Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Partus prematurus iminen


A. Definisi4,5
Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung pada
umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi
terakhir dengan berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram. 
B. Faktor risiko6
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm
adalah
 Janin dan plasenta
1. Perdarahan trimester awal
2. Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa
3. Ketuban pecah dini (KPD)
4. Pertumbuhan janin terhambat
5. Cacat bawaan njanin
6. Kehamilan ganda
7. polihidramnion
 Ibu
1. Penyakit berat pada ibu
2. Diabetes Mellitus
3. Preeklamsia/ hipertensi
4. Infeksi saluran kemih/genital/gemeli
5. Penyakit infeksi dengan demam
6. Stress patologik
7. Kelainan bentuk uterus
8. Trauma
9. Perokok berat
10. Kelainan imunologik

1
11. Riwayat persalinan pretem/abortus berulang
12. Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
C. Epidemiologi6
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain:
1. Persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian
induksi ataupun seksio sesarea;
2. PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan
3. PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI
berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan
selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah
dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok
etnis.PPI pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan
dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih
umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi
menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada
usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada
usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada
usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi
peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi
D. Kriteria diagnosis6
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259
hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang
sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10
menit

2
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku
menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung
bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar
50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan
TheAmerican Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk
mendiagnosis PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit
atau delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada
serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
E. Pemeriksaan penunjang6,7
a. Laboratorium
 Pemeriksaan kultur urine
 Pemeriksaan gas dan pH darah janin
 Pemeriksaan darah tepi ibu
 Jumlah lekosit
 C-reactive protein . CRP ada pada serum penderita yang menderita
infeksi akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk
mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman
Pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP dibentuk di hepatosit
sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
b. Pemeriksaan ultrasonografi
Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan seviks <
3 cm (USG) , dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm.
Sonografi serviks transperineal lebih disukai karena dapat

3
menghindari manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD
dan plasenta previa.
F. Penatalaksanaan1,6,7
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik,
yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat
diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis maintenance
3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan
salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek
samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan
per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan
dosis per infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam
sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance).
Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6
gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam
(maintenance). Namun obat ini jarang digunakan karena efek
samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin.
Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada,
dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,
nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambat cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk
produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat

4
COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko
kardiovaskular pada janin.
Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
indometasin.Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam
konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas
seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika
lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali
keadaan pasien stabil dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-
mimetik.
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress
syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising
enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan
kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia
kehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang diberikan ialah
deksametason atau betametason.Pemberian steroid ini tidak diulang
karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus
tunggal kortikosteroid ialah:
a. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

5
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan
Thyrotropinreleasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan
kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan
produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena
inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.

3. Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.


Pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian
korioamnionitis dan sepsis neonatorum.Antibiotika hanya diberikan
bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti
pada kasus KPD.Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan
antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.
G. Kontraindikasi penundaan persalinan1,6,7
Mutlak
Gawat janin, korioamnionitis, perdarahan antepartum yang banyak.
Relatif
Gestosis; diabetes mellitus (beta-mimetik), pertumbuhan janin terhambat,
pembukaan serviks lebih dari 4 cm.
H. Cara persalinan1,6,7
a. Janin presentasi kepala : pervaginam dengan episiotomi lebar dan
perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
b. Indikasi seksio sesarea :
 Janin sungsang
 Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih
kontroversial)
 Gawat janin, bila syarat pervaginam tidak terpenuhi

6
 Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
ologohidramnion, dan cairan amnion berbau. Bila syarat
pervaginam tidak terpenuhi
 Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta
previa, dan sebagainya).

Lindungi bayi dengan handuk hangat, usahakan suhu 36-37C ( rawat


intensif di bagian NICU ), perlu dibahas dengan dokter bagian anak. Bila
bayi ternyata tidak mempunyai kesulitan (minum, nafas, tanpa cacat)
maka perawatan cara kangguru dapat diberikan agar lama perawatan di
rumah sakit berkurang.

I. Komplikasi1
a. Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering
terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka
episiotomi. Bayi-bayi preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih
tinggi; Morales (1987) menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu
yang menderita anmionitis memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih
besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing
enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3 kali lebih besar.
b. Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa
bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus
dapat terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar
karena adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan
oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi
prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang
memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis,
akibatnya terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa
menyebabkan kelainan lainnya dan pada beberapa kasus bisa
berakibat fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika penyakitnya berat,

7
mungkin mereka perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator dan
diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui
sebuah selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
c. Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan
gangguan refleks menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya
perdarahan otak atau serangan apneu. Selain paru-paru yang belum
berkembang, seorang bayi prematur juga memiliki otak yang belum
berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu (henti nafas), karena
pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk mengurangi
mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan.
Jika oksigen maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat
tidak matang sangat rentan terhadap perdarahan (perdarahan
intraventrikuler) atau cedera .
d. Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi
pemberian makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil
mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan,
sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan
bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin
akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.
e. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia
retrolental)
f. Displasia bronkopulmoner.
g. Penyakit jantung.
h. Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang
normal untuk membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil
pemecahan sel darah merah) dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru
lahir, terutama yang lahir prematur, memiliki kadar bilirubin darah
yang meningkat (yang bersifat sementara), yang dapat menyebabkan
sakit kuning (jaundice).

8
i. Peningkatan ini terjadi karena fungsi hatinya masih belum matang dan
karena kemampuan makan dan kemampuan mencernanya masih
belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan akan
menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
j. Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna.
Mereka belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya
melewati plasenta.
k. Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih
tinggi. Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis
nekrotisasi (peradangan pada usus).
l. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.

9
II. Plasenta previa totalis
A. Definisi dan Klasifikasi
Plasenta previa ialah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim sedemikian rupa sehingga menutupi sebagian atau seluruh dari
ostium uteri internum.Klasifikasi :8
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian
ostium uteri internum
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya
berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.
Jarak yang lebih dari 2cm dianggap plasenta letak normal.

Gambar 1. Plasenta Previa (Hacker, 2007)

Menurut de Snoo, berdasarkan keadaan pada saat pembukaan 4 -5 cm:11

a. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm


teraba plasenta menutupi seluruh ostea.

10
b. Plasenta previa lateralis : bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian
pembukaan ditutupi oleh plasenta, dibagi 3 :
1. Plasenta previa lateralis posterior : bila sebagian menutupi ostea
bagian belakang.
2. Plasenta previa lateralis anterior : bila sebagian menutupi ostea
bagian depan.
3. Plasenta previa marginalis : bila sebagian kecil atau hanya
pinggir ostium yang ditutupi plasenta.
B. Epidemiologi8
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi, dan
pada usia diatas 30 tahun. Padabeberapa rumah sakit umum pemerintah
dilaporkan insiden plasenta previa berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%.
Di Negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1%, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya wanita hamil paritas tinggi.
Dengan meluasnya penggunaan ultrasnografi dalam obstetrik yang
menungkinkan deteksi lebih dini insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.
C. Faktor Resiko9
1. Operasi sesar sebelumnya. Pada wanita–wanita yang pernah
menjalani operasi sesar sebelumnya, maka sekitar 1% wanita
tersebut akan mengalami plasenta previa. Resiko akan makin
meningkat setelah mengalami empat kali atau lebih operasi sesar
dimana 10% wanita tersebut akan mengalami plasenta previa.
2. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap
menerima hasil konsepsi.
3. Riwayat tindakan medis yang dilakukan pada uterus, seperti dilatasi
dan kuretase atau aborsi medisinalis.
4. Multiparitas dan jarak kehamilan. Plasenta previa terjadi pada 1 dari
1500 wanita yang baru pertama kali hamil. Bagaimanapun, pada
wanita yang telah 5 kali hamil atau lebih, maka resiko terjadinya
plasenta previa adalah 1 diantara 20 kehamilan. Secara teori plasenta
yang baru berusaha mencari tempat selain bekas plasenta

11
sebelumnya.
5. Usia ibu hamil. Diantara wanita-wanita yang berusia kurang dari 19
tahun, hanya 1 dari 1500 yang mengalami plasenta previa. Satu dari
100 wanita yang berusia lebih dari 35 tahun 3 kali lebih berisiko
akan mengalami plasenta previa.
6. Kehamilan dengan janin lebih dari satu.
7. Kebiasaan tidak sehat seperti merokok dan minum alkohol. Pada
perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi 2
kali lipat.
8. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat
perubahan atrofik dan inflamatorotik.
9. Adanya gangguan anatomis/tumor pada rahim sehingga
mempersempit permukaan bagi penempelan plasenta.
10. Adanya jaringan parut pada rahim oleh operasi sebelumnya.
Dilaporkan, tanpa jaringan parut berisiko 0,26%. Terdapatnya
jaringan parut bekas operasi berperan menaikkan insiden dua sampai
tiga kali lipat.
11. Riwayat plasenta previa sebelumnya, berisiko 12 kali lebih besar.
12. Malnutrisi ibu hamil.
D. Etiologi8
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim
belum diketahui secara pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista
menimpa desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang
lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin
sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut,
cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan
sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di
endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor resiko bagi
terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan
insiden dua sampai tiga kali.Pada perempuan perokok dijumpai insidensi

12
plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat.Hipoksemia akibat karbon mono-
oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi
sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang mengalami hipertrofi akan
mendekati atau menutupi ostium uteri internum. Plasenta yang terlalu
besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa
menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
E. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada timester ketiga
dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya
segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Dengan
melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta
yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat
pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada
bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi
perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan
intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen
bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan
terjadi (unavoidable bleeding).
Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh
karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi
dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal,
dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup
dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan
kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta yang
akan mengakibatkan perdarahan yang berlangsung lebih banyak dan
lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan
berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang
terjadinya perdarahan. Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena

13
segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu
ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau
letak rendah, perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai
persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih
banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama sudah bisa
terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh
kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat
perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan
lebih mudah terjadi ke luar rahim dan tidak membentuk hematoma
retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan
tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat
jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.10,11
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah
rahim yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari tropoblas,
akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dindig uterus. Lebih sering
terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta
yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus vesica urinaria dan
rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering
terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah
rahim dan serviks yang rapuh mudah robek oleh sebab kurangnya elemen
otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan
kejadian perdarahan pasca persalanan pada plasenta previa, misalnya
dalam kala 3 karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retensio
plasenta) atau setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak dapat
berkontraksi dengan baik.8
F. Manifestasi Klinis9,10
1. Gejala klinis
a. Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab, tanpa
rasa nyeri, dan biasanya berulang. Darah biasanya berwarna merah
segar.
b. Bagian terdepan janin tinggi (floating).

14
c. Sering dijumpai kelainan letak janin.
d. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan
tidak fatal, kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya,
sehingga pasien sempat dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan
berikutnya (reccurent bleeding) biasanya lebih banyak.
e. Janin biasanya masih baik.
2. Pemeriksaan inspekulo
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan cervix dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum,
adanya perdarahan yang berasal dari plasenta harus dicurigai.

3. Penentuan letak plasenta tidak langsung


Dapat dilakukan dengan radiografi, radiosotop dan
ultrasonografi. Akan tetapi pada pemerikasaan radiografi clan
radiosotop, ibu dan janin dihadapkan pada bahaya radiasi sehingga
cara ini ditinggalkan. Sedangkan USG tidak menimbulkan bahaya
radiasi dan rasa nyeri dan cara ini dianggap sangat tepat untuk
menentukan letak plasenta.

USG transbadominal dapat dilakukan untuk mengetahui letak


implantasi plasenta namun USG transabdominal kurang sensisitf
dalam melihat bagian plasenta posterior, karena kepala atau bagian
terbawah janin dapat menutupi plasenta atau hasil USG terhalangi
oleh vesica urinaria yang penuh. Oleh karena itu USG transvaginal
lebih akurat dalam mendiagnosis plasenta previa.Selain itu, pada USG
transvaginal juga sangat sensitif untuk mengetahui jarak pinggir
plasenta dari OUI (sensitivitas 87,5% dan spesivitas 98,8%).

4. Penentuan letak plasenta secara langsung


Pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan
perdarahan banyak. Pemeriksaan harus dilakukan di meja operasi.

15
Perabaan forniks. Mulai dari forniks posterior, apa ada teraba tahanan
lunak (bantalan) antara bagian terdepan janin dan jari kita.
Pemeriksaan melalui kanalis servikalis, jari di masukkan hati-hati
kedalam OUI untuk meraba adanya jaringan plasenta.

G. Penatalaksanaan
Semua penderita perdarahan antepartum tidak boleh dilakukan
pemeriksaan dalam kecuali kemungkinan plasenta previa telah
disingkirkan atau diagnosa solusio plasenta telah ditegakkan.
Penatalaksanaan plasenta previa dibedakan menjadi 2, yaitu:11
a. Perawatan konservatif
Dilakukan pada bayi prematur dengan umur kehamilan < 37 minggu
dengan syarat denyut jantung janin baik dan perdarahan sedikit atau
berhenti.
Cara perawatan :
 Observasi ketat di kamar bersalin selama 24 jam
 Keadaan umum ibu diperbaiki, bila anemia berikan transfusi PRC
(Packed Red Cell) sampai Hb 10-11 gr%
 Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin (kemungkinan
perawatan konservatif gagal) dengan injeksi
Betametason/Deksametason 12 mg tiap 12 jam bila usia kehamilan
< 34 minggu
 Bila perdarahan telah berhenti, penderita dipindahkan ke ruang
perawatan dan tirah baring selama 2 hari, bila tidak ada perdarahan
dapat mobilisasi.
 Observasi perdarahan, denyut jantung janin dan tekanan darah
setiap 6 jam.
 Bila perdarahan berulang dilakukan penanganan aktif
 Bila perdarahan ulang tidak terjadi setelah dilakukan mobilisasi
penderita dipulangkan dengan nasehat :
- Istirahat,

16
- Segera masuk Rumah Sakit bila terjadi perdarahan lagi
- Dilarang koitus dan kontrol tiap minggu
b. Perawatan aktif
Segera dilakukan terminasi kehamilan, terminasi kehamilan dilakukan
jika janin yang dikandung telah matur, IUFD atau terdapat anomali
dan kelainan lain yang dapat mengurangi kelangsungan hidupnya,
pada perdarahan aktif dan banyak, jika perdarahan aktif (perdarahan >
500 cc dalam 30 menit) dan diagnosa sudah ditegakkan segera
dilakukan seksio sesarea dengan memperhatikan keadaan umum ibu.
Perawatan aktif dilakukan apabila :
 Perdarahan aktif
 Perkiraan berat bayi > 2000 gram
 Gawat janin
 Anemia dengan Hb < 6 g%, janin hidup, perkiraan berat bayi
>2000 gram.11
Pada plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan
mendekati ostium uteri internum ataupun yang menutupi ostium uteri
internum pada umur kehamilan 18-24 minggu, evaluasi kembali
diperlukan untuk mengetahui lokasi plasenta pada trimester ke 3.
Plasenta yang menutupi OUI lebih dari 15 mm sangat besar
kemungkinannya untuk megalami plasenta previa pada kehamilan
aterm. Ketika pinggir plasenta berada diantara 20 mm dari OUI dan
menutupi sampai 20 mm dari OUI pada umur kehamilan 26 minggu,
USG sebaiknya diulangi dengan rutin bergantung pada umur
kehamilan, jarak dari OUI, dan gejala klinis seperti perdarahan, karena
perubahan posisi pada plasenta sangat memungkinkan. Overlap yang
melebihi 20 mm atau lebih pada OUI kapanpun pada trimester ke 3
sangat besar kemugkinan untuk dilakukan seksio sesarea. Jarak antara
OUI dan pinggir plasenta pada USG transvaginal setelah umur
kehamilan 35 minggu sangat bermanfaat untuk menentukan persiapan
rute kelahiran. Ketika pinggir plasenta berada lebih 20 mm dari OUI,

17
maka dapat dilakukan persalinan pervaginam dengan kemungkinan
keberhasilan yang tinggi. Jarak pinggir plasenta antara 0 sampai 20
mm dari OUI, rasio untuk dilakukan tindakan seksio sangat tinggi,
meskipun persalinan pervaginam masih memungkinkan bergantung
pada keadaan klinis. Dan pada derajat overlap pada 0 mm atau lebih
pada usia kehamilan lebih dari 35 minggu merupakan indikasi untuk
dilakukannya seksio sesarea.12
H. Komplikasi
Komplikasi dari plasenta previa termasuk seksio sesarea,
perdarahan post partum, malpresentasi janin, kematian ibu akibat
perdarahan uterus dan disseminated intravascular coagulation.13
I. Prognosis
Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik
jika dibandingkan dengan masa lalu.Hal ini berkat diagnosis yang lebih
dini dan tidak invasif dengan USG, disamping ketersediaan transfusi
darah dan infus cairan telah ada di hampir semua rumah sakit kabupaten.
Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan terutama bagi kasus yang
pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat tinggal jauh dari
fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan paritas
tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga berencana
menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian banyak
komplikasi maternal dapat dihindarkan. Namun, nasib janin masih belum
terlepas dari komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan
maupun karena intervensi seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur
belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan konservatif
diberlakukan. Pada satu penelitian yang melibatkan 93.000 persalinan
oleh Crane dan kawan-kawan dilaporkan angka kelahiran prematur 47%.
Hubungan hambatan pertumbuhan janin dan kelainan bawaan dengan
plasenta previa belum terbukti.8 Butler dan kawan-kawan mendapatkan
bahwa wanita dengan plasenta previa memeiliki kadar serum alpha-
fetoprotein yang dapat meningkatkan resiko perdarahan pada trimeseter

18
tiga dan kelahiran preterm.1

19
BAB IV

PEMBAHASAN
Pasien Ny.P G2P1A0 29 tahun hamil 36 minggu 5 hari datang dengan
keluhan keluar darah dari jalan lahir. Pada kasus ini didapatkan pasien dengan
partus prematurus imminens penatalaksanaan yang dilakukan terlebih dahulu
dengan pematangan surfaktan paru selama 2 hari dengan kortikosteroid
deksametason 6mg/12jam dan pemberian tokolitik nifedipin 10mg/8jam
pemberian ini dilakukan dengan tujuan mencegah mortalitas, morbiditas bayi
prematur serta untuk menstimulir surfaktan paru janin. Pada pemeriksaan USG
didapatkan adanya plasenta previa totalis. Plasenta previa adalah suatu kelainan
dimana plasenta berimplantasi pada segmen bawah uterus sehingga dapat
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Implantasi plasenta yang
normal ialah pada dinding depan, dinding belakang rahim, atau di daerah fundus
uteri.
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang
endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang
baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada:

1. Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek


2. Mioma uteri
3. kuretase yang berulang
4. Umur lanjut
5. Bekas seksio sesarea
6. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau pemakai
kokain. Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi
dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat (lebih
dari 20 batang sehari).
Pada kasus ini kemungkinan blastokista berimplantasi pada segmen bawah
rahim belum diketahui penyebabnya secara pasti. Kemungkinan blastokista
berimplantasi secara kebetulan pada SBR.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham M.D, et all. 2005. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics.


23nd ed.McGraw- Hill.
2. Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine.
5th ed.Saunders.

3. Saifudin, Abdul Bahri.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal Neonatal. JHPIEGO. Jakarta. 2002.

4. Joseph HK. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri. Nuha Medika:


Yogjakarta. 2010

5. APN. Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: Institusi


DEPKES RI. 2008

6. Martaadisoebrata,Djamhoer. Obstetri Patologi.EGC;Jakarta. 2004.

7. Nugroho,Taufan. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan. Nuha


Medika; Yogjakarta. 2010

8. Chalik, T.M.A. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan.


Dalam Saifudin, AB, Rachimhadhi, T dan Winkjosastro, GH. Ilmu
Kebidanan. ed. 4. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009:
p. 495-503

9. Hanafiah, TM. Plasenta Previa. USU Digital Library. 2004. Available at :


http://www.usu.ac.id/ (Accessed : june 152019).

10. Oppenheimer, L et. al. Diagnosis and Management of Placenta Previa.


Society of Obstetricians and Gynaecologists. Canada. 2007a.

11. Doddy, A. K., et al. StandarPelayanan Medik Ilmu Obstetri dan


Ginekologi RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat. RSU Mataram :
Mataram. 2008.

12. Oppenheimer L, 2007b. Diagnosis and Management of Placenta Previa.


SOGC Clinical Practice Guideline. J Obstet Gynaecol Can
2007;29(3):261-266.

13. Gibbs, RS et. al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, Ed 10th ,


Lippincott Williams & Wilkins. New York. 2008.

21

Anda mungkin juga menyukai