Anda di halaman 1dari 19

HALAMAN JUDUL

Kelompok 10
ASPEK PEMIKIRAN DALAM TEOLOGI ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Teologi Islam
Dosen Pengampu : Hendra Fitra Candra, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Ahmad Karim: 17011404
Emiliasi widyasari : 17011404
Vira Andini : 1701140497

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

ِ ‫حيم‬
ِ ‫الر‬
َّ ‫من‬
ِ ‫ح‬ْ ‫الر‬
َّ ‫ه‬
ِ ‫سم ِ الل‬
ْ

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat ‫ هللا ُس ' ْب َحانَهُ وتَ َع''الَى‬yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Makalah yang dikerjakan ini berjudul “Aspek Pemikiran Dalam Teologi Islam”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teologi
Islam. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena masih banyaknya kekurangan yang ada pada diri penyusun.
Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca, sehingga pada penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Akhir kata penyusun berharap makalah Akhlak Teologi Islam ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Semoga
Allah SWT selalu atau senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi kita
semua. Amin.

Palangka Raya, September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................1

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

A. Peran Tuhan Dalam Gerak Atau Perbuatan Manusia.....................................2

B. keadilan Tuhan................................................................................................3

C. sifat-sifat Tuhan..............................................................................................3

BAB III PENUTUP.......................................................................................................3

A. Kesimpulan.....................................................................................................3

B. Saran...............................................................................................................3

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................4

iii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya segala aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari akan
terasa berarti jika ada aqidah dan keyakinan dalam hati dengan disadari kekuatan
keimanan kepada ‫هللا ُس ْب َحانَهُ وتَ َع''الَى‬. Untuk itu diperlukannya suatu pembelajaran
mengenai Teologi Islam yang membahas tentang pemikiran ketuhanan. Terlebih
lagi bagi orang muslim guna meningkatkan keimanan dan menjadi idealnya
orang Islam. Apalagi di era sekarang ini yang sudah banyak munculnya
perbedaan-perbedaan pemikiran dan akidah yang mengiringi.
Berbicara tentang sifat Tuhan, aliran-aliran kalam beragam sudut pandang
mereka. Persoalan yang mereka timbulkan bersumber akal (rasio) mereka
masing-masing. Pertentangan paham di antara mereka dalam masalah ini berkisar
sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak, dan pembahasan
tentang keadilan Tuhan berkaitan erat dengan perbuatan atau kehendak Tuhan,
karena perbuatan Tuhan akan dilihat dari segi, adil ataukah tidak kebijakannya
dalam memelihara alam ini, baik alam dunia maupun alam akhirat. Persoalan
kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam
adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Apakah manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu
hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia
ini menyebabkan munculnya makna keadilan yang sama-sama disepakati
mengandung arti meletakkan sesuatu ada tempatnya, menjadi berbeda. Masalah
ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Maka dari itu sangat diperlukannya pembelajaran mengenai ketuhanan guna
meningkatkan keimanan sejak dini, agar manusia tidak salah dalam memilih
jalan. Hingga akhirnya selamat di dunia dan di akhirat kelak.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran Tuhan dalam gerak atau perbuatan manusia dalam aspek
pemikiran Teologi Islam?
2. Bagaimana pendapat aliran-aliran dalam Teologi Islam tentang keadilan
Tuhan?
3. Bagaimana pendapat aliran-aliran dalam Teologi Islam tentang sifat-sifat
Tuhan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana peran Tuhan dalam gerak atau perbuatan
manusia dalam aspek pemikiran Teologi Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana pendapat aliran-aliran dalam Teologi Islam
tentang keadilan Tuhan
3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat aliran-aliran dalam Teologi Islam
tentang sifat-sifat Tuhan
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

A. Peran Tuhan Dalam Gerak Atau Perbuatan Manusia


1. Perbuatan Manusia
Salah satu persoalan yang penting dan menarik dalam kajian teologi Islam
adalah masalah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu permasalahan
tentang ada atau tidaknya daya dan kebebasan pada manusia untuk melakukan
suatu perbuatan. Dalam sejarah pemikiran teologi Islam terdapat dua corak
pemikiran yang bertolak belakang tentang perbuatan manusia tersebut, yaitu
antara pihak yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai daya dan
kebebasan untuk melakukan suatu perbuatan, dan pihak lain yang berpendapat
bahwa manusia mempunyai daya dan bebas melakukan sesuatu.
a. Pandangan Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-
persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Mur’jiah. Dalam
pembahasan, aliran ini banyak memakai akal sehingga mereka mendapat
nama “kaum rasionalisme Islam.
Rasionalisme dalam Islam berbeda dengan rasionalisme secara umum,
yaitu suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio. Adapun Islam hanya
membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal
pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan
tetapi, kebenaran-kebenaran yang ditemukan itu adalah kebenaran insani,
dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia.
Menurut Mu’tazilah, manusia mampu menciptakan perbuatan, dan
perbuatan itu merupakan perbuatan manusia sendiri, bukan perbuatan
Tuhan. Manusia berkuasa melakukan atau tidak melakukan suatu
4

perbuatan tanpa campur tangan iradat dan daya Tuhan. Dengan demikian,
manusia mempunyai kekuatan dan sekaligus sebagai pencipta dari
perbuatannya. Artinya, manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufurnya, kepatuhan
dan tidak kepatuhannya kepada Tuhan.
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa manusia berkuasa menciptakan
perbuatan baik atau perbuatan buruk. Perbuatan baik akan dibalas dengan
pahala perbuatan jahat akan di balas dengan hukuman. Perbuatan buruk
atau zalim tidaka dapat disandarkan kepada Tuhan. Sebab, sekiranya
Tuhan menciptakan kezaliman, maka Tuhan berlaku zalim.
Sebaliknya, jika Tuhan berbuat adil, tentulah dia berbuat adil. Oleh
karena itu, Tuhan hanya berbuat yang baik dan terbaik, bahkan wajib bagi
Tuhan menjaga kemaslahatan manusia. Demikian konsep adil menurut
Mu’tazilah. Dalam memperkuat argumentasinya, Mu’tazilah mengajukan
ayat al-Qur’an, dalam surah al-Mu’minun [23]: 14 dikemukakan sebagai
berikut:

Artinya : Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik.


Ahsan al-Khaliqin dijadikan dalil oleh Mu’tazilah bahwa selain
Tuhan terdapat pula pencipta. Namun, Tuhanlah Maha pencipta
yang paling baik.
b. Pandangan Aliran Asy’ariyah
Berbeda dengan pendapat Mu’tazilah, al-Asy’ariyah berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai daya sebagaimana yang diyakini oleh
Mu’tazilah dan juga tidak memiliki kebebasan berkehendak. Menurut
pandangan Asy’ariyah, manusia dipandang lemah, paham Qadariyah
tidak terdapat. Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada paham
5

Jabariyah dari paham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak


bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi Asy’ariyah, bukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi orang
kafir ingin supaya perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin
supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki
orang kafir tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik,
tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu
janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendaki itu tidak
diwujudkannya. Dengan demikian, yang mewujudkan perbuatan kufr itu
bukanlah orang kafir yang tidak sanngup membuat kufr bersifat baik,
tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak
supaya kufr bersifat buruk.
c. Pandangan Aliran Maturidiyah
Golongan Maturidiyah menetapkan bahwa Tuhan menciptan segala
sesuatu. Tidak satu pun yang wujud melainkan ciptaannya, dan tidak
seorang pun yang menyamai ciptaannya. Tuhan memberikan pahala atau
hukuman karena manusia punya pilihan.
Tentang kaitan antara pilihan manusia dan perbuatannya dengan daya
Tuhan, Maturidiyah mengemukakan bahwa manusia itu memiliki al-kasb
dan pilihan di dalamnya. Dengan al-kasb itulah terdapat pahala atau
hukuman. Di sinilah terdapat titik temu antara al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Namun demikian, masih terdapat perbedaan. Al-Asy’ari menetapkan
bahwa al-kasb itu terjadi bersama-sama antara perbuatan yang diciptakan
Tuhan dengan pilihan manusia yang tidak efektif. Jadi, perbuatan
manusia itu sebenarnya perbuatan Tuhan. Adapun al-kasb menurut al-
Maturidi, terjadi dengan daya yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Karena manusia memiliki kebebasan memilih, manusia dapat melakukan
perbuatan atau tidak melakukan itu dengan daya yang diberikan Tuhan.
6

Kendatipun demikian, al-Maturidiyah tidak menafikkan Tuhan sebagai


pencipta buatan manusia atas pilihannya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa
posisi al-Maturidi berada di antara al-Asy’ari dan Mu’tazilah. Mu’tazilah
berpendapat bahwa perbuatan itu timbul dengan daya yang diciptakan
Tuhan sebelumnya. Menurut Asy’ariyah manusia tidak memiliki daya
untuk mewujudkan perbuatan melainkan al-kasb yang tidak efektif.
Adapun al-Maturidi menetapkan bahwa al-kasb itu terjadi dengan daya
manusia sendiri dan memiliki efek.
Dalam memperkukuh argumentasinya, Maturidiyah mengemukakan
ayat al-Qur’an, yaitu surah Fushshilat [41] ayat 40:

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami,


mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-
orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah
orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari
kiamat. Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya
dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.1
2. Perbuatan-perbuatan Tuhan
Kaum Mu’tazilah berpendaat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-
kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajiban seperti kewajiban
Tuhan menepati janji-janjinya, kewajiban Tuhan megirim Rasul-rasul untuk
memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada
manusia dan sebagainya.
1
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta : Kencana, 2014), hlm 177-184.
7

Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai


akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan
sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariyah, paham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat
diterima, karena hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan yang mereka anut. Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat
sekehendak hatinya terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak
mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagaimana kata al-Ghazali perbuatan-
perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib. Tuhan, demikian al-Asy’ari, sekali-kali
tidak mempunyai kewajiban terhadap hambanya.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariyah
tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tetapi al-Bazdawi
dalam hal ini memberi pendapat yang bertentangan.
Golongan Samarkand, seperti telah dilihat di atas, memberi batasan-batasan
kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan dengan demikian dapat
menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-
kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian
hukuman.2

D. Keadilan Tuhan
Kata adil mempunyai dua makna, yaitu perbuatan dan orangnya. Kalau yang
dimaksud dengan adil itu adalah perbuatan, maka pengertiannya adalah “setiap
pekerjaan yang baik yang dikerjakan oleh seseorang untuk diambil manfaat oleh
orang lain atau diambil mudaratnya. Adapun adil dalam pengertian orangnya,
apabila disifatkan kepada Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah tidak
mengerjakan yang buruk. Setiap pekerjaannya adalah baik.

2
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta :
Universitas Indonesia, 2002), hlm. 128-129.
8

1. Pandangan Aliran Mu’tazilah


Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia merdeka. Manusia
mempunyai akal untuk berfikir, dapat membedakan benda-benda yang ada,
membedakan yang baik dan yang buruk, yang membangun dan yang merusak.
Manusia juga mempunyai kehendak dan kemauan yang dengannya dapat
memilih yang baik ataupun yang buruk. Manusia bebas memilih jalan ke
kanan ataupun ke kiri.
Konsekuensinya adalah bahwa Tuhan lepas dari tanggung jawab perbuatan
manusia seperti yang terdapat dalam QS. Yunus ayat 108:

Artinya : Katakanlah“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu


kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang
mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk
kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka
sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri, dan
aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.”
QS. At-Taubah [19] ayat 105:

Artinya : Dan katakanlah “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang
ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.”
QS. An-Najm [53] ayat 39:

Artinya : Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa


yang telah diasahakannya
9

Mu’tazilah menganut paham keadilan Tuhan dengan menyatakan


bahwa:
a. Manusia menciptakan perbuatannya sendiri, dan kelak akan
dipertanyakan tentang perbuatannya.
b. Apa yang diterima manusia di akhirat kelak, baik nikmat maupun azab
adalah disebabkan oleh pekerjaan baik atau buruk di dunia.
Dengan dua pernyataan ini, Mu’tazilah mengemukakan kilas baliknya
sebagai berikut:
a. Kalau manusia bukan pencipta perbuatannya, dan Allah yang
menciptakan perbuatan itu dan menyadarkannya kepada manusia,
kemudian manusia itu azab, sedangkan dia tidak pernah mengerjakannya,
tentulah Allah bersifat zalim. Sifat zalim merupakan kekurangan yang
tidak disifatkan kepada Allah yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan. Bagaimana Allah memperbuat sesuatu kemudian Allah
mencela orang lain atas perbuatan jeleknya, kemudian Allah menanyakan
kepada orang itu, bagaimana kamu mengerjakannya, dan mengapa kamu
mengerjakannya. padahal Allah adil dan keadilannya adalah
memperhitungkan perbuatan hamba-Nya. Jadi, pekerjaan manusia itu
dikerjakan oleh mereka sendiri dan segala perbuatannya akan
diperhitungkan di akhirat nanti.
b. Mu’tazilah mewajibkan Allah untuk memberi pahala kepada orang-orang
yang taat kepada-Nya agar Allah tidak dianggap menzalimi mereka.
Karena kezaliman itu tidaklah layat bagi Tuhan segala yang dipertuan.
2. Pandangan Aliran Asy’ariyah
Golongan Asy’ariyah yang percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan,
mempunyai tendensi yang sebaliknya. Golongan ini menolak paham
Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya.
Menurut golongan ini, jika manusia mempunyai kehendak, maka
kehendaknya mengikuti kehendak Allah. Tidak ada kekuasaan baginya untuk
10

menghendaki sesuatu kecuali jika Allah subhanallahuata’ala yang


menghendakinya. Golongan ini bersandar pada QS. Al-Takwiir [81] ayat 28-
29:

Artinya : (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.
QS. al-Anfaal [8] ayat 17:

Artinya : Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Bagi golongan ini, perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan,
tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Memang golongan ini mengakui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan
menimbulkan kebaikan dan keuntungan, tetapi pengetahuan maupun kebaikan
serta keuntungan-keuntungan itu tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan
untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak
mutlaknya dan bukan karena kepentingan manusia atau karena tujuan lain.
Asy’ariyah berpendapat:
a. Kesempurnaan Ketuhanan adalah kesendiriannya, dan meniadakan
kekuasaannya adalah suatu cela dan kekurangan baginya, dan
kesempurnaan Allah adalah jika segala sesuatu berada di bawah
kekuasaan Allah dan berjalan di bawah hikmahnya.
b. Memberi pahala kepada orang yang berbuat baik bukanlah karena
kebaikan manusia itu sendiri, melainkan karena keutamaan Allah.
Begitu pula menghukum seseorang yang berbuat jahat bukanlah karena
11

dosanya, melainkan karena keutamaan Allah juga, dan ini bukanlah


suatu kezaliman, yang dinamakan kezaliman itu adalah merampas hak
orang lain, dan Allah berbuat sekehendaknya terhadap apa yang
dikerjakan manusia.
Jadi dengan demikian, Asy’ariyah berpendapat bahwa golongan ini
tidaklah meniadakan kehendak manusia secara mutlak terhdap segala
perbuatannya. Namun golongan ini beranggapan bahwa kehendak dan
kamauan Allah. Segala perbuatan manusia berada dalam takdirnya. Jadi,
kebebasab manusia terikat dalam kehendak dan kemauan Allah.
3. Pandangan Aliran Maturidiyah
Golongan maturidiyah Bukhara bersikap sama dengan Asy’ariyah.
Menurut al-Bazdawi, tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk
menciptakan alam ini. Segala perbuatan ia perbuat dengan sekehendak
hatinya. Tuhan bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa di balik
perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat hikmah-hikmah. Kata lainnya al-Bazdawi
berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Kaum Muturidiyah Samarkand berpaham free will dan free act dan
membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tampaknya lebih cenderung kepada
paham Mu’tazilah ketimbang kepada paham Asy’ariyah. Hanya saja kaum ini
beranggapan bahwa ciptaan Tuhan untuk kepentingan manusia itu lebih kecil
karena kekuatan akal sebagaimana yang dipegang oleh Muturidiyah
Samarkand lebih kecil dari paham Mu’tazilah. .3

E. Sifat-sifat Tuhan
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah dalam
masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak.
Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya denagn zat
Tuhan, dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal
3
Ibid, Ris’an, Teologi Islam ..., hlm. 193-198.
12

bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa


kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau multiplicity of
eternals). Selanjutnya membawa pula keada paham syirk atau polytheisme. Suatu
hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi kaum ini tentang Tuhan,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan
sebagainya, ini tidak berarti bahwa bahwa Tuhan bagi kaum ini tidak
mengetahui, tidak mempunyai kekuasaan, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan
tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tetapi mengetahui, berkuasa dan
sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”
kata Abu al-Huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan. Arti “Tuhan
mengetahui dengan esensinya, kata al-jubba’i, ialah untuk mengetahui, Tuhan
tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui. Abu Hasyim, sebaliknya berpendapat, bahwa arti “Tuhan
mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
Tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan paham antara pemuka-pemuka
Mu’tazilah tersebut, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat.
Kaum Asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan paham
Mu’tazilah. Kaum ini dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut al-Asy’ari sendiri, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatannya, di samping menyatakan bahwa Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Menurut al-Baghdadi,
terdapat konsensus di kalangan kaum Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan,
hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-
13

sifat ini, kata al-Ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan,
tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham
banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyah mengatakan
bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena
sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada paham
banyak kekal.
Kelihatannya paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang
mendorong kaum Asy’ariyah memilih penyelesaian di atas. “sifat” mengandung
arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Selanjutnya
sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh
karena itu, mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai
keadaan, tidaklah segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
Tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.
Kaum Mu’tazilah, karena tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan dan kehendak yang betul-betul mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak
mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan
banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat
Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan
bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah
kekal.
Golongan Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak sepaham dengan
Mu’tazilah karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi
pula tidak lain dari Tuhan.4

4
Ibid, Harun, Teologi Islam ..., hlm. 135-137.
14

BAB III PENUTUP

PENUTUP
15

A. Kesimpulan

F. Saran

Pada penulisan makalah kali ini diharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada kesalahan dalam penulisan diharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta


: Universitas Indonesia. 2002.
Rusli, Ris’an. Teologi Islam. Jakarta : Kencana. 2014.

Anda mungkin juga menyukai