Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari
perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku sebulum
aturan (hukum) perilaku dibuat dan dilaksanakan, atau aturan (norma)
etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum. Sebagai kontrol
terhadap individu pelaku dalam bisnis yaitu melalui penerapan kebiasaan
atau budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dalam
prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu perusahaan dengan
mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, berprilaku tanpa
diskriminasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Prinsip Etika Bisnis Islam ?
2. Apa Saja Akad-Akad Muamalah Dalam Transaksi Perbankan ?
3. Bagaimana Kedudukan Hukum Syariah Dalam Perbankan Syariah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Prinsip Etika Bisnis Islam.
2. Untuk Mengetahui Akad-Akad Muamalah Dalam Transaksi
Perbankan.
3. Untuk Mengetahui Kedudukan Hukum Syariah Dalam Perbankan
Syariah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Etika Bisnis Islam
Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari
perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku sebulum
aturan (hukum) perilaku dibuat dan dilaksanakan, atau aturan (norma)
etika tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan hukum. Sebagai kontrol
terhadap individu pelaku dalam bisnis yaitu melalui penerapan kebiasaan
atau budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dalam
prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu perusahaan dengan
mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin, berprilaku tanpa
diskriminasi.1
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral, tidak
merupakan komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu
kerangka sosial. Etika bisnis menjamin bergulirnya kegiatan bisnis dalam
jangka panjang, tidak berfokus pada keuntungan jangka pendek saja. Etika
bisnis akan meningkatkan kepuasan pegawai yang merupakan stakeholders
yang penting untuk diperhatikan. Etika bisnis membawa pelaku bisnis
untuk masuk dalam bisnis internasional. Karenanya, harus :
1. Pengelolaan bisnis secara professional.
2. Berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus.
3. Mempunyai komitmen moral yang tinggi.
4. Menjalankan usahanya berdasarkan profesi/keahlian.
Karena itu, etika bisnis secara umum menurut Suarny Amran, harus
berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Prinsip Otonomi : Yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan


bertindak berdasarkan keselarasan tentang apa yang baik untuk
dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang
diambil.

1 Aziz, Abdul ,Etika Bisnis Perspektif Islam, (Bandung :Penerbit Alfabeta, 2009), hlm. 36.

1
2. Prinsip Kejujuran : Dalam hal ini kejujuran adalah merupakan kunci
keberhasilan suatu bisnis, kejujuran dalam pelaksanaan control
terhadap konsumen, dalam hubungan kerja, dan sebagaianya.

3. Prinsip Keadilan : Bahwa setiap orang dalam berbisnis diperlakukan


sessuai dengan haknya masing-masing dan tidak ada yang boleh
dirugikan.

4. Prinsip Saling Menguntungkan: Juga dalam bisnis yang kompetetif.

5. Prinsip Integritas Moral : Ini merupakan dasar dalam berbisnis, harus


menjaga nama baik perusahaan tetap dipercaya dan merupakan
perusahaan terbaik. Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu
komunitas moral, tidak merupakan komitmen individual saja, tetapi
tercantum dalam suatu kerangka sosial. Etika bisnis menjamin
bergulirnya kegiatan bisnis dalam jangka panjang, tidak berfokus
pada keuntungan jangka pendek saja.Etika bisnis akan meningkatkan
kepuasan pegawai yang merupakan stakeholders yang penting untuk
diperhatikan.2

B. Akad-Akad Muamalah Dalam Transaksi Perbankan


1. Bai' Al-Murabahah
Murabahah menurut DSN adalah menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba, atau bahasanya mudahnya
adalah jual beli. Akad Produk pembiayaan ini berpedoman pada fatwa DSN
MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Peraturan Bank
Indonesia No. 9/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.

2 Capra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta:Gema Insani,2000), hlm.99.

2
Didalam praktik Pebankan Syariah Murabahah adalah produk
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip/Akad
Murabahah dimana Bank Syariah membiayai pembelian Rumah/Mobil atau
barang multiguna atau Barang untuk Modal Kerja atau Investasi sebesar
harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. hal-
hal yang menggunakan akad Murabahah yaitu jual beli rumah, apartemen,
ruko/rukan, tanah kosong (kavling), villa, dan motor maupun mobil, juga
seperti barang elektronik, perlengkapan rumah tangga, renovasi rumah dan
lain-lain, kemudian untuk membeli bahan baku kertas dalam rangka pesanan
percetakan. dan bisa di gunakan juga Pembiayaan Investasi, misalnya untuk
membeli mesin cetak. contoh jika nasabah ingin membeli suatu mobil maka
nasabah mengajukan ke Bank, maka bank akan membelikan mobil yang
diinginkan tersebut, pihak bank bisa memberikan kuasa kepada nasabah
untuk negosiasi kepada pemilik mobil (wakalah), kemudian pihak bank dan
nasabah melakukan negosiasi bagaimana tahap-tahap pembayaran.

2. Wadi'ah
Wadi'ah adalah transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik
kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang
menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-
waktu. Produk ini berpedoman pada fatwa DSN MUI No.01/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Giro, fatwa DSN MUI No.02/DSN-MUI/IV/2000
tentang Tabungan, fatwa DSN-MUI No.36/DSN- MUI/X/2002 tentang
sertifikat wadi'ah Bank Indonesia, Peraturan Bank IndonesiaNo.
09/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.3

3 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 114.

3
3. Al-Qardh
Al-Qardh adalah akad pinjaman kepada nasabah (muqtaridh) yang
memerlukan dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikannya pada
waktu yang telah ditentukan. Produk pembiayaan ini berpedoman pada fatwa
DSN MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al- Qardh, Peraturan Bank
Indonesia No. 9/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.

4. Mudharabah

Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana


(shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha
antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. Produk ini berpedoman pada fatwa DSN MUINo.07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Mudharabah, Peraturan Bank IndonesiaNo.
09/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. 4

Dalam Implementasinya Bank Syariah menggunakan akad ini dalam


penghimpunan dana tabungan berjangka, yaitu tabungan tabungan yang
dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan qurban,
deposito, dan lain-lain. Deposito Spesial (special investment), dimana
dana yang diberikankan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya
murabahah saja atau ijarah (jasa) saja. kemudian Dalam Penyaluran Dana /
Pembiayaan Pembiayaan modal kerja seperti pembiayaan modal kerja
perdagangan atau jasa. Investasi khusus, disebut juga mudharabah
muqayyadah, dimana sumber dana khusus, penyaluran dana khusus

4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya,


(Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2014), hlm. 95-96.

4
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pemberi dana (shahibul
maal).

5. Musyarakah
Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Produk
pembiayaan ini berpedoman pada fatwa DSN MUI No.08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Musyarakah, Peraturan Bank Indonesia No.
09/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Dalam pelaksanaannya Musyarakah biasa digunakan dalam
Pembiayaan Proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank syariah sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu
selesei, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang
telah disepakati untuk bank. Modal Ventura Pada lembaga keuangan
khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan
perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura.
Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu
bank melakukan disvestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.

6. Bai' Salam
Bai' Salam adalah Jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, Produk
pembiayaan ini berpedoman pada fatwa DSN MUI No.04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Bai Salam, Peraturan Bank Indonesia No.

5
09/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
dalam implementasinya akad Salam adalah transaksi jual beli dimana
barang yang diperjualbelikan belum ada (dipesan). Barang diserahkan
secara tangguh sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Bank
Syariah bertindak sebagai pembeli yang memesan barang, sementara
nasabah sebagai penjual (salam I). Mengingat LKS (Lembaga Keuangan
Syariah)/Bank Syariah tidak berniat untuk inventory barang, maka bank
menjual barang tersebut kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri
secara tunai atau secara cicilan (salam II). Dalam hal bank menjualnya
secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing).
Dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua belah pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Pembiayaan salam
umumnya diterapkan untuk pembelian komoditi pertanian atau barang
industri seperti garmen/barang jadi. Sekilas mirip jual beli ijon, namun
dalam transaksi salam ini spesifikasi, kuantitas, kualitas, harga, dan waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

7. Istishna'

Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan


barang (mashnu') tertentu dengan kriteria tertentu dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli/mushtashni') dan penjual
(pembuat/shani'). dalam perbankan syariah Istishna' adalah produk
penyaluran dana dalam bentukPembiayaan berdasarkan prinsip Istishna'
Pararel dimana Bank Syariah membiayai konstruksi dan atau renovasi
rumah (konsumer), kebutuhan modal kerja (misal : calon nasabah adalah
developer yang membutuhkan modal kerja untuk pembangunan proyek
perumahan), barang kebutuhan Investasi nasabah sesuai spesifikasi yang
ditentukan Produk pembiayaan ini berpedoman pada Fatwa DSN-MUI No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna', Fatwa DSN-MUI No.
22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual BeliIstishna' Paralel , Peraturan Bank

6
IndonesiaNo. 09/19/PBI/2007 dan Undang-Undang No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.

8. Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Produk ini
berpedoman pada fatwa DSN MUI Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000
tentang Pembiayaan Ijarah, fatwa DSN MUI Nomor 27/DSN-
MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik, fatwa
DSN-MUI Nomor 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Pembiayaan
Multijasa, Peraturan Bank Indonesia Nomor 09/19/PBI/2007
danUndang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
9. Rahn
Rahn atau gadai, Produk ini berpedoman padafatwa DSN MUI
No.25/DSN- MUI/III/2002 tentang Rahndan fatwa DSN MUI
No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn emas. Dalam Implementasinya
biasanya Kontrak rahn dipakai dalam perbankan syariah dalam dua hal
yaitu Produk PelengkapRahn dipakai sebagai produk pelengkap artinya
sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain
seperti misalnya jaminan dalam pembiayaan bai'al-murabahah.5

C. Kedudukan Hukum Syariah Dalam Perbankan Syariah


1. Sistem Perbankan Indonesia
Sistem perbankan merupakan suatu tatanan yang didalamnya terdapat
berbagai unsur mengenai bank, baik menyangkut kelembagaannya,
kegiatan usahanya dengan mengikut suatu aturan tertentu. Dapat diungkap

5 Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,


2015), hlm. 16.

7
bahwa, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, sisitem perbankan terdiri dari:
a. Bank Indonesia
b. Bank Umum Pemerintah
c. Bank Umum Swasta Nasional
d. Bank Asing dan Bank Campuran
e. Bank Pembangunan pemerintah
f. Bank Pembangunan pemerintah
g. Bank Pembangunan Swasta
h. Bank Tabungan Pemerintah
i. Bank Tabungan Swasta
j. Kelompok Bank Perkreditan Rakyat
Sesudah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1997
tentang Perbankan yang telah disempurnakan dengan undang-undang
nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, system perbankan di Indonesia
menjadi:
a. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
b. Bank-bank Umum, yang dibedakan menjadi dua yakni Bank umum
devisa dan Bank umum nondevisa
c. Bank Perkreditan Rakyat dan kelompok Bank Perkreditan Rakyat
Selain itu, sistem perbankan di Indonesia juga bisa kita simpulkan
setelah melihat pada UU Perbankan yaitu perbankan yang beropersi
dengan prinsip konvensional dan perbankan yang beroperasi pada
prinsip syariah.

2. Bank Syariah sebagai Bagian Integral Perbankan Nasional


Seperti yang telah disebutkan di atas tentang keleluasaan perbankan dalam
melaksanakan kegiatan usahanya, Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat bebas memilih prinsip yang akan digunakannya, baik konvensional
maupun syariah. Akan tetapi, ada perbedaan hak antara Bank Umum dan

8
Bank Perkreditan dimana Bank Umum dapat beroperasi dengan dua
prinsip secara bersamaan maupun secara terpisah, tapi Bank Perkreditan
Rakyat hanya boleh memilih satu diantara dua pilihan itu yakni
konvensional atau syariah.

3. Peraturan Bank Syariah dalam Undang-Undang Perbankan


Pengaturan mengenai Bank Syariah dalam UU Perbankan telah
disebutkan, tidak hanya menyangkut eksistensi dan legitimasi Bank
Syariah dalam sistem perbankan nasional, tapi juga meliputi aspek
kelembagaan dan sistem operasional perbankan syariah itu sendiri. Dalam
peraturan tersebut, telah diatur hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat
pendirian bank syariah, kepengurusan, bentuk hukum bank syariah, aturan
mengenai konversi bank konvensional menjadi bank syariah, mengenai
perbankan kantor cabang, kegiatan usaha dan produk-produk yang dapat
dilakukan, keberadaan dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan
hubungannya dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), mengenai
pengawasan oleh Bank Indonesia, sampai pada sanksi-sanksi pidana
maupun administratif yang dapat dikenakan.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

10

Anda mungkin juga menyukai