Anda di halaman 1dari 13

GASTROINTESTINAL DISORDER

PENYAJI : Andrew Handi


PEMBIMBING : Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.K.J.(K)
MODERATOR : Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked., Sp.K.J. (K)
HARI / TANGGAL :
TEMPAT : Divisi Ilmu Kedokteran Psikiatri
Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Lt. 3.

BAB I PENDAHULUAN

Terdapat hubungan yang sangat erat antara traktus gastrointestinal


dengan psikiatri. Sebagai contoh : ansietas dapat memodulasi fungsi dari
gastrointestinal yang akan berdampak pada gangguan gastrointestinal
seperti diare, kembung, mual, dan ketidaknyamanan pada lambung. 1
Selain itu, stres yang akut juga dapat mencetuskan terjadinya gangguan
gastrointestinal fungsional. Di esofaagus stres dapat meningkatkan resting
tone dari sphincter esofagus bagian atas dan meningkatkan kontraksi
amplitudo di bagian distal esofagus. Pada lambung stres dapat
menurunkan aktifitas antral motor. Pada usus halus stres dapat
mengurangi migrasi dari fungsi motor sedangkan pada usus besar stres
dapat meningkatkan motilitas usus.2
Prevalensi gejala gastrointestinal seperti dispepsia, konstipasi,
diare, dan nyeri abdomen adalah tinggi pada populasi umum.2,3 Keluhan
tersebut juga merupakan alasan yang paling umum bagi seseorang untuk
mencari bantuan medis. Pada waktu yang bersamaan keluhan
gastrointestinal yang sangat umum yaitu gejala fungsional ternyata
berhubungan dengan disfungsi otonom. Gejala fungsional yang tumpang
tindih dengan gejala somatik tersebut merujuk pada domain
gastroenterologi dan psikiatri.3

1
Gangguan gastrointestinal fungsional merupakan kombinasi antara
beberapa variasi dari gejala gastrointestinal yang kronis maupun rekuren.
Variasi tersebut mencakup seluruh jenis gangguan yang melibatkan
saluran pencernaan. Ansietas, depresi dan gangguan somatoform
merupakan masalah yang sering dilaporkan pada kasus tersebut. Oleh
karena itu, isu tersebut menjadi penting karena dapat mengganggu
pekerjaan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan biaya
pengobatan.4

Pada Referat ini akan dibahas tentang Sejarah, Definisi,


Epidemiologi, Etiologi, Gejala, Diagnosis, Pemeriksaan Penunjang,
Penatalaksanaan dari Gastrointestinal disorder.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sejarah
Pada awal abad ke 19, seorang pelopor proses fisiologis pada
gastrointestinal yaitu William Beaumont (1785-1853) menjumpai bahwa
sekresi asam lambung dapat dipengaruhi oleh emosi.1 Beaumont
menemukan bahwa status emosional seseorang berhubungan dengan
warna lambung yang hiperemis atau blanch.2
Pada tahun 1920 Walter Cannon (1871-1945) melakukan studi
tentang bagaimana stres berkembang menjadi suatu penyakit. Studi
tersebut mengidentifikasi bahwa stimulasi pada sistem saraf otonom
terutama sistem simpatetik memberikan efek respons berupa “fight or
flight” seperti hipertensi, takikardi, dan peningkatan aliran darah yang
keluar dari jantung.2
Pada tahun 1950 Harold Wolff (1898-1962) menjumpai bahwa
fisiologi dari traktus gastrointestinal berkorelasi dengan status emosional.
Hiperaktifitas dari sistem gastrointestinal dikaitkan dengan sikap
permusuhan, sebaliknya hipoaktifitas dari sistem gastrointestinal dikaitkan
dengan kesedihan.2
Hans Selye (1907-1982) merupakan pencetus dari teori general
adaptation syndrome yang terdiri dari 3 fase yaitu, the alarm reaction, the
stage of resistance, dan the stage of exhaustion.2 Pada masa berikutnya
ketika perkembangan teknologi terutama teknik pencitraan otak makin
berkembang maka, teknik hubungan antara fungsi psikologis dengan
gastrointestinal semakin terlihat dan hal tersebut sudah didukung oleh
banyak studi. Studi-studi yang ada mendukung teori gut-brain axis yaitu
hubungan dua arah antara otak dengan system gastrointestinal. Konsep
tersebut juga yang kemudian berkontribusi terhadap konsep
biopsikososial, dimana masalah gastrointestinal dapat berhubungan
dengan masalah biologis, psikologis, dan sosial.1

3
II.2. Definisi
Gastrointestinal disorder merupakan gejala pada gangguan medis
umum yang paling sering dikeluhkan pada konsultasi psikiatri. Jumlah
yang sering tersebut menggambarkan prevalensi yang tinggi pada kasus
gastrointestinal disorder serta bagaimana kuatnya hubungan antara
keluhan psikiatri dan masalah gastrointestinal disorder. Masalah
gastrointestinal disorder yang tersering adalah functional disorder. Faktor
psikiatri dan psikologis dapat memengaruhi onset, keparahan, dan
prognosa dari functional gastrointestinal disorder.2

Jenis jenis Gastrointestinal disorder


Irritabel bowel syndrome
Irritable bowel syndrome merupakan functional gastrointestinal
disorder yang tersering yang ditandai dengan nyeri/ ketidaknyamanan
pada abdomen serta perubahan dari bowel function.5 Irritable bowel
syndrome merupakan suatu kondisi yang heterogen dengan angka
komorbiditas yang tinggi pada gangguan ansietas, serangan panik,
depresi, dan somatisasi.6

Peptic ulcer disease


Peptic ulcer disease merujuk pada ulcer pada mukosa yang
melibatkan perut bagian distal atau proksimal duodenum. Gejala gejala
peptic ulcer adalah perasaan perih atau panas di daerah epigastrik yang
dapat muncul 1 sampai 3 jam setelah makan, dan dapat hilang kembali
dengan makanan atau antasida. Gejala lainnya berupa mual, muntah,
dispepsia, atau tanda-tanda perdarahan gastrointestinal seperti
hematemesis atau melena. Lesinya biasanya kecil yaitu berdiameter 1 cm
atau kurang.2

Inflammatory bowel disease


Inflammatory bowel disease yang tersering ada 2 yaitu Ulcerative
colitis dan Crohn’s disease.1 Ulcerative colitis merupakan Inflamatory

4
bowel disease yang terdapat di usus besar dengan gejala yang dominan
adalah diare yang berdarah Sedangkan Crohn’s disease merupakan
inflammatory bowel disease yang biasanya terdapat di usus halus dan
kolon dengan gejala berupa diare, nyeri abdomen, dan penurunan berat
badan.2

II.3. Epidemiologi
Prevalensi dari Irritable bowel syndrome adalah antara 1-20% di
seluruh dunia. Walaupun demikian sekitar 75% diantaranya tidak mencari
bantuan medis. Di Amerika Utara prevalensi dari Irritable bowel syndrome
adalah sekitar 5-10%, terdapat di semua kelompok usia serta perempuan
mempunyai risiko 3 sampai 4 kali lebih tinggi untuk mengalami irritable
bowel syndrome.5
Data yang ada menunjukkan bahwa peptic ulcer disease
merupakan kondisi yang umum di seluruh dunia dengan insiden 0.1% -
0.19% yang didiagnosis oleh klinisi dan sekitar 0.03% - 0.17% didiagnosis
ketika rawat inap. Prevalensi seumur hidup untuk peptic ulcer disease
adalah 3% di Amerika Serikat dan 25% di Jepang.7
Prevalensi dari Ulcerative colitis adalah sekitar 80 sampai 150 per
100.000 penduduk sedangkan prevalensi dari Crohn’s disease adalah
sekitar 25-100 per 100.000 penduduk.1 Sebuah studi menjumpai
bahwa,kelompok Crohn’s disease 23% lebih mungkin mengalami
serangan panik sebelum muncul penyakit tersebut bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol sehat dan kelompok Ulcerative colitis.2

II.4. Etiologi
Stresor dapat mengaktifkan sistem noradrenergik di otak yaitu
bagian locus ceruleus dan melepaskan katekolamin ke sistem saraf
otonom. Selain itu stresor juga dapat mengaktifkan sistem serotonin di
otak yang dibuktikan dengan peningkatan serotonin turnover. Bukti yang
ada menunjukkan bahwa walaupun glukokortikoid dapat meningkatkan
fungsi serotonin secara umum, namun abnormalitas dari regulasi

5
glukokortikoid terhadap subtype serotonin tertentu dapat berimplikasi
terhadap terjadinya depresi atau penyakit psikiatri lainnya.2
Model biopsikososial menunjukkan bahwa sistem saraf pusat, sistem
saraf otonom, dan Hypothalamic pituitary adrenal axis dapat memengaruhi
disfungsi sensorik dan motorik dari gastrointestinal. Traktus
gastrointestinal sendiri mempunyai komunikasi dua arah dengan sistem
saraf pusat melalui sistem saraf otonom dan sistem saraf perifer (gut brain
axis) (Gambar 2).1 Perlu diingat juga bahwa sebagian besar dari serotonin
itu dihasilkan melalui mikroorganisme di gut.8

Gambar 1. Gut brain axis


(Diadaptasi dari Buku Kaplan & Saddocks Comprehensive Textbook of
Psychiatry 2017)

Sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer memainkan peranan


dalam terjadinya Irritable bowel syndrome. Etiopatogenesis dari penyakit
ini sangat kompleks dimana tidak ada satupun mekanisme yang dapat

6
secara pasti menjelaskan setiap kasus Irritable bowel syndrome.
Inflamasi, infeksi, motilitas usus, serta brain-gut axis disturbances hanya
dapat menjelaskan penyakit ini secara parsial karena peningkatan
sensitifitas visceral dari sensasi usus dan signal dari neuron aferen yang
lebih besar juga berperan dalam etiopatogenesis tersebut.5 Irritable bowel
syndrome juga berhubungan dengan mikrobiota yaitu pengurangan
spesies mikrobiota. Beberapa studi in vivo juga menjumpai hubungan
antara mikrobiota dan peningkatan nyeri visceral.9
Teori yang awal mengemukakan bahwa sekresi asam lambung yang
berlebihan merupakan penyebab utama dari peptic ulcer disease. Infeksi
Helicobacter pilori ditemukan pada 95-99% ulkus duodenum dan 70-90%
pada ulkus gaster.2 Sekitar 14-25% kasus peptic ulcer disease juga
ditemukan pada penggunaan non steroid anti inflamation disease
(NSAID).7 Stres psikologis merupakan faktor risiko yang independen
terhadap perkembangan serta kekambuhan dari ulkus duodenum. Secara
umum, faktor psikososial berkontribusi sebesar 30-65% dari kasus peptic
ulcer disease. Oleh karena itu faktor fisiologik dan faktor psikologik dapat
menjadi faktor risiko untuk penyakit tersebut.6
Walaupun etiopatologi dari Inflammatory bowel disease belum begitu
jelas, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa penyakit tersebut
disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara respons imun yang
berlebihan dengan mikroorganisme enterik. Hubungan antara penyakit ini
dengan psikiatri belum begitu jelas, namun bukti yang ada menunjukkan
bahwa ansietas dan depresi sangat umum dijumpai pada penyakit
tersebut. Terdapat juga hipotesis yang menyatakan bahwa ansietas dan
depresi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit tersebut.
Bagaimanapun ketika penyakit tersebut berkomorbid dengan ansietas
ataupun depresi maka keparahan dari penyakit tersebut akan bertambah.1

II.5. Gejala klinis


Gejala klinis yang utama pada irritable bowel syndrome adalah nyeri
atau perasaan tidak nyaman pada abdomen yang berulang ulang yang

7
berhubungan dengan frekuensi dan konsistensi dari tinja dan timbul
perasaan lega setelah buang air besar. Gejala gejala tambahan dapat
berupa kelesuan, sakit kepala, dismenore dan dispraurenia. Irritable bowel
syndrome juga dapat dikategorikan secara subdivisi berdasarkan
predominant bowel habit, yaitu irritable bowel syndrome dengan
konstipasi, irritable bowel syndrome dengan diare, irritable bowel
syndrome dengan alternating bowel habit, dan irritable bowel syndrome
unclassified (Gambar 2).1 Selain itu, lebih dari separuh dari penderita
irritable bowel syndrome juga mengalami gejala gejala psikiatri seperti
ansietas, depresi, dan hipokondriasis. 1,7

Gambar 2. Perbedaan dari subtype irritable bowel syndrome yang


diklasifikasikan berdasarkan kategori predominant bowel habit.
(Diadaptasi dari Buku Kaplan & Saddocks Comprehensive Textbook of
Psychiatry 2017)

8
Peptic ulcer disease biasanya ditandai dengan gejala utama berupa
nyeri di daerah epigastrium yang dapat muncul secara periodik. Gejala
tambahan dari penyakit ini berupa nyeri abdomen, mual, munta,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, serta kelelahan.
Komplikasi yang akut dari penyakit ini adalah pendarahan, dimana
pendarahan merupakan penyebab kematian yang utama dari pasien
berusia 65 tahun yang menderita penyakit tersebut. Komplikasi yang
kronis dapat berupa ulcer perforation dan stricture formation.7
Gejala gejala dari inflammatory bowel disease biasanya berupa
perubahan kebiasaan buang air besar, nyeri abdomen, dan rectal
bleeding. Oleh karena itu sering terjadi gangguan fungsi dan kualitas
hidup pada penderita penyakit tersebut. Gejala gejala psikiatri seperti
ansietas dan depresi juga lebih menonjol selama periode penyakit
tersebut.1 Gejala yang umum dari Ulcerative colitis adalah diare berdarah
sedangkan gejala yang umum dari Crohn’s disease adalah diare, nyeri
abdomen, dan penurunan berat badan.2
Sebuah studi yang dilakukan oleh Bernstein dkk di Kanada pada
tahun 2019 menjumpai bahwa insiden dan prevalensi penyakit psikiatri
adalah meningkat pada penderita inflammatory bowel disease. Studi
tersebut juga menemukan bahwa depresi, ansietas, dan gangguan bipolar
mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami inflammatory bowel
disease dibandingkan dengan kontrol sehat. Pada kelompok Inflammatory
bowel disease dijumpai juga bahwa perempuan berusia 18-24 tahun lebih
rentan mengalami gangguan psikiatri dibandingkan dengan kelompok
umur diatas 44 tahun. Selain itu tempat tinggal di perkotaan dan tingkat
sosioekonomi yang rendah juga meningkatkan risiko gangguan psikiatri
pada kelompok inflammatory bowel disease.10

II.5. Diagnostik
Gastrointestinal disorder dapat dibagi menjadi 2 yaitu organik dan
fungsional. Diagnostik dari gangguan tersebut biasa ditandai oleh
biomarker tertentu.1 Diagnosis Peptic ulcer biasanya ditandai oleh

9
dijumpainya Helicobacter pylori baik secara invasif maupun non invasif.1,7
Diagnosis dari Inflammatory bowel disorder biasanya ditandai oleh
dijumpainya secara konsisten colony inflammation.1
Kriteria Diagnostik Irritable bowel syndrome menurut Rome III yaitu:
Nyeri abdomen berulang atau rasa tidak nyaman sedikitnya 3 hari per
bulan dalam 3 bulan sebelumnya yang berhubungan dengan dua atau
lebih gejala berikut:
1. Meningkat dengan buang air besar
2. Onset dikaitkan dengan perubahan frekuensi tinja/ kotoran
3. Onset dikaitkan dengan perubahan bentuk tinja/ kotoran
Memenuhi kriteria tersebut 3 bulan belakangan dengan onset gejala
setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis.1

II.6. Penatalaksanaan
Secara umum terapi untuk irritable bowel syndrome ada 4 tahapan
strategi yaitu : gut luminal and mucosa therapy, gut directed regulators,
centrally acting agents (obat psikiatri), dan adjunctive and complementary
therapy (psikoterapi).5 Antidepresan merupakan obat psikotropik yang
paling sering digunakan pada kasus functional gastrointestinal disorder.
Beberapa studi metaanalisis yang ada menunjukkan bahwa keuntungan
penggunaaan antidepresan pada penyakit tersebut adalah mengurangi
nyeri dan memperbaiki kualitas hidup. Obat antipsikotik seperti
risperidone, olanzapine, dan quetiapine dosis rendah juga dapat
dipertimbangkan untuk nyeri visceral dan agitasi. Selain itu obat mood
stabilizer seperti carbamazepin, sodium divalproate, dan pregabalin juga
dapat membantu untuk mengurangi nyeri visceral. Penggunaan ansiolitik
pada penyakit ini kurang dianjurkan.1
Pengobatan peptic ulcer disease sudah sangat berkembang
semenjak ditemukannya obat proton pump inhibitor dan terapi untuk
eradikasi helicobacter pylori. Proton pump inhibitor sendiri sudah terbukti
secara konsisten dapat sebagai gastroprotective. Obat proton pump
inhibitor yang direkomendasi untuk eradikasi adalah omeprazole,

10
lansoprazole, esomeprazole, pantoprazole, dan rabeprazole. Walaupun
demikian monoterapi kurang dianjurkan dalam pengobatan peptic ulcer
disease. Oleh karena itu dual therapy dengan antibiotik atau triple therapy
lebih direkomendasikan untuk pengobatan. Antibiotik yang biasanya
digunakan adalah amoksisilin dan clarithromicin.7
Obat psikotropika dapat mengakibatkan perubahan secara
signifikan terhadap fungsi gastrointestinal dan mengakibatkan efek
samping. Efek samping tersebut merupakan tantangan tersendiri karena
dapat mengakibatkan seseorang untuk menghentikan pengobatan karena
efek samping tersebut oleh karena itu klinisi harus mempertimbangkan
risiko gangguan gastrointestinal maupun eksaserbasi dari functional
gastrointestinal disorder ketika drug induced symptoms berkembang.2
Walapun demikian beberapa obat psikotropika adalah umum
digunakan pada terapi gangguan gastrointestinal tersebut. Banyak obat
psikotropika yang mempunyai kelebihan dalam mengurangi gejala
gastrointestinal seperti penggunakan trisiklik antidepresan untuk
mengurangi motilitas gaster pada kasus irritable bowel syndrome dengan
diare.2
Pada umumnya penggunaan obat psikotropika juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya acute and chronic liver disease. Karena
sebagian besar obat psikotropika dimetabolisme di hati sehingga sebagian
besar obat tersebut bersifat hepatotoxicity. Ketika pemeriksaan
laboratorium menunjukkan terdapat gangguan pada fungsi hati akibat dari
penggunaan trisiklik antidepresan, karbamazepin, dan antipsikotik lainnya
maka sebaiknya penggunaan obat tersebut dihentikan. Dan ketika obat
tersebut dihentikan maka penggunaan obat seperti lorazepam dan lithium
dapat dipertimbangkan karena obat tersebut diekskresi melalui ginjal.2
Bukti bukti empiris yang ada menunjukkan bahwa tidak ada satupun
terapi yang cukup superior untuk pengobatan functional gastrointestinal
disorder. Aspek yang paling penting adalah acceptance dari pasien dan
motivasi dari pasien untuk terlibat dalam pengobatan. Terapi relaksasi,
cognotove behavior therapy, interpersonal therapy, psychodynamic

11
therapy, hypnotherapy, dan biofeedback therapy merupakan non
farmakoterapi yang dapat diberikan pada penderita gangguan tersebut. 1

BAB III KESIMPULAN


1. Gastrointestinal disorder merupakan gejala pada gangguan medis
umum yang paling sering dikeluhkan pada konsultasi psikiatri.
2. Prevalensi dari Irritable bowel syndrome adalah antara 1-20% di
seluruh dunia. Walaupun demikian sekitar 75% diantaranya tidak
mencari bantuan medis.
3. Model biopsikososial menunjukkan bahwa sistem saraf pusat,
sistem saraf otonom, dan Hypothalamic pituitary adrenal axis dapat
memengaruhi disfungsi sensorik dan motorik dari gastrointestinal.
4. Gejala klinis yang utama pada irritable bowel syndrome adalah nyeri
atau perasaan tidak nyaman pada abdomen yang berulang ulang
yang berhubungan dengan frekuensi dan konsistensi dari tinja dan
timbul perasaan lega setelah buang air besar.
5.Secara umum terapi untuk irritable bowel syndrome ada 4 tahapan
strategi yaitu : gut luminal and mucosa therapy, gut directed
regulators, centrally acting agents (obat psikiatri), dan adjunctive
and complementary therapy (psikoterapi).

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Botha CA, Ruffle JK, Farmer AA. Gastrointestinal Disorders. In : Sadock BJ , Sadock VA,
Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 10th edition.
Philadelphia: Wolster & Kluwer; 2017. p.5619-44.
2. Sadock BJ , Sadock VA, Ruiz P. Synopsis of Psychiatry. 11th edition. Philadelphia: Wolster
& Kluwer; 2015. p. 1034-44.
3. Sobanski JA, Klasa K, Mielimaka M, Rutkowski K, Dembinska E, Muldner-Nieckowski L, et
al. The crossroads of gastroenterology and psychiatry – what benefits can psychiatry
provide for the treatment of patients suffering from gastrointestinal symptoms. Prz
Gastroenterol 2015; 10(4). p. 222-8.
4. Stasi C, Nisita C, Cortopassi S, Corretti G, Gambaccini D, Bortolli ND, et al. Subtreshold
Psychiatric Psychopathology in Functional Gastrointestinal Disorders: Can it be the Bridge
between Gastroenterology and Psychiatry?. Gastroenterology Research and Practice
2017. p. 1-8.
5. Sayuk GS, Gyawali CP. Irritable Bowel Syndrome: Modern Concepts and Management
Options. The American Journal of Medicine 2015; 128. p. 817-27.
6. Levenson JL, Bledowski JL. Psychosomatic Medicine and Psychological Factors Affecting
Other Medical Condition. In : Tasman A, Kay J, Lieberman JA, First MB, Riba MB.
Psychiatry. 4th edition. United Kingdom: John Wiley & Sons; 2015. p. 2401-22.
7. Habeeb A, Tiwari SK, Bardia A, Khan S, Vishwakarma SK, Habeeb S, et al. Peptic Ulcer
Disease: Descriptive Epidemiology, Risk Factors, Management and Prevention. SMG
group 2016. p. 1-13.
8. Liu L, Zhu G. Gut – Brain Axis and Mood Disorder. Front.Psychiatry 2018; 9(223). p. 1-8.
9. Jenkins TA, Nguyen JCD, Polglaze KE, Bertrand PP. Influence of Tryptophan and
Serotonin on Mood and Cognition with a Possible Role of the Gut-Brain Axis. Nutrients
2016; 8(56). p. 1-15.
10. Bernstein CN, Hitchon CA, Walld R, Bolton JM, Sareen J, Walker JR, et al. Increased
Burden of Psychiatric Disorders in Inflammatory Bowel Disease. Inflamm Bowel Dis 2019;
25(2). p. 360-8.

13

Anda mungkin juga menyukai