Anda di halaman 1dari 19

MEMAHAMI DAN MEMPRAKTEKKAN ASUHAN KEPERAWATAN

DALAM PERAWATAN PALIATIF DAN

MANAGEMEN KANKER

Kelompok 7
1.Eva Yulistina

2.Marmadiah Lingga

3.Yusdi Siswono

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

KEPERAWATAN

SAMARINDA

2020
BAB I

FILOSOPI PERAWATAN PALIATIF

A. Pilosophy perawatan Paliatif

Pilosopi perawatan paliatif meyakini bahwa setiap orang

mempunyai hak diobati, meninggal secara bermartabat, mengurangi

rasa nyeri dan pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio dan spritual.

Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang dapat rneningkatkan

kualitas hidup pasien (orang dewasa dan anak-anak) dan keluarga

yang menghadapi masalah yang terkait dengan penyakit yang

mengancam jiwa. Perawatan paliatif merupakan pencegahan dan

penanggulangan dari penderitaan fisik, psikologi, sosial maupun

spiritual. Hal ini dapat menjadi promosi mengenai martabat, kualitas

hidup dan penyesuaian terhadap penyakit progresif (WHO, 2016).

Perawatan paliatif yang didefinisikan oleh the National Consensus

Projec't for Qucilit y Palliative Care (2013) merupakan tujuan akhir

dari perawatan paliatif yaitu mencegah dan mengurangi penderitaan

serta memberikan bantuan untuk memperoleh kualitas kehidupan

terbaik bagi pasien dan keluarga mereka tanpa memperhatikan

stadium penyakit atau kebutuhan terapi lainnya.

Perawatan paliatif adalah perawatan yang bisa didapatkan para

pasien yang menderita penyakit kronis dengan stadium lanjut, yang

bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peningkatan


hidup dilakukan dengan cara pendekatan dari sisi psikologis,

psikososial, mental serta spiritual pasien, sehingga membuat pasien

lebih tenang, bahagia, serta nyaman ketika menjalani pengobatan .

Pelayanan paliatif diberikan secara tim multidisiplin yang

bekerja sama untuk memberikan pelayanan personal pada pasien

paliatif. Tim paliatif ini terdiri dari dokter, perawat, psikolog, ahli

gizi, apoteker, pekerja sosial dan pemberi pelayanan spiritual.

Pendekatan dengan citra tim multidisiplin ini memungkinkan tim

perawatan paliatif untuk mengatasi masalah fisik, emotional,

spiritual, dan sosial yang ditimbulkan oleh penyakit (Effendy, 2014).

Perawatan paliatif yang efektif membutuhkan pengkajian yang

akurat untuk memenuhi kebutuhan personal pasien seperti kebutuhan

emosional, fisik dan perencanaan yang tepat. Perawatan paliatif ini

berpusat pada pasien dan diberikan oleh multi profesional yang

bekerjasama dengan pasien dan keluarganya (Effendy, 2014).

B. Elemen dalam perawatan paliatif

menurut National Consensus Project dalam Campbell (2013), meliputi :

1. Populasi pasien.

Dimana dalam populasi pasien ini mencakup pasien dengan

semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam

kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga.

Dimana pasien dan keluarga merupakan bagian dari perawatan

paliatif itu sendiri.

3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan

paliatif berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan

berlanjut hingga sembuh atau meninggal sampai periode duka

cita.

4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat

multidimensi yang bertujuan untuk menanggulangi gejala

penderitaan yang termasuk dalam aspek fisik, psikologis, sosial

maupun keagamaan.

5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran,

perawat, farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator

pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog, asisten perawat,

ahli diet, sukarelawan terlatih.

6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan

Tujuan perawatan paliatif adalah mencegah dan mengurangi

gejala penderitaan yang disebabkan oleh penyakit maupun

pengobatan.

7. Kemampuan berkomunikasi

Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan informasi,

mendengarkan aktif, menentukan tujuan, membantu membuat

keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap individu yang


membantu pasien dan keluarga.

8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka

9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem

pelayanan kesehatan yang ada dapat menjamin koordinasi,

komunikasi, serta kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah

krisis dan rujukan yang tidak diperukan.

10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana

timharus bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh

cakupanusia, populasi, kategori diagnosis, komunitas, tanpa

memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan

instrumental pasien.

11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup

pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan

yang dapat mewujudkan lingkungan klinis yang optimal.

12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas

membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan

pasien.

Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan asuhan keperawatan

paliatif diantaranya :

a. Perawatan paliatif dimulai apabila pengobatan secara medis tidak

lagi efektif, karena organ-organ vital dalam tubuh pasien sudah

mengalami kegagalan, atau pasien dan keluarga mengatakan tidak

lagi melanjutkan terapi.


b. Akuntabilitas

Perawat bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan

keperawatan serta mengenal batas peran dan fungsi perawat

dalam bertindak.

c. Berdasarkan kode etik keperawatan

d. Menghormati hak”privasi pasien terhadap asuhan keperawatan

yang diberikan kepada pasien, menghormati nilai, kebiasaan,

keyakinan/agama.

e. Legal

Pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan keperawatan.

Tujuan Perawatan Paliatif

Tujuan perawatan paliatif adalah untuk mengurangi penderitaan,

memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan

support kepada keluarga penderita. Meski pada akhirnya penderita

meninggal, yang terpenting sebelum meninggal penderita siap secara

psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang

dideritanya.

Perawatan paliatif diberikan sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir

hayat. Artinya tidak memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih

bisa disembuhkan atau tidak, mutlak perawatan paliatif harus diberikan

kepada penderita. Perawatan paliatif tidak berhenti setelah penderita

meninggal, tetapi masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada


anggota keluarga yang berduka.

Kemenkes (2013), menjelaskan prinsip pelayanan paliatif pasien

kanker:

1) menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain,

2) menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses

normal,

3) tidak bertujuan mempercepat atau menunda kematian,

4) mengintegrasikan aspek psikologis, social dan spiritual,

5) memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,

6) memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,

7) menggunakaan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan

keluarganya,

8) menghindari tindakan sia-sia.

C. Kondisi Umum/Performance status

Dalam dunia kedokteran (terutama onkologi/bagian kanker)

kondisi umum atau performance status atau dapat diartikan status kinerja

dinilai untuk menentukan kualitas hidup seseorang dan aktivitas

kehidupan sehari-harinya. Penilaian ini nantinya akan digunakan untuk

pertimbangan dalam menentukan dapat tidaknya seseorang mendapatkan

kemoterapi, bagaimana penyesuaian dosisnya, dan intensitas terapi

paliatif. Ada beberapa sistem skoring yang digunakan untuk menilai

kondisi umum ini, namun yang paling sering digunakan adalah

Karnofsky's score dan ECOG score, untuk anak biasanya menggunakan


Lansky'sscore.

Karnofsky score

disusun oleh Dr. David A. Karnofsky dan Dr. Joseph H. Buchenal pada

tahun 1949.

100- normal, tidak ada keluhan, tidak ada bukti penyakit

90-- mampu melakukan aktivitas normal, gejala dan tanda

minordaripenyakit

80-- aktivitas normal dengan usaha, gejala dan tanda

penyakit(+)

70-- merawat diri, tidak mampu beraktivitas normal atau

bekerjaaktif

60-- kadang membutuhkan bantuan.

50-- membutuhkan bantuan dan perawatan medis rutin

40-- lumpuh, membutuhkan asisten dan perhatian lebih

30-- lumpuh parah, indikasi mondok, meski kematian belum

dekat

20-- sangat sakit, butuh perawatan di RS, butuh terapi

suportifaktif

10--sekarat, proses yang fatal berlangsung cepat

0 --mati

ECOGSCORE
ECOG = Eastern Cooperative Oncology Group, Zubrod dari

nama dr. C. Gordon Zubrod seorang onkologis dari USA.

Skore ini di publikasikan oleh Oken et al. Tahun 1982

0 – Asimptomatik, aktif sepenuhnya, mampu melakukan

semua aktivitas Tanpa hambatan

1 – Simptomatik namun bisa sepenuhnya berjalan,

kegiatan fisik terbatas dan bisa melakukan kerja ringan

atausehari-hari.

2 – Simptomatik, <50% berada di tempat tidur sepanjang

hari, dapat berjalan dan merawat diri tapi tidak bisa

melakukan,aktivitaskerja.

3 – Simptomatik, > 50% di tempat tidur, > 50% jam

terbangun,

bisa merawat diri secara terbatas.

4 – lumpuh total, tidak bisa melakukan rawat diri

apapun, sepenuhnya harus di tempat tidur atau kursi.

5–Mati

Lanskyscore  

Skoring ini digunakan untuk anak yang kesulitan

mengekspresikan kualitas hidupnya atau membutuhkan

observasi lebih lanjut, biasanya digunakan untuk anak <

16 tahun. Skore ini disusun oleh Lansky et all pada 1987.


100–aktif,normal

90 –hambatan minor pada aktivitas fisik berat

80 –aktif, tapi lebih cepat lelah

70 – hambatan lebih besar saat bermain dan waktu untuk

aktivitas,bermainkurang

60 – bisa beraktivitas, namun bermain minimal, lebih

suka ikut dalam permainan yang tenang/santai

50 – banyak berbaring sepanjang hari, mampu

berpakaian, tidak aktif dalam semua permainan

40 –terutama sering di tempat tidur, melakukan aktivitas

yangtenang

30 –selalu di tempat tidur, butuh bantuan untuk

permainanringan/tenang

20 –seringtidur,aktivitaspasif

10 –tidak bermain, tidak keluar dari tempat tidur

0    –tidak responsif

D. Aspek keperawaatan paliatif

Pada Pasien Paliatif Permasalahan perawatan paliatif yang

sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang dapat

mengancam diri sendiri seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial,

kultural serta spiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul


pada pasien yang menerima perawatan paliatif dilihat dari persepktif

keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial,

konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek

spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

1. Kebutuhan Fisik

Kebutuhan fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan

dari pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan

pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan

yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara

tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat

diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan

apabila data subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal

tiga kriteria (NANDA, 2015).

2. Kebutuhan Psikologis

Kebutuhan psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif

adalah kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan

ialah diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga

menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga

(Misgiyanto & Susilawati, 2014). Durand dan Barlow (2006)

mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang

ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah

dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya

bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan


perasaan khawatir. Menurut Carpenito (2000) kecemasan

merupakan keadaan individu atau kelompok saat mengalami

perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom

dalam berespon terhadap ketidakjelasan atau ancaman tidak

spesifik.

3. Kebutuhan Sosial

Kebutuhan pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya

ketidaknormalan kondisi hubungan sosial pasien dengan orang

yang ada disekitar pasien baik itu keluarga maupun rekan kerja

(Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial adalah suatu

keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain

menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend,

1998 ). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu

mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu

berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin

merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu

membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina

hubungan yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).

4. Kebutuhan Spiritual

Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul

pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual

dapat terjadi karena diagnosa penyakit kronis, nyeri, gejala fisik,

isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien


dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat

dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan

kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan

tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, dan kekuatan

yang lebih besar dari dirinya (Hamid, 2008). Definisi lain

mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam

prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan

diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011).

Peran perawat dalam perawatan paliatif.

a. Dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam

memberikan asuhan keperawatan

b. Menetapkan prioritas asuhan keperawatan, mengelola waktu

secara efektif dan saran-saran untuk meningkatkan kualitas hidup.

c. Sebagai konselor bagi pasien dan keluarga dalam menghadapi

perubahan kesehatan, ketidakmampuan, dan kematian.

d. Sebagai komunikator yang terapeutik dan pendengar yang baik

dalam memberikan dukungan dan perhatian.

e. Membantu pasien tetap independen sesuai dengan kemampuan

mereka, sehingga kenyamanan terpenuhi serta meningkatkan

mutu hidup.

Penerapan asuhan keperawatan paliatif

1. Penanganan gejala dengan obat-obatan dan atauintervensi non


farmakologis.

2. Adanya gangguan psikososial yang bersumber pada kondisi

penyakit pasien, kehidupan pribadi, agama dll.

Pengkajian :

a. Anamnesa secara teliti baik daripasien maupun keluarga

b. Pemeriksaaan fisik, penunjang, status mental dan laporan harian

selama perawatan.

c. Gejala-gejala yang berhubungan.

Diagnosa keperawatan :

1. Perubahan nutrisi b/d faktor psikologis (stress, keengganan untuk

makan)

2. Gangguan mobilitas fisik b/d nyeri

3. Nyeri kronik

4. Ansietas b/d ancaman terhadap kematian.

5. Resiko infeksi b/d penyakit yang diderita (kanker)


BAB II

MANAJEMEN NYERI

KANKER

1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan, yang berhubungan dengan adanya potensi

kerusakan pada jaringan atau gangguan pada metabolisme

jaringan. Nyeri neuropatik ( kronis ), terjadi akibat

pemprosesan input sensorik yang abnormal oleh sistem syaraf

pusat/ perifer. Terdapat sejumlah besar nyeri neropatik yang

seringkali sulit diatasi, misal : nyeri kanker, nyeri punggung

bawah, neropati diabetik, luka pada sum-sum tulang belakang.

2. Penyebab

Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab dari

timbulnya nyeri kanker adalah :

a.Nyeri yang disebabkan langsung oleh tumor, yang

menyebabkan kompresi syaraf sentral maupun perifer.

b.Nyeri akibat pengobatan kanker, seperti kemoterapi, yang

menyebabkan neuropati dan nekrosis jaringan yang

menimbulkan nyeri.

c.Nyeri yang tidak berhubungan dengan tumor, biasanya

tergantung pada kondisi pasien yang mengalami distensi


lambung, infeksi, nyeri muskuloskletal.

3. Komponen nyeri

a.Nyeri Nociceptive

Merupakan nyeri yang distimulasi oleh reseptor nyeri.

Nyeri jenis ini berasal dari respon yang terjadi akibat,

keruasakan pada tubuh. Pengobatan pada nyeri ini, dapat

menggunakan golongan anlgesik biasa atau yang sudah

umum, seperti : paracetamol, NSAID, atau golongan opioid.

b.Nyeri neuropathic

Nyeri ini disebabkkan karena adanya luka atau

disfungsi sistem syaraf, nyeri jenis ini tidak dapat diobati

dengan analgesik biasa sehingga obat2 yang sering digunakan

seperti, antidepresan, antikonvulsan dan beberapa golongan

beberapa obat lain. Nyeri ini juga biasa disebabkan karena

tekanan atau infiltrasi syaraf oleh karena kanker.

4. Manifestasi nyeri

Berdasarkan gejala-gejala khusus

- Perdarahan abnormal

- Benjolan

- Perubahan kutil atau tahi lalat

Berdasarkan gejala umum :

- Rasa nyeri hebat

- Anoreksia
- Penurunan berat badan mendadak

- Perasaan amat letih

- Kepenatan total

5. Terapi Nyeri kanker

a. Analgetika narkotik (anlgetika sentral) / Golongan opioid

Analgetika narkotik merupakan obat penghilang rasa

sakit, Yang bekerja menurut susunan syaraf pusat, mempunyai

efek anlgesik kuat dan digunakan untuk nyeri dengan intensitas

tinggi, misalnya nyeri karena patah tulang, nyeri kanker, nyeri

setelah pembedahan. Contohnya morfin 5-10 mg/4 jam,

pentanyl 50-100 mcg/hr, codein 15-60 mg/6 jam, Methadon 3-

10 mg/4 jam dll.

b. Analgetika non narkotik (analgetika perifer)

Kelompok obat ini selain mengurangi rasa sakit, juga

berkahsiat menurunkan suhu badan. Efek penurunan suhu

dengan mempengaruhi hipotalamus yang merangsang

pelebaran pembuluh tepi, aktivitas kelenjar keringat meningkat,

terjadi pengeluaran keringat dan suhu tubuh lepas bersama

dengan keringat. Efek analgesik dengan mempengaruhi

hipotalamus untuk meningkatkan nilai ambang nyeri dan

menghambat prostaglandin yang membawa impul nyeri

kepusat reseptor nyeri tepi, contohnya paracetamol 500-650

mg/8 jam, antalgin 2 gram/hari, asam salsilat 250-1000 mg/4


jam, tramadol maksimal 400 mg/hr.

C. Analgetika antiinflamasi non steriod ( AINS).

Beberapa AINS dibawah ini umumnya bersifat anti

inflamasi, analgetika, dan anti peretika. Efek antiperetika baru

terlihat pada dosis yang lebih besar dari pada efek

analgesiknya. Mekanisme kerja dari AINS berdasarkan pada

hambatan sintesa prostaglandin. AINS merupakan golongan

obat analgetik dan anti inflamasi yang efektik untuk penangan

nyeri kanker dengan tingkat nyeri ringan. Contohnya

Ibupropen 300-600 mg/hr, Keterolac 15-30 mg/6 jam,

dicolpenact 25-50 mg/hr, ketoprofen 25-100 mg/8 jam, asam

mefenamat 250-500 mg/hr.


Daftar Pustaka

Tim pokja SDKI DPP PPNI,2017 Standar diagnosis keperawatan


Indonesia,Edisi I. Jakarta.

Kemenkes RI. 2013. Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kanker.


Jakarta.

Sugiaman, S. 2016. Perawatan Paliatif Apa Sih?. http://i-


careclinic.com/perawatan-paliatif- apa-sih.html (Diakses 5 November 2016).

Crooks, V, Waller S, et al. The use of the Karnofsky Performance


Scale in determining outcomes and risk in geriatric outpatients. J
Gerontol. 1991; 46: M139-M144. de Haan R, Aaronson A, et al.
Measuring quality of life in stroke. Stroke. 1993; 24:320- 327.

Anda mungkin juga menyukai