Drmatoitosis Print
Drmatoitosis Print
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebab, patogenesis,
gejala klinis, faktor virulensi dan pencagahan dari dermatofitosis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Terdapat lebih dari 30 spesies dermatofit, sebagian besar milik jamur lmperfecti
dan diklasifikasikan dalam tiga genus anamorphic: Microsporum sp, Trichophyton sp
dan Epidermophyton sp.. Spesies Epidermophytonfloccosum terutama adalah patogen
manusia. Arthrospores (arthroconidia) adalah bentuk infeksi yang paling sering
dikaitkan dengan invasi jaringan oleh kelompok jamur ini. Mereka dilepaskan oleh
fragmentasi hifa dalam struktur keratin. Bentuk ini dapat bertahan selama lebih dari 12
bulan di lingkungan yang sesuai. Dermatofit bersifat aerob, yang sebagian besar
tumbuh perlahan pada agar sabouraud dekstrosa standar. Beberapa memerlukan faktor
pertumbuhan khusus yang dipasok oleh penambahan ekstrak ragi ke sabouraud
dekstrosa agar, macroconidia dan microconidia yang diproduksi dalam kultur. Penyakit
ini adalah zoonosis dan kebanyakan infeksi manusia disebabkan oleh Microsporum
canis yang dikontrak dari kucing yang terinfeksi (Pepin dan Oxenham, 1986)
Jamur ini menghasilkan keratinase dan enzim lainnya yang mampu mencerna
kompleks protein keratin, memungkinkan dermatofit untuk menggali lebih dalam ke
stratum korneum di inang dan oleh karena itu menimbulkan reaksi inflamasi. Tingkat
Peradangan, tergantung interaksi host-jamur, menentukan derajat dan pentingnya tanda
klinis (Copetti dkk,2006) Awalnya pada tanah, dermatofit telah berevolusi Menginfeksi
hewan dan manusia akibat durasi penyakit yang panjang (Ates,2008)
Mortalitas penyakit rendah, namun kerugian ekonomis dapat terjadi karena mutu
kulit yang menurun atau berat badan turun karena hewan selalu gelisah. Penyakit ini
sering dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan
2.2 ETIOLOGI
Spora ringworm dapat bertebaran bebas dan bertahan lama di dalam kandang
hewan. Koloni cendawan tetap hidup dalam koloni feses setengah kering. Fungi tetap
infektif di luar tubuh, misalnya di tanah, jerami, kayu, dan jika ada bahan keratin.
Miorosporum canis tetap hidup pada rambut yang diletakkan pada suhu kamar selama
323-422 hari, fungi ini umumnya tidak dapat tumbuh di bawah jaringan kulit atau
jaringan yang Iebih dalam lagi, diduga karena ada faktor penghambat yang terdapat di
dalam serum darah atau cairan tubuh. Dermatofit tidak dapat hidup dalam jaringan yang
mengalami peradangan berat, karena cendawan cenderung tumbuh menyebar menjauhi
radang untuk mencapai jaringan normal hingga terbentuk cincin. Teori lain
terbentuknya cincin adalah bahwa tubuh membentuk zat inti yang membatasi
pertumbuhan cendawan. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Arthrospora
tumbuh teratur berderet di dalam rambut (endotrik) atau sejajar berderet di bagian luar
rambut (eksotrik). Pada kulit dan kuku Trichopython mempunyai miselia yang
bercabang dan bersekat. Bentuk ini tidak dapat dibedakan dengan Microsporum maupun
Epidermophyton. Microsporum hanya hidup pada rambut dan kulit. Cendawan ini
terlihat bagai selubung mosaik yang terdiri dari spora kecil di sekeliling batang rambut.
Epidermophyton hidup pada kulit dan kuku dengan bentuk bercabang dan bersekat.
Agar sabouroud dekstrosa dapat digunakan sebagai standar kultur. Kecepatan tumbuh,
perubahan warna permukaan, maupun warna punggung koloni dapat digunakan untuk
pengenalan, meskipun terdapat variasi dalam spesies. Spesies Trichophyton dibedakan
dengan uji nutrisi disamping pemupukan rutin dan pemeriksaan mikroskopik.
Dermatophyton dapat tumbuh dalam suhu kamar dengan pH 6,8-8.7. Untuk
menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan saprofit dapat digunakan
cyclohexaminide dan chhloramphenicol dalam kultur .
2.3 PATOGENESIS
Rute masuk yang mungkin untuk dermatofita ke dalam tubuh inang adalah luka
kulit, bekas luka dan luka bakar. Infeksi disebabkan oleh arthrospora atau konidia,
arthrospora melekat pada struktur keratin dan berkecambah dalam waktu 6 jam.
Dermatofit merupakan patogen menyerang lapisan kulit yaitu stratum korneum,
menghasilkan keratinase exo-enzim dan menginduksi reaksi inflamasi di tempat
infeksi(Wawrzkiewicz dan Lobarzewski,1991). Tanda-tanda umum reaksi inflamasi
seperti kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas dan alopecia (kehilangan
rambut) terlihat di tempat infeksi. Peradangan menyebabkan patogen menjauh dari
lokasi infeksi dan tinggal di tempat baru. Pergerakan organisme jauh dari tempat infeksi
menghasilkan lesi cincin klasik. Perkembangan lesi dipengaruhi oleh virulensi
dermatofit dan kompetensi imunologi host. Hewan muda, tua, lemah dan imunosupresi
sangat rentan terhadap infeksi, yang terjadi baik secara langsung dengan kontak dengan
host yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui puing-puing epitel yang
terinfeksi di lingkungan.
Gambar 2 Mekanisme patogenesis dari dermatofit (Lakshmipathy D. T,(2010)
Imunitas terhadap dermatofitosis bersifat sementara dan reinfeksi dapat terjadi jika
dosis tantangannya besar (Moriello dan De Boer, 1995). Mekanisme lain yang mungkin
terkait dengan penyembuhan infeksi meliputi peningkatan tingkat deskuamasi dari
stratum korneum dan peningkatan dalam permeabilitas epidermis yang memungkinkan
penetrasi cairan inflamasi (Wagner dan Sohnle, 1995). Hewan dengan kurap
mengembangkan antibodi terhadap antigen glikoprotein dermatofit. Respons yang
dimediasi antibodi tampaknya tidak bersifat protektif. Respons mediator imun humoral
yang kuat dan tanggapan yang dimediasi oleh sel lemah telah ditunjukkan pada kucing
yang terus-menerus terinfeksi (Moriello dan DeBoer, 1995).
2.5 EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Dermatofit dapat menginfeksi hewan antara lain sapi, kuda, anjing, kucing dan
unggas, demikian pula dapat menyerang manusia. Banyak jenis Ringworm yang
sangat kontagius, yaitu ringworm pada kucing, anjing, kuda dan sapi mudah
menular ke manusia.
Hewan lain yang rentan terhadap cendawan ini antara lain kelinci, cavia,
chinchillas, mencit, rat, kalkun, kera. Kadang-kadang terjadi pada oposum, tikus air
dan jarang pada, kambing, burung liar, keledai.
2. Pengaruh Lingkungan
3. Sifat Penyakit
Di tempat infeksi terdapat bentukan khas dari penyakit ini, yaitu terlihat seperti
cincin, namun gejala klinis bervariasi apabila disertai infeksi kuman lain. Gejala dimulai
dari bercak merah, eksudasi dan rambut patah atau rontok. Perkembangan selanjutnya
sangat bervariasi dapat berupa benjol kecil dengan erupsi kulit atau berbentuk seperti
tumor yang dikenal dengan kerion.
1) Gejala pada anjing dan kucing
Bentuk cincin pada kucing biasanya dijumpai pada telinga, daerah fascia dan
kaki. Kerusakan kulit disertai bercak kemerahan dengan rambut patah atau rambut
rontok disertai keropeng dan bersisik. Pada anjing perubahan kulit biasanya
dijumpai pada daerah muka, terutama di sekitar moncong, kaki dan perut bagian
bawah, dengan pembentukan keropeng, erupsi kulit dan rambut rontok. Gejala
atipikal kadang muncul sebagai papula dan pustula tanpa pembentukan alopesia atau
sisik. lesi dengan batas jelas, menonjol, eritrema, alopesia atau nodule diakhiri
dengan kerion cincin, bisa dibarengi dengan reaksi hipersensitif.
Pada kucing bisa tidak menunjukkan gejala lesi atau hanya sedikit rambut rontok
sekitar fascia, dan telinga. Hewan ini sering menjadi carrier dan menimbulkan
masalah pada pembiakan kucing.
2) Gejala pada sapi
Pada sapi erupsi kulit terjadi pada muka, leher, dengan permukaan yang
meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Jika keropeng diangkat
akan terjadi perdarahan.
Penyakit ini paling sering menyerang hewan muda. Setelah masa inkubasi 2-4
minggu, rambut patah atau rontok. 2-3 bulan kemudian terlihat lesi tebal, bulat,
menonjol dengan batas jelas, warna putih keabuan. Lesi berkembang ke arah perifer,
dapat mencapai diameter 5- 10 cm. Bila penyakit tidak diobati lesi bisa meluas
secara umum terutama pada sapi muda.
3) Gejala pada kuda
Pada kuda yang terkena infeksi biasanya adalah bahu, muka, dada dan punggung.
Perubahan kulit bervariasi dari erupsi kulit berbentuk eritrema, rambut rontok,
bersisik atau berbentuk benjolan dengan luka yang cukup dalam.
Gejala klinis Iain, yaitu dengan terbentuknya 1 atau lebih alopesia. Pada lesi
awal terlihat gejala yang menyerupai urticaria kemudian berlanjut membentuk
alopesia dan kerak atau keropeng dalam beberapa hari.
4) Pada domba
Pada domba perubahan pada kulit berupa erupsi disertai rambut rontok dengan
pembentukan sisik dan biasanya terdapat pada muka dan punggung.
A. Uji laboratorium
1) Pengambilan sampel
Kulit: Daerah yang terkena disiram alkohol 70% dan tepi lesi aktif digores
dengan pisau bedah tumpul yang steril. Kerokan dikumpulkan dari pinggiran lesi
tanpa melukai kulit permukaan.
Rambut : Mengumpulkan Bagian basal rambut karena jamur biasanya
ditemukan di daerah ini.
Kuku: Kuku yang terkena diseka dengan 70% alkohol setelah kuku dikerok
cukup dalam untuk mendapatkan jaringan kuku baru saja diserang. Sampel
dikumpulkan dalam bentuk sachets kertas untuk transportasi ke laboratorium.
Spesimen diolah dengan mikroskop dan kultur.
2) Kultur
Produksi hasil alkali dalam medium berubah dari warna oranye kuning
menjadi merah. Organisme lain yang mungkin tumbuh pada medium dapat
dikenali sebagai non-dermatofit oleh warna dan koloni mereka morfologi.
3) Identifikasi
1. Microsporum cannis
1A 1B
A B
Gambar 1 koloni M. canis pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)
2A
2B
A
Gambar 2 koloni M. gallinae pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)
Koloni dari M. Gallinae berwarna putih sampai merah jambu dengan tampilan
beludru dan mempunyai pigmen bawah berwarna merah di media agar sebaauroud
dekstrosa. Makrokonidia sering melengkung dengan dinding halus tipis dan terdiri atas
4-10 sel
3. Microposum gypseum
3A 3B
A
Gambar 3 koloni M. gypseum pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)
4A 4B
A A
Gambar 4 Koloni T. rubrum pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)
koloni dari T. rubrum berwarna putih kekuningan, seperti benang halus dan halus.
Pigmen bawah berwarna merah, kadang-kadang berwarna coklat atau kuning pada
media agar saboraud dekstrosa. Makrokonidia:2-8 sel dan jarang terlihat
5. Trichophyton mentagrophytes
5A 5B
A
Gambar 5 koloni T. mentagophytes pada media agar sabouraud dekstrosa (A),
mikroskopis makrokonidia dengan LPCB (B)
6A 6B
A
B. PCR
2.8 PENCEGAHAN
Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan tubuh hewan dan
kebersihan kulit hewan. Hewan penderita harus dijauhi baik oleh hewan lain ataupun
manusia kecuali yang ditugaskan merawat hewan tersebut. Menjauhi dan mendesinfeksi
tempat yang diduga menjadi sumber spora. Diduga miselia dermatophyta mampu
merangsang pembentukan antibodi. Telah diketahui bahwa jaringan mengandung suatu
zat yang disebut ”serum faktor” yang bersifat fungisida dan fungistatika dan zat inilah
yang diduga membatasi pertumbuhan dermatophyta hanya pada bagian kulit yang
mengalami keratinisasi saja. Dermatophyta bersifat antigenik yang lemah tetapi sangat
alergik. Reaksi hipersensitisasi merupakari kejadian yang sering terjadi pada infeksi
dengan dermatophyta.
BAB III
KESIMPULAN
Copetti MV, Santurio JM, Cavalheiro AS, Boeck AA, Argenta JS, Aguiar LC.
Dermatophytes isolated from dogs and cats suspected of dermatophytosis in
Southern Brazil. Acta Scientiae Veterinariae. 2006; 34(2): 119-124.4.
Dahdah MJ, Scher RK. Dermatophytes. Current Fungal Infection Reports. 2008; 2: 81–
86.
Moriello, K.A., Kunkle, G. and DeBoer, D.J. (1994). Isolation of dermatophytes from
the haircoats of stray cats from selected animal shelters in two different
geographic regions of the United States. Veterinary Dermalology, 5, 5742.
NTA Peres, FCA Maranhão, A Rossi and NM Martinez-Rossi. Dermatophytes: Host-
pathogen interaction and antifungal resistance. An. Bras. Dermatol. 2010; 85,
657-67.
T Liu, X Xu, W Leng, Y Xue, J Dong and Q Jin. Analysis of gene expression changes
in Trichophyton rubrum after skin interaction. J. Med. Microbiol. 2014; 63, 642-8.
Wagner, D.K. and Sohnle, P.G. (1995). Cutaneous defenses against dermatophytes and
yeasts. Clinical Microbiological Reviews, 8, 317-335.
DERMATOFITOSIS
OLEH
KELOMPOK 10
KUPANG
2017