Anda di halaman 1dari 27

PROSES PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

(PERANAN PENALARAN DAN WAHYU DALAM


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN)

Oleh :
NAMA : AHMAD FAKHIR
NIM : 192630038
MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU MANAJEMEN
PRODI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : 1. Prof. Dr. ATHOULLAH AHMAD, M.A
2. Dr. H. RODANI, M.Si

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN (SMH) BANTEN
2019 M / 1441 H
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin puji syukur kehadirat


Allah subhanahu wataala, yang senantiasa selalu melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan atas
junjungan kita Nabi besar Muhammad shollallahu alaihi wasallam beserta keluarga,
sahabat, tabiin atsba’ tabiin, semoga kita semua selaku umatnya memperoleh
syafaatul udzmah dari baginda Rosulullah shollallahu alaihi wasallam amin.
Alhamdulillah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Proses Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Peranan Penalaran Dan
Wahyu Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan)”.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dalam
rangka memperbanyak ilmu pengetahuan dan juga sebagai salah satu syarat yang
wajib di penuhi. Penyusun sepenuhnya sangat menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih banyak kekurangannya disebabkan keterbatasan pengetahuan penyusun.
Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah yang sederhana ini
dapat bermanfaat bagi diri penyusun dan juga bermanfaat bagi orang lain. Amin.

Serang, 04 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i


Daftar Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan ................................................. 3
B. Proses Pengembangan Ilmu Pengetahuan ................................................. 10
C. Peranan Penalaran dan Wahyu dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan. 16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 23
B. Saran .......................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Eksistensi ilmu pengetahuan tidak lepas dari sejarah
perkembangannya yang merupakan sebuah proses panjang tumbuh dan
berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada setiap fase
perkembangan ilmu pengetahuan muncul sesuatu yang baru dan memiliki
karakteristik disetiap masanya.
Karakteristik tersebut adalah hasil dari sebuah pergumulan budaya
yang terjadi dalam dinamika sosial. Tentu hal itu tidak bisa lepas dari
berbagai pengaruh sosial, budaya, dan politik serta agama yang berkembang
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam konsepsi agama ilmu pengetahuan lahir sejak diciptakannya
manusia pertama yaitu Adam,1 kemudian berkembang menjadi sebuah ilmu
atau ilmu pengetahuan. Pada hakekatnya ilmu pengetahuan lahir karena
hasrat ingin tahu dalam diri manusia. Hasrat ingin tahu ini timbul oleh
karena tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupan yang terus berkembang.
Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap periode
dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan dari mitos-
mitos menjadi lebih rasional.2 Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif
menjadikan alam sebagai objek penelitian dan pengkajian.
Oleh Karena itu, dalam makalah yang singkat ini, penulis akan
menjelaskan tentang “PROSES PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN (PERANAN PENALARAN DAN WAHYU DALAM
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN)” sesuai dan kemampuan
yang penulis miliki, tentunya penulis yakin hal ini masih jauh dari
kesempurnaan.

1
Lihat: Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30-33
2
George J. Mouly, Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 87
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan?
2. Bagaimana Proses Pengembangan Ilmu Pengetahuan?
3. Bagaimana Peranan Penalaran dan Wahyu dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan?

C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
2. Mengetahui Proses Pengembangan Ilmu Pengetahuan
3. Mengetahui Peranan Penalaran dan Wahyu dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


Di kalangan para ahli sejarah banyak pendapat yang beragam dalam
mendefinisikan term sejarah, namun dapat penulis simpulkan bahwa pada
intinya sejarah adalah kesinambungan atau rentetan suatu peristiwa/ kejadian
antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Hal ini dapat diketahui
dari segi kronologis dan geografis, yang bisa dilihat dengan kurun waktu
dimana sejarah itu terjadi. Dalam setiap periode sejarah pekembangan ilmu
pengetahuan memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu. Tetapi dalam
pembagian periodisasi perkembangan ilmu pengetahuan ada perbedaan dalam
berbagai literature yang ada.
George J. Mouly membagi perkembangan ilmu menjadi tiga (3) tahap
yaitu animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. George J. Mouly dalam bukunya
Jujun S Suriasumantri, (1985:87) menjelaskan bahwa permulaan ilmu dapat
ditelusuri sampai pada permulaan manusia.
George J. Mouly menjelaskan bahwa pada tahap animisme, manusia
menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-
dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir
mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum
berubah menjadi logosentris. Sebagai contoh, gempa bumi pada saat itu tidak
dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena
alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam
yang terjadi secara kualitas.3
Dari hal tersebut diketahui bahwa proses berpikir manusia menuntut
mereka untuk menemukan sebuah metode belajar dari pengalaman dan
memunculkan keinginan untuk menyusun sesuatu hal secara empiris, serta
dapat diukur. Dalam sejarah mencatat bangsa Yunanilah yang pertama diakui
oleh dunia sebagai perintis terbentuknya ilmu karena telah berhasil

3
George J. Mouly, Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri, hlm. 87.
menyusunnya secara sistematis. Implikasi dari hal tersebut manusia akan
mencoba merumuskan semua hal termasuk asal-muasal mitos-mitos karena
mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat dijelaskan asal- usulnya dan
kondisi sebenarnya. Sehingga sesuatu hal yang tidak jelas yang hanya berupa
tahu atau pengetahuan dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat
dipertanggungjawabkan pada saat itu. Dari sinilah awal kemenangan ilmu
pengetahuan atas mitos-mitos, dan kepercayaan tradisional yang berlaku di
masyarakat.4
Sedangkan perkembangan sejarah ilmu pengetahuan menurut amsal
bakhtiar yang dibagi menjadi empat periode dijelaskan sebagai berikut:
1. Periode Yunani Kuno
Yunani kuno adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa
memilki peradaban. Oleh karenanya Yunani kuno sangat identik dengan
filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Padahal filsafat
dalam pengertian yang sederhana sudah berkembang jauh sebelum para
filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan
mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-
pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang.
Menurut Bertrand Russel, diantara semua sejarah, tak ada yang begitu
mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain lahirnya peradaban di
Yunani secara mendadak. Memang banyak unsur peradaban yang telah ada
ribuan tahun di Mesir dan Mesopotamia. Namun unsur-unsur tertentu belum
utuh sampai kemudian bangsa Yunanilah yang menyempurnakannya.5
Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri
poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.6 Zaman ini
berlangsung dari abad 6 SM sampai dengan sekitar abad 6 M. Zaman ini
menggunakan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang
menyelidiki sesuatu secara kritis), dan tidak menerima pengalaman yang
didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima segitu saja).

4
Ibid.
5
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 3-4.
6
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013 edisi revisi), hlm. 22.
Sehingga pada zaman ini filsafat tumbuh dengan subur. Yunani mencapai
puncak kejayaannya atau zaman keemasannya.
Pada zaman ini banyak bermunculan ilmuwan yang terkemuka. Di
antaranya adalah:
a. Thales (624-545 SM).
Thales adalah filsuf pertama sebelum masa Socrates. Menurutnya
zat utama yang menjadi dasar segala materi adalah air.
b. Pythagoras (580 SM–500 SM)
Dikenal sebagai Bapak Bilangan, dan salah satu peninggalan
Phytagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan
bahwa kuadrat hipotenusa dari suatusegitiga siku-siku adalah sama
dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya).
Walaupun fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum
lahirnya Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras
karena ia yang pertama kali membuktikan pengamatan ini secara
matematis. Selain itu, Pythagoras berhasil membuat lembaga pendidikan
yang disebut Pythagoras Society.
c. Socrates (469 SM-399 SM)
Socrates adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya
juga mengajar Aristoteles. Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi
pemikiran Barat adalah metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai
metode elenchos, yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral
yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika
atau filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.7
d. Plato (427 SM-347 SM)
Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (Politeia) di mana
ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan ideal.
Sumbangsih Plato yang terpenting tentu saja adalah ilmunya mengenai
ideal. Dunia fana ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada
dunia ideal. Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Plato, yang hidup
di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang
tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia akademisi hingga saat ini.

7
W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 60-61.
Karyanya Timaeus merupakan karya yang sangat berpengaruh di zaman
sebelumnya; dalam karya ini ia membuat garis besar suatu kosmogoni
yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut perimbangan dan
teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.8
e. Aristoteles (384 SM- 322 SM)
Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan
guru dari Alexander yang Agung. Ia memberikan kontribusi di bidang
Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, dan Ilmu Alam. Di
bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan
mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Sementara
itu, di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang
ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki. Dari
kontribusinya, yang paling penting adalah masalah logika dan Teologi
(Metefisika).

2. Periode Islam.
Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran yang
sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini sudah terlihat dari pesan
yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada
Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq dengan diawali kata perintah iqra
yang berarti (bacalah).
Gairah intelektualitas di dunia Islam ini berkembang pada saat Eropa
dan Barat mengalami titik kegelapan, Sebagaimana dikatakan oleh Josep
Schumpeter dalam buku magnum opus- nya yang menyatakan adanya great
gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang
dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan
masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan
oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang
kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat.9

8
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), cetakan ke-4, hlm. 10.
9
Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis, (New york : Oxford University
Press, 1954), bandingkan dengan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2007), Edisi Ke-3, hlm 10-11
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada pergerakan
ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku bagi
ilmu pada masa itu adalah ancillla theologia atau abdi agama. Atau dengan
kata lain, kegiatan ilmiah tersebut diarahkan untuk mendukung kebenaran
agama.
Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan
bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Inilah yang
dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap
(dark age).
Zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh
persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat
dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama
dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat
peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria
(Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).10
Sedangkan W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa
ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh,
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat
belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi
kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar
tahun 900 M ke Baghdad.11
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada
di pangkuan peradaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-
nama terkenal seperti: Al-Hāwī karya al-Rāzī (850-923) merupakan sebuah
ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai
masanya.12 Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan
judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-
Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-
Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada
tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga

10
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
11
W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan, hlm. 44-45.
12
Lenn E. Goodman, “Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.
menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan
penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi.
Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan
mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat
70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada
Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.13
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Hayyān (Geber) dan al-Bīrūnī
(362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Hayyān memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-
bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal
dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat
khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga
menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn
Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau
Avempace (w. 1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn
Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī
berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang
sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-
Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani
kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan
menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.
Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat
Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir,
dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar,
bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar
pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan
disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya
pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris.
Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad

13
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty,
1996), hlm 42.
pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah
terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman
pencerahan atau renaisans.

3. Masa renaisans dan modern


Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di
ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu
humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme.
Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara
Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah
berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan
kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M.
Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan
kembali ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri
Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-
gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali
kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme
pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.

4. Periode Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20 M dan masih berlangsung hingga
saat ini. Zaman ini ditandai dengan adanya teknologi-teknologi canggih,
dan spesialisasi ilmu-ilmu yang semakin tajam dan mendalam.
Pada zaman ini bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi
dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Sebagian besar aplikasi ilmu dan
teknologi di abad 21 merupakan hasil penemuan mutakhir di abad 20. Pada
zaman ini, ilmuwan yang menonjol dan banyak dibicarakan adalah
fisikawan.
Fisikawan yang paling terkenal pada abad ke-20 adalah Albert
Einstein. Ia lahir pada tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal pada tanggal
18 April 1955 (umur 76 tahun). Alberth Einstein adalah seorang ilmuwan
fisika. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang
bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi.

B. PROSES PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini
berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural,
metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran
ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah
dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang
masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan
inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru
didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar
kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan
pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar
dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi,
sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-
ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang
cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut
tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan yang
berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia
seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua
obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi
tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-
pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang
yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai
pemimpin yang mengetahui segala-galanya.
Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang
belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum
adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat
merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim,
guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula
bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan
keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya
adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di
sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status
ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan
tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan
logika berpikir secara nalar.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi,
yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut
premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada
gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan
kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis
yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian
kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat
rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara
induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil
pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam
rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap
ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap
fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan
gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris,
melainkan lebih daripada itu.
Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-
komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi (Hakikat Ilmu)
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas
dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada” itu (being
Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau
spiritualisme, Paham dua-lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat
bahkan ke-yakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana
(yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Secara ontologis, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das
Sein). Persoalan yang didalami: ”Apakah yang menjadi bidang telaah
ilmu?” Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan: ”Apakah yang
membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?”. Dikarenakan
dalam Filsafat ilmu berkaitan dengan Ontologi, Filsafat Ilmu dalam
telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu
ilmu. Landasan ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu
terhadap objek material maupun objek formal ? apakah objek bersifat phisik
ataukah bersifat kejiwaan ?. Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga
asumsi mengenai obyek empiris.
Asumsi pertama, menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan
sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa
obyek yang serupa kedalam satu golongan. Klasifikasi merupakan
pendekatan keilmuan yang pertama terhadap obyek-obyek yang ditelaahnya
dan Taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali
berkembang. Linnaeus (1707-1778) merupakan pelopor dalam
penggolongan hewan dan tumbuhansecara sistematis. Dengan adanya
klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu-individu dalam
suatu kelas tertentu mempunyai cirri-ciri yang serupa, maka ilmu tidak
berbicara mengenai kasus individu melainkan suatu kelas tertentu.
Asumsi kedua, adalah anggapan bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu ilmu
hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok
dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup
dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka
panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda
untuk tiap benda. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini
memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek
yang sedang diselidiki.
Asumsi yang ketiga, adalah determinisme; merupakan anggapan
tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap
gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan
kejadian yang sama. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai
konotasi yang bersifat peluang (propabilistik) (Suriasumantri, 2006:7-8).
Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapat tiga hal distingtif
penjelasan ilmiah (scientific explanation): (1) deduktif, (2) probabilistik, (3)
fungsional atauteleologis, dan yang keempat, menurut Ernest Nagel, adalah
(4) genetik, atau seringkali disebut dengan penjelasan historis.

2. Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan)


Epistemologiilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara
mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah).
Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya
mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih.
Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara
akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam
epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis,
positivisme, feno-menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagai-mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik beserta
tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi,
korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Epistemologis ilmu berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu
dan sarana berpikir ilmiah lainnya, seperti bahasa, logika, matematika, dan
statistika. Landasan ini berangkat dari suatu premis bahwa sesungguhnya
alam semesta tidak berbicara (dalam arti formal); ia hanya
memanifestasikan diri dalam dan lewat fakta-fakta saja agar sains dapat
berada, metode-metode (mekanisme-mekanisme) tertentu harus diciptakan,
untuk ”menanyai” alam semesta dan bahkan untuk menerima darinya
jawaban-jawaban yang signifikatif dan kondusif. Inilah fungsi pokok
metode ilmiah yang akan dielaborasi lebih jauh nanti. Dalam konteks ini,
hendak dijawab pula pertanyaan: (1) ”Apakah ilmu menjamin diperolehnya
kebenaran?”, (2) ”Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” Terhadap
pertanyaan pertama, diajukan proposisi bahwa kebenaran itu bukanlah
sesuatu yang stabil atau yang sudah ada, melainkan berada dalam sejarah
yang senantiasa berubah.Louis Leahy (2002: 17) memberikan analogi
ilustratif, " kita naik selangkah demi selangkah dari suatu tangga yang
panjang; sehingga dewasa ini kepada kita disajikan suatu perspektif yang
dahulu tidak ada, dan yang memungkinkan kita untuk menentukan relasi-
relasi antara segi-segi alam semesta". Di samping itu, sejarah ilmu
menunjukkan bahwa para filsuf dan ilmuwan tidak mampu merumuskan
perangkat ketentuan yang universal diterima semua orang untuk menilai
kebenaran (Alsa, 2003: 3). Argumentasi ini semakin diperumit lagi apabila
pemikiranMichael Foucault diikutsertakan, bahwa kebenaran-pun ditunjuk
dalam setiap wacana ilmiah dimana kuasa strategi dipraktikkan. Demikian
pula, kita dapat menjadi semakin pesimis. mengenai penjaminan
pemerolehan kebenaran oleh ilmu, apabila kita merujuk pada hipotesis
Foucault bahwa sejarah pengetahuan tidak begitu saja patuh pada hukum
umum kemajuan nalar. Di bawah apa yang diketahui oleh ilmu
pengetahuan, ada sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi yang mempunyai
hukum dan aturannya sendiri. Tidak mengherankan, Foucault
memposisikan psikoanalisis (disamping etnologi) secara khusus, bukan
karena berhasil menjadi ilmiah dengan memantapkan landasan
positivitasnya, tetapi karena terus mempertanyakan segala sesuatu yang
tampak mapan (Leksono, 2002: 31).
3. Aksiologi (Guna Pengetahuan)
Akslologi llmu meliputi nilal-nilal (values) yang bersifat normatif
dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke-nyataan sebagaimana
kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan,
seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik-material. Lebih dari
itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine
qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan
penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Dalam perkembangannya
Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi
Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal
pada dimensi ke-budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau
keman-faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa yang dijamin untuk diperoleh


oleh ilmu hanyalah jenis kebenaran ilmiah (scientific truth), meskipun sifat-
sifatnya tidak mutlak, tidak samad, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara
(tentatif), dan hanya merupakan pendekatan (Wilardjo dalam Suriasumantri,
1997: 239) ”Kebenaran ilmiah” dalam tulisan ini diartikan sebagai kebenaran
yang didapat melalui cara-cara baku yang disebut ”metode ilmiah”.

C. PERANAN PENALARAN DAN WAHYU DALAM PENGEMBANGAN


ILMU PENGETAHUAN
"Ilmu Pengetahuan adalah laksana binatang buruan, dan penulisannya
adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali
yang teguh".14 Dari pernyataan Buya Hamka tersebut, terbesit makna yang
dapat kita pahami bahwa, ilmu pengetahuan sangatlah bermanfaat jika
dikendalikan, dalam hal ini adalah nilai-nilai yang melandasi bagi ilmuwan
untuk mengembangkannya.
Namun, bagaimanapun juga pengembangan ilmu tidak dapat begitu saja
bebas nilai. Ada asumsi, bahwa Al-Qur'an merupakan penghambat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Anggapan ini muncul, ketika
ilmuwan dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, "apakah ilmu pengetahuan itu

14
Hamka, 1979. Tafsir Al-Azhar, Juz XXX, Surabaya: Yayasan Lamilojong. hal.196.
bebas atau terikat oleh suatu nilai?". Al-Qur'an, memang bukanlah buku ilmu
pengetahuan, namun Al-Qur'an penuh dengan isyarat tentang ilmu
pengetahuan, untuk itu dapat dipahami, bahwa hakekat ilmu pengetahuan untuk
mencari kebenaran (secara ilmiah). Padahal dalam Al-Qur'an hakikat ilmu
pengetahuan, bukan semata-mata untuk mencari kebenaran secara ilmiah saja,
melainkan juga untuk mendapatkan petunjuk (hudan), tanda-tanda (ayat),
kebijaksanaan (hikmah) dan rahmat (rahmah).
Berangkat dari pertanyaan tersebut diatas, mari sama-sama kita coba
bahas tentang "peranan pengamatan, penalaran dan wahyu dalam
pengembangan ilmu pengetahuan", untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an tidak
menghambat, tetapi justru mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Secara umum dapat dipahami, bahwa pengamatan adalah hasil
tanggapan dari indera terutama mata terhadap obyek tertentu sehingga
menimbulkan kesan pada rasio (nalar) tentang pengertian.
Indera merupakan salah satu alat untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan. Firman Allah,

َ ‫ونَأ ه َم َٰهتِّ هك ۡمََلَتَعۡ ل همونَش ۡيَاَوجعلَل هك همَٱل‬


ََ‫سمۡ ع‬ ‫مَم ۢنَبه ه‬
ِّ ‫ط‬ ِّ ‫ّللهَأ ۡخرج هك‬
ََ ‫وَٱ‬
َ َ٧٨َ‫صرََوَٱ ۡۡل ۡفَِّدةََلعلَ هك ۡمَت ۡش هَك هرون‬ َٰ ‫وَٱ ۡۡل ۡب‬
Artinya :"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur". (QS. An Nahl 16:78)
Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa ada satu kegaiban dan keajaiban
yang dekat pada manusia. Manusia mengetahui fase-fase pertumbuhan janin,
tetapi manusia tidak mengetahui bagaimana jalannya proses perkembangan
janin yang terjadi dalam rahim itu sehingga mencapai kesempurnaan.15
Selanjutnya, diantara indera-indera eksternal hanya pendengaran dan
penglihatan yang disebut, karena keduanya merupakan alat-alat utama yang
membantu seseorang dalam memperoleh pengetahuan akan dunia fisik.16

15
Muhammad Fuad, Abd. Al-Baqi, 1980. Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfas Al-Qur'an Al-Karim,
Dar Al-Fikr li al-Taba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut. hal. 121-123
16
Mahdi Ghulsyani, 1991. Filsafat-Sains Menurut Al-Qur'an (The Holy Qur'an and The
Science of Nature), Terjemahan Agoe Effendi, Mizan, Bandung, hal.83
Dalam proses ini terdapat rahasia hidup yang tersembunyi, Allah Ta'ala
mengeluarkan manusia dari rahim ibu, pada waktu itu ia tidak mengetahui apa-
apa. Allah telah memberikan potensi pada setiap manusia berupa kemampuan
untuk menggunakan inderanya, dan dengan alat yang diberikan Allah kepada
manusia inilah, manusia mulai dapat mengenal alam fisik di lingkungannya,
sebagai kelengkapan dari kedua indera tersebut.
Allah juga telah memberikan hati atau kadang disebut dengan budi
(af’idah) atau sering disebut juga fu'ad. Untuk memperjelas pemahaman
terhadap indera-indera ini, dapat kita cermati ayat berikut : Firman Allah,

َ‫انَي ۡسمعهون‬ٞ ‫وبَيعۡ ِّقلهونَ ِّبهآَأ ۡوَءاذ‬


ٞ ‫ضَفت هكونَل هه ۡمَقهله‬ َ ِّ ‫ِّيرواَْفِّيَٱ ۡۡل ۡر‬
‫أفل َۡمَيس ه‬
َ َ٤٦َ‫هور‬
َِّ ‫صد‬ُّ ‫وبَٱلَتِّيَفِّيَٱل‬َ‫ص هَرَو َٰل ِّكنَتعۡ مىَٱ ۡلقهله ه‬
َٰ ‫بِّه ۖاَفإِّنَهاََلَتعۡ مىَٱ ۡۡل ۡب‬
Artinya: "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang didalam dada".
(QS. Al Hajj 22:46)
Masih banyak ayat-ayat Al-Qur'an lain, yang menjelaskan tentang hati,
antara lain:

َ‫وب َََلَي ۡفق ههونَبِّهاَول هه ۡم‬ ٞ ‫نسَل هه ۡمَقهله‬َۖ ِّ ‫نَوَٱ ۡ ِّۡل‬ ِّ ‫ولق َۡدَذر ۡأناَ ِّلجهنَمَكثِّير‬
َِّ ‫اَمنَٱ ۡل ِّج‬
ٓ
َ‫ان َََلَي ۡسمعهونَ ِّبه ۚٓا َٓأ ه ْو َٰل ِّئكَكَٱ ۡۡل ۡن َٰع َِّمَب ۡلَهه ۡم‬ٞ ‫ص هرونَ ِّبهاَول هه ۡمَءاذ‬ ِّ ‫ن َََلَيه ۡب‬ٞ ‫أ ۡعيه‬
ٓ
َ َ١٧٩َ‫أض ۚٓ ُّلَأ ه ْو َٰلئِّكَ هه همَٱ ۡل َٰغ ِّفلهون‬
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. 7:179).

َ َ٨٧َ‫ىَقهلهو ِّب ِّه ۡمَف هه ۡمََلَي ۡفق ههون‬ َِّ ‫ضوَاَْ ِّبأنَي هكونهواَْمعَٱ ۡلخوا ِّل‬
‫ف َو ه‬
ََٰ ‫ط ِّبعَعل‬ ‫ر ه‬
Artinya: “Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan
hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan
beriman dan berjihad).” (QS. 9:87)

َ ‫بَأ ۡوَأ ۡلقىَٱل‬


َ َ٣٧َ ٞ‫سمۡ عََو ههوَش ِّهيد‬ َٰ ِّ‫نَف‬
ٌ ‫يَذ ِّلكَلذ ِّۡكر َٰىَ ِّلمنَكانَل َهۥهَق ۡل‬ ََ ‫ِّإ‬
Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. 50:37)

ٓ ٓ
َ‫ص ِّر ِّه ۡۖم َوأ ه ْو َٰلئِّك َهه هم‬ ََ ‫أ ه ْو َٰلئِّكَ َٱلَذِّينَ َطبع َٱ‬
َٰ ‫ّلله َعل َٰى َقهلهوبِّ ِّه ۡم َوس ۡم ِّع ِّه ۡم َوأ ۡب‬
َ َ١٠٨ََ‫ٱ ۡل َٰغ ِّفلهون‬
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan
penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang
yang lalai.” (QS. 16:108).

Nah, bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan


mengembangkan ilmu pengetahuan, adalah berupa :
1. Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, dimana
dengan indera ini pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan;
2. Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), dan tentunya yang
tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak
dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid);
3. Inspirasi, hal ini berada diluar dari kemampuan nalar manusia, karena
datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba
saja terbesit di dalam benak kita (tanpa proses pembelajaran).

Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara
yang satu dengan yang lain. Indera untuk mengamati atau observasi terhadap
gejala-gejala alam, kemudian rasio untuk berfikir tentang rahasia di balik
fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan
hasil- hasil penemuannya, dan dari hasil penemuan-penemuan yang
diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian
diterapkan menjadi teknologi seperti yang ada sekarang ini, salah satunya
adalah apa yang sedang kita pergunakan sa'at ini (internet).
Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur'an
memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan
penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an,
sebagai berikut (Mansur Malik, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur'an, Disertasi,
IAIN, Jakarta, 1989) :
Pertama, Penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, ialah upaya untuk menarik
pada suatu kesimpulan, adakalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio)
dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan cara
menghubungkan pengertian-pengertian yang terkait dalam suatu hal.
Kedua, Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan
ialah; Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus
ditarik pada kesimpulan yang umum. Alasan yang bersifat deduktif, yakni
penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang telah diakui
kebenarannya. Al-Qur'an juga meng-isyaratkan diperlukannya penalaran yang
bersifat analistis, yaitu penalaran mengenai obyek pikir atas bagian untuk
mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing bagian tersebut. Dengan
kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu wujud: ciri,
sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud
eksternal.17
Ketiga, disamping diperlukan penalaran kualitatif terhadap fenomena
sosial, Al-Quran meng-isyaratkan pula penalaran kuantitatif berkenaan dengan
fenomena alam.
Keempat, Al-Qur'an menekankan perlunya dicapai kualitas tertinggi
hasil berfikir yang disebut dengan al-haqq (kebenaran), yakni dapat ditemukan
atau dibuktikannya kebenaran suatu informasi atau ajaran, teori atau hukum,
maupun hikmah penciptaan dan pengaturan alam.
Kelima, Guna menguji suatu kebenaran, Al-Qur'an menyuruh
melakukan verifikasi dan dengan ilmu yang dimiliki, dan mendorong untuk
membuat prediksi.

17
C.A. Qadir (penyunting), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Terjemahan Bosco
Carvalo, dkk, Yayasan Obor, Jakarta, hal. 7
Keenam, Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir
yang baik, Al-Qur-an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir,
terutama kesalahan yang disebabkan subyektifitas pemikir atau karena faktor
penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.
Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi
inderawi kita, dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu
menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan
bantuan petunjuk Allah Ta'ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang
perananan penting, manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap
kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa
hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika) dapat
mengungkapkannya.
Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu
sebagaimana para Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur'an melalui
Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam sebagai "wahana
konsultatif" untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan keyakinan
bahwa kebenaran Al-Qur'an adalah "mutlak", namun untuk mencapai
kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang,
dan disamping itu juga bilamana perlu, dengan menggunakan pendekatan
"inter-disipliner", artinya untuk memecahkan persoalan hidup manusia baik
masa kini maupun untuk masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Coba perhatikan alasannya mengapa kita memerlukan juga pendekatan
inter-disipliner?, ada isu menyesatkan perihal berkembangnya cerita bahwa
dewasa ini, dunia kedokteran di Barat dapat menghidupkan jenazah, juga
tentang media elektronik yang telah berhasil menangkap bayangan orang yang
telah mati ratusan tahun yang lalu.18
Hal ini merupakan tugas manusia, terutama umat Islam yang telah
merindukan kejayaan kembali dalam menguasai ilmu pengetahuan dan

18
DR. Imam Syafi'ie, 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an, Ed.1,cet.1-Yogyakar
ta:UII Press, hal. 138-139
teknologi. sebagaimana yang telah pernah dicapai pada zaman keemasannya,
(lih. The Golden Age of Islam. pen)
Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada
para Nabi dan Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk
ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan wahyu, tidak juga orang-orang yang
mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhir-akhir ini
berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya
jelas dan tegas, bahwa Allah ta'ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi,
setelah Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, yang adalah
penutup para Nabi.
Dengan demikian dapat kita simpulkan berdasarkan ayat-ayat yang telah
kita singgung diatas, bahwa wahyu memegang peranan penting dalam proses
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang
belum dapat atau tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan indera maupun rasio.
agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan kemampuannya, maka
wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.
Untuk itu, orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan
penghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah tidak
benar!, dan menghadapi orang-orang yang menyebarkan alasan itu, hendaklah
kita sebagai umat Islam harus berhati-hati menyikapinya, dan ironisnya isu
tersebut justru di-hembuskan ditengah-tengah atau di-kalangan para ilmuwan
Muslim, yang jelas maksudnya agar para ilmuwan Muslim itu di-dalam
melakukan kajian ilmiahnya berlepas diri dari Al-Qur'an, yang sebenarnya
justru melindunginya dari kesesatan berpikir. Atas dasar sekedar kenyatan
tersebut diatas, maka ada beberapa saran yang semoga bermanfaat :
Sudah sa'atnya para ilmuwan menyadari sepenuhnya, bahwa betapapun
hebatnya manusia sehingga dapat menguasai alam ini. pada hakikatnya tetap
adalah mahluk yang lemah yang penuh denga keterbatasan, untuk itu dengan
kemajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk menyombongkan diri serta
menjauhi Sang Maha Pencipta Seluruh Alam Semesta.
Telah dikemukakan, bahwa Al-Qur'an bukanlah penghambat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan Al-Qur'an sebagai
nara sumber yang dijadikan landasan berpikir oleh ilmuwan muslim pada masa
lalu. Karena itu, hendaknya mendapat perhatian yang serius untuk dikaji
kembali bukan hanya ayat-ayat tersurat saja, melainkan juga pada ayat yang
tersirat berupa fenomena alam dan isinya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sudah sa'atnya para ilmuwan menyadari sepenuhnya, bahwa
betapapun hebatnya manusia sehingga dapat menguasai alam ini. pada
hakikatnya tetap adalah mahluk yang lemah yang penuh denga keterbatasan,
untuk itu dengan kemajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk
menyombongkan diri serta menjauhi Sang Maha Pencipta Seluruh Alam
Semesta.
Telah dikemukakan, bahwa Al-Qur'an bukanlah penghambat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan Al-Qur'an
sebagai nara sumber yang dijadikan landasan berpikir oleh ilmuwan muslim
pada masa lalu. Karena itu, hendaknya mendapat perhatian yang serius
untuk dikaji kembali bukan hanya ayat-ayat tersurat saja, melainkan juga
pada ayat yang tersirat berupa fenomena alam dan isinya.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini

masih jauh dari sempurna. Banyak kekurangan disana-sini, untuk itu mohon

kiranya para pembaca sekalian berkenan memberikan kritik dan saran yang

membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

George J. Mouly, 1991. Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam


Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S.
Suriasumantri, Jakarta: Gramedia.

Bertrand Russell, 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan


Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Amsal Bakhtiar, 2013. Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada


W. Montgomery Watt, 1997. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh
Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jerome R. Ravertz, 2004. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup


Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis, New york: Oxford


University Press, 1954, Bandingkan dengan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro
Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Harun Nasution, 1998. Islam Rasional Bandung: Mizan.

Lenn E. Goodman, “Muhammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam


Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman (Bandung: Mizan, 2003).

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,


(Yogykarta : Liberty, 1996).

Hamka, 1979. Tafsir Al-Azhar, Juz XXX, Surabaya: Yayasan


Lamilojong..

Muhammad Fuad, Abd. Al-Baqi, 1980. Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfas


Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Fikr li al-Taba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi,

Mahdi Ghulsyani, 1991. Filsafat-Sains Menurut Al-Qur'an (The Holy


Qur'an and The Science of Nature), Terjemahan Agoe Effendi, Mizan, Bandung.

C.A. Qadir (penyunting), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya,


Terjemahan Bosco Carvalo, dkk, Yayasan Obor, Jakarta.

DR. Imam Syafi'ie, 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an,


Ed.1,cet.1-Yogyakar ta:UII Press.

Anda mungkin juga menyukai