ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas
Nama : Tn. Y
Umur : 47 tahun
Agama : Islam
1.2 Anamnesa
Keluhan Utama
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan batuk yang telah dialami kurang lebih 1 bulan disertai adanya benjolan
dibagian axilla kanan, awalnya benjolan tidak tampak, namun pasien merasa nyeri saaat
menggerakkan tangan sebelah kanan. Kemudian pasien merasa batuknya semakin memberat dan
benjolan semakin membesar disertai sesak nafas, pasien sudah berobat ke RSUD Muhammad
Sani namun tidak ada perbaikan. Pasien juga mengeluhkan badannya terasa lemas. Demam (-), ,
nyeri dada (-), nyeri ulu hati (-). BAB tidak ada gangguan, BAK tidak ada gangguan.
Riwayat Diabetes Mellitus (-), riwayat hiperkolesterol (-), riwayat asma bronkiale (-). Pasien
SpO2 : 98%
Suhu : 36.80C
2
Status Generalis
Berat badan : 60 kg
Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil T1-T1, arkus faring simetris, faring tidak
hiperemis
Gigi dan mulut : Bibir tidak kering, Oral hygiene baik, karies dentis (-)
Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada secret, tidak ada tofus
Leher : Tiroid tidak membesar, KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O
Jantung : Bunyi jantung S1-S2 ireguler, tidak terdapat murmur, tidak ada gallop
Abdomen : Datar, supel, hepar sulit diraba, lien tidak teraba membesar
Tidak terdapat nyeri tekan, shifting dullness (-), Bising usus (+) normal
4
Ureum 19.0 13.0-43.0 mg/dl
Kreatinin 0.96 0.70-1.3 mg/dl
Albumin 3.9 3.2-5 g/dl
PRT 14.0 11-15 detik
Control 13,7 detik
APTT 29.3 25-35 detik
Control 30.5 detik
HBsAg - -
HIV - -
Anti HCV - -
5
1.4.3 Foto thorax (dilakukan tanggal 28 Oktober 2019) di RSUD Muhammad Sani
6
Kesan : Efusi Pleura Kanan, adanya massa paru perlu dipertimbangkan, Suspek Pneumonia
1.5 Ringkasan
Pasien dengan keluhan batuk dan sesak disertai adanya benjolan di axilla sebelah kanan yang
dialami kurang lebih 2 bulan ini, dari pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada axilla sebelah
kanan, thorax dextra tampak asimetris, stem fremitus melemah, daari hasil perkusi didapatkan
redup pada thorax dextra, pemeriksaan auskultasi thorax dextra melemah. Dari pemeriksaan
EKG tidak tampak kelainan, dari pemeriksaan rontgen thorax kesan efusi pleura kanan, adanya
1.6 Diagnosis
1. Fibrothoraks
2. Empiema
1.7 Tatalaksana
Rencana pengobatan:
- Rawat inap
7
Persiapkan FFP 250 cc
1.8 Follow Up
2 Desember 2019
O : Kesadaran : CM
TD : 131/87 mmHg
Suhu : 36.80C
Paru : Vesikuler kiri dan kanan melemah, ronchi (-/-), wheezing (-)
8
Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)
A: - Fibrothorax
- Empiema
Rencana diagnostik :
- Lapor OK
3 Desember 2019
O : Kesadaran : CM
TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36.50C
9
Leher : Dalam batas normal
A: - Fibrothoraks
- Empiema
P: - IVFD RL / 12 jam
- Inj. Fosmidex 3 x 1
- Inj. Dexketoprofen 3 x 1
- Nebul Combivent 3 x 1
4 Desember 2019
O : Kesadaran : CM
TD : 121/80 mmHg
10
Frekuensi jantung : 108x/menit
Suhu : 36.50C
- Inj. Fosmidex 3 x 1
- Inj. Dexketoprofen 3 x 1
- Nebul Combivent 3 x 1
5 Desember 2019
11
S : sesak nafas (-), keadaan tampak membaik
TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36.50C
SpO2 : 99%
- Inj. Fosmidex 3 x 1
- Inj. Dexketoprofen 3 x 1
- Nebul Combivent 3 x 1
12
- Cek DL
- Aff kateter
Pada tanggal 05 Desember 2019 dilaporkan hasil Darah lengkap kepada dr. Viktor, Sp.BTKV
6 Desember 2019
TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36.50C
SpO2 : 99%
13
- Drip tramadol dalam NaCl 100 cc habis dalam 30 menit
- Inj. Fosmidex 3 x 1
- Inj. Dexketoprofen 3 x 1
- Nebul Combivent 3 x 1
- Aff WSD
9 Desember 2019
TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36.50C
SpO2 : 99%
14
P:- Cefixime 2 x 200 mg
- Ultracet 3 x1
- N. Acetylsistein 3x1
- Rawat Jalan
BAB II
ANALISA KASUS
2.1 Anamnesis
Pada kasus, dikatakan pasien datang dengan keluhan baruk terus menerus yang disrtai
sesak nafas, yang dialami 1 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan timbulnya benjolan pada daerh
axilla kanan, dan terasa nyeri pada dada sakit saat menggerakkan tangan sebelah kanan , batuk
Dari keluhan yang dialami pasien,batuk, sesak nafas dan nyeri pada dada sebelah kanan
saat menarik nafas dan menggerakkan tangan ada kemungkinan pasien mengalami pneumonia
yang menngakibatkan penumpukan cairan.Dimana pneumonia dapat terjadi akibat infeksi bakteri
ataupun virus, kemudian infeksi menyebabkan peradangan membrane paru sehingga cairan
15
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien saat awal masuk composmentis,
tekanan darah , frekuensi jantung 80x/I, frekuensi nafas 22x/I. Pada pemeriksaan thorax juga
dijumpai vesikuler melemah pada lapangan paru kanan, stem fremitus melemah pada paru
kanan, ditemukan perkusi redup di paru kanan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Dari
pemeriksaan fisik tersebut keluhan yang dialami pasien diassesment sebagai masalah pada
respirasi. Masalah respirasi pada pasien di diagnose banding dengan adanya pneumonia
dikarenakan adanya ronchi pada kedua lapangan paru yang disertai batuk dan sesak, yang dapat
menimbulkan cairan pada rongga paru berupa pus yang disebut empyema.
Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan dengan
terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain, dapat
juga disebabkan trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan vascular dan lain sebagainya.
Manifestasi klinis dari empyema dapat berupa demam, nyeri dada, dan sesak timbul saat
Dilakukan pemeriksaan penunjang awal terhadap pasien berupa pemeriksaan darah, foto
thorax dan elektrokardiogram. Dari pemeriksaan darah tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan foto thorax dijumpai gambaran Efusi pleura dextra, adanya massa perlu
Gambaran efusi pleura yang didapat pada pemeriksaan foto thorax bisa dikarenakan
adanya infeksi ataupun massa. Gambaran ini mendukung bahwa keluhan yang dialami pasien
16
Pada penegakkan diagnose, pemeriksaan foto thoraks dibutuhkan dan didapatkan adanya
efusi pleura dextra, pada penegakkan diagnose empyema juga bisa dilakukan CT-Scan thoraks
dan USG thoraks. USG thoraks dapat membantu semua kasus yang diduga empyema, cairan
dalam pleura dan membuktikan adanya efusi pleura terlokulasi. Ct-Scan toraks berguna untuk
membantu dalam penentuan terapi. Pada pasien ini juga sudah dilakukan CT-Scan dan
2.4 Tatalaksana
cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan megembalikan fungsi respirasi normal.
Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen , terapi cairan pada kasus dehidrasi, antipiretik,
analgesic dan antibiotic. Terapi spesifik untuk empyema terdiri dari terapi konservatif sampai
tindakan pembedahan.
Pada pasien ini telah dilakukan pemebrian oksigen dan antibiotik yaitu Fosmidex, setelah
dilakukan penanganan awal pada pasien, pasien direncanakan untuk dilakukan operasi
thoraxcotomy.
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura,meskipun studi dan uji
klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura untuk mencakup empiema dan efusi
buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi
protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat
tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan, jarang,
Weese mendefinisikan sebagai cairan dengan gravitasi spesifik lebih dari 1018, jumlah
leukosit lebih dari 500/sel mm, atau kadar protein lebih dari 2,5 g%. Vianna mendefinisikan
empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih dari
15.000/sel mm dan kadar protein lebih dari 3 g%. karena banyak efusi pleura masuk dalam
kriteria ini, definisi paling tepat adalah cairan pleura yang tebal dan purulen. Empiema biasanya
18
merupakan komplikasi dari pneumonia tetapi dapat muncul infeksi dari tempat lain. Di India,
Gejala klinis dan etiologi mikroba dapat berbeda tergantung dari trauma lokal,
pembedahan atau kondisi yang mendasari seperti malignansi, penyakit vaskular kolagen,
kelainan imunodefisiensi, dan infeksi yang melibatkan orofaring, esofagus, mediastinum atau
jaringan subdiafragma.Infeksi pleura merupakan satu dari penyakit tertua dan penyakit yang
berat.Infeksi pleura merupakan masalah klinis umum yang berhubungan dengan mortalitas dan
Drainase rongga pleura dilakukan oleh Hippokrates lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk
mengobati empiema. Selama pandemik influenza tahun 1917 - 1919, drainase pleura tertutup
menjadi terapi yang paling banyak digunakan untuk mengobati empiema parapneumonik.
Pengenalan yang cepat dari perkembangan empiema merupakan waktu yang krusial untuk
menentukan keberhasilan pengobatan; meskipun dengan terapi yang sesuai, mortalitas pasien
dengan empiema sebesar 15 - 20% dan lebih tinggi pada pasien imunokompromais.
19
3.2 Etiologi
Etiologi empyema dapat terjadi akibat dari pasien dengan pneumonia yang berkembang
menjadi efusi parapneumonik, dan efusi para pneumonik berkembang menjadi empyema. Insiden
empyema meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak , dua pertiga pasien memiliki factor
Imunodeficiency Virus, DM, dan kekurangan gizi), alcohol atau penyalahgunaan obatintravena,
aspirasi bronkial, oral hygene yang buruk dan penyakit kronis parenkim paru.
Penelitian Hellen dkk menyatakan bahwa 434 pasiendari 40 pusat kesehatan di UK dengan
infeksi pleura, bakteri aerob Gram-positif yang paling sering ditemukan pada infeksi pneumonia
komunitas yang dapat menyebabkan empyema. Enam puluh persen berasal dari streptococcus
- S. Milleri
- S. Pneumoniae
20
- S. Intermedius
- Enterobacteriaceae
- Escherichiae coli
Anaerobs (20%)
- Fussobacterium spp
- Bacteroides spp
- Peptostreptococcus spp
- Mixed
- S. Aureus ( 10%)
- E.Coli
- Pseudomonas aeruginosa
- Klepsiella spp
Anaerob (8%)
21
3.3 Patofisiologi
Pleura dalam keadaan normal memproduksi cairan pleura sekitar 0,01 mL/kg/jam dan
normalnya rongga pleura terisi cairan sekitar 5-10 ml yang disekresi dari pleura parietalis dan
diserap melalui beberapa mekanisme yaitu tekanan gradient melalui pleura visceralis, drainase
limfatik stoma dari pleura parietal dan mekanisme seluler. Efusi pleura terjadi karena
keseimbangan antara produksi dan pengeluaran cairan pleura terganggu. Efusi pleura sekunder
yang terjadi oleh karena pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia.Perkembangan proses
a. Tahap eksudatif
pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan perubahan aktif pada sel mesothelial
Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan jumlah leukosit yang rendah, tingkat
LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar pH dan kadar glukosa dalam batas
22
normal dan tidak mengandung organisme bakteri. Efusi tersebut akan sembuh secara
b. Tahap Fibropurulen
Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka inflamasi
pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang ditandai dengan
peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga pleura melalui
seperti plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan PAI 2 dan penurunan tissue type
plasminogen activator (tPA). Hal ini mengakibatkan endapan fibrin pada pleura
visceralis dan parietalis, sehingga rongga pleura terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi
drainase dari pus. Metabolisme bakteri dan aktivitas fagositosis neutrophil distimulasi
oleh protease dan fragmen yang berasal dari dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan
metabolisme glukosa dan peningkatan kadar LDH. Karakteristik biomolekul tahap ini
adalah pH <7,2, glukosa <60 mg/dL dan LDH > 1000 IU/L.
c. Tahap organisasi
Terdapat proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Penelitian pada hewan coba
menunjukkan bahwa proses ini diperantara oleh beberapa faktor seperti platelet-
derived growth factor-like growth factor (PDGF) dan transforming growth factor beta
(TGF-ß). Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan pleura menjadi tebal dan tidak
23
elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin fibrotik, sehingga ekspansi paru
menjadi terhambat, fungsi paru menurun dan rongga pleura yang bersepta-septa akan
Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada yang mengalami
kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru.Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi pleura parapneumonia
membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat diterapi dengan
tindakan bedah.
3.4 Diagnosa
Untuk mendiagnosa empyema, perlu diperhatikan manifestasi klinis demam, nyeri dada
dan sesak akan timbul jika cairan efusi cukup banyak. Pemeriksaan pH dan pertanda biokimia
7,20 tidak mempunyai sensitivitas 100%. Nilai pH pada efusi pleura yang terlokalisir dapat
berlainan antara satu lokasi dengan yang lain. Beberapa kasus empyema memiliki kadar glukosa
dibawah 40mg/dl dan LDH mencapai 1000 U/l. Rendahnya pH cairan pleura selalu berkaitan
dengan kadar glukosa rendah dan LDH tinggi. Hal ini dapat digunakan sebagai alternative untuk
gamabran ilfiltrat di parenkim atau konsolidasi. Foto toraks lateral decubitus dapat digunakan
24
untuk melihat adanya cairan. Computed Tomography (CT Scan) daapt digunakan untuk
Pemeriksaan CT Scan dan ultrasonografi (USG) toraks dapat dilakukan pada efusi
parapneumonia. Pemeriksaan USG toraks dapat membantu semua kasus yang diduga empyema,
cairan di dalam pleura dan membuktikan efusi pleura terlokulasi, membantu menentukan lokasi.
Biopsi pleura dan kultur cairan pleura harus dilakukan untuk memastikan diagnose
empyema karena Tuberkulosis kultur mikrobakterium biasanya positif, sehingga biopsy pleura
tidak diperlukan.
3.5 Penatalaksanaan
cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan mengembalikan fungsi respirasi
normal. Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen jika dibutuhkan, terapi cairan pada kasus
dehidrasi, antipiretik, analgesik dan antibiotik. Terapi spesifik untuk empiema terdiri dari terapi
a. Pemberian Antibiotik
yang dimulai sedini mungkin dan berdasarkan hasil kultur. Regimen antibiotika
25
anaerob, karakteristik pasien, pola mikrobiologi setempat dan aktivitas antibiotik dalam
pleura. Penetrasi kuinolon lebih baik dari pada penisilin. Konsentrasi sefalosporin stabil
terutama untuk terapi empiema, karena aminoglikosida memiliki penetrasi yang buruk di
dalam rongga pleura dan tidak efektif dengan keadaan cairan pleura yang bersifat asam
dan purulen.Berdasarkan organisme penyebab bakteri anaerob, gram negatif aerob dan
dengan imipenem, ticarcilin, asam klavulanat atau terapi kombinasi dengan klindamisin
cairan berbau busuk atau pengecatan gram positif. Klindamisin oral atau penisilin harus
tetap diberikan selama waktu pengobatan setelah antibiotika parenteral dihentikan, karena
CAP adalah sefalosporin generasi ke-2 atau golongan penisilin yang akan mengcover
Antibiotika yang diberikan pada empiema yang terjadi setelah operasi dan trauma
adalah antibiotika spektrum luas untuk bakteri gram positif, negatif dan anaerob seperti
26
penisilin antipseudomonal (piperacillin-tazobactam dan ticarcillin-asam klavulanat),
karbapenem atau sefalosporin generasi ke-3. Pemeriksaan kultur dan tes kepekaan
antibiotik harus dilakukan untuk melihat sensitifitas bakteri patogen dan diperlukan untuk
mengurangi terjadinya penebalan pleura, sensitivitas obat dan resistensi obat. Lama
gejala.Menurut Baumer antibiotika oral sebaiknya diberikan selama 1-4 minggu dan
cairan yang dihasilkan <50 ml/hari dan perbaikan gambaran radiologis. Hal ini juga
dikemukakan oleh Banga dkk bahwa lama pemberian antibiotika dapat diberikan selama
3 sampai 6 minggu. Proses penyembuhan selalu membutuhkan waktu lebih dari 2 minggu
dan petanda serum inflamasi seperti C reactive protein (CRP) dapat digunakan sebagai
b. Pemberian fibrinolitik
Fibrinolitik dimasukkan kedalam cavum pleura melalui chest drain untuk melisiskan
fibrin dan membersihkan stoma limfatik sehingga mengurangi oklusi selang oleh debris,
membuat drainase cairan pleura lebih baik dan memperbaiki kembali sirkulasi pleura.
keuntungan yang signifikan baik pada anak maupun dewasa, dengan mengurangi lama
27
perawatan di rumah sakit, panas badan, lama pemakaian drainase pleura dan tindakan
strategi untuk mempertahankan fungsi paru dan mengurangi tindakan pembedahan pada
Selang di klaim selama 4 jam dan posisi pasien diubah-ubah agar streptokinase
merata ke seluruh rongga pleura. Satu siklus terdiri dari 3 dosis, pemberian diulang tiap
12 jam tergantung dari respons dan kebutuhan. Siklus ini dapat diulang dengan jarak
tidak menimbulkan efek samping sistemik (perdarahan). Efek samping lain dapat berupa
demam, menggigil, reaksi alergik dan perdarahan. Kontra indikasi streptokinase berupa
c. Pembedahan
luas, efusi parapneumonia dengan pH kurang dari 7,20, glukosa kurang dari 60mg/dl,
atau ditemukannya kuman pada pengecatan ataupun kultur. Pilihan pembedahan terdiri
insisi kecil yang mirip dengan VATS, tetapi selang torakostomi ini merupakan prosedur
pembedahan, yang meninggalkan scar linear kecil disepanjang garis costae. Dekortikasi
28
melibatkan pelepasan lapisan pleura yang menebal dan irigasi cavum pleura melalui
insisi posterolateral yang luas. VATS merupakan suatu metode dekortikasi kurang
invasif sesuai pada anak yang akan mentoleransi ventilasi paru tunggal selama anestesi.
drainase pus dari cavum pleura dibawah pandangan langsung melalui 2-3 insisi kecil.
BAB IV
KESIMPULAN
Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan dengan
terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan oleh komplikasi dari pneumonia tetapi dapat
juga disebabkan oleh adanya infeksi dari tempat lain. Semua pasien dengan efusi parapneumonia
Efusi pleura yang steril dengan PH ≥7,20 diobservasi dan dilindungi dengan pemberian
antibiotik yang adekuat. Empiema dan efusi pleura yang terlokulasi serta efusi parapneumonia
dengan PH < 7,20 atau glukosa < 60 mg/dL atau ditemukannya kuman pada pemeriksaan dan
29
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Davies HE, Davies RJ, Davies CW. Management of pleural infection in adults: British
Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax. 2010; 65(suppl 2): 41-53
2. Sahn SA. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and empyema. Clin
3. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta: Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedoktera
http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf
4. Helen E Davies, Robert J O Davies, on behalf of the BTS Pleural Disease Guidline
disease guideline 2010. Thorax 2010;65(Suppl 2): 41-53. Garrido VV, Sancho JF, Blasco
LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment of pleural effusion. Arch Bronkoneumol.
5. Andrews NC, Parker EF, Shaw RP, et al. Management of nontuberculous empyema. A
statement of the sub- committee on surgery. Am Rev Respir Dis 1962; 85: 935-936.
6. Acharya PR, Shah KV. Empyema thoracis: A clinical study. Ann Thorac Med. 2007; 2:
14-7.
31
7. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease.European
32