Anda di halaman 1dari 22

Tarif PPh Pasal 22

Atas impor :
1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari
nilai impor;
2. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
3. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

1. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah,


BUMN/BUMD (angka II butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga
pembelian dan tidak final.
2. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha
lainnya yang bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas
adalah sebagai berikut:

Jenis Bahan SPBU Swastanisani SPBU Pertamina (%


Bakar (% dari penjualan) dari penjualan)

Premium 0,3 0,25

Solar 0,3 0,25

Premix/ Super TT 0,3 0,25

Minyak Tanah 0,3

Gas LPG 0,3

Pelumas 0,3

1
Catatan: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final. Atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7)
ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.
IV. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
(8KB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali,
dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-
benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
V. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang
dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat
pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat
penjualan;

2
4. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat
Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat
pembelian.
VI.Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan PelaporanPPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importer dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22
atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor
Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan
ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran
pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas
nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut
menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke
KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama
Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut
atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal
10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib
Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran

3
Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan
bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pembayaran PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Maksudnya, pada akhir tahun,
cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi. PPh
Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank persepsi
oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib dibayar langsung
adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan bendahara.

Kewajiban Membuat Bukti Pungut


Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor PPh
yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkannya
dalam SPT Masa PPh Pasal 22. Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan
dapat dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan. Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke
agen atau penyalur dikenakan atas PPh bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki
usaha tersebut, maka hanya wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong.

e-Filing PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. Melalui e-Filing di
OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre di KPP lagi. Cukup impor file CSV
SPT Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT ke OnlinePajak. Lalu lapor dan dapatkan bukti
lapornya dalam 1 klik saja.

4
Penyetoran, Pelaporan dan Bukti Potong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh
Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap
penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh
Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai
pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan.
Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.

1. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010


tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari
yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah
dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP
ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor
penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP
dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.

5
2. Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada
orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.
Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh
terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan
pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan
Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20
Nopember 2010.

Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian
hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah

Bukti Potong PPh Pasal 23

Berikut Contoh Bukti potong PPh Pasal 23, terdiri dari tiga rangkap antara lain :

Lembar 1 : diserahkan ke pihak yang dipotong PPh Pasal 23 ;

Lembar 2 : diserahkan ke Kantor Pelayan Pajak (KPP) ;

Lembar 3 : Untuk arsip pihak pemotong atau pemungut PPh Pasal 23.

Tarif PPh 23 dan Objek PPh Pasal 23


Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%,

6
tergantung dari objek PPh 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif PPh 23 dan objek PPh
Pasal 23 :
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
a. Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan
royalti;
b. Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan
jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 23.
6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk :
 Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga
kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan
pengguna jasa;
 Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan
faktur pembelian);
 Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan
perjanjian tertulis);
 Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak

7
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga).
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:
 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak yang
bersifat final.

PPh Pasal 24
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar
Negeri. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
2. Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
3. Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut
4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri (164/KMK.03/2002)
 Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
 Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun
pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia.
 Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung
menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena
Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak
dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari
jumlah Penghasilan Kena Pajak).

8
 Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan
PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
 Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri
(Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan
dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar
Negeri.
 Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24
yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun
berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
 Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan
permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri
dengan :
1. - Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. - Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3. - Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
 Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib
pajak.
 Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib
pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
 Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas
kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
 Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan
tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang
pajak lainnya.

Metode Kredit Terbatas dalam PPh Pasal 24


PPh Pasal 24 mengatur tentang pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang

9
terutang di Indonesia. Karena itu, pajak ini langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak. Di luar itu tidak bisa dijadikan pengurang pajak. Hal ini yang
dikenal sebagai metode kredit terbatas (ordinary credit method/limited credit method).
Besarnya PPh Pasal 24 menurut metode kredit terbatas bisa dihitung dengan perhitungan:

Penghasilan Neto Negara A


------------------------------------ X PPh Terutang
Penghasilan Kena Pajak

Untuk lebih jelasnya mari kita simak uraian lengkap ilustrasi dibawah ini:
Ilustrasi Perhitungan Pengurangan Pajak Penghasilan dari Luar Negeri yang Diatur di
dalam PPh Pasal 24
Ilustrasi:
PT Boy Thohir di Indonesia adalah pemegang saham mayoritas atas Newcastle United di Inggris.
Selama tahun 2014, PT Boy Thohir memperoleh keuntungan sebesar USD 500.000. Ketentuan
Pajak Penghasilan yang berlaku di Inggris adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Terdapat dua perhitungan yang digunakan di sini: pajak atas dividen dan pajak atas penghasilan.
Penghitungan pajak atas dividennya adalah sebagai berikut.
Keuntungan Newcastle United USD 500.000.
 Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Newcastle United (48%) USD 240.000
(-) USD 260.000.
 Pajak atas dividen (38%) USD 98.800 (‐) dividen yang dikirim ke Indonesia adalah
sebesar USD 161.200.
Nominal Pajak Penghasilan yang bisa dikreditkan di Indonesia
Hanya pajak yang langsung dikenai atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri
(dalam contoh tersebut sebesar USD 98.800) saja yang bisa dikreditkan kepada pajak terhutang
di dalam negeri. Di luar itu, Pajak Penghasilan (Corporate Income Tax) atas Newcastle United
sebesar USD 240.000 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang. Hal ini
terjadi karena pajak sebesar USD 240.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh PT Boy Thohir dari luar negeri. Tetapi, pajak yang dikenai atas
keuntungan Newcastle United di Inggris.

10
PPH PASAL 25
Cara Menghitung Besarnya PPh pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh WP untuk setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta
Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24. Setelah dilakukan pengurangan kemudian
dibagi 12 (duabelas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak
Hal-hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 :
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
c. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

Beberapa Masalah/Kasus untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal 25


Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. Apabila dalam
tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu maka
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Baru,Bank,BUMN,BUMD, dan WP Tertentu lainnya
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN,
BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
a. Sesuai dengan SeKep MenKeu No. 522/KMK/04/2000 dan diubah menjadi SeKep
MenKeu no. 84/ KMK/03/2002 besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP

11
baru dihitung sebesar jumlah pajak yang diperoleh dari penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (duabelas)
b. Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi
adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang
disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun
pajak yang lalu dibagi 12
c. Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi
yang merupakan WP barumaka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama
adalah jumlah pajak yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba
rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan , dibagi 12
d. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Pengusaha Tertentu
ditetapkan sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
e. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi
melali tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk
kendaraan bermotor dan restoran.
f. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN/D dengan nama dalam bentuk
apapun kecuali Wajib Pajak Bank dan Wajib Pajak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi,
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak
yang bersangkutan yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang saham (RUPS)
dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 25 dan Pasal 24 yang dibayar
atau terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (duabelas)
g. Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan
adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya
h. Apabila ada sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan
PPh Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari
penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang
belum dikompensasikan tersebut

12
Fiskal Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Fiskal Luar Negeri adalah Pembayaran Pajak Penghasilan bagi
orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
perubahan tarif Fiskal Luar Negeri mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1998.

Besarnya Fiskal Luar Negeri adalah sbb :


* Rp. 1.000.000,- bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan
menggunakan pesawat udara
* Rp. 500.000,- bari setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan
kapal laut
* Rp 200.000,00 (lima puluh ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan melalui darat.

Perlakuan Pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak ke Luar
Negeri sebagai Kredit Pajak
Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri , pembayaran Pajak Penghasilan yang dibayarkan
karena bertolak ke Luar Negeri, merupakan pembayaran pajak penghasilan pasal 25 yang dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun
pajak yang bersangkutan. Apabila pembayaran pajak Penghasialn yang karena bertolak ke luar
negeri tersebut ditanggung pemberi kerja, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran
Pajak Penghasilan pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Pengasilan yang terutang
dalam SPT PPh pemberi kerja. Orang Pribadi yang bertolak ke Luar Negeri yang Tidak
Dikenakan Kewajiban membayar Pajak Penghasilan :
1. Anggota Korp Diplomatik, Pegawai Negara Asing, Staff dari Badan-badan PBB, tenaga
ahli dalam rangka kerja sama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang
mendapat persetujuan Pemerintah RI, dengan syarat: “Bukan WNI” Tidak melakukan
pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia selain jabatan resmi
2. Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan WNI dari mereka yang
disebutkan diatas
3. Pejabat negara, Anggota TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar
negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat
tugas perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan

13
4. Anggota keluarga dari mereka yang disebutkan pada poin 3 dalam hal keberangkatannya
ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri
5. Anggota TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang
keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas
dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan
6. Anggota misi kesenian, misi olah raga dan misi keagamaan yang mewakili Pemerinta RI
ke Luar Negeri dengan persetujuan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri
Pendidikan Nasional atau Menteri Agama. Aggota misi kesenian, misi olah raga dan misi
keagamaan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak Penghasilan pada waktu
bertolak ke luar negeri adalah misi kesenian atau kebudayaan yang bertolak ke luar
negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari menteri Kebudayaan dan Pariwisata, misi
olah raga yang bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari
Mendiknas, misi keagamaan yang bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat
persetujuan dari Mendiknas
7. Para pekerja WNI yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman
Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
8. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan
menggunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara RI
9. Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di P. Batam yang mempunyai KTP
yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, dengan syarat telah
dipotong pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib
Pajak dan telah memenuhi kewajiban pajak Penghasilan pada KPP Batam
10. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya,
visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia
serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi
sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia
serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Pembebasan ini
hanya diberikan untuk 4 kali dalam masa satu tahun takwin.

14
1. Tenaga kerja WNA pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun,
dengan syarat mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
2. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak
bermaksud menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh
pemberi penghasilan
3. Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan
rekomendasi dari pimpinan Sekolah atau Perguruan Tinggi yang bersangkutan dan tidak
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
4. Tenaga kerja WNA pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun,
dengan syarat mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
5. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak
bermaksud menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh
pemberi penghasilan
6. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota
misi keagamaan dibawah koordinasi DEPAG dan misi kemanusian dibawah koordinasi
DEPSOS
7. Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerinta Indonesia untuk
meninggalkan wilayah Indonesia
8. Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang
beroperasi di jalur imternasional atau melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi
berdasarkan perjanjian carter pengangkutan
9. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi
sosial termasuk satu orang pendamping dengan persetujuan MENKES
10. Orang pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional
ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau
tempat pemberangkatan luar negeri dalam daerah kerja sama kecuali Bali, yang ditetapkan
oleh MENKEU
11. Anak-anak yang berangkat ke luar negeri dengan syarat umurnya tidak lebih dari 12 tahun

15
12. Orang pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan
Perusahaan Asing, yang ditetapkan oleh MENKEU
13. Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia
dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi warga Negara bekas
propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi PMI
14. Anggota misi dagang atau pameran yang mewakili Pemerintan Indonesia ke luar negeri
dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

PPh Pasal 26 (Pajak Penghasilan Pasal 26)

Pajak penghasilan pasal 26 (PPh pasal 26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia, selain Bentuk Usaha Tetap
(BUT) di Indonesia. Pajak Penghasilan pasal 26 (PPh Pasal 26) ini mengatur kebijakan mengenai
pajak yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri.

Badan usaha apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga,
dividen, royalti dan lain sejenisnya) kepada wajib pajak luar negeri diwajibkan untuk membayar
PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut. Yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai
wajib pajak luar negeri adalah:

 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia, tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.

Tarif dan Objek PPh Pasal 26


1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar
Negeri berupa :

16
1. dividen;
2. bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian hutang;
3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
1. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
2. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara pihak pada persetujuan.

Pemotongan PPh Pasal 26

Pemotong PPh pasal 26 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, yang
melakukan pembayaran kepada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Wajib pajak
orang pribadi atau badan yang menjadi pemotong PPh Pasal 26 harus mendaftarkan diri terlebih
dahulu untuk menjadi pemotong PPh Pasal 26.

Pendaftaran sebagai pemotong PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada saat pendaftaran NPWP
atau setelah pendaftaran NPWP. Wajib pajak Orang Pribadi atau Badan dapat mengetahui
apakah menjadi Pemotong PPh Pasal 26 dengan melihat SKT (Surat Keterangan Terdaftar) yang
diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada waktu pendaftaran NPWP (Nomor Pokok Wajib
Pajak). PPh Pasal 26 dipotong oleh pihak yang wajib membayar penghasilan tersebut, yaitu:

 Badan Pemerintah;
 Subjek Pajak Dalam Negeri;
 Penyelenggara Kegiatan;

17
 Bentuk Usaha Tetap.

Yang melakukan pembayaran adalah Wajib Pajak Luar Negeri, selain Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia. Dikecualikan dalam pemotong pajak PPh Pasal 26 atas imbalan dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri dan organisasi internasional.

Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
o lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
o lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar
kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan
5. ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh : Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling
lambat tanggal 10 Juni 2001dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat
tanggal 20 Juni 2001 dengan Pengecualian
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat :
1. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
2. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya
dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;

18
3. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

PPh Pasal 4 Ayat 2 ( Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 )

PPh Pasal 4 ayat 2 ( Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 ) atau disebut juga PPh final adalah
pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis
penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final. Tarif PPh Pasal 4
Ayat 2 ini berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilannya.

OBJEK PPH PASAL 4 AYAT 2 ( PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2 )

Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 ( Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 ) dikenakan pada jenis
tertentu dari penghasilan / pendapatan, dan berupa:

1. Peredaran bruto (omzet penjualan) sebuah usaha di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun
masa pajak;

2. Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara,
dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing;

3. Hadiah berupa lotere / undian;

4. Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh
perusahaan modal usaha;

5. Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan

6. Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan
Pemerintah.

Ketika PPh Pasal 4 Ayat 2 ini dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu,
dimana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib

19
menyelesaikan pajak ini saja. Sedangkan dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua
perusahaan, maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak, bukan penerima
penghasilan.

Jadwal penyetoran dan pelaporan PPh PasL 4 ayat 2

Penghasilan Batas waktu penyetoran Batas waktu pelaporan


Jika sudah validasi NTPN, WP tidak
Omzet penjualan perlu lapor lagi. Cukup menyertakan
Tanggal 15 bulan berikutnya
(peredaran bruto) lampiran laporan PPh final 1% pada
setelah masa pajak berakhir
usaha pelaporan SPT Tahunan Badan /
Pribadi (SPT 1770)
Bunga,
Tanggal 10 bulan berikutnya
deposito/tabungan, 20 hari setelah masa pajak berakhir
setelah masa pajak berakhir
diskonto SBI
Tanggal 20 bulan berikutnya Tanggl 25 bulan berikutnya setelah
Transaksi
setelah bulan terjadinya bulan terjadinya transaksi penjualan
penjualan saham
transaksi penjualan saham
Tanggal 10 bulan berikutnya
Hadiah undian setelah bulan saat terutangnya 20 hari setelah masa pajak berakhir
pajak
Tanggal 10 (bagi pemotong
pajak) atau tanggal 15 (bagi
Persewaan
WP pengusaha persewaan) dari 20 hari setelah masa pajak berakhir
tanah/bangunan
bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir
Tanggal 10 (bagi pemotong
pajak) atau tanggal 15 (bagi
Jasa konstruksi WP pengusaha persewaan) dari 20 hari setelah masa pajak berakhir
bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir

20
Pembayaran Pajak Penghasilan final ini dilakukan dengan dua cara atau mekanisme, yaitu :
1. Mekanisme Pemotongan
Mekanisme pemotongan di sini maksudnya adalah penyewa harus memotong Pajak
Penghasilan sebesar 10% dari uang sewa yang dibayarkannya.
Mekanisme dilakukan jika si penyewa adalah pihak-pihak yang disebut sebagai
pemotong pajak yaitu : badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Mekanisme Pembayaran Sendiri
Mekanisme pembayaran sendiri adalah mekanisme di mana pajak final sebesar 10% dari
uang sewa dibayarkan sendiri oleh pemilik tanah/bangunan.
Pada mekanisme ini, penyewanya bukan pihak-pihak yang disebutkan di atas, maka
pemilik tanah atau bangunan yang harus menyetorkan sendiri pajak finalnya.

21
Berikut ini 2 langkah mudah cara penggunaannya :
1. Hitung Pajak Otomatis
Pertama, daftar / masuk aplikasi PPh Final 1% OnlinePajak. Kemudian masukkan data faktur
penjualan dan dapatkan hasil perhitungan pajak secara otomatis.
2. Bayar Pajak Online dengan 1 Klik dan Dapatkan NPTN
Selanjutnya klik "Setor Pajak", pastikan saldo cukup untuk membayar pajak terutang pada
sistem Cash Management OnlinePajak. Setelah itu, dapatkan NTPN (Nomor Transaksi
Penerimaan Negara) sebagai bukti pembayaran.

Bagi UMKM yang dijalankan wajib pajak badan maupun pribadi dengan peredaran bruto
atau omzet penjualan di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun, maka dikenakan tarif sebesar 1%
dari total omzet penjualan per bulan. Tidak seperti kewajiban pajak lainnya. UMKM hanya perlu
membayar pajak final setiap bulannya dan memvalidasi NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan
Negara) yang diterima saat setor pajak tersebut sebagai bukti pembayaran dan pelaporan PPh
Final.
Di akhir bulan Maret setiap tahunnya, seorang pengusaha baru melaporkan PPh final
yang didapatnya tersebut dalam lampiran SPT Tahunan 1770. Sedangkan wajib pajak badan
harus melampirkan pembayaran dan pelaporan pajak finalnya tersebut pada SPT Tahunan Badan
yang dilaporkan pada akhir April setiap tahunnya.

22

Anda mungkin juga menyukai