Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dermatofitosis dalah penyeakit menular yang menyrang lapisan keratin misalnya


stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabakn oleh jamur
dermatofit yang disebabkan golongan jamur dermatofita. yang mana golongan jamur ini
mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang
terbagi dalam genus, yaitu Microsporum sp, Trichophyton sp, dan Epidermophyton sp.
Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya
sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan
penyebab penyakit.

Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh


karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Manifestasi klinis
bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis
yang keliru dan kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan
secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari
golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada
kaitannya dengan daya tahan penderita, faktor lingkungan dan agen penyebab.

1.2 TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebab, patogenesis,
gejala klinis, faktor virulensi dan pencagahan dari dermatofitosis.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

Dermatofitosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cendawan yang


bersifat keratinofilik pada permukaan kulit atau bagian dari jaringan lain yang
mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk) baik pada hewan maupun
manusia. Dermatofitosis juga merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia.

Beberapa spesies dermatofit bersifat zoonosis karena hewan penderita dapat


merupakan sumber penularan pada manusia dan sebaliknya. Dermatofitosis dikenal juga
dengan nama ringworm karena pernah diduga penyebabnya adalah worm dan karena
gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan
akan meluas secara melingkar seperti cincin.

Terdapat lebih dari 30 spesies dermatofit, sebagian besar milik jamur lmperfecti
dan diklasifikasikan dalam tiga genus anamorphic: Microsporum sp, Trichophyton sp
dan Epidermophyton sp.. Spesies Epidermophytonfloccosum terutama adalah patogen
manusia. Arthrospores (arthroconidia) adalah bentuk infeksi yang paling sering
dikaitkan dengan invasi jaringan oleh kelompok jamur ini. Mereka dilepaskan oleh
fragmentasi hifa dalam struktur keratin. Bentuk ini dapat bertahan selama lebih dari 12
bulan di lingkungan yang sesuai. Dermatofit bersifat aerob, yang sebagian besar
tumbuh perlahan pada agar sabouraud dekstrosa standar. Beberapa memerlukan faktor
pertumbuhan khusus yang dipasok oleh penambahan ekstrak ragi ke sabouraud
dekstrosa agar, macroconidia dan microconidia yang diproduksi dalam kultur. Penyakit
ini adalah zoonosis dan kebanyakan infeksi manusia disebabkan oleh Microsporum
canis yang dikontrak dari kucing yang terinfeksi (Pepin dan Oxenham, 1986)

Jamur ini menghasilkan keratinase dan enzim lainnya yang mampu mencerna
kompleks protein keratin, memungkinkan dermatofit untuk menggali lebih dalam ke
stratum korneum di inang dan oleh karena itu menimbulkan reaksi inflamasi. Tingkat
Peradangan, tergantung interaksi host-jamur, menentukan derajat dan pentingnya tanda
klinis (Copetti dkk,2006) Awalnya pada tanah, dermatofit telah berevolusi Menginfeksi
hewan dan manusia akibat durasi penyakit yang panjang (Ates,2008)

Mortalitas penyakit rendah, namun kerugian ekonomis dapat terjadi karena mutu
kulit yang menurun atau berat badan turun karena hewan selalu gelisah. Penyakit ini
sering dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan

2.2 ETIOLOGI

Cendawan penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok Dermatophyta.


Terdapat 3 (tiga) genus yaitu Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton yang
menyebabkan penyakit badan hewan adalah Trichophyton dan Microsporum. Agen
etiologi dermatofitosis diklasifikasikan dalam Tiga genera, Epidermophyton,
Microsporum, dan Trichophyton (Dahdah,2008). Deskripsi genera pada dasarnya diikuti
oleh aspek makroskopis koloni (diameter, tekstur, permukaan warna dan pigmen
bawah) dan aspek themicroscopic (konidia Morfologi dan pembentukan konidia)

Dermatofit dapat dikelompokkan berdasarkan habitat dan preferensi inangnya


sebagai geophilic, zoophilic atau anthropophilic. Dermatofit geofilik mendiami dan
bereplikasi di dalam tanah yang berasosiasi dengan dekoratif bahan keratin seperti bulu
atau bulu (Weitzman dan Summerbell, 1995). Hewan dapat memperoleh infeksi dengan
dermatofit geofilik dari tanah atau dari kontak dengan hewan yang terinfeksi.
Dermatofit Zoophilic dan anthroophilic adalah patogen obligat yang tidak dapat
bereplikasi di tanah. Keberadaan mereka sebagai patogen dari struktur keratin biasanya
sesuai dengan ketidakmampuan untuk bereproduksi secara seksual. Dermatofit
Zoophilic biasanya menulari hewan atau berhubungan dengan hewan namun terkadang
dapat menginfeksi manusia (misalnya Microsporum canis)

Dermatofit yang tumbuh pada struktur keratinisasi jarang menghasilkan


makrokonidia dan akibatnya bergantung pada produksi arthrospora untuk transmisi.
Tabel 1 Dermatofit berdasarkan habitat dan host

Spora ringworm dapat bertebaran bebas dan bertahan lama di dalam kandang
hewan. Koloni cendawan tetap hidup dalam koloni feses setengah kering. Fungi tetap
infektif di luar tubuh, misalnya di tanah, jerami, kayu, dan jika ada bahan keratin.
Miorosporum canis tetap hidup pada rambut yang diletakkan pada suhu kamar selama
323-422 hari, fungi ini umumnya tidak dapat tumbuh di bawah jaringan kulit atau
jaringan yang Iebih dalam lagi, diduga karena ada faktor penghambat yang terdapat di
dalam serum darah atau cairan tubuh. Dermatofit tidak dapat hidup dalam jaringan yang
mengalami peradangan berat, karena cendawan cenderung tumbuh menyebar menjauhi
radang untuk mencapai jaringan normal hingga terbentuk cincin. Teori lain
terbentuknya cincin adalah bahwa tubuh membentuk zat inti yang membatasi
pertumbuhan cendawan. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Arthrospora
tumbuh teratur berderet di dalam rambut (endotrik) atau sejajar berderet di bagian luar
rambut (eksotrik). Pada kulit dan kuku Trichopython mempunyai miselia yang
bercabang dan bersekat. Bentuk ini tidak dapat dibedakan dengan Microsporum maupun
Epidermophyton. Microsporum hanya hidup pada rambut dan kulit. Cendawan ini
terlihat bagai selubung mosaik yang terdiri dari spora kecil di sekeliling batang rambut.
Epidermophyton hidup pada kulit dan kuku dengan bentuk bercabang dan bersekat.
Agar sabouroud dekstrosa dapat digunakan sebagai standar kultur. Kecepatan tumbuh,
perubahan warna permukaan, maupun warna punggung koloni dapat digunakan untuk
pengenalan, meskipun terdapat variasi dalam spesies. Spesies Trichophyton dibedakan
dengan uji nutrisi disamping pemupukan rutin dan pemeriksaan mikroskopik.
Dermatophyton dapat tumbuh dalam suhu kamar dengan pH 6,8-8.7. Untuk
menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan saprofit dapat digunakan
cyclohexaminide dan chhloramphenicol dalam kultur .

2.3 PATOGENESIS

Rute masuk yang mungkin untuk dermatofita ke dalam tubuh inang adalah luka
kulit, bekas luka dan luka bakar. Infeksi disebabkan oleh arthrospora atau konidia,
arthrospora melekat pada struktur keratin dan berkecambah dalam waktu 6 jam.
Dermatofit merupakan patogen menyerang lapisan kulit yaitu stratum korneum,
menghasilkan keratinase exo-enzim dan menginduksi reaksi inflamasi di tempat
infeksi(Wawrzkiewicz dan Lobarzewski,1991). Tanda-tanda umum reaksi inflamasi
seperti kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas dan alopecia (kehilangan
rambut) terlihat di tempat infeksi. Peradangan menyebabkan patogen menjauh dari
lokasi infeksi dan tinggal di tempat baru. Pergerakan organisme jauh dari tempat infeksi
menghasilkan lesi cincin klasik. Perkembangan lesi dipengaruhi oleh virulensi
dermatofit dan kompetensi imunologi host. Hewan muda, tua, lemah dan imunosupresi
sangat rentan terhadap infeksi, yang terjadi baik secara langsung dengan kontak dengan
host yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui puing-puing epitel yang
terinfeksi di lingkungan.
Gambar 2 Mekanisme patogenesis dari dermatofit (Lakshmipathy D. T,(2010)

Imunitas terhadap dermatofitosis bersifat sementara dan reinfeksi dapat terjadi jika
dosis tantangannya besar (Moriello dan De Boer, 1995). Mekanisme lain yang mungkin
terkait dengan penyembuhan infeksi meliputi peningkatan tingkat deskuamasi dari
stratum korneum dan peningkatan dalam permeabilitas epidermis yang memungkinkan
penetrasi cairan inflamasi (Wagner dan Sohnle, 1995). Hewan dengan kurap
mengembangkan antibodi terhadap antigen glikoprotein dermatofit. Respons yang
dimediasi antibodi tampaknya tidak bersifat protektif. Respons mediator imun humoral
yang kuat dan tanggapan yang dimediasi oleh sel lemah telah ditunjukkan pada kucing
yang terus-menerus terinfeksi (Moriello dan DeBoer, 1995).

2.4 FAKTOR VIRULENSI

Dermatofit mengeluarkan berbagai virulensi yang memiliki spesifisitas substrat


yang berbeda seperti protease, lipase dan selulase. Makromolekul yang ada di jaringan
inang digunakan sebagai sumber karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur untuk dermatofit
(NTA,2010). Selain itu enzim yang dilepaskan dari dermatofit juga berperan sebagai
antigen dan menginduksi berbagai tingkat peradangan (JM Jensen,2007). Di antara
berbagai macam enzim yang disekresikan oleh dermatofit, protease merupakan jenis
utama faktor virulensi dari dermatofit yang terlibat dalam invasi dan penggunaan
stratum korneum host (T Liu,2014). Dermatofit mengeluarkan protease untuk
memudahkan dan bahkan diperlukan untuk adhesi yang efisien dari patogen ini ke
jaringan inang. Selanjutnya, protease yang disekresikan dari dermatofit juga memicu
respons imun (NTA,2010). Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa pencernaan
proteolitik keratin keras tidak akan mungkin dilakukan tanpa pengurangan jembatan
disulfida sebelumnya. Karena keratin terdiri dari jembatan disulfida tinggi dari sistein
yang diperlukan untuk stabilitas protein, oleh karena itu, sebelum protease keratinolitik
dermatofitik bekerja, jembatan disulfida dari jaringan keratinized berkurang dalam
jaringan protein kompak oleh sulfit (S Vermout,2008). Dengan adanya sulfit, sistin
dalam keratin dibelah menjadi sistein dan S-sulfokistein, dan dengan demikian, protein
yang berkurang menjadi mudah diakses oleh hidrolisis oleh berbagai protease yang
disekresikan(NTA,2010).

Gambar 3 Sekresi endoprotease dari kultur dermatofit(Walailak J Sci & Tech,2015)


Pengurangan agen dermatofit bergantung pada pompa eflux sulfit yang dikodekan
oleh gen SSU1, termasuk famili transporter resistansi/dikarboksilat tellurite (B
Lechenne,2007)

Protease diklasifikasikan berdasarkan situs aktif mereka: protease aspartik, sistein,


glutamat, metallo, serin dan treonin. Selain itu, protease dapat dibagi menjadi
endoprotease dan eksoprotease.

 Endoprotease membelah ikatan peptida dalam polipeptida. Endoprotease utama


yang disekresikan dari dermatofit adalah protease serin dan metaloprotease
 Eksoprotease memotong ikatan peptida hanya pada ujung polipeptida N- atau C-
14 (Monod.M,2008). Aminopeptidase, carboxypeptidase dan dipeptidyl-
peptidase adalah exoproteases yang diisolasi dari kultur dermatofit.

Banyak spesies jamur dermatofit mengeluarkan endoprotease dan eksoprotease saat


dikultur dalam media yang mengandung protein sebagai sumber nitrogen tunggal. T.
rubrum tumbuh dalam media cair protein kedelai dan media cair keratin mengeluarkan
dua aminopeptidase leusin (Lap), Lap1 dan Lap2, dan dua dipeptidil-peptidase (Dpp),
DppIV dan DppV. Lap1 dan Lap2 adalah metaloprotease sedangkan DppIV dan DppV
adalah glikoprotein kira-kira 90 kDa yang diklasifikasikan sebagai protease serin
dengan Ser, Asp, triad katalitiknya (Monod.M,2005). Dermatofit juga mensekresikan
metallocarboxypeptidase A (McpA) dan dua serin carboxypeptidases (Scp), ScpA dan
ScpB(Monod. M,2008).

2.5 EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Dermatofit dapat menginfeksi hewan antara lain sapi, kuda, anjing, kucing dan
unggas, demikian pula dapat menyerang manusia. Banyak jenis Ringworm yang
sangat kontagius, yaitu ringworm pada kucing, anjing, kuda dan sapi mudah
menular ke manusia.
Hewan lain yang rentan terhadap cendawan ini antara lain kelinci, cavia,
chinchillas, mencit, rat, kalkun, kera. Kadang-kadang terjadi pada oposum, tikus air
dan jarang pada, kambing, burung liar, keledai.

2. Pengaruh Lingkungan

Dermatofitosis tersebar luas di negara tropis, beriklim panas atau sedang


terutama jika udara lembab. Walau demikian distribusi geografis penyakit ini
bervariasi. Di negara yang mempunyai 4 musim, kasus yang paling sering terjadi
pada musim dingin dan musim semi. Menurut British report, hal ini merupakan
indikasi adanya variasi dalam musim. Di samping itu ada perbedaan geografis yang
menarik yang berhubungan dengan penyakit endemik Dermatophyton dimana
Microsporum canis merupakan agen penyebab kurang lebih 95 % pada kucing dan
70 % pada anjing di Amerika utara.

3. Sifat Penyakit

Dermatofitosis cepat menular di antara kelompok hewan (morbiditas tinggi)


dengan mortalitas yang rendah. Zoofilik dermatophytosis dapat menyebabkan
epidemik pada manusia. Kaplan dkk melaporkan bahwa dari 360 anjing penderita
ringworm, 10 % pemiliknya mengalami infeksi, demikian juga 30 % pemilik
kucing yang terinfeksi menderita penyakit ini. Hewan liar juga bisa menjadi
reservoir dari dermatofitosis.

2.6 GEJALA KLINIS

Di tempat infeksi terdapat bentukan khas dari penyakit ini, yaitu terlihat seperti
cincin, namun gejala klinis bervariasi apabila disertai infeksi kuman lain. Gejala dimulai
dari bercak merah, eksudasi dan rambut patah atau rontok. Perkembangan selanjutnya
sangat bervariasi dapat berupa benjol kecil dengan erupsi kulit atau berbentuk seperti
tumor yang dikenal dengan kerion.
1) Gejala pada anjing dan kucing
Bentuk cincin pada kucing biasanya dijumpai pada telinga, daerah fascia dan
kaki. Kerusakan kulit disertai bercak kemerahan dengan rambut patah atau rambut
rontok disertai keropeng dan bersisik. Pada anjing perubahan kulit biasanya
dijumpai pada daerah muka, terutama di sekitar moncong, kaki dan perut bagian
bawah, dengan pembentukan keropeng, erupsi kulit dan rambut rontok. Gejala
atipikal kadang muncul sebagai papula dan pustula tanpa pembentukan alopesia atau
sisik. lesi dengan batas jelas, menonjol, eritrema, alopesia atau nodule diakhiri
dengan kerion cincin, bisa dibarengi dengan reaksi hipersensitif.
Pada kucing bisa tidak menunjukkan gejala lesi atau hanya sedikit rambut rontok
sekitar fascia, dan telinga. Hewan ini sering menjadi carrier dan menimbulkan
masalah pada pembiakan kucing.
2) Gejala pada sapi
Pada sapi erupsi kulit terjadi pada muka, leher, dengan permukaan yang
meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Jika keropeng diangkat
akan terjadi perdarahan.
Penyakit ini paling sering menyerang hewan muda. Setelah masa inkubasi 2-4
minggu, rambut patah atau rontok. 2-3 bulan kemudian terlihat lesi tebal, bulat,
menonjol dengan batas jelas, warna putih keabuan. Lesi berkembang ke arah perifer,
dapat mencapai diameter 5- 10 cm. Bila penyakit tidak diobati lesi bisa meluas
secara umum terutama pada sapi muda.
3) Gejala pada kuda
Pada kuda yang terkena infeksi biasanya adalah bahu, muka, dada dan punggung.
Perubahan kulit bervariasi dari erupsi kulit berbentuk eritrema, rambut rontok,
bersisik atau berbentuk benjolan dengan luka yang cukup dalam.
Gejala klinis Iain, yaitu dengan terbentuknya 1 atau lebih alopesia. Pada lesi
awal terlihat gejala yang menyerupai urticaria kemudian berlanjut membentuk
alopesia dan kerak atau keropeng dalam beberapa hari.
4) Pada domba
Pada domba perubahan pada kulit berupa erupsi disertai rambut rontok dengan
pembentukan sisik dan biasanya terdapat pada muka dan punggung.

2.7 IDENTIFIKASI AGEN

A. Uji laboratorium
1) Pengambilan sampel
 Kulit: Daerah yang terkena disiram alkohol 70% dan tepi lesi aktif digores
dengan pisau bedah tumpul yang steril. Kerokan dikumpulkan dari pinggiran lesi
tanpa melukai kulit permukaan.
 Rambut : Mengumpulkan Bagian basal rambut karena jamur biasanya
ditemukan di daerah ini.
 Kuku: Kuku yang terkena diseka dengan 70% alkohol setelah kuku dikerok
cukup dalam untuk mendapatkan jaringan kuku baru saja diserang. Sampel
dikumpulkan dalam bentuk sachets kertas untuk transportasi ke laboratorium.
Spesimen diolah dengan mikroskop dan kultur.
2) Kultur

Spesimen dikultur pada agar sabouraud dekstrose (pH 6,9) dengan


penambahan ekstra 2-4% kloramfenikol 0,05/liter dan 0,4 sikloheksemida.
Cawan petri diinkubasi pada suhu 25-27°C.

Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah media selektif yang terutama


digunakan untuk isolasi dermatofit, jamur dan ragi lainnya namun juga dapat
menumbuhkan bakteri filamen seperti Nocardia. PH asam dari media ini (pH
sekitar 5,0) menghambat pertumbuhan bakteri namun memungkinkan
pertumbuhan ragi dan jamur. Agen antibakteri juga dapat ditambahkan untuk
meningkatkan efek antibakteri. Dekstrosa berfungsi sebagai sumber energi untuk
metabolisme. Kloramfenikol berperan sebagai antibiotik spektrum yang
menghambat berbagai bakteri Gram positif dan Gram-negatif. Cycloheximide
ditambahkan untuk menghambat jamur saprophytic. Fenol merah, indikator pH,
pada media dipengaruhi oleh adanya Dermatofit (Epidermophyton sp,
Microsporum sp, dan Trichophyton sp)

Produksi hasil alkali dalam medium berubah dari warna oranye kuning
menjadi merah. Organisme lain yang mungkin tumbuh pada medium dapat
dikenali sebagai non-dermatofit oleh warna dan koloni mereka morfologi.

Dermatophyte Test Medium (DTM) adalah media selektif yang


direkomendasikan untuk isolasi dan kultur jamur dermatofitik patogen.
Pemeriksaan mikroskopik koloni dilakukan dengan melakukan pewarnaan
dengan lactophenol cotton blue untuk memeriksa struktur hifa, microconidia dan
makroconidia.

3) Identifikasi
1. Microsporum cannis

1A 1B
A B

Gambar 1 koloni M. canis pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)

Koloni dari M.canis Kelihatan, putih kekuning-kuningan,dengan tepi berwarna


orange dan mempunyai pigmen bawah berwarna kuning kecoklatan di media agar
sabouraud dektrosa pada suhu 25°C. Makrokonidia berbentuk gelendong
macroconidium (40-120 x 8-20 µm), kasar, berdinding tebal dan terdiri dari 1- 15 septa
2. Microsposum gallinae

2A
2B
A
Gambar 2 koloni M. gallinae pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)

Koloni dari M. Gallinae berwarna putih sampai merah jambu dengan tampilan
beludru dan mempunyai pigmen bawah berwarna merah di media agar sebaauroud
dekstrosa. Makrokonidia sering melengkung dengan dinding halus tipis dan terdiri atas
4-10 sel

3. Microposum gypseum

3A 3B
A
Gambar 3 koloni M. gypseum pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)

Koloni dari M. gypseum kelihatan, berwarna kuning-kecoklatan,dengan tepi


berwarna putih dan seperti bubuk. Pigmen bawah bawah berwarna coklat sampai coklat
kemerahan pada media sabouraud dekstrosa. Makrokonidia berbentuk perahu (25-60 x
7-15 µm), kasar, berdinding tipis, terdiri sampai 6 septa
4. Trichophyton rubrum

4A 4B
A A
Gambar 4 Koloni T. rubrum pada media agar sabouraud dekstrosa (A), mikroskopis
makrokonidia dengan LPCB (B)

koloni dari T. rubrum berwarna putih kekuningan, seperti benang halus dan halus.
Pigmen bawah berwarna merah, kadang-kadang berwarna coklat atau kuning pada
media agar saboraud dekstrosa. Makrokonidia:2-8 sel dan jarang terlihat

5. Trichophyton mentagrophytes

5A 5B
A
Gambar 5 koloni T. mentagophytes pada media agar sabouraud dekstrosa (A),
mikroskopis makrokonidia dengan LPCB (B)

Koloni T. mentagrophytes berwarna kekuningan dan seperti bubuk dengan pigmen


bawa berwana putih dan seperti bulu pada agar saboraud dekstrosa. Makrokonidia:
berbentuk cerutu dengan dinding tipis dan halus.
6. T. verrucosum

6A 6B
A

Gambar 4 koloni T. mentagophytes pada media agar sabouraud dekstrosa(A),


mikroskopis makrokonidia dengan LPCB(B)

Koloni T. verrucosum terlihat, berwarna putih, menumpuk dan seperti beludru.


Pigmen Bawah berwarna putih atau pucat pada media agar sabouraud dekstrosa.
Makrokonidia sedikit , panjang, tipis dan dinding halus banyak rantai chlamydospore.

B. PCR

Teknik PCR menempati pembesaran enzimatik bahkan sejumlah kecil DNA


terperinci. Ini memiliki manfaat besar pada dermatofita kultur dengan kinerja morfologi
yang mudah dan khas (Sharma et al., 2012). Kombinasi PCR mengintensifkan produk
seperti 18S rRNA dari semua atau jamur yang paling umum yang terkait dengan infeksi
manusia (Yeo dan Wong, 2003). Amplifikasi dilanjutkan dengan restriksi endonuklease
restriksi, sekuensing, atau hibridisasi terhadap serangkaian genus dan probe spesifik
spesies yang menunjukkan kemungkinan preferensi dalam upaya mendiagnosis infeksi
jamur (Chemaly and Procop, 2004). PCR lebih sensitif daripada kultur sebagai alat
bantu diagnostik di Mycoses (Thomas, 2003). Meskipun PCR lebih menguntungkan, ia
memiliki sensitivitas dan spesifisitas ekstrim sehingga tidak dapat digunakan untuk
memantau respons pasien terhadap pengobatan.

2.8 PENCEGAHAN

Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan tubuh hewan dan
kebersihan kulit hewan. Hewan penderita harus dijauhi baik oleh hewan lain ataupun
manusia kecuali yang ditugaskan merawat hewan tersebut. Menjauhi dan mendesinfeksi
tempat yang diduga menjadi sumber spora. Diduga miselia dermatophyta mampu
merangsang pembentukan antibodi. Telah diketahui bahwa jaringan mengandung suatu
zat yang disebut ”serum faktor” yang bersifat fungisida dan fungistatika dan zat inilah
yang diduga membatasi pertumbuhan dermatophyta hanya pada bagian kulit yang
mengalami keratinisasi saja. Dermatophyta bersifat antigenik yang lemah tetapi sangat
alergik. Reaksi hipersensitisasi merupakari kejadian yang sering terjadi pada infeksi
dengan dermatophyta.
BAB III

KESIMPULAN

Dermatofitosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh jamur


dermatofit yang menyerang struktur yang mempunyai lapisan keratin. Jamur dermatofit
dibagi dalam tiga genus yaitu Microsporum sp, Trichophyton sp, dan Epidermophyrton
sp. Infeksi dermatofitosis memalui atroconidia atau spora yang ada ditanah. Dermatofit
akan mengahasilkan enzim yang melisiskan lapisan kertain sehingga akan menghasilkan
peradangan. Gejala klinis yang khas dari dermatofitsosis adalah lesi dan alopesia.
Pencagahan dari dermatofitosis adalah menjaga kebersihan kulit dan rambut dan
menghindari kontak langsung dengan hewan yang menderita dermatofitosis.
Daftar pustaka

Ates A, Ilkit M, Ozdemir R, Ozcan K. Dermatophytes isolated from asymptomatic dogs


in Adana, Turkey: A preliminary study. Journal of Medical Mycology. 2008;
18(3):154-157. DOI: 10.1016/j. mycmed.2008.07.001

B Lechenne, U Reichard, C Zaugg, M Fratti, J Kunert, O Boulat and M Monod.


Sulphite efflux pumps in Aspergillus fumigatus and dermatophytes. Microbiology
2007; 153, 905-13.

Copetti MV, Santurio JM, Cavalheiro AS, Boeck AA, Argenta JS, Aguiar LC.
Dermatophytes isolated from dogs and cats suspected of dermatophytosis in
Southern Brazil. Acta Scientiae Veterinariae. 2006; 34(2): 119-124.4.

Dahdah MJ, Scher RK. Dermatophytes. Current Fungal Infection Reports. 2008; 2: 81–
86.

JM Jensen, S Pfeiffer, T Akaki, JM Schröder, M Kleine, C Neumann, E Proksch and J


Brasch. Barrier function, epidermal differentiation, human β-defensin 2
expression in Tinea corporis. J. Invest. Dermatol. 2007; 127, 1720-7.

Weitzman, I. and Summerbell, R.C. (1995). The dermatophytes. Clinical


Microbiolo~icalReviews, 8, 240-259.

M Monod. Secreted Proteases from Dermatophytes. Mycopathologia 2008; 166, 285-


94.

M Monod, B Léchenne, O Jousson, D Grand, C Zaugg, R Stocklin and E Grouzmann.


Aminopeptidases and dipeptidyl-peptidases secreted by the dermatophyte
Trichophyton rubrum. Microbiology 2005; 151, 145-55.

Moriello, K.A., Kunkle, G. and DeBoer, D.J. (1994). Isolation of dermatophytes from
the haircoats of stray cats from selected animal shelters in two different
geographic regions of the United States. Veterinary Dermalology, 5, 5742.
NTA Peres, FCA Maranhão, A Rossi and NM Martinez-Rossi. Dermatophytes: Host-
pathogen interaction and antifungal resistance. An. Bras. Dermatol. 2010; 85,
657-67.

S Vermout, J Tabart, A Baldo, A Mathy, B Losson and B Mignon. Pathogenesis of


dermatophytosis. Mycopathologia 2008; 166, 267-75.

T Liu, X Xu, W Leng, Y Xue, J Dong and Q Jin. Analysis of gene expression changes
in Trichophyton rubrum after skin interaction. J. Med. Microbiol. 2014; 63, 642-8.

Wagner, D.K. and Sohnle, P.G. (1995). Cutaneous defenses against dermatophytes and
yeasts. Clinical Microbiological Reviews, 8, 317-335.

Wawrzkiewicz, K., Wolski, T. and Lobarzewski, J. (1991) Screening the keratinolytic


activity of dermatophytes in vitro. Mycopathologia, 114(3), 1-8.
MAKALAH

ILMU PENYAKIT BAKTERIAL DAN MIKAL

DERMATOFITOSIS

OLEH

KELOMPOK 10

1. NOFRIANI R. W. NDUN (1509010010)


2. MARIA MARSINIANI MOI (1509010022)
3. NADYA DARAMULI KALE (1509010036)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2017

Anda mungkin juga menyukai