Anda di halaman 1dari 3

Nama : Verbi Fernendi

NIM: 1172005008
Film dokumenter ini diriwayatkan oleh Chai, yang menyajikan hasil penelitian selama
setahun kebanyakan dalam bentuk kuliah, mengingatkan pada Al Gore 's An Inconvenient
Truth . Selain data, ia mengungkapkan rekaman dari kunjungan pabrik dan wawancara dengan
pejabat pemerintah, pakar lingkungan dan pemilik bisnis. Ia juga berbicara dengan para pejabat
dari London dan Los Angeles tentang bagaimana masing-masing kota mereka berhasil
menangani masalah polusi bersejarah. Chai dimulai dengan kisah tumor putrinya dalam
rahim dan pengangkatannya segera setelah kelahirannya. Chai mengklaim tumor itu disebabkan
oleh polusi udara.
Film ini menunjukkan bahwa China kehilangan "perang melawan polusi". Sasaran
filmnya termasuk perusahaan minyak milik negara seperti China National Petroleum
Corporation , yang juga menjadi subjek tindakan keras anti korupsi pemerintah. Chai juga
mengkritik PetroChina dan Sinopec . Perusahaan-perusahaan ini menetapkan standar
produksinya sendiri dan Kementerian Perlindungan Lingkungan sebagian besar tidak berdaya
untuk merespons. Produsen baja dan pabrik batu bara juga mengabaikan peraturan untuk
memaksimalkan keuntungan. Chai mengunjungi produsen baja di provinsi Hebei dengan
inspektur pemerintah untuk mengukur tingkat polutan. Berbulan-bulan kemudian, ia belum
membayar denda, tetapi seorang pejabat provinsi mengatakan kepadanya bahwa tidak mungkin
untuk menutup pabrik-pabrik semacam itu dan mengorbankan pekerjaan demi lingkungan.
Menjelang akhir film, Chai mendesak individu untuk bertanggung jawab. Dia meyakinkan
sebuah restoran untuk menggunakan peralatan yang lebih ramah lingkungan. Dia berkata: "Inilah
bagaimana sejarah dibuat. Dengan ribuan orang biasa suatu hari berkata, 'Tidak, saya tidak puas,
saya tidak ingin menunggu. Saya ingin berdiri dan melakukan sedikit sesuatu.'"
Contoh Kasus
Kualitas udara buruk Jakarta mendorong puluhan warga gugatan citizen law suit. Proses
gugatan warga bermula pada 5 Desember 2018. Kala itu 20 warga negara Indonesia
menyampaikan notifikasi kepada Gubernur Jakarta, Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat.
Juga, Presiden Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan dan
Menteri Dalam Negeri. Gugatan mereka berisikan tuntutan untuk pemulihan pencemaran udara
di Jakarta.
LBH Jakarta menindaklanjuti. Pada 14 April 2019, LBH membuka pos pengaduan selama satu
bulan untuk mengajak warga Jakarta atau warga luar Jakarta untuk berperan dalam perbaikan
kualitas udara. Melalui pos pengaduan ini, 12 warga negara Indonesia turut bergabung sebagai
penggugat dalam advokasi terhadap pencemaran udara di Jakarta. Total ada 32 warga
mendaftarkan diri sebagai penggugat.
Sebulan berlalu sejak notifikasi disampaikan, pemerintah tidak menanggapi. Awal Juli
2019, 32 warga akhirnya mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak
berselang lama, pada 8 Juli 2019, Gubernur Jakarta menetapkan Keputusan Gubernur Nomor
1107/2019 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Nomor 1042 Tahun 2018 tentang daftar
kegiatan strategis daerah. Dalam kebijakan aru itu memasukkan pengendalian pencemaran udara
dalam daftar kegiatan strategis daerah.
“Udara bersih itu hak dasar setiap warga negara dan telah diamanatkan Undang-undang ,
seharusnya pemerintah sesegera mungkin memenuhi hak dasar itu tanpa harus terus berkelit dan
menunggu keputusan pengadilan yang menempuh waktu relatif lama,” kata Ayu Eza Tiara,
kuasa hukum warga.
Sidang pendahuluan pertama pada 1 Agustus 2019. Saat itu majelis hakim meminta para
penggugat melengkapi beberapa berkas untuk gugatan. Gubernur Banten tidak hadir. Pada hari
itu, Gubernur Jakarta mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 66/2019 tentang Pengendalian
Kualitas Udara.
“Selama proses persidangan, Gubernur Banten sama sekali tidak menghargai gugatan.
Sampai sekarang tidak pernah hadir tanpa alasan jelas.” Pada sidang pendahuluan kedua 22
Agustus 2019, ada pihak lain yang mengajukan sebagai penggugat intervensi. Ia adalah Forum
Warga Kota Jakarta (Fakta). Pada 17 Oktober 2019, dalam putusan sela hakim menolak
masuknya Fakta sebagai penggugat intervensi. Hakim berdasar Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan Hidup persyaratan mengajukan gugatan warga negara oleh satu orang atau lebih
warga Indonesia, bukan badan hukum.
“Sidang berjalan cukup alot karena beberapa kali pengadilan gagal sidang, misal, sudah
dijadwalkan sidang pukul 10.00 pagi. Hingga pukul 5.00 sore belum juga sidang, pihak tergugat
pulang. Batal sidang ini terjadi sampai dua kali,” katanya.
Sebelum masuk ke pokok perkara, juga mediasi. Tahap pertama mediasi pada 31 Oktober 2019.
Sepuluh orang penggugat hadir dalam pertemuan pertama mediasi didampingi dengan kuasa
hukum. Prinsipal tergugat tak hadir tanpa alasan jelas. Penggugat, kata Ayu, kecewa dengan
proses mediasi. Persidangan tidak efektif karena tergugat tidak pernah hadir. Akhirnya, mediasi
menjadi ajang membalas surat.
“Dari enam tergugat, Pemprov Jakarta sempat ngajak kita ketemu mediasi di luar
persidangan, ada beberapa pertemuan di balai kota. Hampir ada perdamaian. Saat itu kita
menawarkan 14 saran, tapi mentok,” katanya. Mediasi pertama di luar persidangan bersama
Pemprov Jakarta pada 13 November 2019. Dalam pertemuan itu, Biro Hukum Jakarta
menyatakan, beberapa tuntutan penggugat sejalan dengan apa yang sudah atau akan dilakukan
Pemprov Jakarta.
Pada 16 Januari 2020, sidang pembacaan jawaban. Penggugat dan para tergugat hadir di
ruang sidang sejak pukul 10.00. Sampai pukul 16.15, majelis hakim tidak kunjung hadir hingga
penggugat dan tergugat memutuskan meninggalkan ruang sidang.“Jadi sampai sekarang sidang
baru sampai pembacaan gugatan.”
Dari kedua kasus diatas bisa ditemukan kesamaan yaitu ketegasan pemerintah dalam
upaya pencegahan dan penanganan masalah polusi udara masih dirasa tidak serius dan tidak di
prioritaskan, pengeluaran kebijakan pun hanya terlihat sebagai ajang untuk menutup mulut para
korban, sedangkan implementasi nya tergantung yang punya “kepentingan”. Bukan hanya
pemerintah namun warga sendiri harus bisa lebih menerapkan kesadaran mencintai lingkungan
dengan budaya less waste and less energy, budaya tersebut harus dimulai dari sekarang jika kita
tidak ingin menjadi seperti china yang gila akan harta namun menutup mata soal nyawa.

Anda mungkin juga menyukai