zulkarnain (2008) dan Piay dkk., (2011) menyatakan bahwa produksi telur ayam
waktu 6 bulan dan bobot 2 kg dicapai pada umur 12-16 bulan, serta ayam
mortalitasnya tinggi terutama pada anak ayam yang dapat mencapai 100%. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu pengintensifikasi usaha ternak ayam kampung agar
ayam kampung.
PEMBAHASAN
Ternak ayam kampung atau yang biasa disebut juga dengan nama ayam
bukan ras (buras) merupakan salah satu ternak unggas yang sudah banyak
manusia dalam bentuk telur maupun dagingnya (Aswanto,2010 dan Henuk, 2013).
petani maupun pemenuhan gizi keluarga masyarakat di pedesaan. Hal ini terlihat
menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian di Indonesia, 60,9%
(32,2 juta) diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah tersebut
65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang
memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5%
saja atau 317.500 orang dimana dari jumlah tersebut 90% nya hanya sebagai
peternakan ayam ras mulai dari hulu sampai hilir dikuasai segelintir orang yang
membentuk kartel dimana usaha tersebut sangat tergantung dengan impor dan
dimiliki oleh perusahaan asing. Hal ini menandakan bahwa peternak ayam
ternak unggas lainnya yaitu (1) memiliki cita rasa dan tekstur yang khas sehingga
permintaan pasar lebih tinggi dari pasokan, (2) konsumen ayam kampung adalah
kampung lebih alami dan bebas dari antibiotik kimiawi serta rendah kolesterol),
(3) memiliki harga yang relatif lebih tinggi (harga premium 3-4 kali harga ayam
ras), (4) memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi dalam daging dan telurnya
terutama dengan kandungan lemak yang rendah, (5) pemeliharaan ayam kampung
lebih mudah (secara umum lebih tahan terhadap penyakit unggas dan tahan
cukup merata, dan (7) ayam kampung termasuk 3 dalam ternak multi fungsi.
Dari kelebihan tersebut dapat dilihat bahwa harga ternak ayam kampung
tidak dipengaruhi oleh para pelaku tataniaga tetapi langsung oleh para peternak
diatas, ternak ayam kampung juga memiliki kekurangan yang perlu diantisipasi
oleh para peternak. Menurut Zulkarnain (2008), Piay dkk. (2011) dan Maryuki
(2012) menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki kekurangan seperti (1)
waktu pemeliharaan ayam kampung relatif lebih lama yang disebabkan oleh
kampung cukup tinggi dapat mencapai 100% karena kurangnya penanganan oleh
peternak terutama karena penyakit ND (3) produktifitas ayam kampung masih
rendah karena sistem pemeliharaan yang ekstensif, (4) ayam kampung masih
belum memiliki standar bibit dan kebutuhan nutrisi yang baku dan (5) ayam
kampung memiliki sifat usil/liar dan berisik. Hal ini menjadikan usaha ternak
ayam kampung masih belum berkembang dengan pesat seperti ayam ras.
budaya yang sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan. Ternak ayam
kampung bagi masyarakat NTT sangat penting dalam acara agama marapu
terutama ayam kampung berbulu hitam dan merah. Selain itu, ayam kampung
juga memainkan peran sebagai penambah pendapatan keluarga baik dalam bantuk
ternak ayam maupun telurnya. Dalam hal konsumsi keluarga, masih sebagian
keluarga yang mana ternak ayam tersebut lebih diarahkan sebagai ternak yang
paling pertama siap dipotong ketika ada tamu atau keluarga dari daerah lain yang
yaitu sistem pemeliharaan ektensif tradisional, sistem semi intensif dan sistem
intensif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa system ekstensif tradisional memiliki
karakteristik dari umur satu hari hingga mati, ternak tersebut dibiarkan hidup
bebas tanpa ada intervensi dari petani sehingga aktifitas ternak ayam kampung
tersebut adalah secara alami. Ternak ayam kampung tersebut biasanya berkeliling
mencari makanan disekitar rumah peternak maupun ditempat lain dan pulang
ketika matahari terbenam dan tidur diatas pohon atau di dapur. Pada sistem ini,
peternak tidak mengeluarkan uang sama sekali dan umumnya hanya mampu
memeliki 2-20 ekor ternak. Sistem manajemen ini cukup banyak dipraktekkan
rendah, tidak memiliki sejumlah uang atau akses yang cukup untuk membeli
Sistem semi intensif lebih efisien dan banyak digeluti oleh peternak, guru,
dosen, pegawai pemerintahan dan lain-lain sebagai usaha sambilan. Ternak ayam
kampong dipelihara di lahan terbuka yang tersedia ranch serta pagar dan biasanya
dibangun dibelakang rumah. Peternak memberi pakan dan minum secara teratur
tetapi tidak dengan pengobatan yang hanya dilakukan sekali-kali. Sistem ini dapat
tersedia cage atau kandang tempat tidur dan bertelur maupun tidak sehingga
Pada sistem ini, peternak dapat memelihara 25 hingga beberapa ratus ekor
ternak yang dipelihara bukan untuk tujuan komersial melainkan untuk kebutuhan
mendasar dan mendadak seperti uang sekolah dan hampir tidak terdapat teknologi
manajemen yang lebih professional seperti populasi yang dipisahkan oleh periode
hidup misalnya periode starter (1-2 bulan), periode grower (2-4 bulan) dan
diberi pakan, minuman, suplemen dan pengobatan secara teratur. Produksi ternak
lebih diarahkan ke tujuan komersial dan berorientasi bisnis. Dalam sistem ini,
efisiensi dan produktifitas merupakan hal utama yang sangat diperhatikan. Jumlah
sumber daya modal. Hanya beberapa peternak saja yang mampu berusaha dalam
skala ini.
Pemilihan bibit yang akan dipelihara perlu diperhatikan karena bibit yang
baik akan menghasilkan produksi yang lebih optimal dengan perlakuan yang sama
dibanding bibit yang kurang baik. Dalam Permentan no 49 tahun 2006 telah
dikeluarkan persyaratan teknis minimal ternak bibit ayam buras termasuk ayam
kampung dimana bibit ayam kampung yang dijual dipasaran baik hasil
pengeraman oleh induk maupun melalui mesin penetasan harus sehat, tidak cacat,
ukuran tubuh seragam, bulu boleh bermacam-macam dan berasal dari induk yang
sehat dimana pada umur dewasa dapat mencapai bobot minimal 2,4 kg bagi jantan
dan 1,5 kg bagi betina dengan sistem pemeliharaan intensif. Bibit yang akan
Misalnya tujuan produksi dapat berupa penjualan ternak ayam bibit atau ternak
layak untuk dikembangkan di Indonesia saat ini hingga 6 tahun yang akan dating.
cepat (6 minggu sudah bisa panen), produksi seragam (80%), otot dada dan paha
yang lebih tebal, warna kaki kuning cerah dan bersih, warna bulu dominan lebih
spesifik (warna merah hitam dan coklat abu-abu), serta pertumbuhan karkas yang
cepat dan besar. Dalam memperbaiki kualitas genetik dalam suatu populasi ayam
kampung dapat digunakan bibit ayam kampung yang sejenis dengan tingkat
produktifitas yang tinggi maupun yang berbeda (persilangan) seperti ayam pelung
yang memiliki bobot badan yang lebih besar dimana pada saat dewasa minimal
(2006) menyatakan bahwa standar minimal pakan yang digunakan dalam usaha
ayam kampung harus sesuai dengan kebutuhan minimal gizi ayam kampung/lokal
tersebut yang telah tercantum dengan kisaran protein kasar 15-21%, energi 2750-
2900 kkal ME/kg ransum, Kalsium 1-2,5%, Phospor 0,6- 0,7%, aa Lysine 0,4-0,9
dan aa Methionin 0,4, kandungan aflatoksin dalam pakan tidak lebih dari 20 ppb.
sehingga dibutuhkan ransum dengan kandungan nutrisi yang cukup yakni protein
kasar minimal sebesar 17% dan energi metabolis sebesar 2600 kkal/kg.
Sedangkan pada umur ayam dewasa diteliti oleh Ariesta (2011) dan Dewi dkk.
minggu dapat menggunakan level energi 3100-2900 kkal/kg dan 22-18 % protein
kebutuhan proteinnya adalah 0,31 gram protein setiap kenaikan 1 gram berat
badan. Pemilihan pakan bagi ayam kampung dapat menggunakan bahan pakan
tunggal atau ganda yang tersedia melimpah di lingkungan kita, menyusun ransum
komplit sendiri maupun membeli ransum komplit yang dijual ditoko. Dalam hal
penelitian mengenai ransum ayam kampung sudah banyak diteliti sekarang ini.
Menurut Iskandar (2006) dan Iskandar (2012) menyatakan bahwa ransum ayam
19 % dengan BB akhir 1134 g/ekor pada umur 12 minggu maupun dengan ransum
ganda yang lebih efisien dengan kandungan protein 19% pada ransum starter (1-6
minggu) dan 15 % pada ransum finisher (6-12 minggu) dengan BB akhir 1159
g/ekor. Hal yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2012) bahwa penggunaan
ransum tunggal untuk produksi daging ayam dengan kadar protein 170 g/kg
dengan kadar energi 2850 kkal ME/kg yang diberikan hingga umur 12 minggu
cukup praktis untuk usaha ternak dengan populasi sedikit sedangkan ransum
ganda yang terdiri dari ransum starter yakni kadar protein 210 g/kg dengan energi
2950 kkal ME/kg dan ransum finisher yakni kadar protein 170g/kg dengan energi
2850 kkal ME/kg lebih efisien digunakan bagi usaha ternak ayam kampung
terutama mengamankan ternak dari variasi kualitas gizi pada bahan pakan lokal.
Menurut Gufroni (2010) dan Piay dkk. (2011) pemilihan pakan ayam kampung
dapat menggunakan bahan pakan nabati (seperti dedak halus, jagung, sorghum,
singkong, onggok, sagu, ampas tahu, daun lamtoro, daun turi, bungkil kedelai,
bungkil kelapa, limbah sawit, limbah pabrik kecap, limbah pabrik roti, limbah
pabrik supermie, kulit buah kopi, kulit buah coklat, tepung kulit pisang); hewani
(tepung ikan, tepung udang, tepung bulu ayam, tepung tulang, tepung kerang,
tepung bekicot, bekicot) serta bahan pakan pelengkap (vitamin, meniral, Lysine
dan Methionin serta probiotik) maupun pakan ternak komersial. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Us dkk. (2006) bahwa terdapat pengaruh pola variasi bahan
pakan ransum terhadap pbb ayam kampung yang dipelihara selama 8 minggu
dimana pola ransum seperti penambahan limbah udang dan bayam dalam ransum
perkembangan ternak dan umur pemasaran yang tepat (lebih cepat lebih baik)
(2004) menyatakan bahwa imbangan protein 15% dan energi metabolis 2900 kkal
mungkin guna mencegah infeksi penyakit pada ternak ayam kampung atau
bahwa pada umumnya ternak ayam kampung sering terserang penyakit Newcastle
Disease (ND), Avian Infuenza (AI) dan Infectious Bursal Disease (IBD) dan
diantara ketiga penyakit tersebut ND atau yang dikenal dengan nama penyakit
tetelo merupakan yang paling sering diketemukan terutama dimulai dari awal
berbagai media dengan tingkat kematian 10-100% dan belum bisa diobati (Piay
tanpa vaksinasi, tubuh ayam kampung masih mampu memberntuk tanggap kebal
terhadap virus ND (33,33% tanggap kebal proaktif, 63,69% tanggap aktif dan
2,98% yang tidak aktif) dimana adanya fenomena alam meskipun ada wabah virus
ND (±50% mati), masih tetap ada yang mampu bertahan dengan membentuk
ND yang teratur dimulai dari umur 4 hari, 4 minggu dan 4 bulan dan diulang lagi
setiap 4 bulan sekali. Menurut Sari (2001) menyatakan bahwa nilai titer antibodi
ayam kampung akan meningkat setelah vaksinasi dimana kenaikan titer antibody
dicapai pada satu bulan setelah vaksinasi, kemudian nilainya menurun. Menurut
badan dan titer antibodi yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan
diperhatikan adalah gangguan parasit seperti infeksi cacing. Salah satu cacing
yang sering menyerang ternak ayam kampung adalah Ascaris galli yang banyak
menyerang usus halus dan menyebabkan perubahan patologis pada usus sehingga
ayam kampung (Hastuti, 2008). Bawang putih merupakan salah satu jenis
tanaman herbal yang menjadi andalan sebagai obat tradisional. Menurut Hastuti
(2008) bawang putih memiliki zat aktif yaitu dialilsufida yang dapat digunakan
sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat aktif yang diduga mempunyai daya
pemberian piperazine dan bubuk bawang putih pasca infeksi A. galli (umur 9-11
sebesar 7,5% dapat menghasilkan bobot badan akhir yang lebih tinggi disbanding
macam tanaman obat yang diberikan untuk mencegah dan mengobati penyakit
pada ayam kampong seperti jahe, bawang putih, kunyit, lengkuas, lidah buaya,
2013). Penggunaan pencampuran berbagai jenis tanaman obat ini dalam bentuk
kapsul untuk mencegah penyakit ayam kampung dan meningkatkan produksi telur
Kesimpulan
adalah bahwa ternak ayam kampung sangat merakyat dan perlu dikemabangkan
dengan cara pengintensifikasi sistem pemeliharaan kearah yang lebih baik dengan
Saran
usaha ternak ayam kampung yang fleksibel dan dapat diimplementasikan oleh
usaha ternak ayam kampung oleh peternakan rakyat dan membatasi usaha
Ariesta Agus Herry. 2011. Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum
Bali.1(2).45-46
Dewi G.A.M.K., dan I Wayan Wijana. 2011. Pengaruh Penggunaan Level Energi
Gufroni L.M. Ar. 2010. Teknik Penyusunan dan Pemberian Ransum Ayam
Ransum Untuk Produksi Daging Umur 12 Minggu. Wartazoa vol. 16 (2) : 65-71.
Iskandar Sofjan. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk
Nasution Saddat dan Adrizal. 2009. Pengaruh Pemberian Level Protein – Energi
Wibowo Broto dan T. Sartika. 2010. Analisa Kelayakan Usaha Pembibitan Ayam
OLEH:
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020