Anda di halaman 1dari 22

Referat IX

Cardiovascular Disorders

Penyaji : Suniaty Dapotria Lumbantoruan


Pembimbing : dr. Mustafa M. Amin, M.Ked.KJ, MSc, Sp.KJ (K)
Moderator : Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ (K)
Hari / Tgl : Senin 5 Agustus 2019
Pukul : 08.15 WIB
Tempat : Gedung Pendidikan Lt. 3 Rumah Sakit USU, jl. dr. Mansyur
Medan

I. PENDAHULUAN
Gangguan kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan dunia industri. Masalah-masalah psikiatri
memberikan kontribusi dalam pengembangan penyakit kardiovaskular dan
komplikasi yang dijumpai pada penyakit kardiovaskular. Komorbiditas
yang tinggi antara gangguan psikiatri dan penyakit kardiovaskular telah
mendapat perhatian yang lebih dalam literatur ilmu yang berkembang saat
ini.1
Gangguan mood dan gangguan ansietas memiliki kaitan yang erat
dengan penyakit jantung, dengan penelitian yang menunjukkan hubungan
gejala ansietas atau depresi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya gangguan kardiovaskular yang berkaitan terjadinya morbiditas
dan mortalitas. Penelitian terbaru yang didukung dan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya menunjukkan kontribusi depresi untuk risiko
timbulnya insiden penyakit arteri koroner (PJK), morbiditas dan mortalitas.
Faktor perilaku yang berisiko untuk timbulnya penyakit koroner, misalnya
merokok, kegagalan latihan, kegagalan untuk mematuhi pengobatan dan
gaya hidup, jelas merupakan eksaserbasi dari depresi atau ansietas dan
dapat keuntungan dari pengobatan psikiatri.1,2
Faktor risiko signifikan lainnya untuk gangguan-gangguan
kardiovaskular adalah stres psikologis. Stres memiliki kaitan untuk

1
morbiditas rata-rata yang lebih tinggi dan semua menyebabkan mortalitas
dan diakui sebagai faktor risiko untuk banyak kondisi kesehatan, termasuk
penyakit kardiovaskular. Selama stres akut, sejumlah penyakit
kardiovaskular dapat terjadi, termasuk peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah. Karena itu, pengalaman stres ini lebih tinggi frekuensinya
atau tingkatannya maka lebih besar untuk terjadi peningkatan risiko
terjadinya hipertensi, miokard infark, dan gangguan kardiovaskular
lainnya.2
Orang-orang dengan penyakit mental serius memiliki peningkatan
variasi rata-rata komorbid penyakit mental serius. Di New Zealand survei
penyakit mental menemukan orang-orang dengan kondisi fisik kronis,
termasuk nyeri, penyakit kardiovaskular, hipertensi dan penyakit saluran
pernafasan, 68% yang memiliki satu penyakit kronis memiliki gangguan
mental dibandingkan dengan 53% tanpa gangguan mental.3

Pada refarat ini akan dibahas mengenai gangguan-gangguan


kardiovaskular yang paling sering menjadi komorbid dengan
gangguan pada psikiatri seperti penyakit jantung arteri koroner,
aritmia jantung, gagal jantung kongestif, hipertensi, penyakit jantung
kongenital, valvular heart disease, stroke dan vascular depression.

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Penyakit Jantung Arteri Koroner
II.1.1 Defenisi dan perbandingan nosologi
Aterosklerosis pada penyakit arteri koroner merupakan penyakit
yang progresif dikarakteristikkan oleh adanya formasi plak aterosklerosis
pada satu atau lebih arteri koroner mayor atau cabang arteri proksimal.
Insufisiensi kronis kardiovaskular dengan episode eksaserbasi dikatakan
sebagai angina pektoris. Episode akut pada penyakit yang terjadi memiliki
bentuk trombus pada permukaan plak aterosklerosis, termasuk total oklusi
arteri yang terkena, miokard iskemia tiba-tiba, dan jika tidak segera
diperbaiki, sel akan mati.1

2
II.1.2. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian yang
paling tinggi di Amerika Serikat dan paling banyak di dunia industri. Sekitar
sepertiga dari seluruh orang dewasa yang berusia lebih dari 35 tahun
akhirnya meninggal karena penyakit kardiovaskular, paling sering
komplikasi dari penyakit arteri koroner. Di Amerika Serikat, kejadian
penyakit arteri koroner lebih dari 5 juta kasus per tahun, dan 500.000
orang per tahun memiliki infark miokard. Faktor risiko yang merupakan
penyebab terjadi penyakit koroner termasuk riwayat keluarga, jenis
kelamin laki-laki, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, gaya hidup, obesitas,
dan merokok. Wanita premenopause lebih rendah risiko terjadi penyakit
arteri koroner dibandingkan dengan laki-laki, tapi insiden penyakit klinis
yang signifikan meningkat setelah menopause sehingga sesuai dengan
risiko pada laki-laki.1
II.1.3. Etiologi
Etiologi multifaktorial dari aterosklerosis, dengan faktor risiko
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Lesi aterosklerotik terdiri dari
campuran kolesterol dan bahan lipid lainnya, makrofag dan sel darah
lainnya, dan kolagen, membentuk plak pada permukaan endotel arteri
koroner, dan ditutupi oleh topi dari jaringan fibrosa, dengan berbagai
kalsifikasi. Gaya gerak dalam lumen arteri bisa menyebabkan rentan
terhadap formasi plak dan biasanya, bentuk plak dekat tempat cabang di
segmen proksimal arteri, di mana aliran turbulen mungkin paling banyak
dihasilkan.1
II.1.4. Diagnosis dan gejala klinis
Tanda-tanda kardinal pada gangguan kardiovaskular merupakan
nyeri dada, biasanya saat istirahat dan, sering tidak ada gejala sampai
terjadi serangan koroner akut. Keluhan yang timbul pada tipe miokard
iskemik termasuk nyeri dada substernal, sering dideskripsikan sebagai
rasa menekan atau terbakar, dengan gejala yang berhubungan dengan
bahu, punggung, leher, rahang, atau lengan kiri, diaphoresis, mual,

3
pusing, atau jantung berdebar, dan terjadi dengan atau setelah aktivitas
yang membutuhkan banyak tenaga, makan atau faktor psikologis.1
Banyak pasien terutama wanita (yang tidak diketahui), memiliki
presentasi atipikal, sering tanpa nyeri dada tetapi dengan sakit perut,
kelelahan, kecemasan, sesak napas, atau pusing.1
II.1.5. Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari penyakit arteri koroner cukup luas. Sesak
napas dapat terjadi pada penyakit paru-paru primer, gagal jantung
kongestif (CHF) tanpa penyakit koroner yang signifikan, perikarditis, dan
gangguan kecemasan. Nyeri dada terjadi pada perikarditis, penyakit ulkus
peptikum, penyakit gastroesophageal reflux, hernia hiatus, nyeri
fungsional, dan esophagitis, di emboli paru, pleuritis, efusi pleura, dan
pneumonia, patah tulang rusuk, dan cemas menyeluruh dan gangguan
panik.1
II.1.6. Prognosis
Mortalitas dan morbiditas tidak lagi merupakan bagian dari miokard
infark, tetapi merupakan prognosis campuran. Sepertiga dari angka
kejadian pada pasien miokard infark yang meninggal dalam 1 jam pada
onset serangan pertama. Penderita yang selamat dari sindrom koroner
akut, serangan jantung berulang terjadi dengan insiden 10 sampai 20%,
dan 1 tahun kematian setelah miokard infark sebanyak 20%. 1
II.1.7. Pengobatan
Tindakan pencegahan pada pengobatan penyakit koroner termasuk
pemakaian aspirin sebagai obat antiplatelet, latihan, penggunaan
golongan obat statin untuk menurunkan lemak, abstinensia atau
penghentian rokok, tekanan darah terkontrol, dan mempertahankan
normoglycemia. Penggunaan terapi estrogen pada wanita yang post
menopause baru-baru ini bisa lebih efektif dalam meningkatkan terjadinya
penyakit jantung koroner.1
Namun, beberapa obat jantung memiliki efek samping pada
psikiatri. Termasuk digoksin, ACE inhibitor, amiodaron, lidokain, dan beta-
bloker. Beta-bloker diduga sering menimbulkan depresi, kelelahan, dan

4
disfungsi seksual, namun analisis terbaru menunjukkan bahwa timbulnya
kelelahan, bukan depresi, kemungkinan diperburuk akibat penggunaan
beta-bloker.4
II.1.8. Faktor-faktor Psikologis yang memengaruhi Penyakit Jantung
Koroner
a. Depresi
Penemuan terbaru telah banyak sangat mendukung hipotesis
bahwa depresi meningkatkan risiko berkembangnya dan meningkatnya
penyakit jantung koroner. Lebih dari 40 tahun yang lalu, lebih dari 60 studi
prospektif telah diuji memiliki kaitan antara indeks kemungkinan terjadi
depresi dan prognosis pada individu dengan penyakit jantung koroner.
Sejak ditinjau ulang mengenai artikel yang dipublikasikan pada akhir tahun
1990-an, banyak sekali literatur tambahan dimana lebih dari 100
merupakan narasi ulangan, demikian juga banyak penjelasan mengenai
meta-analisis yang menunjukkan peranan depresi untuk terjadinya
komorbiditas dan mortalitas pada penyakit jantung.1,5
Beberapa definisi dan pengukuran untuk depresi pada pasien
dengan penyakit arteri koroner masih kontroversi dan belum berdiri
sendiri. Pertanyaan utama yang merupakan kontroversi dari kemungkinan
terjadinya hal yang menyerupai depresi yang tampak pada penyakit
kronis. Salah satu alasan mengapa gejala depresi tidak spesifik, yaitu
bahwa bisa juga ada pada gangguan yang lain. Salah satu contohnya
mudah lelah. Pada pasien penyakit arteri koroner, bisa saja gejala
depresi, tetapi bisa juga gejala penyakit arteri koroner, komorbiditas
medis, efek samping pengobatan, atau kondisi lain.6
Yang kedua, dimana terdapat korelasi yang kuat, pada populasi
klinis, antara simtom spesifik seperti mudah lelah, kognitif menurun dan
simtom emosional pada depresi seperti mood disforik, merasa bersalah,
terlalu banyak atau perasaan yang tidak sesuai. Akhirnya, asosiasi
psikiatri Amerika, yaitu dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV) edisi keempat untuk penegakkan kriteria diagnostik
depresi.6

5
b. Kemungkinan mekanisme
Mekanisme terjadinya depresi dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner belum bisa ditetapkan, tetapi potensi mekanisme ini bisa
dibentuk akibat perilaku dan jalur biologis. Mekanisme perilaku termasuk
isolasi sosial, tidak ada aktivitas fisik, kurangnya kepatuhan, dan merokok.
Terdapat hubungan depresi dengan neuroendokrin yang abnormal dan
fungsi otomatis, merokok dan disfungsi platelet.1
Disregulasi hypothalamic pituitary adrenal axis pada depresi
berperan dengan cara peningkatan jumlah sirkulasi kortisol dan berkurang
biasanya pada variasi diurnal pada jumlah kortisol. Gangguan agregasi
platelet pada meningkat pada trombus bisa menjadi penyebab
peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada depresi. Mengukur
jumlah aktivasi platelet dan agregasi platelet setelah istirahat tengah
malam dan setelah perubahan ortostatis pada saat tidak dalam masa
pengobatan, menjaga kesehatan, pasien depresi dan subyek kontrol yang
normal menunjukkan bahwa pasien depresi mengeluarkan aktivitas
prothrombotik dalam jumlah besar dan aktivasi platelet dalam jumlah
besar pada keadaan ortostatis.1
Pengobatan dengan antidepresan serotonergic yaitu paroxetine
dan sertralin, tetapi bukan dengan antidepresan trisiklik yaitu nortriptyline,
dikaitkan dengan reduksi jumlah indeks aktivasi platelet dalam dua studi.1

c. Pola perilaku tipe A, Kemarahan, dan Permusuhan


Hubungan pola perilaku yang ditandai dengan mudah bangkitnya
amarah, ketidak sabaran, agresi, kompetitif, dan waktu urgensi (tipe A)
dan penyakit jantung koroner didominasi dalam studi psikosomatik
kardiologi pada tahun 1970-an dan 1980-an. Beberapa studi epidemiologi
menemukan pola perilaku tipe A dikaitkan dengan peningkatan hampir
dua kali lipat risiko terjadinya insiden infark miokard dan penyakit arteri
koroner yang terkait dengan kematian.1
Permusuhan merupakan komponen inti dari konsep pola perilaku
tipe A yang telah menerima cukup bukti empiris sebagai alat ukur untuk

6
memprediksikan timbulnya penyakit jantung koroner. Permusuhan yang
rendah pada populasi tempat kerja bila dikaitkan memiliki risiko yang
rendah pula dalam menimbulkan risiko penyakit arteri koroner.1
d. Vital Exhaustion
Kelelahan vital, merupakan suatu kondisi lemah yang dikaitkan
dengan kehilangan energi, meningkatnya irritabilitas, dan demoralisasi
(misalnya: berkurangnya minat di tempat kerja, rasa pesimis, dan burnout)
telah diidentifikasikan sebagai faktor risiko untuk insiden penyakit jantung
koroner dan penyakit jantung pada jantung kongestif di Eropa, terutama
dominan di Belanda.1
e. Stres Mental Akut
Stres mental akut diinduksi oleh disfungsi endotelial arterial dengan
vasodilatasi yang terhambat, stres mental akut memiliki efek bermakna
yang signifikan pada aliran darah koroner yang bermakna pada pasien
dengan pre-existing coronary disease. Pada keadaan takut, gembira, dan
khususnya kemarahan akut, bisa menimbulkan aliran darah ke segmen
koroner aterosklerotik menurun timbul spasme koroner, sehingga
berhubungan dengan abnormalnya gerakan dinding arteri kiri, sehingga
pada saat EKG tampak miokard iskemik.1
Dalam beberapa studi menunjukkan 20-40% kematian penyakit
jantung yang tiba-tiba ada hubungannya dengan stresor emosi akut.1
f. Stres Mental Kronis
Stres mental kronis, akibat tekanan pekerjaan dan perkawinan, bisa
menimbulkan penyakit jantung koroner dan menimbulkan progresivitas.
Pada satu studi dengan 9000 orang Inggris dimana bila bekerja dan sulit
membina hubungan sosial yang erat maka dapat menimbulkan risiko
tersendiri untuk terjadinya penyakit jantung koroner.1
g. Penanganan Stres
Meta analisis terbaru yang terdiri dari 23 percobaan dengan
random kontrol mengevaluasi dampak tambahan dari pengobatan
psikososial, rehabilitasi yang telah didokumentasikan pada gangguan
kardiovaskular. Latihan relaksasi, managemen stres, dan kelompok

7
dukungan sosial yang didominasi dengan intervensi psikososial. Ansietas,
depresi, faktor biologis, mortalitas, dan kekambuhan penyakit jantung
merupakan studi klinis.1
Pengobatan pilihan termasuk obat-obat antidepresan, terapi
perilaku kognitif, dan latihan fisik misalnya latihan aerobik, dan rehabilitasi
jantung. Pada orangtua dengan penyakit jantung dan depresi psikoterapi
adalah sama efektifnya dengan pengobatan. Pada pasien orangtua
dengan depresi yang berat pada gambaran klinisnya agak sulit untuk
dievalusi, terdapat kesulitan dalam modifikasi perilaku dan gaya hidup
setelah serangan infark, sama sulitnya dengan pemberian obat-obatan.7

II.2. Aritmia Jantung dan Kematian mendadak


II.2.1. Definisi dan Perbandingan Nosologi
Diantara beberapa subtipe dari aritmia jantung, yang paling penting
untuk psikiater adalah sinus node dysfunction, atrioventricular (AV) yang
merupakan hasil gangguan konduksi pada bradiaritmia, dan takiaritrimia
yang bisa menimbulkan kematian, atau gejala yang belum jinak.
Bradikardi, didefinisikan sebagai denyut jantung rata-rata kurang dari 60
kali/menit, bisa terjadi normal, khususnya pada latihan pada atlet, tetapi
bisa juga terjadi patologis pada hipotiroid, beberapa pada penyakit liver,
dan pingsan vasovagal dan berbagai gangguan metabolik.1
SSRI bisa merusak fungsi sinus node, dan pada dosis yang tinggi
pada antidepresan trisiklik bisa merusak konduksi AV nodal, yang menuju
blok jantung. SSRI bersama-sama dengan β-adrenergik blockers atau
komponen vagomimetic mungkin memiliki efek adiktif untuk
memperlambat denyut jantung, kadang-kadang dieksaserbasi jika
serotonergik juga menghambat metabolisme hepar oleh β-blocker,
menambah efeknya.1
II.2.2. Patofisiologi
Aritmia ventrikel malignan bisa terjadi dengan gambaran picu
jantung pada seseorang walaupun tidak mengalami gangguan penyakit
jantung tetapi pada dasarnya lebih sering dijumpai pada orang-orang

8
dengan penyakit jantung. Karena konduksi depolarisasi pada miokard
tertunda di daerah kerusakan jaringan miokard, daerah distal ke daerah
yang terkena dapat dirangsang untuk depolarisasi sementara di jaringan
yang berdekatan dan dapat memicu fibrilasi ventrikel. Tingkat repolarisasi
dan kesiapan untuk memulai siklus jantung berikutnya dimodulasi oleh
persarafan di sekitar jantung dengan percabangan sistem saraf simpatetis
dan parasimpatetis.1
II.2.3. Diagnosis
Diagnosis aritmia Jantung tergantung pada kemampuan untuk
merekam gangguan irama. Karena EKG pada saat istirahat paling sering
dijumpai normal atau menunjukkan kontraksi terisolasi prematur pada
pasien dengan gangguan irama episodik, pemantauan selama rawatan
harus sering digunakan.1
II.2.4. Faktor psikologis yang mempengaruhi aritmia
Karena modulasi jantung otonom adalah amat sensitif terhadap
akut stres emosional, seperti amarah, rasa takut, atau kesedihan, tidak
mengherankan bahwa emosi akut dapat merangsang aritmia.Gejala
kecemasan sering juga ada pada pasien dengan penyakit jantung,
khususnya, pada penyakit jantung koroner dan aritmia. Berbagai gejala
yang tampak termasuk serangan panik, gangguan cemas menyeluruh,
kecemasan hipokondria, gangguan obsesif, dan reaksi stres akut. Pada
pasien yang masih muda, serangan panik dan takikardi atrial paroksismal
bisa tampak dengan gejala yang sangat mirip, sehingga sulit
membedakan keduanya, dan bisa juga menjadi terlihat tumpang tindih
pada pasien karena secara keseluruhan terlihat sama.1,4

II.2.5. Perpanjangan interval QT dan aritmia diinduksi oleh obat-obat


antipsikotik
Semua obat antipsikotik bisa menimbulkan perpanjangan interval
QT tetapi terutama yang memiliki gejala klinis signifikan yang memiliki
potensi rendah terhadap phenothiazine, pimozide, dan droperidol. 4
Beberapa obat antipsikotik dikaitkan dengan aritmia, termasuk
khususnya, thioridazine, mesoridazine, haloperidol, pimozide, dan

9
sertindole. Obat antipsikotik lain yang juga dikaitkan dengan berbagai
peningkatan interval QT termasuk risperidon dan ziprasidon, meskipun ini
belum dikaitkan dengan kasus torsade de pointes. Obat yang
menghambat metabolisme obat-obat antipsikotik dapat memperburuk
peningkatan interval QT dan meningkatkan risiko aritmia.1

II.3. Congestive Heart Failure (CHF), Transplantasi Jantung, dan


Assist Devices
II.3.1. Definisi dan perbandingan nosologi
Sindrom penyakit jantung kongestif dari berbagai etiologi bisa
disebabkan penyakit hati tetapi yang paling umum dijumpai dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Penyebab kematian utama dari
penyakit jantung kongestif adalah kegagalan pompa jantung dan aritmia
jantung.1,4
Pengobatan untuk pasien gagal jantung kongestif biasanya
mencakup digoxin, diuretik, dan ACE inhibitor atau antagonis angiotensin.
Terlepas dari evaluasi ini bisa juga dilakukan transplantasi jantung,
terdapat studi yang membahas masalah kejiwaan dari pasien gagal
jantung. Secara klinis, bisa dijumpai pada gangguan penyesuaian,
depresi, dan kecemasan yang merupakan masalah yang relatif banyak
dijumpai pada populasi umum. Diagnosis gangguan psikiatri pada pasien
dengan penyakit jantung kongestif memerlukan penilaian klinis.1
II.3.2. Epidemiologi
Prevalensi penyakit jantung kongestif di Amerika Serikat bisa lebih
dari 2% dimana nilai dasarnya tidak berubah dalam dua dekade terakhir.
Pada orang tua usia lebih dari 65 tahun, insiden penyakit gagal jantung
mendekati 1% per-tahun.4
Data terbaru terus menunjukkan bahwa lebih dari 500,000 orang
mengalami penyakit jantung kongestif per tahun di Amerika Serikat, dan
gagal jantung dianggap sebagai penyebab utama dalam 40.000 kematian
dan sebagai faktor dalam 250.000 kematian per tahun.1

10
II.3.3. Etiologi
Aktivasi neurohormonal, dengan keadaan aktivasi sistem saraf
simpatetis yang kronis, merupakan tanda dari perkembangan gagal
jantung dan membuat remodeling ventrikel, dilatasi dari ventrikel kiri
berhubungan dengan penurunan kemampuan kontrakbilitas ventrikel.1
II.3.4. Diagnosis dan Gambaran Klinis
Pasien biasanya datang dengan keluhan nafas pendek atau
dispnoe, mengurangi toleransi latihan, kelelahan, atau edema. Rales,
suara jantung abnormal (khususnya suara gallop S3), perpindahan dari
bunyi jantung pada dinding jantung, distensi pembuluh darah di vena,
pembesaran hepar, dan edema pada ekstrimitas bawah yang
diperlihatkan dengan latihan fisik. Ekokardiografi atau ventrikulografi
menunjukkan dilatasi ventrikel (di beberapa kasus) dan menurunkan
kontraktilitas.1
II.3.5. Diagnosis Banding
Hipotiroidisme, penyakit paru-paru, penyakit ginjal, dan penyakit
hepar yang ditandai dengan adanya gejala yang menyerupai gagal
jantung, seperti nafas pendek, edema, dan kelelahan. Gangguan-
gangguan psikiatri juga termasuk dalam diagnosis banding pada gagal
jantung. Kelelahan dan energi yang menurun bisa juga dijumpai pada
depresi dan gangguan ansietas menyeluruh, dan nafas pendek bisa
dijumpai pada gangguan somatoform dan gangguan panik.1
II.3.6. Prognosis
Gagal jantung kongestif merupakan kondisi yang progresif dengan
kematian sekitar 50 % per 5 tahun. Untuk beberapa kondisi, prognosis
tergantung dari penyebab dan patofisiologi dari penyebab gangguan.
Komorbid dengan depresi bisa berkaitan dengan meningkatnya morbiditas
dan mortalitas.1
II.3.7. Pengobatan
Terapi utama untuk gagal jantung kongestif adalah diuretik, ACE
inhibitor atau reseptor angiotensin bloker, dan β-adrenergik, digoksin
merupakan pengobatan utama untuk jangka panjang, namun peranannya

11
masih kontroversi, pada beberapa studi gagal menunjukkan manfaatnya,
dan beberapa dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.1
Transplantasi jantung merupakan pilihan terbatas dimana jumlah
pendonor yang sedikit yang bisa memberikan manfaat. Ketiadaan
perbaikan yang signifikan pada kelangsungan hidup dengan pengobatan
yang baru pada beberapa tahun terakhir ini, dan jumlah pasien yang
sedikit yang bisa menerima transplantasi, sehingga keuntungan untuk
kelangsungan hidup tersedia dengan alat bantu perangkat yang
merupakan pengobatan yang paling banyak diadopsi sebagai terapi. 1
a. Transplantasi Jantung
Transplantasi jantung tersedia untuk sekitar 2,500 pasien di
Amerika Serikat. Hal ini bisa tercapai 75% dalam 5 tahun kelangsungan
hidup pasien dengan penyakit jantung yang parah, sebagian dinyatakan
kurang dari 50% dalam 2 tahun kelangsungan hidup. Pada tahap adaptasi
ini biasanya menimbulkan ansietas, depresi, elasi, dan bekerja dengan
perasaan sedih. Gangguan mood biasanya dialami pada penerima
transplantasi, sebagian karena pengobatan dengan prednison yang lama
(Cordrol).1
b. Left Ventricular Assist Devices
LVDSs telah disetujui dipakai sebagai jembatan untuk transplantasi
jantung, dan baru-baru ini, juga digunakan sebagai pengobatan jangka
panjang pada penyakit gagal jantung. baru-baru ini, secara acak, sebuah
uji kontrol pada pasien dengan penyakit jantung yang berat, yang
menerima uji dengan transplantasi jantung menunjukkan kelangsungan
hidup dan lebih tinggi kualitas hidupnya dengan pemasangan LVADS
dibandingkan pasien yang menerima pengobatan lebih dari 2 tahun.
Pasien dengan pemasangan LVADs bisa pulih dari komplikasi klinis dari
kerusakan fungsi ventrikel kiri, dengan ditingkatkan fungsi ginjal, hepar,
serebral, dan sirkulasi perifer yang dilakukan dengan peningkatan latihan,
peningkatan kapasitas, dan kerja secara keseluruhan.1
Beban pengasuh merupakan hal yang substansial pada anggota
keluarga dengan pasien yang mendapat terapi perangkat bantu ketika

12
mereka keluar dari rumah sakit. Sebagaimana dibentuk perangkat bantu
ini aktif pada lokasi investigasi dan terjadi perubahan yang cepat, hal ini
dapat diterima sebagai gangguan neuropsikiatri dan dampak dari kualitas
hidup pada terapi ini akan menjadi bagian dari perubahan untuk beberapa
tahun kedepan.1
c. Faktor psikologis yang mempengaruhi penyakit gagal jantung
kongestif
Sedikit perhatian relatif menimbulkan faktor psikologis pada pasien
gagal jantung. baru-baru ini, oleh karena, depresi yang ditimbulkan
merupakan faktor risiko insiden pada gagal jantung dan kematian, dan
merupakan faktor psikologis yang terjadi setelah dilakukan transplantasi
jantung.1
II.3.8. Depresi dan prognosisnya pada gagal jantung kongestif
Beberapa studi terbaru yang melibatkan total lebih dari 1000 pasien
telah menunjukkan bahwa prevalensi dan prognosis yang signifikan dari
gejala depresi dan gangguan depresi mayor pada pasien penyakit jantung
kongestif. Sama dengan gangguan ansietas menyeluruh, depresi
mempercepat berkembangnya penyakit jantung kongestif dan
menimbulkan kematian pada gagal jantung kongestif.1
II.3.9. Faktor psikologis yang mempengaruhi kepatuhan dan
kelangsungan hidup pada pasien transplantasi jantung
Muncul bukti bahwa tubuh yang menerima transplantasi jantung
sebelum tindakan operasi harus memperkirakan masalah psikososial tidak
hanya psikiatri, tetapi juga masalah medis lainnya. Gangguan kepribadian,
gangguan penggunaan zat, kemampuan dan dukungan sosial, dan gejala
klinis yang merupakan penilaian riwayat kurangnya kepatuhan setelah
dilakukan operasi, episode gagal, dan peningkatan mortalitas. 1

II.4. Hipertensi
II.4.1. Definisi
Hipertensi didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah,
ditandai dengan tekanan darah lebih dari 140 mm Hg, untuk tekanan

13
darah sistolik, atau lebih dari 90 mm Hg, untuk tekanan darah diastolik,
setelah pengukuran berulang secara berkala.1
II.4.2. Epidemiologi
Prevalensi dari hipertensi di Amerika Serikat cukup tinggi, dengan
rata-rata 20 sampai 50 persen pada orang dewasa, tergantung dari jumlah
populasi. Insiden paling tinggi pada dekade ketiga sampai kelima dalam
kehidupan. Epidemiologi pada faktor risiko yang berkembang pada
hipertensi termasuk jenis kelamin, riwayat keluarga, bukan etnis kulit putih,
diet tinggi asupan sodium.1
Peningkatan insiden angka kejadian hipertensi mengkhawatirkan di
banyak negara yang berpenghasilan rendah dan menengah yang
berkaitan dengan konsumsi alkohol yang berlebihan. Faktor risiko pada
psikososial berkembang pada hipertensi masih kontroversi.1,8
II.4.3. Etiologi
Lebih dari 90 persen pasien dengan hipertensi bisa idiopatik atau
essensial hipertensi. Etiologi dari essensial hipertensi belum diketahui.
Bisa dipengaruhi faktor keluarga dan genetik.1
II.4.4. Diagnosis Banding
Pada hipertensi essensial, ginjal, pembuluh darah, dan gangguan
endokrin merupakan penyebab paling banyak pada hipertensi. Dengan
white-coat hypertension, tekanan darah dibawah nilai normal tetapi
meningkat akibat ada kaitannya dengan stres psikologis dengan
dilakukannya pengukuran tekanan darah di praktek dokter. Arteri stenosis,
adrenal adenomas (Cushing’s syndrome), pituitary adenoma (Cushing’s
disease) akibat hipertensi, dengan dijumpainya tanda pada pemeriksaan
neuroendokrin dan pemeriksaan klinis pada penyakit, respon hipertensi
pada lesi yang tepat.1
II.4.5. Prognosis
Walaupun hipertensi sering merupakan gejala klinis yang dijumpai
dalam beberapa dekade, namun bisa menimbulkan stroke iskemik atau
hemoragik, penyakit jantung atau gagal jantung. Gejala hipertensi, ketika

14
muncul, bisa termasuk rasa tidak nyaman di dada, sakit kepala, dan
pusing.1
II.4.6. Pengobatan
Farmakologi utama untuk hipertensi termasuk diuretik, ACE
inhibitor dan angiotensin II blockers, β-adrenergik blockers, dan calsium
channel blockers. Diet rendah garam, menurunkan berat badan, dan
latihan untuk membantu menurunkan tekanan darah.1
II.4.7. Faktor psikologis yang memengaruhi hipertensi
Hipertensi essensial merupakan salah satu dari tujuh gejala klasik
dari penyakit psikosomatik yang mana menurut penemu psikoanalisis
pada tahun 1950 bertujuan untuk melihat etiologi psikodinamik spesifik.
Dimana tidak dijumpai perbedaan antara orang-orang dengan hipertensi
ringan dan yang tidak mengalami hipertensi dengan pola perilaku tipe A,
kemarahan, kecemasan, stres fisiologis, kehilangan kontrol, dan
berdasarkan studi dengan 383 populasi laki-laki usia 30 sampai usia 60
tahun.1
Pada satu mini studi mengenai manajemen stres untuk pasien
hipertensi dimana hasil intervensinya menunjukkan bila perbaikan tekanan
darah, maka dengan menurunnya tekanan darah berkorelasi dengan
berkurangnya stres dan mengatasi kemarahan. Pada satu studi lainnya
dicatat bahwa peningkatan prevalensi gangguan panik dengan hipertensi
dibandingkan dengan tekanan darah normal pada satu layanan primer,
dimana onset terjadinya gangguan panik lebih banyak dapat terjadi pada
seseorang yang terdiagnosis hipertensi.1,4

II.5. Sinkop
II.5.1. Definisi dan Perbandingan Nosologi
Sinkop didefinisikan sebagai suatu keadaan tiba-tiba, kehilangan
kesadaran dihubungkan dengan gejala postural, diikuti dengan perbaikan
yang spontan, dan terjadi akibat reduksi dari aliran darah serebral.
Mekanisme sinkop terjadi pada vaskular atau volume darah yang
inadekuat, gangguan irama jantung, kegagalan perfusi atau hipertensi

15
pulmonal, atau primary cerebrovascular insufficiency. Sinkop dapat terjadi
satu kali atau dapat berulang dan kronik.1
II.5.2. Diagnosis dan Gejala Klinis
ECG yang abnormal atau susunan gejala penyakit jantung sering
dengan uji tingkat stres, echokardiografi, monitoring ambulatory, atau
dengan elektrofisiologis (EP).
II.5.3. Perbandingan Diagnosis
Serangan pingsan, pusing, dan vertigo yang bukan disebabkan
hilangnya kesadaran. Kejang dapat menjadi penyulit untuk menilai sinkop,
tetapi bisa diawali dengan aura, dilanjutkan dengan hilangnya kesadaran
lebih dari 5 menit, dan ritme perpindahan dari kehilangan kesadaran
dikarakteristikan dengan kejang.1
II.5.4. Prognosis
Penyakit jantung merupakan indikator prognosis yang penting pada
sinkop. Secara khusus, pasien dengan sinkop dikaitkan dengan disfungsi
ventrikel kiri dan memiliki risiko signifikan dengan mortalitas dalam 1
tahun. Pada orangtua, aritmia ventrikel, ECG abnormal, dan gagal jantung
berkontribusi dalam meningkatkan risiko mortalitas pada pasien sinkop. 1
II.5.5. Pengobatan
Pengobatan ditujukan untuk latar belakang penyebab sinkop, ketika
memungkinkan β-blocker dan β- adrenergik agonis dipakai sebagai
pengobatan farmakoterapi untuk sinkop, tetapi uji klinis kurang atau
menunjukkan manfaat terbaik yang tidak begitu terlihat.1
II.5.6. Faktor Psikologis yang mempengaruhi Sinkop
Walaupun ansietas dan stres emosi akut diakui sebagai hal yang
bisa menimbulkan sinkop, prevalensi dari faktor-faktor ini belum jelas.
Ansietas dan gangguan panik secara umum dapat berulang pada pasien
sinkop, tetapi apakah hal tersebut ada sebelum sinkop atau hanya setelah
keduanya timbul bersamaan.1

16
II.6. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit cacat jantung bawaan terjadi 1% pada kelahiran hidup.
Lebih dari 25 tahun, kemajuan dalam bedah jantung telah memberikan
kemungkinan pasien yang mengalami kelainan jantung dan bisa mati
pada masa kecil bisa mencapai usia dewasa. Paling banyak dari pasien-
pasien ini memiliki sirkulasi yang abnormal, karena masalah tidak
dikoreksi atau modifikasi bedah untuk sirkulasi.1

II.7. Penyakit Katup Jantung


Hubungan antara penyakit katup jantung dan gangguan psikiatri
telah menjadi masalah yang cukup besar selama beberapa dekade
terakhir. Pada gangguan panik, prolapse katup mitral dideteksi pada 10%
sampai 25% pada beberapa studi pada pasien yang di echokardiografi. 1
Secara alamiah hubungan antara panik dan prolapse katup mitral
masih dipertanyakan, meskipun, karena panik tidak terjadi akibat
peningkatan rata-rata nilai pada pemeriksaan echokardiografi pada pasien
dengan prolapse katup mitral, dan karena pada beberapa pasien prolapse
katup mitral bisa terjadi beberapa gangguan psikiatri lainnya.4

II.8. Stroke
Studi hubungan antara stroke dan penyakit pada psikiatri telah
difokuskan terutama pada depresi sebagai dampak dari stroke, dan
hampir mungkin begitu tepat, karena insiden depresi pasca stroke muncul
menjadi berkisar 20% sampai 50% pada 1 bulan sampai 1 tahun angka
kejadian. Meskipun, pertanyaan menarik lain termasuk dampak dari faktor
psikologis merupakan insiden faktor risiko stroke dan perbaikan dari
stroke, hubungan antara lokasi lesi stroke dan insiden depresi, dan
kemungkinan propilaksis.1

II.9. Depresi Vaskuler


Diagnosis dari depresi vaskuler terkait dengan angka kejadian
penyakit vaskuler dan onset lambat dari depresi. Depresi vaskuler

17
memperlihatkan tidak ada perbedaan untuk wanita atau orang dengan
riwayat keluarga dengan onset awal depresi. Beberapa kejadian depresi
vaskuler merupakan karena respon obat antidepresan yang rendah pada
pengobatan dibandingkan onset awal depresi.1

II.10 Penyakit Jantung Fungsional


Gangguan somatoform, gangguan panik, ansietas, dan depresi
bisa semua muncul dengan kelainan somatik dan bisa juga ada pada
gangguan ambulatory dan praktik gawat darurat jantung. pada beberapa
kasus pasien terlihat mengalami palpitasi, diagnosis ini bisa dinilai pada
30% kasus. Pasien tanpa penyakit jantung bisa dua kali lebih mungkin
mendapatkan gangguan panik. Pasien gangguan panik yang lebih muda,
lebih banyak pada wanita, dan lebih banyak pada yang tidak bekerja.
Pada studi lain pada orang-orang yang datang ke gawat darurat jantung
dengan nyeri dada, bervariasi terkait dengan gangguan panik termasuk
aritmia jantung, perempuan, berbagai jenis nyeri dada, usia lebih muda,
dan sebagian besar dilapokan mengalami ansietas.1

II.11. Masalah-masalah psikiatri pada pasien dengan penyakit


jantung
a. Komplikasi psikiatri pada aritmia
Aritmia ventrikel bisa tanpa gejala atau bisa menyebabkan palpitasi,
muka merah, pusing, sinkop, atau kematian mendadak. Pasien yang
mengalami gangguan irama kehidupan yang tidak menyenangkan mudah
mengalami gangguan penyesuaian, gangguan mood, dan gangguan
ansietas. Pengobatan dari gangguan irama jantung dapat menimbulkan
komplikasi dengan gangguan psikiatri. Beberapa obat antiaritmia memiliki
efek samping terhadap gangguan psikiatri, termasuk delirium, halusinasi,
ide paranoid, dan gangguan mood. Lidocaine (Dalcaine) dan
procainamide (Procaine) yang khususnya hampir mungkin memiliki efek
ini.1

18
b. Delirium
Delirium merupakan masalah yang paling umum dijumpai pada
penyakit jantung. Tiga dari kategori ini ada pada pasien dengan risiko :
pasien dengan penyakit jantung kongestif yang berat, pasien yang
mendapatkan pengobatan aritmia untuk takhiaritmia setelah infark miokard
atau bedah jantung, dan pasien yang telah mendapatkan operasi jantung.
penanganannya tergantung dari kelainan yang mendasari seperti
mengatasi psikosis atau agitasi dengan penggunaan antipsikotik.
Penggunaan sedatif sebaiknya dihindari, walaupun bermanfaat pada
pasien dengan agitasi dari penggunaan lorazepam (Ativan) dan
haloperidol.1
c. Depresi
Hampir 15% sampai 20% pasien depresi dijumpai dengan kriteria
depresi mayor, yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi depresi
mayor di Amerika Serikat (6,7%). Tingkat depresi sedang sampai berat
bisa terjadi pada pasien sepertiga pasien setelah operasi bypass jantung
koroner tetapi bisa kembali beberapa minggu sampai beberapa bulan.1
d. Pengobatan Depresi
Antidepresan trisiklik bisa menyebabkan ortostatis hipotensi dan
gangguan konduksi jantung. pada kombinasi dengan diuretik, vasodilator,
atau benzodiazepin, fungsi obat-obat ini pada tekanan darah berlebihan.1
e. Penurunan Kognitif setelah operasi bypass koroner
Operasi bypass koroner tidak memiliki manfaat lebih dalam
penanganan medis untuk gagal jantung koroner dengan harapan untuk
kelangsungan hidup, kecuali pada kasus-kasus arteri koroner kiri atau
penyumbatan pada arteri anterior kiri, tetapi pembedahan bisa lebih efektif
daripada pengobatan dengan perbaikan untuk gejala angina dan
perbaikan dengan toleransi latihan, perbaikan fungsi, dan peningkatan
kualitas hidup secara keseluruhan. Komplikasi psikiatri setelah operasi
bypass koroner telah dicatat sejak terjadi dan berguna untuk perbaikan
pada cardiopulmonal bypass, anestesi, dan tehnik pembedahan.
Kerusakan memori dan kognitif dapat terjadi setelah operasi bypass. 1

19
Pada studi terbaru dilakukan operasi bypass elektif dengan
melibatkan 2,100 pasien yang dioperasi di pusat jantung, diobservasi
klinis yang mengalami gangguan neurologis sebanyak rata-rata 6,1%.
Kematian, akibat kerusakan neurologis fokal (stroke), atau stupor terjadi
sebanyak 3,1%, kejadian ini diperkirakan banyak terjadi pada usia yang
lebih tua, pada aterosklerosis aorta, dan pada pasien yang memiliki
riwayat penyakit neurologi. Kerusakan tidak spesifik pada fungsi
intelektual terjadi 2,6%, dan kejang terjadi sebanyak 4%.1
f. Transplantasi jantung
Penyulit-penyulit psikiatri pada pasien transplantasi jantung
termasuk gangguan mood primer dan sekunder, delirium, nyeri, adiksi
terhadap analgetik dan obat-obat ansiolitik, dan ansietas.1
g. Interaksi Obat dan sistem sitokrom
Interaksi obat-obat diperantarai dengan sistem sitokrom hepatis
P450 yang merupakan teoritis yang penting, walaupun sedikit dari
interaksi ini telah dibuktikan menjadi masalah klinis yang signifikan.
Beberapa obat tersebut terdapat dalam tabel berikut. 1

Tabel 1. 2-11. Beberapa efek samping psikiatri dari obat jantung.1

Pengobatan Efek
Digoxin (Lanoxin) Halusinasi penglihatan
Angiotensin-converting Enzyme Mood elevasi
inhibitors
Thiazide diuretcs Mood elevasi
β –adrenergic blockers Lelah, disfungsi seksual
Lidocaine (Dalcaine) Delirium
Mexiletine Delirium
Amiodarone (Cordarone) Hipotiroid, yang dikaitkan dengan
depresi

20
KESIMPULAN

Komorbiditas yang tinggi antara gangguan psikiatri dan penyakit


kardiovaskular telah mendapat perhatian yang lebih dalam literatur ilmu
yang berkembang saat ini. Gangguan mood dan ansietas memiliki kaitan
yang erat dengan penyakit jantung termasuk faktor risiko signifikan lainnya
untuk gangguan-gangguan kardiovaskular adalah stres psikologis.
Gangguan-gangguan kardiovaskular yang sering berkaitan dengan
gangguan psikiatri dan memiliki komorbiditas dan mortalitas adalah
Penyakit jantung arteri koroner, Aritmia jantung, penyakit jantung
kongestif, hipertensi, sinkop, penyakit jantung bawaan,dll. Gangguan-
gangguan kardiovaskular ini sebagian dapat di diagnosis banding dengan
gangguan-gangguan pada psikiatri dan terkadang bisa menimbulkan
diagnosis yanng overlapping atau tumpang tindih, kebanyakan penyebab
dari gangguan kardiovaskular adalah gangguan pada jantung, stres
fisiologis, dan irama jantung.
Penanganan gangguan-gangguan kardiovaskular yang memiliki
kaitan dengan gangguan pada psikiatri pengobatan pilihan termasuk obat-
obatan antidepresan, terapi perilaku kognitif, dan latihan fisik misalnya
latihan aerobik, transplantasi, operasi bypass koroner dan rehabilitasi
jantung.

21
DAFTAR RUJUKAN

1. Shapiro P.A, Wulsin L.R. Cardiovascular Disorders. In : Kaplan &


Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 9th ed. Vol III.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2009 : p.2251-63.
2. Larsen B.A, Christenfeld N.J.S. Cardiovascular Disease and
Psychiatric Comorbidity : The Potential Role of Perseverative
Cognition. In : Cardiovascular Psychiatry and Neurology. Volume
2009, USA : Hindawi Publishing Corporation;2009. p.1-8.
3. Wheelar A, Harrison J, Homes Z. Cardiovascular risk assessment
and management in mental health client : perseptions of mental
health and general practitioners in New Zealand. Journal of Primary
Health Care. Volume 1, Auckland : 2009; p.11-19.
4. Levenson J.L. Psychosomatic Medicine. In : Tasman A, Kay J,
Lieberman JA, First MB, Maj Mario, editors. Pychiatry. 3 th ed. West
Sussex : John Wiley & Sons; 2008. p.2496-01.
5. Lichtman J.H, Bigger J.T, Blumenthal J.A, et al. Depression and
Coronary Heart Disease. Endores by the American Psychiatric
Association. AHA Science Advisory 2008; p.1768-75.
6. Freeland K.E, Carney R.M. Depression as a risk factor for adverse
outcomes in coronary heart disease. Current Controversies in
Psychiatry, USA : BMC Medicine. 2013; p.1-9.
7. Stefanataou A, Kouris N, Lekakis J. Treatment of Depression in
Elderly Patients with Cardiovascular Disease : Research Data and
Future Prospects. Hellenic J Cardiol, Greece : 2010. p.142-52.
8. Schutte A.E, Ware L.J, Huisman H.W, et.al. Psychological Distress
and the Development of Hypertension Over 5 Years in Black South
Africans. The Journal of Clinical Hypertension, South Africa :
2015.p.126-33.

22

Anda mungkin juga menyukai