, Public Health Tuberculosis. International Standards For
Tuberculosis Care (ISTC). Edisi 3. 2014
Miliary Tuberculosis. Diunduh pada 22 April 2016 dari
http://emedicine.medscape.com/article/221777-overview#a9
Ophthalmoscopy in the early diagnosis of opportunistic tuberculosis following renal
transplant. Diunduh pada 22 April 2016 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2636020/

Anda mungkin juga menyukai