Anda di halaman 1dari 32

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas

Nama : Tn. Y

Tanggal lahir : 24-07-1972

Umur : 47 tahun

Alamat : Kampung Harapan

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak ada

Pendidikan terakhir : SMA

No. Rekam medis : 43-22-04

Tanggal masuk : 2 Desember 2019

Tanggal pemeriksaan : 2 Desember 2019

1.2 Anamnesa

Keluhan Utama

Batuk terus menerus disertai adanya benjolan di axilla dextra

1
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan batuk yang telah dialami kurang lebih 1 bulan disertai adanya benjolan

dibagian axilla kanan, awalnya benjolan tidak tampak, namun pasien merasa nyeri saaat

menggerakkan tangan sebelah kanan. Kemudian pasien merasa batuknya semakin memberat dan

benjolan semakin membesar disertai sesak nafas, pasien sudah berobat ke RSUD Muhammad

Sani namun tidak ada perbaikan. Pasien juga mengeluhkan badannya terasa lemas. Demam (-), ,

nyeri dada (-), nyeri ulu hati (-). BAB tidak ada gangguan, BAK tidak ada gangguan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Diabetes Mellitus (-), riwayat hiperkolesterol (-), riwayat asma bronkiale (-). Pasien

tidak memiliki riwayat operasi, alergi obat dan alergi makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga

1.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal Pemeriksaan : 12 desember 2019)

Keadaan Umum : Tampak lemas

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 80x/menit

Frekuensi Pernafasan : 20x/menit

SpO2 : 98%

Suhu : 36.80C

2
Status Generalis

Kesan gizi : Cukup

Berat badan : 60 kg

Tinggi badan : 168 cm

Kulit : Tidak tampak ada kelainan, tidak tampak ikterik

Kepala : Normosefali, tidak ada deformitas

Mata : Pupil isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+

Refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis +/+

Sklera ikterik -/-

Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada secret

Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil T1-T1, arkus faring simetris, faring tidak

hiperemis

Gigi dan mulut : Bibir tidak kering, Oral hygiene baik, karies dentis (-)

Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada secret, tidak ada tofus

Leher : Tiroid tidak membesar, KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O

Jantung : Bunyi jantung S1-S2 ireguler, tidak terdapat murmur, tidak ada gallop

Tidak ada thrill, tidak ada lifting

Paru : Suara pernafasan ; vesikuler melemah/vesikuler

Suara tambahan : ronchi -/-, wheezing -/-


3
Stem Fremitus : lemah pada sebelah kanan

Perkusi : redup pada paru sebelah kanan

Abdomen : Datar, supel, hepar sulit diraba, lien tidak teraba membesar

Tidak terdapat nyeri tekan, shifting dullness (-), Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Darah lengkap dan kimia darah (2 Desember 2019)

Test Hasil Range normal


Hb 13.9 11.0 – 16.5 g/dl
RBC 4.75 3,8 – 5,8
HCT 41.3 35 – 50
MCV 86.9 80 – 97
MCH 29.3 26,5 – 33,5
MCHC 33.7 31,5 – 35
Leukosit 8.05 4.000 – 11.000 /uL
Trombosit 474 150.000 – 450.000 /uL
Eosinofil 2.6 0-5
Basofil 0.2 0-1
Neutrofil 53.4 46-75
Limfosit 36.8 17-48
Monosit 7.0 4-10
Gula Darah Sewaktu 98 mg/dl < 200 ng/L
Golongan Darah B+
SGPT 28 0-42 U/L
SGOT 29 0-37 U/L
Natrium 140 135-147 mmol/L
Kalium 3.7 3.5-5.0 mmol/l
Chlorida 102 95-105 mmol/L

4
Ureum 19.0 13.0-43.0 mg/dl
Kreatinin 0.96 0.70-1.3 mg/dl
Albumin 3.9 3.2-5 g/dl
PRT 14.0 11-15 detik
Control 13,7 detik
APTT 29.3 25-35 detik
Control 30.5 detik
HBsAg - -
HIV - -
Anti HCV - -

1.4.2 Elektrokardiogram (dilakukan tanggal 2 Desember 2019)

5
1.4.3 Foto thorax (dilakukan tanggal 28 Oktober 2019) di RSUD Muhammad Sani

6
Kesan : Efusi Pleura Kanan, adanya massa paru perlu dipertimbangkan, Suspek Pneumonia

1.5 Ringkasan

Pasien dengan keluhan batuk dan sesak disertai adanya benjolan di axilla sebelah kanan yang

dialami kurang lebih 2 bulan ini, dari pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada axilla sebelah

kanan, thorax dextra tampak asimetris, stem fremitus melemah, daari hasil perkusi didapatkan

redup pada thorax dextra, pemeriksaan auskultasi thorax dextra melemah. Dari pemeriksaan

EKG tidak tampak kelainan, dari pemeriksaan rontgen thorax kesan efusi pleura kanan, adanya

massa paru perlu dipertimbangkan dan adanya suspek pneumonia.

1.6 Diagnosis

1. Fibrothoraks

2. Empiema

1.7 Tatalaksana

Rencana pengobatan:

- Rawat inap

- Persiapan Operasi thoraxcotomy

- Lakukan pemeriksaan EKG

- Konsul dengan dokter spesialis jantung untuk persetujuan operasi

- Inj. Fosmidex 2 vial

Konsul hasil pemeriksaan darah lengkap kepada dr. Victor , advice:

 Persiapkan PRC 500 cc

7
 Persiapkan FFP 250 cc

Konsul dengan dr. Afdhalun Sp.JP , advice:

 ACC operasi jika tidak ada keluhan

1.8 Follow Up

2 Desember 2019

S : Batuk terus menerus disertai sesak

O : Kesadaran : CM

TD : 131/87 mmHg

Frekuensi nadi : 86x/menit

Suhu : 36.80C

Frekuensi nafas : 20x/menit

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan melemah, ronchi (-/-), wheezing (-)

8
Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: - Fibrothorax

- Empiema

P : dr. Victor, Sp.BTKV , advice:

- Inj. Fomidex 2 vial

Rencana diagnostik :

- Operasi Thoraxcotomy besok

- Lapor OK

- Rawat ICU post operasi

3 Desember 2019

S : Post thoraxcotomy rawat ICU, os tampak sakit berat

O : Kesadaran : CM

TD : 120/80 mmHg

Frekuensi nadi : 30x/menit

Suhu : 36.50C

Frekuensi nafas : 20x/menit

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

9
Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan, ronchi (-/-), wheezing (-)

Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: - Fibrothoraks

- Empiema

P: - IVFD RL / 12 jam

- Drip tramadol dalam NaCl 100 cc habis dalam 30 menit

- Inj. Fosmidex 3 x 1

- PCT drip 3x1

- Inj. Dexketoprofen 3 x 1

- Inj. Omeprazole 2 x 40mg

- Nebul Combivent 3 x 1

4 Desember 2019

S : sesak nafas (-), pindah ruangan

O : Kesadaran : CM

TD : 121/80 mmHg

10
Frekuensi jantung : 108x/menit

Suhu : 36.50C

Frekuensi nafas : 20x/menit

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan, ronchi (+/+), wheezing (-)

Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: Post Op. Fibrothorax + Thoraxcotomy H-2

P:- IVFD RL / 12 jam

- Drip tramadol dalam NaCl 100 cc habis dalam 30 menit

- Inj. Fosmidex 3 x 1

- PCT drip 3x1

- Inj. Dexketoprofen 3 x 1

- Inj. Omeprazole 2 x 40mg

- Nebul Combivent 3 x 1

5 Desember 2019

11
S : sesak nafas (-), keadaan tampak membaik

O : Kesadaran : Compos Mentis

TD : 120/80 mmHg

Frekuensi jantung : 88x/menit

Suhu : 36.50C

Frekuensi nafas : 22x/menit

SpO2 : 99%

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan, ronchi (-/-), wheezing (-)

Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: Post Op. Fibrothorax + Thoraxcotomy H-2

P:- IVFD RL / 12 jam

- Drip tramadol dalam NaCl 100 cc habis dalam 30 menit

- Inj. Fosmidex 3 x 1

- PCT drip 3x1

- Inj. Dexketoprofen 3 x 1

- Inj. Omeprazole 2 x 40mg

- Nebul Combivent 3 x 1

12
- Cek DL

- Aff kateter

- Klem WSD,bila pasien sesak buka klem

- Rotgen thorax ulang

Pada tanggal 05 Desember 2019 dilaporkan hasil Darah lengkap kepada dr. Viktor, Sp.BTKV

advice : Transfusi PRC 1 labu

6 Desember 2019

S : sesak nafas (-), keadaan tampak membaik

O : Kesadaran : Compos Mentis

TD : 120/80 mmHg

Frekuensi jantung : 88x/menit

Suhu : 36.50C

Frekuensi nafas : 22x/menit

SpO2 : 99%

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan, ronchi (-/-), wheezing (-)

Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: Post Op. Fibrothorax + Thoracotomy H-3

P:- IVFD RL / 12 jam

13
- Drip tramadol dalam NaCl 100 cc habis dalam 30 menit

- Inj. Fosmidex 3 x 1

- PCT drip 3x1

- Inj. Dexketoprofen 3 x 1

- Inj. Omeprazole 2 x 40mg

- Nebul Combivent 3 x 1

- Aff WSD

9 Desember 2019

S : sesak nafas (-), keadaan tampak membaik

O : Kesadaran : Compos Mentis

TD : 120/80 mmHg

Frekuensi jantung : 88x/menit

Suhu : 36.50C

Frekuensi nafas : 22x/menit

SpO2 : 99%

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Leher : Dalam batas normal

Jantung : S1 normal - S2 normal, ireguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Vesikuler kiri dan kanan, ronchi (-/-), wheezing (-)

Abdomen : datar, supel, hepar sulit diraba, ascites (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

A: Post Op. Fibrothorax + Thoraxcotomy H-5

14
P:- Cefixime 2 x 200 mg

- Ultracet 3 x1

- N. Acetylsistein 3x1

- Rawat Jalan

BAB II

ANALISA KASUS

2.1 Anamnesis

Pada kasus, dikatakan pasien datang dengan keluhan baruk terus menerus yang disrtai

sesak nafas, yang dialami 1 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan timbulnya benjolan pada daerh

axilla kanan, dan terasa nyeri pada dada sakit saat menggerakkan tangan sebelah kanan , batuk

dan sesak dirasakan pasien saat beraktifitas dan saat istirahat.

Dari keluhan yang dialami pasien,batuk, sesak nafas dan nyeri pada dada sebelah kanan

saat menarik nafas dan menggerakkan tangan ada kemungkinan pasien mengalami pneumonia

yang menngakibatkan penumpukan cairan.Dimana pneumonia dapat terjadi akibat infeksi bakteri

ataupun virus, kemudian infeksi menyebabkan peradangan membrane paru sehingga cairan

plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk.

2.2 Pemeriksaan Fisik

15
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien saat awal masuk composmentis,

tekanan darah , frekuensi jantung 80x/I, frekuensi nafas 22x/I. Pada pemeriksaan thorax juga

dijumpai vesikuler melemah pada lapangan paru kanan, stem fremitus melemah pada paru

kanan, ditemukan perkusi redup di paru kanan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Dari

pemeriksaan fisik tersebut keluhan yang dialami pasien diassesment sebagai masalah pada

respirasi. Masalah respirasi pada pasien di diagnose banding dengan adanya pneumonia

dikarenakan adanya ronchi pada kedua lapangan paru yang disertai batuk dan sesak, yang dapat

menimbulkan cairan pada rongga paru berupa pus yang disebut empyema.

Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan dengan

terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain, dapat

juga disebabkan trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan vascular dan lain sebagainya.

Manifestasi klinis dari empyema dapat berupa demam, nyeri dada, dan sesak timbul saat

cairan cukup banyak.

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan pemeriksaan penunjang awal terhadap pasien berupa pemeriksaan darah, foto

thorax dan elektrokardiogram. Dari pemeriksaan darah tidak ditemukan kelainan. Pada

pemeriksaan foto thorax dijumpai gambaran Efusi pleura dextra, adanya massa perlu

dipertimbangkan, susp.pneumonia. Pada pemeriksaan elektrokardiogram kesan normal.

Gambaran efusi pleura yang didapat pada pemeriksaan foto thorax bisa dikarenakan

adanya infeksi ataupun massa. Gambaran ini mendukung bahwa keluhan yang dialami pasien

berupa batuk, sesak dan nyeri dada.

16
Pada penegakkan diagnose, pemeriksaan foto thoraks dibutuhkan dan didapatkan adanya

efusi pleura dextra, pada penegakkan diagnose empyema juga bisa dilakukan CT-Scan thoraks

dan USG thoraks. USG thoraks dapat membantu semua kasus yang diduga empyema, cairan

dalam pleura dan membuktikan adanya efusi pleura terlokulasi. Ct-Scan toraks berguna untuk

membedakan kelainan parenkim, menentukan lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura dan

membantu dalam penentuan terapi. Pada pasien ini juga sudah dilakukan CT-Scan dan

didapatkan hasil empyema.

2.4 Tatalaksana

Tujuan dari penatalaksanaa empyema adalah eradikasi infeksi, mengembalikan sirkulasi

cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan megembalikan fungsi respirasi normal.

Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen , terapi cairan pada kasus dehidrasi, antipiretik,

analgesic dan antibiotic. Terapi spesifik untuk empyema terdiri dari terapi konservatif sampai

tindakan pembedahan.

Pada pasien ini telah dilakukan pemebrian oksigen dan antibiotik yaitu Fosmidex, setelah

dilakukan penanganan awal pada pasien, pasien direncanakan untuk dilakukan operasi

thoraxcotomy.

17
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura,meskipun studi dan uji

klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura untuk mencakup empiema dan efusi

parapneumonik (PPE) terkomplikasi. Empiema didefinisikan oleh penampilannya cairan sangat

buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi

protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat

tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan, jarang,

dari manajemen klinis yang tidak sesuai.

Weese mendefinisikan sebagai cairan dengan gravitasi spesifik lebih dari 1018, jumlah

leukosit lebih dari 500/sel mm, atau kadar protein lebih dari 2,5 g%. Vianna mendefinisikan

empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih dari

15.000/sel mm dan kadar protein lebih dari 3 g%. karena banyak efusi pleura masuk dalam

kriteria ini, definisi paling tepat adalah cairan pleura yang tebal dan purulen. Empiema biasanya

18
merupakan komplikasi dari pneumonia tetapi dapat muncul infeksi dari tempat lain. Di India,

tuberkulosis empiema adalah penyebab paling banyak.

Gejala klinis dan etiologi mikroba dapat berbeda tergantung dari trauma lokal,

pembedahan atau kondisi yang mendasari seperti malignansi, penyakit vaskular kolagen,

kelainan imunodefisiensi, dan infeksi yang melibatkan orofaring, esofagus, mediastinum atau

jaringan subdiafragma.Infeksi pleura merupakan satu dari penyakit tertua dan penyakit yang

berat.Infeksi pleura merupakan masalah klinis umum yang berhubungan dengan mortalitas dan

morbiditas yang tinggi.

Drainase rongga pleura dilakukan oleh Hippokrates lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk

mengobati empiema. Selama pandemik influenza tahun 1917 - 1919, drainase pleura tertutup

menjadi terapi yang paling banyak digunakan untuk mengobati empiema parapneumonik.

Pengenalan yang cepat dari perkembangan empiema merupakan waktu yang krusial untuk

menentukan keberhasilan pengobatan; meskipun dengan terapi yang sesuai, mortalitas pasien

dengan empiema sebesar 15 - 20% dan lebih tinggi pada pasien imunokompromais.

19
3.2 Etiologi

Etiologi empyema dapat terjadi akibat dari pasien dengan pneumonia yang berkembang

menjadi efusi parapneumonik, dan efusi para pneumonik berkembang menjadi empyema. Insiden

empyema meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak , dua pertiga pasien memiliki factor

resiko yang dapat diidentifikasi termasuk kondisi Immunocompromised ( infeksi Human

Imunodeficiency Virus, DM, dan kekurangan gizi), alcohol atau penyalahgunaan obatintravena,

aspirasi bronkial, oral hygene yang buruk dan penyakit kronis parenkim paru.

Penelitian Hellen dkk menyatakan bahwa 434 pasiendari 40 pusat kesehatan di UK dengan

infeksi pleura, bakteri aerob Gram-positif yang paling sering ditemukan pada infeksi pneumonia

komunitas yang dapat menyebabkan empyema. Enam puluh persen berasal dari streptococcus

spp termasuk kelompok S. milleri dan S. aureus.

Jenis Penyakit Bakteri


Pneumonia Komunitas Streptococcus spp (52%)

- S. Milleri

- S. Pneumoniae

20
- S. Intermedius

Staphylococcus Aureus (11%)

Gram Negativ Aerob (9%)

- Enterobacteriaceae

- Escherichiae coli

Anaerobs (20%)

- Fussobacterium spp

- Bacteroides spp

- Peptostreptococcus spp

- Mixed

Pneumonia Nosokomial Staphylococci

- Methicillin resistant S. Aureus (25%)

- S. Aureus ( 10%)

Gram Negativ aerob (17%)

- E.Coli

- Pseudomonas aeruginosa

- Klepsiella spp

Anaerob (8%)

21
3.3 Patofisiologi

Pleura dalam keadaan normal memproduksi cairan pleura sekitar 0,01 mL/kg/jam dan

normalnya rongga pleura terisi cairan sekitar 5-10 ml yang disekresi dari pleura parietalis dan

diserap melalui beberapa mekanisme yaitu tekanan gradient melalui pleura visceralis, drainase

limfatik stoma dari pleura parietal dan mekanisme seluler. Efusi pleura terjadi karena

keseimbangan antara produksi dan pengeluaran cairan pleura terganggu. Efusi pleura sekunder

yang terjadi oleh karena pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia.Perkembangan proses

empiema dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif

sederhana, fibrinopurulen dan organisasi.

a. Tahap eksudatif

Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti

interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a (TNFa) sehingga menyebabkan

peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena peningkatan permeabilitas

pembuluh darah kapiler. Hal ini mengakibatkan perubahan aktif pada sel mesothelial

pleura untuk semakin mempermudah cairan masuk ke dalam rongga pleura.

Karakteristik cairan eksudat ditandai dengan jumlah leukosit yang rendah, tingkat

LDH cairan pleura setengah LDH serum, kadar pH dan kadar glukosa dalam batas

22
normal dan tidak mengandung organisme bakteri. Efusi tersebut akan sembuh secara

spontan dengan terapi antibiotik untuk pneumonia yang mendasari

b. Tahap Fibropurulen

Jika terapi yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka inflamasi

pada parenkim paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang ditandai dengan

peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga pleura melalui

endothelium yang rapuh.Invasi bakteri memicu respon imun sehingga mendorong

migrasi neutrophil dan aktivasi jalur koagulasi.Penekanan aktivitas fibrinolitik

disebabkan karena meningkatnya titer penghambat aktivitas fibrinolitik spesifik

seperti plasminogen activator inhibitor (PAI) 1 dan PAI 2 dan penurunan tissue type

plasminogen activator (tPA). Hal ini mengakibatkan endapan fibrin pada pleura

visceralis dan parietalis, sehingga rongga pleura terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi

cairan dan adhesi pleura,membentuk ruangan bersepta-septa yang akan mengganggu

drainase dari pus. Metabolisme bakteri dan aktivitas fagositosis neutrophil distimulasi

oleh protease dan fragmen yang berasal dari dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan

peningkatan produksi asam laktat, penurunan pH cairan pleura, serta peningkatan

metabolisme glukosa dan peningkatan kadar LDH. Karakteristik biomolekul tahap ini

adalah pH <7,2, glukosa <60 mg/dL dan LDH > 1000 IU/L.

c. Tahap organisasi

Terdapat proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Penelitian pada hewan coba

menunjukkan bahwa proses ini diperantara oleh beberapa faktor seperti platelet-

derived growth factor-like growth factor (PDGF) dan transforming growth factor beta

(TGF-ß). Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan pleura menjadi tebal dan tidak

23
elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin fibrotik, sehingga ekspansi paru

menjadi terhambat, fungsi paru menurun dan rongga pleura yang bersepta-septa akan

membuat risiko infeksi semakin tinggi.

Selanjutnya tahap organisasi bervariasi, pada tiap individu ada yang mengalami

penyembuhan secara spontan dalam 12 minggu sementara yang lainnya menjadi

kronik sepsis dan terjadi defisit fungsi paru.Dari keterangan diatas dapat disimpulkan

bahwa infeksi pleura merupakan proses progresif dimana efusi pleura parapneumonia

yang dapat sembuh dengan sendirinya bisa berkembang menjadi kompleks

membentuk rongga pelura yang bersepta-septa yang hanya dapat diterapi dengan

tindakan bedah.

3.4 Diagnosa

Untuk mendiagnosa empyema, perlu diperhatikan manifestasi klinis demam, nyeri dada

dan sesak akan timbul jika cairan efusi cukup banyak. Pemeriksaan pH dan pertanda biokimia

merupakan peemriksa tambahan untuk menentukan diagnosis dan prognosis. Nilai pH

merupakan parameter terbaik untuk mengidentifikasi infeksi parapneumonia. Nilai pH dibawah

7,20 tidak mempunyai sensitivitas 100%. Nilai pH pada efusi pleura yang terlokalisir dapat

berlainan antara satu lokasi dengan yang lain. Beberapa kasus empyema memiliki kadar glukosa

dibawah 40mg/dl dan LDH mencapai 1000 U/l. Rendahnya pH cairan pleura selalu berkaitan

dengan kadar glukosa rendah dan LDH tinggi. Hal ini dapat digunakan sebagai alternative untuk

mengidentifikasi infeksi efusi parapneumonia.

Pemeriksaan foto toraks posteroanterior atau anteroposterior dan lateral emperlihatkan

gamabran ilfiltrat di parenkim atau konsolidasi. Foto toraks lateral decubitus dapat digunakan

24
untuk melihat adanya cairan. Computed Tomography (CT Scan) daapt digunakan untuk

membedakan rongga abses dengan cairan atau abses intrapulmoner.

Pemeriksaan CT Scan dan ultrasonografi (USG) toraks dapat dilakukan pada efusi

parapneumonia. Pemeriksaan USG toraks dapat membantu semua kasus yang diduga empyema,

cairan di dalam pleura dan membuktikan efusi pleura terlokulasi, membantu menentukan lokasi.

Pemeriksaan CT scan toraks berguna untuk memebdakan kelainan parenkim, menentukan

lokulasi, mengevaluasi kelaian parenkim, menetuka n lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura

dan membantu penentuan terapi.

Biopsi pleura dan kultur cairan pleura harus dilakukan untuk memastikan diagnose

empyema karena Tuberkulosis kultur mikrobakterium biasanya positif, sehingga biopsy pleura

tidak diperlukan.

3.5 Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan empiema adalah eradikasi infeksi, mengembalikan sirkulasi

cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan mengembalikan fungsi respirasi

normal. Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen jika dibutuhkan, terapi cairan pada kasus

dehidrasi, antipiretik, analgesik dan antibiotik. Terapi spesifik untuk empiema terdiri dari terapi

konservatif sampai tindakan pembedahan. Terapi empiema mencakup:

a. Pemberian Antibiotik

Semua kategori efusi parapneumonia harus diobati dengan antibiotik empirik

yang dimulai sedini mungkin dan berdasarkan hasil kultur. Regimen antibiotika

sebaiknya dipilih dengan mempertimbangkan apakah termasuk infeksi Community

Aquired Pneumoniae(CAP) atau Hospitalized Aquired Pneumoniae (HAP), bakteri

25
anaerob, karakteristik pasien, pola mikrobiologi setempat dan aktivitas antibiotik dalam

cairan pleura. Regimen penatalaksanaan untuk komplikasi efusi parapneumonia atau

empiema harus mencakup infeksi bakteri anaerob.Obat-obatan yang memiliki penetrasi

terbaik kedalam rongga pleura adalah aztreonam, klindamisin, siprofloksasin,

cefalosporin dan penisilin.

Penisilin dan sefalosporin menunjukkan penetrasi yang baik ke dalam rongga

pleura. Penetrasi kuinolon lebih baik dari pada penisilin. Konsentrasi sefalosporin stabil

dan menetap didalam cairan pleura. Pemakaian aminoglikosida sebaiknya dihindari

terutama untuk terapi empiema, karena aminoglikosida memiliki penetrasi yang buruk di

dalam rongga pleura dan tidak efektif dengan keadaan cairan pleura yang bersifat asam

dan purulen.Berdasarkan organisme penyebab bakteri anaerob, gram negatif aerob dan

staphylococcus,terapi antibiotik empiris untuk empiema diberikan berupa terapi tunggal

dengan imipenem, ticarcilin, asam klavulanat atau terapi kombinasi dengan klindamisin

dan ceftazidime atau klindamisin dan aztreonam.

Golongan antibiotik beta laktam tetap merupakan pilihan untuk infeksi

pneumococcal dan streptococcus milleri Golongan aminoglikosida dapat diberikan bila

cairan berbau busuk atau pengecatan gram positif. Klindamisin oral atau penisilin harus

tetap diberikan selama waktu pengobatan setelah antibiotika parenteral dihentikan, karena

kebanyakan empiema disebabkan bakteri anaerob.Pemilihan antibiotik empirik untuk

CAP adalah sefalosporin generasi ke-2 atau golongan penisilin yang akan mengcover

bakteri pneumococcus staphylococcus aureus dan haemophilus influenza.

Antibiotika yang diberikan pada empiema yang terjadi setelah operasi dan trauma

adalah antibiotika spektrum luas untuk bakteri gram positif, negatif dan anaerob seperti

26
penisilin antipseudomonal (piperacillin-tazobactam dan ticarcillin-asam klavulanat),

karbapenem atau sefalosporin generasi ke-3. Pemeriksaan kultur dan tes kepekaan

antibiotik harus dilakukan untuk melihat sensitifitas bakteri patogen dan diperlukan untuk

mengukur konsentrasi masing-masing obat didalam cairan pleura sehingga dapat

mengurangi terjadinya penebalan pleura, sensitivitas obat dan resistensi obat. Lama

pengobatan tergantung dari bakteri penyebab, efektivitas drainase dan perbaikan

gejala.Menurut Baumer antibiotika oral sebaiknya diberikan selama 1-4 minggu dan

dapat lebih lama jika penyakit masih ada.

Pemberian antibiotika diteruskan sampai pasien tidak demam, leukosit normal,

cairan yang dihasilkan <50 ml/hari dan perbaikan gambaran radiologis. Hal ini juga

dikemukakan oleh Banga dkk bahwa lama pemberian antibiotika dapat diberikan selama

3 sampai 6 minggu. Proses penyembuhan selalu membutuhkan waktu lebih dari 2 minggu

dan petanda serum inflamasi seperti C reactive protein (CRP) dapat digunakan sebagai

monitor terutama pada kasus yang belum jelas.

b. Pemberian fibrinolitik

Penggunanaan fibrinolitik intrapleura menjadi terapi standar di banyak negara.

Fibrinolitik dimasukkan kedalam cavum pleura melalui chest drain untuk melisiskan

fibrin dan membersihkan stoma limfatik sehingga mengurangi oklusi selang oleh debris,

membuat drainase cairan pleura lebih baik dan memperbaiki kembali sirkulasi pleura.

Penggunaan fibrinolitik intrapleura (streptokinase, urokinase dan alteplase) memberikan

keuntungan yang signifikan baik pada anak maupun dewasa, dengan mengurangi lama

27
perawatan di rumah sakit, panas badan, lama pemakaian drainase pleura dan tindakan

pembedahan. Penggunaan streptokinase intrapleura pada empiema karena TB merupakan

strategi untuk mempertahankan fungsi paru dan mengurangi tindakan pembedahan pada

pasien empiema stadium lanjut. Metode penggunaan injeksi streptokinase adalah

melarutkan streptokinase dalam 100 ml larutan garam fisiologis dan dimasukkan ke

dalam rongga pleura melalui intercostals tube drainage (ICTD).

Selang di klaim selama 4 jam dan posisi pasien diubah-ubah agar streptokinase

merata ke seluruh rongga pleura. Satu siklus terdiri dari 3 dosis, pemberian diulang tiap

12 jam tergantung dari respons dan kebutuhan. Siklus ini dapat diulang dengan jarak

interval 24 jam dengan dosis rata-rata perhari 375.000 IU/hari . Penggunaan

streptokinase secara rutin tidak direkomendasikan. Pemakaian streptokinase purified

tidak menimbulkan efek samping sistemik (perdarahan). Efek samping lain dapat berupa

demam, menggigil, reaksi alergik dan perdarahan. Kontra indikasi streptokinase berupa

hipersensitif terhadap streptokinase dan fistula bronkopleura.

c. Pembedahan

Tindakan drainase di indikasikan pada empiema, efusi pleura terlokulasi yang

luas, efusi parapneumonia dengan pH kurang dari 7,20, glukosa kurang dari 60mg/dl,

atau ditemukannya kuman pada pengecatan ataupun kultur. Pilihan pembedahan terdiri

atas selang torakostomi, dekortikasi dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS).

Mini thoracotomy merupakan prosedur debridement yang dilakukan melalui

insisi kecil yang mirip dengan VATS, tetapi selang torakostomi ini merupakan prosedur

pembedahan, yang meninggalkan scar linear kecil disepanjang garis costae. Dekortikasi

28
melibatkan pelepasan lapisan pleura yang menebal dan irigasi cavum pleura melalui

insisi posterolateral yang luas. VATS merupakan suatu metode dekortikasi kurang

invasif sesuai pada anak yang akan mentoleransi ventilasi paru tunggal selama anestesi.

VATS mencakup debridemen material piogenik fibrinosa, membebaskan lokulasi dan

drainase pus dari cavum pleura dibawah pandangan langsung melalui 2-3 insisi kecil.

BAB IV

KESIMPULAN

Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan dengan

terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan oleh komplikasi dari pneumonia tetapi dapat

juga disebabkan oleh adanya infeksi dari tempat lain. Semua pasien dengan efusi parapneumonia

dan empiema memerlukan terapi antibiotik secara dini dan adekuat.

Efusi pleura yang steril dengan PH ≥7,20 diobservasi dan dilindungi dengan pemberian

antibiotik yang adekuat. Empiema dan efusi pleura yang terlokulasi serta efusi parapneumonia

dengan PH < 7,20 atau glukosa < 60 mg/dL atau ditemukannya kuman pada pemeriksaan dan

kultur yang positif memerlukan tindakan drainase.

Keterlambatan dalam tindakan drainase dapat meningkatkan angka morbiditas dan

mortalitas. Penatalaksanaan efusi parapneumonia dan empiema pemberian antibiotik

torakosentesis, pemasangan selang torakostomi, torakostomi dengan fibrinolitik terapi,

torakoskopi, dekortikasi dan open torakotomi.

29
30
DAFTAR PUSTAKA

1. Davies HE, Davies RJ, Davies CW. Management of pleural infection in adults: British

Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax. 2010; 65(suppl 2): 41-53

2. Sahn SA. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and empyema. Clin

Infect Dis. 2007; 45: 1480-1486.

3. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta: Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedoktera

Respirasi FKUI. Diakses tanggal 27 Mei 2013:

http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf

4. Helen E Davies, Robert J O Davies, on behalf of the BTS Pleural Disease Guidline

Group. Management of pleural infection in adults: British Thoracic Society pleural

disease guideline 2010. Thorax 2010;65(Suppl 2): 41-53. Garrido VV, Sancho JF, Blasco

LH, Gafas AP, et al. Diagnosis and treatment of pleural effusion. Arch Bronkoneumol.

2006; 42: 349-372.

5. Andrews NC, Parker EF, Shaw RP, et al. Management of nontuberculous empyema. A

statement of the sub- committee on surgery. Am Rev Respir Dis 1962; 85: 935-936.

6. Acharya PR, Shah KV. Empyema thoracis: A clinical study. Ann Thorac Med. 2007; 2:

14-7.

31
7. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease.European

Respiratory Review 2010;19;117;220-228

32

Anda mungkin juga menyukai