Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Pemeliharaan ternak ayam kampung di NTT saat ini masih bersifat

ekstensif tradisional. Menurut Henuk (2013), ternak ayam kampung yang

dipelihara dengan system ekstensif tradisional tidak membutuhkan biaya dalam

proses pemeliharaannya karena peternak hanya membiarkan ternak ayam

kampungnya berkeliaran disekitar rumah untuk mencari makan dengan jumlah

kepemilikan setiap rumah tangga berkisar antara 2 hingga 20 ekor. Menurut

zulkarnain (2008) dan Piay dkk., (2011) menyatakan bahwa produksi telur ayam

buras/ayam kampung yang dipelihara secara tradisional umumnya rendah yakni

berkisar 30-60 butir/tahun, selain itu untuk mendapatkan berat 1 kg memerlukan

waktu 6 bulan dan bobot 2 kg dicapai pada umur 12-16 bulan, serta ayam

kampung rentan terhadap penyakit Newcastle Disease sehingga tingkat

mortalitasnya tinggi terutama pada anak ayam yang dapat mencapai 100%. Oleh

karena itu dibutuhkan suatu pengintensifikasi usaha ternak ayam kampung agar

tercapai peningkatan populasi, produksi serta produktivitas dan efisiensi usaha

ayam kampung.
PEMBAHASAN

2.1. Ternak Ayam Kampung

Ternak ayam kampung atau yang biasa disebut juga dengan nama ayam

bukan ras (buras) merupakan salah satu ternak unggas yang sudah banyak

dipelihara terutama didaerah pedesaan, karena selain dagingnya yang enak

dimakan, juga karena memainkan peranan penting sebagai sumber protein

manusia dalam bentuk telur maupun dagingnya (Aswanto,2010 dan Henuk, 2013).

Keberadaan ayam kampung sangat penting bagi peningkatan pendapatan

petani maupun pemenuhan gizi keluarga masyarakat di pedesaan. Hal ini terlihat

dari hasil pengkajian Ditjen Peternakan dalam Zulkarnain (2008) yang

menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian di Indonesia, 60,9%

(32,2 juta) diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah tersebut

65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa ternyata 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang

memiliki ternak ayam kampung sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5%

saja atau 317.500 orang dimana dari jumlah tersebut 90% nya hanya sebagai

pekerja di peternakan bukan sebagai pemilik murni yang dikarenakan usaha

peternakan ayam ras mulai dari hulu sampai hilir dikuasai segelintir orang yang

membentuk kartel dimana usaha tersebut sangat tergantung dengan impor dan

dimiliki oleh perusahaan asing. Hal ini menandakan bahwa peternak ayam

kampung sangat menyentuh kehidupan masyarakat di Indonesia termasuk di NTT

dibandingkan dengan peternak ayam ras.


Ternak ayam kampung memiliki kelebihan dibandingkan ternak unggas

lainnya karena potensinya yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia

terutama di NTT. Menurut Zulkarnain (2008) dan Maryuki (2012), menyatakan

bahwa ternak ayam kampung memiliki beberapa kelebihan / potensi dibandingkan

ternak unggas lainnya yaitu (1) memiliki cita rasa dan tekstur yang khas sehingga

permintaan pasar lebih tinggi dari pasokan, (2) konsumen ayam kampung adalah

masyarakat menengah ke atas terutama karena kesadaran akan kesehatan (ayam

kampung lebih alami dan bebas dari antibiotik kimiawi serta rendah kolesterol),

(3) memiliki harga yang relatif lebih tinggi (harga premium 3-4 kali harga ayam

ras), (4) memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi dalam daging dan telurnya

terutama dengan kandungan lemak yang rendah, (5) pemeliharaan ayam kampung

lebih mudah (secara umum lebih tahan terhadap penyakit unggas dan tahan

terhadap perubahan lingkungan/cuaca/ stress), (6) perkembangan ayam kapung

cukup merata, dan (7) ayam kampung termasuk 3 dalam ternak multi fungsi.

Dari kelebihan tersebut dapat dilihat bahwa harga ternak ayam kampung

tidak dipengaruhi oleh para pelaku tataniaga tetapi langsung oleh para peternak

sehingga peternak tidak dirugikan. Namun, selain memiliki kelebihan tersebut

diatas, ternak ayam kampung juga memiliki kekurangan yang perlu diantisipasi

oleh para peternak. Menurut Zulkarnain (2008), Piay dkk. (2011) dan Maryuki

(2012) menyatakan bahwa ternak ayam kampung memiliki kekurangan seperti (1)

waktu pemeliharaan ayam kampung relatif lebih lama yang disebabkan oleh

system pemeliharaan yang ekstensif tradisional, (2) mortalitas anak ayam

kampung cukup tinggi dapat mencapai 100% karena kurangnya penanganan oleh
peternak terutama karena penyakit ND (3) produktifitas ayam kampung masih

rendah karena sistem pemeliharaan yang ekstensif, (4) ayam kampung masih

belum memiliki standar bibit dan kebutuhan nutrisi yang baku dan (5) ayam

kampung memiliki sifat usil/liar dan berisik. Hal ini menjadikan usaha ternak

ayam kampung masih belum berkembang dengan pesat seperti ayam ras.

2.2. Pemeliharaan Ternak Ayam Kampung di NTT

Ternak ayam kampung memainkan peran yang fundamental bagi

masyarakat di NTT terutama dalam adat istiadat masyarakat maupun dalam

budaya yang sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan. Ternak ayam

kampung bagi masyarakat NTT sangat penting dalam acara agama marapu

terutama ayam kampung berbulu hitam dan merah. Selain itu, ayam kampung

juga memainkan peran sebagai penambah pendapatan keluarga baik dalam bantuk

ternak ayam maupun telurnya. Dalam hal konsumsi keluarga, masih sebagian

kecil masyarakat yang menggunakan ayam kampung untuk memenuhi kebutuhan

keluarga yang mana ternak ayam tersebut lebih diarahkan sebagai ternak yang

paling pertama siap dipotong ketika ada tamu atau keluarga dari daerah lain yang

datang berkunjung. Sebagian besat pemeliharaan ayam kampung di NTT tidak

membutuhkan biaya selama hidupnya kecuali pembuatan tempat untuk bertelur

sehingga dapat dikategorikan sebagai system pemeliharaan ekstensif.

Menurut Nataamijaya (2000), Bailey dkk. (2010), Telupere dkk. (2013)

dan Henuk (2013) menyatakan bahwa ayam kampung yang dipelihara di

Indonesia umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe sistem pemeliharaan

yaitu sistem pemeliharaan ektensif tradisional, sistem semi intensif dan sistem
intensif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa system ekstensif tradisional memiliki

karakteristik dari umur satu hari hingga mati, ternak tersebut dibiarkan hidup

bebas tanpa ada intervensi dari petani sehingga aktifitas ternak ayam kampung

tersebut adalah secara alami. Ternak ayam kampung tersebut biasanya berkeliling

mencari makanan disekitar rumah peternak maupun ditempat lain dan pulang

ketika matahari terbenam dan tidur diatas pohon atau di dapur. Pada sistem ini,

peternak tidak mengeluarkan uang sama sekali dan umumnya hanya mampu

memeliki 2-20 ekor ternak. Sistem manajemen ini cukup banyak dipraktekkan

oleh masyarakat peternak yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang

rendah, tidak memiliki sejumlah uang atau akses yang cukup untuk membeli

pakan maupun obat-obatan.

Sistem semi intensif lebih efisien dan banyak digeluti oleh peternak, guru,

dosen, pegawai pemerintahan dan lain-lain sebagai usaha sambilan. Ternak ayam

kampong dipelihara di lahan terbuka yang tersedia ranch serta pagar dan biasanya

dibangun dibelakang rumah. Peternak memberi pakan dan minum secara teratur

tetapi tidak dengan pengobatan yang hanya dilakukan sekali-kali. Sistem ini dapat

tersedia cage atau kandang tempat tidur dan bertelur maupun tidak sehingga

ternak dibiarkan tidur dimana saja dalam farm tersebut.

Pada sistem ini, peternak dapat memelihara 25 hingga beberapa ratus ekor

ternak yang dipelihara bukan untuk tujuan komersial melainkan untuk kebutuhan

mendasar dan mendadak seperti uang sekolah dan hampir tidak terdapat teknologi

yang diintroduksi dalam sistem ini. Sedangkan sistem intensif memiliki

manajemen yang lebih professional seperti populasi yang dipisahkan oleh periode
hidup misalnya periode starter (1-2 bulan), periode grower (2-4 bulan) dan

periode finisher (>4,5 bulan-culling). Ternak ayam kampong dikandangkan dan

diberi pakan, minuman, suplemen dan pengobatan secara teratur. Produksi ternak

lebih diarahkan ke tujuan komersial dan berorientasi bisnis. Dalam sistem ini,

peternak lebih berpengalaman dan biasanya memiliki jaringan global dimana

efisiensi dan produktifitas merupakan hal utama yang sangat diperhatikan. Jumlah

pemeliharaan ternak dapat mencapai seratus hingga ribuan ekor tergantung

sumber daya modal. Hanya beberapa peternak saja yang mampu berusaha dalam

skala ini.

2.3. Pemilihan Bibit

Pemilihan bibit yang akan dipelihara perlu diperhatikan karena bibit yang

baik akan menghasilkan produksi yang lebih optimal dengan perlakuan yang sama

dibanding bibit yang kurang baik. Dalam Permentan no 49 tahun 2006 telah

dikeluarkan persyaratan teknis minimal ternak bibit ayam buras termasuk ayam

kampung dimana bibit ayam kampung yang dijual dipasaran baik hasil

pengeraman oleh induk maupun melalui mesin penetasan harus sehat, tidak cacat,

ukuran tubuh seragam, bulu boleh bermacam-macam dan berasal dari induk yang

sehat dimana pada umur dewasa dapat mencapai bobot minimal 2,4 kg bagi jantan

dan 1,5 kg bagi betina dengan sistem pemeliharaan intensif. Bibit yang akan

dipelihara harus sesuai dengan tujuan produksi yang diinginkan peternak.

Misalnya tujuan produksi dapat berupa penjualan ternak ayam bibit atau ternak

ayam pedaging. Menurut Wibowo dkk. (2010) menyatakan bahwa usaha


pembibitan ayam kampung dengan tujuan penjualan DOC di tingkat petani sangat

layak untuk dikembangkan di Indonesia saat ini hingga 6 tahun yang akan dating.

ayam kampung pedaging dapat menggunakan bibit ALPU baik tipe

medium maupun berat yang memiliki karakteristik seperti pertumbuhan yang

cepat (6 minggu sudah bisa panen), produksi seragam (80%), otot dada dan paha

yang lebih tebal, warna kaki kuning cerah dan bersih, warna bulu dominan lebih

spesifik (warna merah hitam dan coklat abu-abu), serta pertumbuhan karkas yang

cepat dan besar. Dalam memperbaiki kualitas genetik dalam suatu populasi ayam

kampung dapat digunakan bibit ayam kampung yang sejenis dengan tingkat

produktifitas yang tinggi maupun yang berbeda (persilangan) seperti ayam pelung

yang memiliki bobot badan yang lebih besar dimana pada saat dewasa minimal

jantan memiliki berat 4 kg dan betina 2,9 kg (Permantan, 2006).

2.4. Pemilihan Pakan

Pemilihan jenis pakan yang digunakan dalam pemeliharaan ternak ayam

kampung perlu diperhatikan persyaratan minimal yang ada. Menurut Permentan

(2006) menyatakan bahwa standar minimal pakan yang digunakan dalam usaha

ayam kampung harus sesuai dengan kebutuhan minimal gizi ayam kampung/lokal

tersebut yang telah tercantum dengan kisaran protein kasar 15-21%, energi 2750-

2900 kkal ME/kg ransum, Kalsium 1-2,5%, Phospor 0,6- 0,7%, aa Lysine 0,4-0,9

dan aa Methionin 0,4, kandungan aflatoksin dalam pakan tidak lebih dari 20 ppb.

Menurut Gufroni (2010) menyatakan bahwa ternak ayam kampung umur 4

minggu pertama masa hidup ayam akan menentukan perkembangan selanjutnya

sehingga dibutuhkan ransum dengan kandungan nutrisi yang cukup yakni protein
kasar minimal sebesar 17% dan energi metabolis sebesar 2600 kkal/kg.

Sedangkan pada umur ayam dewasa diteliti oleh Ariesta (2011) dan Dewi dkk.

(2011) yang menyatakan bahwa pemeliharaan ayam kampung hingga umur 10

minggu dapat menggunakan level energi 3100-2900 kkal/kg dan 22-18 % protein

untuk pertumbuhan dan produksi karkas dimana kebutuhan energi untuk

pertumbuhan diperoleh 2,73 kkal/1 gram kenaikan berat badan sedangkan

kebutuhan proteinnya adalah 0,31 gram protein setiap kenaikan 1 gram berat

badan. Pemilihan pakan bagi ayam kampung dapat menggunakan bahan pakan

tunggal atau ganda yang tersedia melimpah di lingkungan kita, menyusun ransum

komplit sendiri maupun membeli ransum komplit yang dijual ditoko. Dalam hal

penelitian mengenai ransum ayam kampung sudah banyak diteliti sekarang ini.

Menurut Iskandar (2006) dan Iskandar (2012) menyatakan bahwa ransum ayam

Pelung Kampung dapat menggunakan ransum tunggal dengan kandungan protein

19 % dengan BB akhir 1134 g/ekor pada umur 12 minggu maupun dengan ransum

ganda yang lebih efisien dengan kandungan protein 19% pada ransum starter (1-6

minggu) dan 15 % pada ransum finisher (6-12 minggu) dengan BB akhir 1159

g/ekor. Hal yang sama dinyatakan oleh Iskandar (2012) bahwa penggunaan

ransum tunggal untuk produksi daging ayam dengan kadar protein 170 g/kg

dengan kadar energi 2850 kkal ME/kg yang diberikan hingga umur 12 minggu

cukup praktis untuk usaha ternak dengan populasi sedikit sedangkan ransum

ganda yang terdiri dari ransum starter yakni kadar protein 210 g/kg dengan energi

2950 kkal ME/kg dan ransum finisher yakni kadar protein 170g/kg dengan energi
2850 kkal ME/kg lebih efisien digunakan bagi usaha ternak ayam kampung

terutama mengamankan ternak dari variasi kualitas gizi pada bahan pakan lokal.

Menurut Gufroni (2010) dan Piay dkk. (2011) pemilihan pakan ayam kampung

dapat menggunakan bahan pakan nabati (seperti dedak halus, jagung, sorghum,

singkong, onggok, sagu, ampas tahu, daun lamtoro, daun turi, bungkil kedelai,

bungkil kelapa, limbah sawit, limbah pabrik kecap, limbah pabrik roti, limbah

pabrik supermie, kulit buah kopi, kulit buah coklat, tepung kulit pisang); hewani

(tepung ikan, tepung udang, tepung bulu ayam, tepung tulang, tepung kerang,

tepung bekicot, bekicot) serta bahan pakan pelengkap (vitamin, meniral, Lysine

dan Methionin serta probiotik) maupun pakan ternak komersial. Hal ini sejalan

dengan pernyataan Us dkk. (2006) bahwa terdapat pengaruh pola variasi bahan

pakan ransum terhadap pbb ayam kampung yang dipelihara selama 8 minggu

dimana pola ransum seperti penambahan limbah udang dan bayam dalam ransum

memiliki produksi yang lebih optimal dibandingkan ketiadaan atau penggunaan

masing-masing bahan pakan tersebut.

Alex (2011) juga menyatakan bahwa penggunaan ransum komersil 100 %

masih memberikan keuntungan bagi peternak asal tetap diperhatikan

perkembangan ternak dan umur pemasaran yang tepat (lebih cepat lebih baik)

menggunakan bibit unggul dengan sistem pemeliharaan intensif. Menurut

Alhamdi (2005) menyatakan bahwa penambahan zeolit alam hingga 12 % dapat

meningkatkan persentase karkas menjadi 71,04% dari 65,10%. Menurut Nasution

dan Adrizal (2009) menyatakan bahwa pemberian level protein (13,68-16,9%)

dan energi (2578-3080 kkal/kg) dalam ransum tidak berpengaruh terhadap


kualitas telur baik berat telur, tebal kerabang dan indeks telur ayam kampung

tetapi mempengaruhi warna kuning telur. Sedangkan menurut Zainuddin dkk.

(2004) menyatakan bahwa imbangan protein 15% dan energi metabolis 2900 kkal

dengan kandungan lisin 0,7% memberikan respon produktivitas ayam kampung

petelur yang lebih optimal secara teknis dan ekonomis.

2.5. Penanganan Penyakit

Penangan penyakit baik pencegahan maupun pengobatan perlu dilakukan sedini

mungkin guna mencegah infeksi penyakit pada ternak ayam kampung atau

penyebaran penyakit di lokasi peternakan. Menurut Henuk (2013) menyatakan

bahwa pada umumnya ternak ayam kampung sering terserang penyakit Newcastle

Disease (ND), Avian Infuenza (AI) dan Infectious Bursal Disease (IBD) dan

diantara ketiga penyakit tersebut ND atau yang dikenal dengan nama penyakit

tetelo merupakan yang paling sering diketemukan terutama dimulai dari awal

musim hujan sehingga peternak biasanya menjual ternak ayam kampungnya

sebelum pergantian musim. Penyakit ND merupakan salah satu penyakit unggas

yang berbahaya dan sulit ditanggulangi karena penularannya dapat melalui

berbagai media dengan tingkat kematian 10-100% dan belum bisa diobati (Piay

dkk., 2011). Namun menurut Alfahriani (2003) menyatakan bahwa walaupun

tanpa vaksinasi, tubuh ayam kampung masih mampu memberntuk tanggap kebal

terhadap virus ND (33,33% tanggap kebal proaktif, 63,69% tanggap aktif dan

2,98% yang tidak aktif) dimana adanya fenomena alam meskipun ada wabah virus

ND (±50% mati), masih tetap ada yang mampu bertahan dengan membentuk

sistem pertahanan tubuh dengan cara memproduksi antibody terhadap ND.


Penanganan pencegahan penyakit ND dapat dilakukan menggunakan vaksinasi

ND yang teratur dimulai dari umur 4 hari, 4 minggu dan 4 bulan dan diulang lagi

setiap 4 bulan sekali. Menurut Sari (2001) menyatakan bahwa nilai titer antibodi

ayam kampung akan meningkat setelah vaksinasi dimana kenaikan titer antibody

dicapai pada satu bulan setelah vaksinasi, kemudian nilainya menurun. Menurut

Basrial (2002) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan ayam

kampung yang mendapat vaksinasi ulang kedua memperlihatkan kenaikan bobot

badan dan titer antibodi yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan bobot badan

ayam kampung yang tidak mendapat vaksinasi.

Selain penyakit yang menyerang ternak unggas, juga yang perlu

diperhatikan adalah gangguan parasit seperti infeksi cacing. Salah satu cacing

yang sering menyerang ternak ayam kampung adalah Ascaris galli yang banyak

menyerang usus halus dan menyebabkan perubahan patologis pada usus sehingga

penyerapan zat-zat nutrisi akan terganggu dan menghambat pertumbuhan ternak

ayam kampung (Hastuti, 2008). Bawang putih merupakan salah satu jenis

tanaman herbal yang menjadi andalan sebagai obat tradisional. Menurut Hastuti

(2008) bawang putih memiliki zat aktif yaitu dialilsufida yang dapat digunakan

sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat aktif yang diduga mempunyai daya

bunuh parasit. Menurut hasil penelitian Hastuti (2008) menyatakan bahwa

pemberian piperazine dan bubuk bawang putih pasca infeksi A. galli (umur 9-11

minggu), meningkatkan konsumsi ransum dimana pemberian bubuk bawang putih

sebesar 7,5% dapat menghasilkan bobot badan akhir yang lebih tinggi disbanding

pemberian 2% piperazine pada ayam kampung.


Selain pemberian vaksinasi, para peternak juga sudah mengenal berbagai

macam tanaman obat yang diberikan untuk mencegah dan mengobati penyakit

pada ayam kampong seperti jahe, bawang putih, kunyit, lengkuas, lidah buaya,

temulawak, lempayung, sambiloto, mengkudu, papaya, dan temu ireng (Henuk,

2013). Penggunaan pencampuran berbagai jenis tanaman obat ini dalam bentuk

kapsul untuk mencegah penyakit ayam kampung dan meningkatkan produksi telur

juga telah diteliti oleh Ludji dkk. (2010).


PENUTUP

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas

adalah bahwa ternak ayam kampung sangat merakyat dan perlu dikemabangkan

dengan cara pengintensifikasi sistem pemeliharaan kearah yang lebih baik dengan

memperhatikan tujuan produksi (bibit, daging, telur), pemilihan bibit, pemilihan

pakan dan penanganan penyakit yang lebih baik.

Saran

Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali sistem pengintensifikasi

usaha ternak ayam kampung yang fleksibel dan dapat diimplementasikan oleh

para peternak rakyat. Dibutuhkan perhatian pemerintah dalam pengembangan

usaha ternak ayam kampung oleh peternakan rakyat dan membatasi usaha

pengembangan ayam kampung oleh perusahaan besar.


DAFTAR PUSTAKA

Alfahriani. 2003. Tanggap Kebal Terhadap Virus ND dan Hubungannya Dengan

Bobot Badan Pada Ayam Kampung Tanpa Vaksin di Desa Karacak -

Bogor. Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.2(4).22-28

Alhamdi N. Hasan. 2005. Pengaruh Penambahan Zeolit Alam Sebagai Feed

Additive Pada Ransum Terhadap Karkas Ayam Kampung Umur 16

Minggu. Skripsi. Faperta. USU. Medan.1(3).2-5

Ariesta Agus Herry. 2011. Pengaruh Kandungan Energi dan Protein Ransum

Terhadap Penampilan Ayam Kampung Umur 0-10 Minggu. Tesis.

Program Studi Ilmu Peternakan. Program Pascasarjana. Udayana.

Bali.1(2).45-46

Basrial Rahmadi. 2002. Tampilan Bobot Badan Ayam Kampung Yang

Mendapatkan Vaksinasi Tetelo Ulang di Kabupaten Bogor. Skripsi.

Fapet. IPB. Bogor.2(3).1-2

Dewi G.A.M.K., dan I Wayan Wijana. 2011. Pengaruh Penggunaan Level Energi

– Protein Ransum Terhadap Produksi Ayam Kampung. Skripsi.

Fapet. Udayana. Bali

Gufroni L.M. Ar. 2010. Teknik Penyusunan dan Pemberian Ransum Ayam

Kampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kalimantan Barat.

Iskandar Sofjan. 2006. Ayam Silangan Pelung-Kampung : Tingkat Protein

Ransum Untuk Produksi Daging Umur 12 Minggu. Wartazoa vol. 16 (2) : 65-71.
Iskandar Sofjan. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk

Meningkatkan Produksi Daging Ayam Lokal. Pengembangan

Inovasi Pertanian vol. 5 (2) : 96-107

Nasution Saddat dan Adrizal. 2009. Pengaruh Pemberian Level Protein – Energi

Ransum Yang Berbeda Terhadap Kualitas Telur Ayam Buras.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 613-618.

Peraturan Menteri Pertanian no.49 : tentang Pedoman Pembibitan Ayam Lokal

Yang Baik. Menteri Pertanian. Jakarta.

Wibowo Broto dan T. Sartika. 2010. Analisa Kelayakan Usaha Pembibitan Ayam

Kampung Lokal Penghasil DOC di Tingkat Petani. Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hal 714-723


MAKALAH INDIVIDU
EKONOMI PERUSAHAAN PETERNAKAN

“ BUDIDAYA TERNAK AYAM KAMPUNG”

OLEH:

NAMA : INAS NABILAH APRIANA MANSUR


NIM :I011 18 1077
KELAS : A2
KELOMPOK :2

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

Anda mungkin juga menyukai