Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS KEGIATAN IMUNISASI DI PUSKESMAS


KAB.TANGERANG

Tugas ini disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Farmasi Lingkungan

Yang di bimbing oleh Dede Komarudin, M.Farm., Apt.

Disusun Oleh

Muhammad Marjuki ( 201851183)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL JAKARTA

JAKARTA

2019
Kata Pengantar JIHATUL AKBAR (201851136)

Puji Syukur kehadiran Tuhan yang Maha Esa sehingga saya dapat menyelesaikan

makalah ini dengan tepat waktu. Judul makalah ini Pengolahan Limbah Medis Kegiatan

Imunisasi Di Puskesmas Kabupaten Tangerang. Isi makalah ini tentang penjelasan-

penjelasan limbah medis,bahayanya penjelasan mengenai pengolahan limbah medis

kegiatan imunisasi.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Farmasi Lingkungan dan

Pengolahan limbah, selain itu tujuan lainnya adalah untuk menambah pengetahuan dan bisa

dijadikan referensi lain selain buku panduan khususnya, untuk seluruh mahasiswa Institus

Sains dan Teknologi Al-Kamal dan secara umumnya untuk seluruh masyarakat.

Mungkin saya selaku penulis mohon maaf apa bila banyak kesalahan dan

kekurangan dalam makalah ini mohon kritik dan sarannya.

Terima Kasih

Jakarta 1 Mei 2019

Muhammad Marjuki

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tujuan

dan upaya pemerintah dalam memberikan arah pembangunan ke depan bagi bangsa

Indonesia. Pembangunan kesehatan harus dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan

dan realistis sesuai tahapannya, guna tercapai tujuan yang dimaksud. Upaya mempercepat

pencapaian sasaran-sasaran MDGs pada tahun 2015 merupakan entry point (titik masuk)

menuju pembangunan kesehatan yang lebih baik. Pembangunan kesehatan mengacu kepada

konsep “ paradigma sehat” yaitu pembangunan kesehatan yang mengutamakan pada upaya

pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif)

dibandingkan dengan upaya pelayanan penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan

(rehabilitatif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Harahap, 2010).

Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya

pelayanan medis hingga rawat jalan, termasuk kegiatan imunisasi yang saat ini dilakukan

dalam skala besar. Salah satu upaya untuk mendukung pelayanan peningkatan kesehatan

(promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) adalah dengan penyediaan program

pelayanan imunisasi di puskesmas.

Pelaksanaan program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan,

kecacatan dan kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

Penyakit-penyakit yang saat ini masuk dalam program imunisasi adalah tuberculosis, difteri,

pertusis, polio, hepatitis B, dan tetanus. Namun di sisi lain setiap kali ada aktifitas pelayanan

tentunya akan menghasilkan limbah medis sisa kegiatan imunisasi. Limbah medis ini

termasuk dalam kategori infeksius / limbah benda tajam yang senantiasa memungkinkan

terjadinya penularan penyakit, karena pada umumnya limbah medis yang dihasilkan oleh
sarana pelayanan kesehatan dianggap sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus ataupun

kuman penyakit lainnya (Depkes RI, 2006).

Benda tajam khususnya jarum suntik meskipun dalam jumlah sedikit, tetapi dapat

menghasilkan dampak yang sangat besar terhadap kesehatan. Pada tahun 2000, WHO

mencatat kasus infeksi akibat tusukan jarum yang terkontaminasi diperkirakan

mengakibatkan terinfeksi virus Hepatitis B sebanyak 21 juta (32% dari semua infeksi baru),

terinfeksi virus Hepatitis C sebanyak 2 juta (40% dari semua infeksi baru), infeksi HIV

sebanyak 260.000 (5% dari seluruh infeksi baru) (Pruss. A, 2005).

Limbah yang dihasilkan puskesmas terutama limbah tajam imunisasi dapat

membahayakan seperti misalnya sampah benda-benda tajam dapat menimbulkan masalah

kesehatan dan lingkungan yang serius, diantaranya bahaya kematian yaitu dengan

membiarkan semprit dan jarum bekas berada di tempat atau tanah terbuka menimbulkan

resiko bagi masyarakat. Paling sering, anak-anak menjadi korban terkena luka tusukan

jarum akibat pembuangan jarum yang di lakukan sembarangan. Selain itu juga membuang

semprit dan jarum bekas di sungai dapat mengotori air yang digunakan untuk minum dan

mencuci (Depkes RI, 2006).

TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui gambaran sistem pengelolaan limbah medis kegiatan imunisasi

berdasarkan minimasi limbah, pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang

limbah medis, tempat penampungan sementara, pengangkutan, dan pengolahan,

pemusnahan, dan pembuangan akhir.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Puskesmas

2.1.1 Pengertian puskesmas

Fase persiapan pembangunan dibidang kesehatan, yaitu akhir tahun 1960-an,

di tandai dengan suatu inovasi yang fundamental dan monumental berupa

dicetuskannya pembentukan Pusat Kesehatan Masyarakat di kecamatan-kecamatan

(departemen kesehatan, 1995). Semula pelayanan kesehatan dasar kepada

masyarakat diselenggarakan melalui berbagai bentuk sarana seperti Balai Pengobatan

(BP), Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), klinik KB, dan lain-lain. Hal ini

dirasakan kurang efisien dan efektif, sehingga dalam Rapat Kerja Kesehatan

Nasional (Rakerkesnas) tahun 1968 ditetapkan penyatuan dari semua pelayanan

kesehatan dasar tersebut kedalam satu lembaga yang disebut Pusat Kesehatan

Masyarakat (Puskesmas).

Pada waktu yang lalu, terdapat 13 jenis pelayanan yang harus dilaksanakan

puskesmas, di mana enam diantaranya disebut sebagai pelayanan pokok (dikenal

dengan sebutan basic six). Keenam pelayanan pokok itu adalah pendidikan kesehatan

masyarakat, kesehatan lingkungan, Kesehatan Ibu anak dan keluarga berencana (KIA

& KB), perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular, serta pengobatan (Hartono, 2010).

Fasilitas layanan kesehatan yang menghasilkan sampah medis di kota

gorontalo yaitu puskesmas, diantaranya melalui :

1. Posyandu (Imunisasi) Dan Tim Medis Keliling

2. Pelayanan Puskesmas : KIA dan KB, Poli Gigi

3. Pelayanan pustu
2.2 Tinjauan Umum Imunisasi

2.2.1 Pengertian imunisasi

Menurut Ranuh (dalam Hidayah, 2011) imunisasi adalah suatu cara untuk

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila

kelak ia terkena antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyakit menular di indonesia baru ada 7 macam

penyakit menular yang diupayakan pencegahannya melalui program imunisasi yang

disebut Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Jenis penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi di Indonesia adalah :

1. Difteri

2. Pertusis

3. Tetanus

4. Tuberkulosis

5. Campak

6. Poliomyelitis

7. Hepatitis B
2.2.2 Jenis-Jenis Imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek

efek yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu


1. Imunisasi aktif

Merupakan suatu pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin)

agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu

ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat

mengenali dan merespon.

2. Imunisasi pasif

Menurut Atikah (dalam Hidayah, 2011) merupakan suatu proses peningkatan

kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat immunoglobulin, yaitu zat yang

dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma

manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui placenta) atau

binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam

tubuh yang terinfeksi

2.2.3 Macam-Macam Imunisasi

1. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)

Bacillus Calmette Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari

Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan

hasil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.

2. Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus)

Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid

difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi

(Depkes RI, 2006).


3. Vaksin Hepatitis B

Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah diinaktivasikan

dan bersifat in infectious, berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi

(Hansenula polymorph) menggunakan teknologi DNA rekombinan.

4. Vaksin Polio (Oral Polio Vaccine)

Vaksin Oral Polio adalah vaksin yang terdiri dari suspense virus poliomyelitis

tipe 1,2,3 (Strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dibiakkan jaringan ginjal

kera dan distabilkan dengan sukrosa.

5. Vaksin Campak

Vaksin Campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis

(0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 inektive unit virus strain dan tidak lebih

dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erithromycin.

2.2.4 Tujuan Imunisasi

Menurut Ranuh (dalam Hidayah, 2011) tujuan imunisasi untuk mencegah

terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu

pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit

tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola.

Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar

dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh

penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi, antara lain:

1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular.

2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.


3. Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas

(angka kematian) pada balita.

2.3 Limbah Imunisasi

Menurut Parma (2007) limbah adalah semua buangan yang dihasilkan oleh

aktifitas manusia dan hewan yang berbentuk padat, lumpur, cair, maupun gas yang

dibuangkerena tidak dibutuhkan atau diinginkan lagi. Sedangkan sampah yaitu suatu

bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam

yang belum memiliki nilai ekonomis.

Limbah medis atau limbah klinis mencakup semua hasil buangan yang

berasal dari instalasi kesehatan, fasilitas penelitian, dan laboraturium (Direktoral

jendral PP & PL, 2012).

Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,

limbah patologi, limbah benda tajam, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah

radioaktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan kandungan logam berat

yang tinggi (Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/ SK/ X/2004, Depkes RI, 2004).

Limbah imunisasi dalam penelitian ini yakni limbah yang dihasilkan dari

kegiatan posyandu (imunisasi) berupa jarum, suntik, disposable, flakon, ampul,

kapas, dan handscoon.

Limbah imunisasi termasuk dalam klasifikasi :

1. Limbah infeksius adalah limbah yang di duga mengandung bahan patogen

(bakteri, virus, parasit, atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang cukup

untuk menyebabkan penyakit pada pejamu yang rentan. (Asmadi, 2013)


2. Limbah benda tajam adalah materi padat yang memiliki sudut kurang dari 90

derajat, dapat menyebabkan luka iris atau tusuk misalnya jarum suntik, kaca

sediaan, infuse set, ampul/vial obat, dan lain-lain.

3. Limbah farmasi adalah limbah yang mengandung bahan-bahan farmasi

misalnya :

a) Mencakup produk farmasi, obat, vaksin, serum yang sudah

kadaluarsa, tumpahan obat.

b) Termasuk sarung tangan, masker.

2.4 Pengelolaan Limbah Medis Padat

Sesuai dengan Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk pengelolaan

limbah medis padat yaitu :

2.4.1 Minimasi Limbah

1. Setiap rumah sakit/puskesmas melakukan reduksi limbah dimulai dari

sumbernya.

2. Setiap rumah sakit/puskesmas harus mengelola dan mengawasi penggunaan

bahan kimia yang berbahaya dan beracun.

3. Melakukan Kegiatan perawatan dan pembersihan, Menggunakan bahan

produksi lebih awal, mengecek tanggal kadaluarsa.

2.4.2 Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang

1) Pemilahan limbah harus selalu dilakukan dari sumber yang menghasilkan

limbah.

2) Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang

tidak dimanfaatkan kembali.


3) Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa

memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya. Wadah tersebut harus anti

bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang tidak

berkepentingan tidak dapat membukanya.

4) Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses

sterilisasi.

5) Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali.

Apabila fasilitas layanan kesehatan tidak mempunyai jarum yang sekali pakai

(disposable), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan kembali setelah

melalui proses salah satu metode sterilisasi.

Tabel 2.1 Metode Sterilisasi Untuk Limbah Yang Dimanfaatkan Kembali Metode
Sterilisasi Suhu Waktu Kontak

Metode sterilisasi Suhu Waktu kontak


Sterilisasi dengan panas
- Sterilisasi kering dalam 1600 C 120 menit
oven “ Poupinel” 1700 C 60 menit
- Sterilisasi basah dalam otoklaf 1210 C 30 menit
Sterilisasi dengan bahan kimia
- Ethylene oxide (gas) 500 C – 600 C 3 – 8 jam
- Glutaraldehyde (cair) - 30 menit

Sumber : Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor:1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal pemberantasan penyakit menular & penyehatan
lingkungan
6) Pewadahan limbah medis padat menurut Kepmenkes RI No.

1204/Menkes/SK/X/2004 harus memenuhi persyaratan dengan menggunakan

wadah dan label seperti tabel 2.2.


Tabel 2.2 Rekomendasi kode warna untuk limbah layanan kesehatan
Warna
No Kategori kontainer/kantong Lambang Keterangan
plastik
Kantong boks timbal
1 Radioaktif Merah dengan simbol
radioaktif
Kantong plastik kuat,
anti bocor, atau
Sangat
2 Kuning kontainer yang dapat
infeksius
disterilisasi dengan
otoklaf
Limbah
infeksius, Plastik kuat dan anti
3 Kuning
patologi, dan bocor atau kontainer
anatomi
Kontainer plastik kuat
4 Sitotoksis Ungu
dan anti bocor
Limbah kimia Kantong plastik atau
5 Coklat -
dan farmasi kontainer
Sumber : Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor:1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah
Sakit. Direktorat Jenderal pemberantasan penyakit menular & penyehatan
lingkungan

7) Proses daur ulang tidak bisa dilakukan oleh fasilitas layanan kesehatan

kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan dari pengolahan foto rontgen.

8) Limbah sitotoksik dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan

diberi label bertuliskan “Limbah Sitotoksik”.

Kunci minimisasi dan pengelolaan limbah layanan kesehatan secara efektif

adalah pemilahan (segregasi) dan identifikasi limbah. Penanganan , pengolahan dan

pembuangan akhir limbah berdasarkan jenisnya akan menurunkan biaya yang

dikeluarkan serta memberikan manfaat yang lebih banyak dalam melindungi

kesehetan masyarakat. Pemilahan merupakan tanggungjawab yang di bebankan pada

produsen limbah dan harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat dihasilkannya
limbah, kondisi yang tetap terpilah itu harus tetap dipertahankan di area

penampungan dan selama pengangkutan.

Selain pengkodean berdasarkan warna pada kontainer limbah praktek berikut

juga direkomendasikan:

1. Limbah benda tajam harus dikumpulkan bersamaan, baik yang

terkontaminasi ataupun tidak. Kontainernya harus anti robek (biasanya

terbuat dari logam atau palstik berdensitas tinggi) dan pas dengan tutupnya.

Kontainer itu harus kokoh dan impermiabel agar dapat menahan benda tajam

dan cairan residu yang keluar dari spuit tetap dalam kontainer. Untuk

menurunkan resiko kerusakan, kontainer harus tahan banting (sulit dibuka

atau dipecahkan) dan jarum serta spuit harus di buat tidak berguna lagi. Jika

kontainer plastik atau logam tidak tersedia atau terlalu mahal sebaiknya

gunakan kontainer yang terbuat dari papan kardus padat (WHO,1997).

Kemasan tersebut untuk memudahkan pengangkutan dan harus dilapisi

dengan plastik seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.1. Kotak Pengaman (Safety box) (Depkes RI, 2006)

2. Kantong dan kontainer untuk limbah infeksius harus ditandai dengan

simbol seperti pada gambar berikut :


Gambar 2.2 Simbol internasional bahan infeksius (pengelolaan limbah medis rumah
sakit, 2013)

3. Limbah infeksius dengan kadar radioaktif rendah (misalnya kapas spuit untuk

tujuan diagnostic atau terapeutik) dapat dikumpulkan dalam kantong atau

kontainer berwarna kuning untuk limbah infeksius jika nantinya limbah

tersebut akan dibakar.

Karena biaya pengolahan dan pembuangan akhir yang aman untuk limbah

layanan kesehatan biasanya 10 kali lebih tinggi dari biaya untuk pengolahan dan

pembuangan limbah umum, maka semua limbah umum yaitu limbah non infeksius

harus di kelola dengan cara yang sama dengan pengelolaan limbah domestik dan di

kumpulkan dalam kantong hitam. Limbah layanan kesehatan selain limbah benda

tajam tidak boleh di buang dalam kontainer benda tajam, karena harga kontainer ini

lebih mahal dibandingkan kantong yang digunakan untuk limbah infeksius lain.

Tindakan semacam ini membantu meminimalisasi biaya pengumpulan dan

pengolahan limbah layanan kesehatan. Jika yang di gunakan adalah spuit sekali pakai

misalnya kemasan harus dibuang dalam kontainer kuning untuk benda tajam. Dalam

kebanyakan kondisi, jarum tidak boleh dilepas dari spuit karena beresiko

menimbulkan cedera; jika jarum memang harus di lepas, lakukan dengan sangat hati-

hati. Kontainer atau bag holder yang tepat harus ditempatkan di semua lokasi yang

potensial menghasilkan limbah dari kategori tertentu. Instruksi mengenai pemilahan


dan identifikasi limbah juga harus dipasang disetiap titik pengumpulan untuk

mengingatkan staff akan prosedur pelaksanaannya. Kontainer harus diangkat jika

sudah tiga per empat penuh.

Staf jangan pernah mencoba memperbaiki kesalahan yang di lakukan saat

pemilahan dengan mengeluarkan item dari satu kantong atau kontainer setelah

pembuangan atau dengan memasukkan satu kantong kedalam kantong lain yang

warnanya berbeda. Jika limbah umum dan limbah berbahaya secara tak sengaja

tercampur, campuran limbah itu harus diperlakukan sebagai limbah layanan

kesehatan yang berbahaya.

Untuk kegiatan imunisasi petugas kesehatan jika tidak ada kotak pengaman

(safety box) bisa juga menggunakan kotak dari kertas karton untuk mengumpulkan

semprit dan jarum dan membawa peralatan ini ke suatu tempat dimana alat-alat ini

dapat ditimbun dan dibakar. Jangan menggunakan wadah yang sama setelah diisi

sekali, selain itu hancurkan wadah bila isinya sudah hampir penuh dan dapatkan

wadah baru untuk pelayanan berikutnya.

2.4.3 Tempat Penampungan Sementara

1. Bagi rumah sakit/puskesmas yang mempunyai insinerator di lingkungannya

harus membakar limbahnya selambat-lambatnya 24 jam.

2. Bagi rumah sakit/puskesmas yang tidak mempunyai insinerator, maka limbah

medis padatnya harus dimusnahkan melalui kerjasama dengan rumah sakit

lain atau pihak lain yang mempunyai insinerator untuk dilakukan

pemusnahan selambat-lambatnya 24 jam apabila disimpan pada suhu ruang.


Berdasarkan kajian dari BTKL-PPM Manado untuk penanganan limbah

medis lebih efisien dan efektif bila setiap puskesmas mengatur jadwal pengiriman

limbah tidak lebih dari 72 jam (3 hari) waktu tampung atau penyimpanan sementara

limbah sebelum dimusnahkan di incinerator, cukup satu incinerator dapat

mengcover limbah yang berasal dari puskesmas-puskesmas yang berada di satu

wilayah.

Menurut Pruss. A (2005) lokasi penampungan untuk limbah layanan

kesehatan harus dirancang agar dapat berada di dalam wilayah instansi layanan

kesehatan. Limbah baik dalam kantong maupun kontainer, harus ditampung di area,

ruangan atau bangunan terpisah yang ukurannya sesuai dengan kuantitas limbah

yang dihasilkan dan frekuensi pengumpulannya. Beberapa rekomendasi pada sistem

penampungan yaitu :

a) Lantai yang kokoh , impermiebel, drainase baik, dan mudah dibersihkan /

desinfeksi.

b) Ruangan penampungan harus tetap di kunci untuk mencegah masuknya

mereka yang tidak berkepentingan.

c) Ruangan harus terlindungi dari sinar matahari.

d) Ruangannya harus terlindung dari serangga, burung dan binatang lainnya.

e) Pencahayaan ruangan baik fentilasinya pasif

Beberapa pengecualian bila di gunakan ruangan yang memiliki pendingin,

waktu tampung sementara untuk limbah layanan kesehatan (misalnya, waktu tunggu

antara produksi dan pengolahan ) jangan sampai melebihi :

Iklim sedang : 72 jam di musim dingin


48 jam di musim panas

Iklim hangat : 48 jam di musim hujan

24 jam di musim kemarau

2.4.4 Pengangkutan limbah

Persyaratan dalam pengangkutan (transportasi) limbah padat sesuai dengan

Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 yaitu :

1. Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kenderaan pengangkut

harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup.

2. Kantong limbah padat harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.

3. Petugas yang mengangani limbah, harus menggunakan alat pelindung diri

terdiri dari :

a) Topi/helm

b) Masker

c) Pelindung mata

d) Pakaian panjang

e) Apron untuk industry

f) Pelindung kaki/sepatu bot, dan

g) Sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty gloves)

2.4.5 Pengolahan, Pemusnahan, dan Pembuangan Akhir Limbah Padat

Dalam Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk pengolahan,

pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah infeksius dan benda tajam yaitu :
a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen

infeksius dari laboratorium harus di sterilisasi dengan pengolahan panas

dan basah seperti dalam autoclave sedini mungkin. Untuk limbah

infeksius yang lain cukup dengan cara disinfeksi.

b. Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan

dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga

cocok untuk benda tajam.

c. Setelah insinerasi atau disifeksi, residunya dapat dibuang ketempat

pembuangan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

Setiap cara pembuangan sampah yang dipilih untuk pusat kesehatan harus

memenuhi peraturan dampak lingkungan dan petunjuk khusus Departemen

Kesehatan dalam hal ini petugas imunisasi harus bekerja sama dengan petugas

puskesmas yang diberi tanggung jawab untuk itu, misalnya petugas kesehatan

lingkungan. Beberapa tehnik pengelolaan limbah medis tajam puskesmas yaitu :

a) Dengan safety box

Alternatif 1

1. Jarum dan syringe langsung dimasukkan ke dalam safety box pada

setiap selesai satu penyuntikan.

2. Setelah penuh, safety box dan isinya dikirim ke sarana kesehatan lain

yang memiliki incinerator dengan suhu pembakaran 10000 C atau

yang memiliki alat pemusnah carbonizer.

Alternatif 2
1. Jarum syringe langsung dimasukkan ke dalam safety box pada setiap

selesai satu penyuntikan.

2. Setelah penuh, safety box dan isinya ditanam di dalam sumur galian

yang kedap air atau needle pit yang lokasinya didalam puskesmas.

b) Dengan needle cutter

Alternatif 1

1. Jarum dipatahkan dengan needle cutter pada setiap selesai satu

penyuntikan.

2. Potongan jarum yang terkumpul didalam needle collection container

dimasukkan kedalam safety box, kemudian dilanjutkan dengan proses

penanganan seperti yang dijelaskan dalam penanganan menggunakan

safety box.

Alternatif 2

1. Jarum dipatahkan dengan needle cutter pada setiap selesai satu

penyuntikan.

2. Potongan jarum yang terkumpul didalam needle collection container

dimasukkan kedalam needle pit.

3. Syringe bekas pakai didisinfeksi dengan menggunakan larutan sodium

hipoklorit 5% dan direndam selama 30 menit, sehingga syringe telah

steril dan dapat didaur ulang.

c) Dengan needle burner

1. Jarum dimusnakan dengan needle burner langsung pada setiap selesai

satu penyuntikan .
2. Syringe selanjutnya diproses seperti dijelaskan dalam penanganan

dengan needle cutter.

3. Hasil proses pemusnahan dengan needle burner dimasukkan ke dalam

kantong plastik warna hitam, karena sudah tidak infeksius.

4. Sisa proses bersama kantong plastiknya langsung dibawa ke tempat

penampungan sementara limbah domestik.

2.5 Dampak Kesehatan Limbah Medis

2.5.1 Risiko akibat limbah medis

a) Jenis Risiko

Pajanan pada limbah layanan kesehatan yang berbahaya dapat mengakibatkan

penyakit atau cedera. Sifat bahaya dari limbah medis tersebut mungkin muncul

akibat satu atau beberapa karakteristik berikut :

1. Limbah mengandung agens infeksius

2. Limbah bersifat genetoksik

3. Limbah mengandung zat kimia atau obat-obatan berbahaya atau beracun

4. Limbah bersifat radioaktif

5. Limbah mengandung benda tajam

b) Mereka Yang Berisiko

Semua orang yang terpajan limbah berbahaya dari fasilitas kesehatan

kemungkinan besar menjadi orang yang beresiko termasuk yang berada dalam

fasilitas penghasil limbah dan mereka yang berada diluar fasilitas serta memiliki

pekerjaan mengelola limbah semacam itu atau beresiko akibat kecerobohan dalam

sistem manajemen limbahnya, antara lain ;


1. Dokter, perawat, pegawai layanan kesehatan dan tenaga pemeliharaan

rumah sakit

2. Pasien yang menjalani perawatan di instansi layanan kesehatan atau

dirumah

3. Penjenguk pasien rawat inap

4. Tenaga bagian layanan pendukung yang bekerja sama dengan instansi

layanan kesehatan masyarakat, misalnya, bagian binatu, pengelolaan

limbah dan bagian transportasi.

5. Pegawai pada fasilitas pembuangan limbah (misalnya, ditempat

penampungan sampah akhir atau incinerator, termasuk pemulung (Pruss.

A, 2005).

2.5.2 Bahaya Akibat Limbah Infeksius dan Benda Tajam

Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme

pathogen. Patogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur ;

1. Akibat tusukan, lecet atau luka di kulit

2. Melalui membrane mukosa

3. Melalui pernapasan

4. Melalui ingesti

Kekhawatiran muncul terutama terhadap penyakit HIV serta virus hepatitis B

dan C karena ada bukti kuat yang menunjukan bahwa virus tersebut ditularkan

melalui limbah layanan kesehatan. Penularan umumnya terjadi melalui cedera dan

jarum spuit yang terkontaminasi darah manusia.


Di fasilitas kesehatan, keberadaan bakteri yang resisten terhadap antibiotik

dan desinfektan kimia juga dapat memperbesar bahaya yang muncul akibat limbah

layanan kesehatan yang buruk pengelolaannya. Contoh plasmid dari strain

laboratorium yang terkandung dalam limbah layanan kesehatan ternyata dapat

berpindah kedalam bakteri di alam melalui sistem pembuangan limbah yang tidak

saniter.

Kultur patogen yang pekat dan benda tajam yang terkontaminasi (terutama

jarum suntik) mungkin merupakan jenis limbah yang potensi bahayanya paling akut

bagi kesehatan. Benda tajam tidak hanya dapat menyebabkan luka gores maupun

luka tusuk tetapi juga dapat menginfeksi luka jika benda ini terkontaminasi patogen.

Karena resiko ganda inilah (cedera dan penularan penyakit), benda tajam termasuk

dalam kelompok limbah yang sangat berbahaya. Kekhawatiran pokok yang muncul

adalah bahwa infeksi yang ditularkan melalui subkutan dapat menyebabkan

masuknya agent penyebab penyakit, misalnya infeksius virus pada darah. Jarum

suntik merupakan bagian yang penting dalam limbah benda tajam, dan berbahaya

karena sering terkontaminasi darah pasien.

2.5.3 Dampak Limbah Terhadap Masyarakat

Limbah yang dihasilkan puskesmas terutama limbah tajam imunisasi dapat

membahayakan seperti misalnya sampah benda-benda tajam dapat menimbulkan

masalah kesehatan dan lingkungan yang serius, diantaranya bahaya kematian yaitu

dengan membiarkan semprit dan jarum bekas berada di tempat atau tanah terbuka

menimbulkan resiko bagi masyarakat. Paling sering, anak-anak menjadi korban

terkena luka tusukan jarum akibat pembuangan jarum yang di lakukan sembarangan.
Selain itu juga membuang semprit dan jarum bekas di sungai dapat mengotori air

yang digunakan untuk minum dan mencuci Begitu juga pemulung di lokasi

pembuangan akhir limbah (sekalipun resiko ini tidak terdokumentasi). Di kalangan

pasien dan masyarakat resiko terkena infeksi tersebut jauh lebih rendah. Namun

beberapa infeksi yang menyebar melalui media lain atau disebabkan oleh agent yang

lebih resisten dapat menimbulkan resiko yang bermakna pada masyarakat dan pasien.

2.6 Mikroorganisme Patogen di Lingkungan

Mikroorganisme patogen memiliki kemampuan yang terbatas untuk bertahan

hidup di alam bebas. Kemampuan ini bergantung pada jenis mikroorganisme dan

merupakan cara kerja dari pertahanan dirinya terhadap kondisi lingkungan seperti

suhu,kelembaban, radiasi ultraviolet, ketersediaan zat organik, keberadaan predator

dan sebagainya. Contoh mikrooganime tersebut sebagai berikut :

1. Virus Hepatitis B

a) Persisten di udara kering

b) Hidup beberapa minggu ditanah

c) Tahan terhadap pajanan antiseptic

d) Tahan sampai 10 jam pada suhu 600 C

e) Tahan 1 minggu pada tetesan darah dalam jarum suntik (termasuk virus

hepatitis C)

2. Virus HIV

a) Tahan 3-7 hari pada suhu ambien

b) Tahan 15 menit pada cairan etanol 70%

c) Inaktif pada suhu 560 C


Dalam mengevaluasi daya tahan atau penyebaran mikroorganisme patogen

dilingkungan, kita juga harus memperhitungkan peran vektor seperti hewan pengerat

dan serangga. Hal ini berlaku untuk pengelolaan limbah layanan kesehatan baik di

dalam maupun diluar fasilitas layanan kesehatan. Vektor seperti tikus, lalat, dan

kecoa yang makan maupun bertelur pada sampah organik, disebut sebagai carrier

pasif mikroba patogen, jumlahnya akan meningkat tajam jika terjadi kekeliruan

dalam pengelolaan limbah.

2.7 Teknologi Pengolahan dan Pembuangan Limbah Medis

Menurut Prüss (dalam Harahap, 2010) beberapa pilihan teknologi pengolahan

dan pembuangan limbah medis yang dapat digunakan sebagai berikut:

1. Insinerasi

Insinerasi merupakan proses oksidasi kering bersuhu tinggi yang dapat

mengurangi limbah organik dan limbah yang mudah terbakar menjadi bahan

anorganik yang tidak mudah terbakar dan mengakibatkan penurunan yang sangat

signifikan dari segi volume maupun berat limbah. Proses ini biasanya dipilih untuk

mengolah limbah yang tidak dapat didaur ulang, dimanfaatkan kembali, atau dibuang

di lokasi landfill. Alat untuk melakukan insinerasi disebut incinerator yang harus

dioperasikan pada suhu antara 1000 0C dan 1200 0C.

2. Rotary klin

Rotary klin (tungku berputar) yang terdiri dari sebuah open berputar dan

sebuah bilik pasca pembakaran. Suhu insinerasi 1200-16000C yang memungkinkan

terjadinya penguraian bahan kimia. Rotary klin sesuai untuk kategori limbah

infeksius, limbah benda tajam, limbah patologis, limbah bahan kimia dan sediaan
farmasi serta limbah sitotoksik. Limbah yang tidak boleh diinsinerasi dengan Rotary

klin adalah kontainer bertekanan dan limbah yang mengandung logam berat

berkonsentrasi tinggi.

Biaya peralatan dan biaya operasional cukup tinggi, demikian pula dengan

energi yang dibutuhkan. Limbah produk sampingan insinerasi sangat korosif

sehingga lapisan tahan panas tungku harus sering diperbaiki atau diganti. Dibutuhkan

tenaga yang terlatih dengan baik untuk menjalankannya.

3. Desinfeksi kimia

Desinfeksi kimia yang digunakan secara rutin dalam aktivitas layanan

kesehatan untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan medis dan pada lantai

atau dinding, saat ini telah diperluas penggunaannya untuk pengolahan limbah

medis. Zat kimia ditambahkan ke dalam limbah untuk membunuh atau

menonaktifkan patogen yang ada di dalamnya, perlakuan tersebut biasanya

menyebabkan desinfeksi bukan sterilisasi. Desinfeksi kimia paling sesuai untuk

mengolah limbah seperti darah, urine dan feses. Limbah medis padat dan limbah

infeksius mencakup kultur mikrobiologis, serta limbah benda tajam juga dapat

didesinfeksi secara kimia dengan syarat desinfektan yang dipergunakan berasal dari

jenis yang kuat, yang juga termasuk bahan berbahaya dan hanya boleh digunakan

oleh petugas yang terlatih dan terlindung dengan baik. Jenis bahan kimia yang

digunakan untuk desinfeksi limbah medis seperti formaldehid, etilen oksida,

glutaraldehid, natium hipoklorit dan klor dioksida.


4. Autoclaving

Autoclaving merupakan proses desinfeksi termal basah yang efisien. Biasanya

otoklaf digunakan di rumah sakit untuk sterilisasi peralatan medis yang dapat

digunakan kembali. Peralatan tersebut hanya dapat mengolah sedikit limbah

sehingga umumnya hanya digunakan untuk limbah yang sangat infeksius misalnya

kultur mikroba atau benda tajam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inaktivasi yang efektif terhadap semua

mikroorganisme vegetatif dan kebanyakan spora bakteri dalam sedikit limbah

(sekitar 5-8 kg) memerlukan siklus 60 menit pada suhu dan tekanan minimum 1210C

sehingga kondisi tersebut memungkinkan uap untuk berpenetrasi secara maksimum

ke dalam materi limbah.

5. Sanitary landfill

Sanitary landfill adalah pembuangan limbah yang terkelola di sebuah lokasi

yang kecil, memungkinkan limbah untuk disebar merata, dipadatkan, dan ditimbun

(ditutup dengan tanah) setiap hari. Penutupan yang adekuat bagian dasar dan sisi

lubang di lokasi untuk meminimalkan pergerakan cairan dari sampah keluar dari

lokasi. Pembuangan limbah infeksius dan sedikit limbah sediaan farmasi dapat

dilakukan dengan sanitary landfill. Metode ini dapat mencegah kontaminasi tanah

dan air permukaan serta air tanah dan mengurangi pencemaran udara, bau, serta

kontak langsung dengan masyarakat umum.

6. Encapsulation (pembungkusan)

Encapsulation (pembungkusan) adalah pengolahan limbah dengan

memasukkan limbah ke dalam kontainer kemudian ditambahkan zat yang membuat


limbah tidak dapat bergerak kemudian kontainer ditutup. Proses ini dapat

menggunakan kotak yang terbuat dari drum logam yang tiga perempatnya diisi

dengan benda tajam atau residu bahan kimia atau sediaan farmasi. Kontainer atau

kotak tersebut kemudian ditutup dengan sejenis busa plastik, pasir bitumen, adukan

semen atau materi lempung. Setelah media tersebut kering, kontainer dapat ditutup

dan dibuang ke lokasi landfill.

7. Inertisasi

Proses inertisasi mencakup pencampuran limbah dengan semen dan substansi

lain sebelum dibuang guna meminimalkan resiko berpindahnya substansi yang

terkandung dalam limbah ke air permukaan atau air tanah. Proporsi campuran terdiri

dari 65% limbah farmasi, 15% batu kapur, 15% semen dan 5% air. Metode ini sangat

sesuai untuk limbah sediaan farmasi dan untuk abu insinerasi yang mengandung

logam berkadar tinggi. Proses ini tidak mahal dan dapat dilakukan dengan peralatan

yang sederhana. Tetapi inertisasi tidak bisa digunakan untuk limbah infeksi
2.8 Kerangka Berpikir

2.8.1 Kerangka Teori

Puskesmas

Kegiatan
Imunisasi
Teknologi Pengolahan Limbah medis kegiatan Mikroorganise Patogen
dan Pembuangan imunisasi : jarum suntik, di Lingkungan
Limbah disposable, flakon, ampul,
kapas, handscoon

Dampak Kesehatan Pengelolaan Limbah


Limbah Medis Medis Padat

Risiko akibat limbah


medis
Bahaya akibat limbah
infeksius dan benda
tajam

Dampak terhadap
masyarakat

Minimasi limbah

Pemilahan, pewadahan,
pemanfaatan kembali dan
daur ulang

Pengangkutan
Gambar 2.3 Kerangka Teori
(tansportasi)
Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan masyarakat bagi kasus-
Tempat penampungan
sementara pelayanan
kasus ringan atau penyakit ringan. Salah satu upaya untuk mendukung

peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) .


Pengolahan,
pemusnahan,dan
pembuangan akhir limbah
padat
Dengan penyediaan program kegiatan pelayanan imunisasi di puskesmas. Kegiatan ini

tentunya menghasilkan limbah medis sisa kegiatan imunisasi diantaranya jarum, suntik,

disposable, flakon, ampul, kapas, handscoon. Limbah medis kegiatan imunisasi ini

ditinjau dari empat aspek yaitu :

1) Teknologi pengolahan dan pembuangan limbah

2) Mikroorganisme patogen di lingkungan

3) Dampak kesehatan limbah medis dilihat dari risiko akibat limbah medis, bahaya

akibat limbah infeksius dan benda tajam, dampak terhadap masyarakat.

4) Pengelolaan limbah medis padat dilihat dari minimasi limbah, pemilahan

pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang, pengangkutan (transportasi),

tempat penampungan sementara, pengolahan pemusnahan dan pembuangan akhir

limbah padat.

2.8.2 Kerangka Konsep

Minimasi limbah

Pemilahan, pewadahan,
pemanfaatan kembali dan daur
ulang

Pengangkutan (transportasi) Pengelolaan Limbah


Medis Padat
Tempat penampungan sementara

Pengolahan, pemusnahan,dan
pembuangan akhir limbah padat

Gambar 2.4 Kerangka Konsep


BAB3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah di lakukan di sembilan puskesmas se-Kab Tangerang dan di Dinas

keshatan Kab Tangerang. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 11November – 11

Desember Tahun 2017. Jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode kualitatif

dengan pendekatan fenomenologis, selain itu juga menggunakan metode survai yang

menjelaskan sistem pengelolaan limbah medis kegiatan imunisasi se-Kab Tangerang. Subjek

dalam penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan biasa yang merupakan tenaga

kesehatan yang berada di puskesmas dan dinas kesehatan Kab Tangerang. Keseluruhan jumlah

informan yaitu 29 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari

menggunakan pedoman wawancara, observasi, dan dokumentasi. Mengenai kehadiran peneliti

dalam lapangan, yang menjadi instrument atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri, peneliti

menggunakan tape recorder dan catatan lapangan sebagai alat bantu. Tehnik analisis data

menggunakan analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan. Tehnik pengecekan keabsahan data yang digunakan peneliti adalah ketekunan

pengamatan dan triangulasi.


BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Minimasi limbah

Tahap minimasi limbah telah dilakukan oleh seluruh puskesmas yang ada di Kab

Tangerang. Kegiatan tahap minimasi limbah yang dilakukan antara lain kegiatan perawatan dan

pembersihan, penggunaan bahan produksi lebih awal, dan pengecekan tanggal kadaluarsa. Dari

ke-9 puskesmas yang ada, seluruh kegiatan minimasi limbah yang telah disebutkan di atas

dilakukan oleh seluruh puskesmas tersebut. Dalam kegiatan perawatan dan pembersihan, dalam

hal ini untuk vaksin imunisasi perlu diperhatikan pengelolaan peralatan vaksin. Pada

pengelolaannya, untuk menjaga kualitas vaksin, vaksin harus disimpan pada waktu dan tempat,

dan kendali suhu tertentu sesuai peraturan yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 42 Tahun

2013 tentang penyelenggaraan imunisasi.

Untuk ke sembilan puskesmas yang menjadi lokasi penelitian ini, sudah melakukan proses

minimasi limbah dengan cara mengelola penggunaan vaksin lebih awal dan mengecek tanggal

kadaluarsa vaksin. Jika masih ditemukan vaksin yang sudah kadaluarsa di puskesmas, maka akan

dilakukan pemusnahan dengan cara lebih dulu mengirimkan surat ke gudang farmasi yang

disusul oleh pengiriman vaksin yang sudah kadaluarsa untuk dilakukan pemusnahan di gudang

farmasi. Ini berdasarkan hasil wawancara dengan seorang informan yang mengatakan bahwa

“untuk vaksin yang kadaluarsa kami membuat berita acara”.(Ibu Dw, pengelola program

imunisasi Puskesmas Balaraja)


2) Proses Pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang

Tahap pemilahan telah diakukan oleh seluruh puskesmas meskipun dalam pelaksanaannya

masih tejadi pencampuran antara limbah medis dan limbah medis non medis. Pada tahap

pemilahan ini untuk limbah jarum suntik/ disposable seluruh puskesmas dipisahkan dengan

limbah lainnya. Limbah yang telah dipilah-pilah berdasarkan jenisnya dimasukkan ke wadah

yang disesuaikan dengan jenis limbah hasil pemilahan. Pewadahan yang dilakukan harus

menggunakan wadah berupa safety box dengan simbol biohazard, hal ini telah sesuai dengan

Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah

sakit yaitu benda tajam sebaiknya ditampung menggunakn safety box atau terbuat dari bahan

yang kuat. Sedangkan untuk pemilahan limbah berupa flakon, ampul, kapas, handscoon telah

dilakukan pemilahan yaitu dipisahkan dengan limbah non medis namun dalam hal ini wadah

yang digunakan masih belum sesuai dimanabeberapa puskesmas yaitu Puskesmas Curug,

Binong, Sindang Jaya menggunakan safety box sebagai tempat untuk membuang limbah.

Di Puskesmas Tiga Raksa pewadahannya menggunakan kantong plastik tanpa simbol biohazard

sebagai wadah flakon, ampul, kapas, handscoon dan di Puskesmas Pasir Nangka, Balaraja, Pasar

Kemis, Kota Bumi, Legok hanya menggunakan keranjang sampah biasa sebagai wadah untuk

menampung limbah. Menurut Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 penggunaan kantong

plastik dan keranjang sampah sebagai wadah menampung limbah belum sesuai.

3) Tempat Penampungan

Di Puskesmas Tiga Raksa limbah yang dipilah ditampung di dalam gudang incinerator,

dengan ukuran 2 x 2 meter. Ukuran gudang tempat penampungan ini sudah sesuai dengan

banyaknya limbah yang dihasilkan. Lokasi gudang yang dijadikan tempat penampungan ini

terpisah dari gedung utama puskesmas sehingga tidak menggangu aktifitas pelayanan
puskesmas. Frekuensi penampungan yang ada di puskesmas ini telah melebihi batas waktu yang

telah direkomendasikan yaitu ≤ 27 jam. Artinya untuk penampungan limbah yang ada sudah

mengalami penumpukan. Hal ini terjadi diakibatkan oleh incinerator yang dimiliki puskesmas

telah rusak. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu informan

Sudah lama ditumpuk diruangan incinerator sebagai tempat penampungan sementara

karena tidak diangkut (Ibu Rn,petugas sanitasi Puskesmas Tiga Raksa)

Untuk tempat penampungan sementara di Puskesmas Binong limbah di tampung dalam

sebuah ruangan yang berada di dalam puskesmas, tercampur dengan limbah lain berupa kardus

kosong. Ruangan yang digunakan tidak terkunci sehingga memungkinkan masuknya hewan

pengerat atau serangga. Sedangkan untuk lama penampungan telah >27 jam dan terjadi

penumpukan karena Puskesmas Binong tidak memiliki alat pemusnah limbah. Hal ini seperti

yang pernyataan salah satu informan

“Jemputan dari dinas belum ada, sehingga limbah medis masih menumpuk

dipuskesmas” (Ibu Li, Petugas Sanitarian Puskesmas Binong)

Sementara di Puskesmas Pasar Kemis tidak memiliki tempat penampungan sementara

limbah. Dari hasil observasi ditemukan bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan imunisasi di

letakkan dibawah tangga yang ada di puskesmas, dan lama penampungan limbah sudah >27 jam

karena puskesmas tidak memiliki incinerator.

Selanjutnya tempat penampungan limbah yang dihasilkan dari kegiatan imunisasi di

Puskesmas Kota Bumi, untuk limbah yang dihasilkan diletakkan di salah satu ruangan staf,

diletakkan didekat lemari es untuk penyimpanan vaksin. Di Puskesmas Limba B ini sudah

memiliki incinerator tapi alat ini tidak berfungsi lagi, lama penampungan limbah ini sudah >27

jam. Hal ini juga seperti peryataan dari salah satu informan
“karena tidak ada pengangkutan berarti sudah lama tertumpuk di ruang

penampungan” (Ibu Rm,Petugasa sanitasi Puskesmas Kota Bumi)

Di Puskesmas Pasir Nangka tidak memiliki tempat penampungan limbah. Limbah yang

dihasilkan dari kegiatan imunisasi ini langsung dibawa dan di masukkan ke tempat sampah

medis yang kemudian dibakar. Lain halnya di Puskesmas Curug yang memiliki incinerator

namun sudah tidak berfungsi lagi. Untuk tempat penampungan limbahnya digunakan ruangan

incinerator yang jika dilihat dari segi kelayakan tempat sudah sesuai. Tapi dari hasil observasi,

masih juga ditemukan limbah medis berupa jarum suntik/disposable yang berserakan di tanah

yang berada di samping ruangan incinerator.

Untuk Puskesmas Balaraja, tempat penampungan limbah digunakan ruangan incinerator

tapi ruangan ini tidak terkunci dan sudah ada limbah yang berserakan atau keluar dari ruangan

tersebut. Hal ini diakibatkan terjadi banjir di Puskesmas Balaraja yang berhasil menerobos

masuk ke dalam tempat penampungan sehingga safety box yang dijadikan sebagai wadah unruk

menampung limbah menjadi basah dan rusak. Jadi keadaan didalam ruangan penampungan

sudah tidak teratur dengan baik. Di puskesmas ini sudah memiliki incinerator tapi sudah tidak

berfungsi lagi sehingga terjadi penumpukan limbah dengan lama penampungan >27 jam.

Untuk Puskesmas Legok tempat penampungan limbah berada di daerah sekitar

puskesmas. Ruangan yang digunakan ini hanya ditutupi dengan terali besi, sehingga dapat

dikatakan bahwa ruangan ini merupakan ruang terbuka yang memungkinkan serangga atau

hewan pengerat dapat masuk keruangan tersebut. Di puskesmas ini juga tidak memiliki

incinerator dan lama penampungan limbah yang dilakukan sudah melebihi dari apa yang

ditentukan.
Sedangkan di Puskesmas Kota Bumi tidak memiliki tempat atau ruangan khusus untuk

menampung limbah. Tempat yang digunakan sebagai tempat penampung hanya meminjam

bangunan kantor yang berada di depan puskesmas. Walaupun sudah memiliki tempat

penampungan, tapi ruangan ini dibiarkan terbuka. Sehingga masih dalam kualifikasi tempat yang

belum sesuai. Puskesmas ini juga merupakan salah satu puskesmas yang tidak memiliki

incinerator, yang mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah. Hal ini juga disebabkan oleh

karena lama penampungan yang sudah >27 jam dari apa yang ditentukan.

Mengacu pada persyaratan tempat penampungan yang telah direkomendasikan oleh WHO,

dari ke sembilan puskesmas yang menjadi tempat penelitian tidak ada satu pun yang memenuhi

syarat yang telah direkomendasikan. Keadaan seperti ini harus diperhatikan oleh instansi yang

bersangkutan untuk perbaikan dan kelayakan sistem penampungan yang ada di masing-masing

puskesmas.
4) Pengangkutan (Transportasi)

Untuk pengangkutan jarum suntik/disposable ini diseluruh puskesmas yang ada tidak

menggunakan wadah atau tempat untuk mengumpulkan limbah melainkan jarum

suntik/disposable yang sudah berada di dalam safety box diangkut ke tempat penampungan

sementara maupun ke tempat penangan akhir limbah. Berdasarkan wawancara dengan salah satu

informan di puskesmas Tiga Raksa mengatakan :

menggunakan wadah lain tapi langsung safety box itu di angkat dan dipindahkan ke gudang

incinerator karena safety box itu sudah aman ” (Ibu RP, Petugas sanitasi Puskesmas Tiga

Raksa)

Sedangkan untuk pengangkutan flakon, ampul, kapas, handscoon di beberapa puskesmas

berbeda, seperti misalnya di puskesmas Curug, Binong, dan Balaraja diangkut menggunakan

safety box yang digunakan untuk menampung limbah tersebut. Untuk puskesmas Pasir Nangka,

Pasar Kemis, Sindang Jaya, Kota Bumi dan Legok menggunakan tempat sampah untuk

mengangkut limbah tersebut ke tempat penampungan maupun tempat pemusnahan.

Rata-rata untuk petugas yang menangani limbah di puskesmas melekat pada tugas dari petugas

sanitasi yang ada dipuskesmas. Namun di puskesmas Pasar Kemis, Sindang Jaya dan Kota Bumi

yang bertugas mengangkut limbah adalah cleaning service, sehingga banyak kendala yang

dihadapi dalam pengangkutan limbah.. Hanya di Puskesmas Pasir Nangka, Curug, Legok, Tiga

Raksa, dan Balaraja yang menggunakan handscoon disaat menangani limbah. Itu pun belum

sesuai karena handscoon yang digunakan masih saja bisa ditembus oleh benda tajam.
Jadi untuk pengangkutan limbah, di Sembilan puskesmas ini belum memperhatikan hal-hal

atau standar yang ditentukan dalam pengangkutan, karena masih banyak hal-hal yang belum

sesuai seperti alat yang digunakan untuk mengangkut serta alat pelindung yang digunakan.

5) Pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah medis padat

Untuk penanganan akhir jarum suntik/disposable di Puskesmas Curug dan Binong pernah

dimusnahkan dengan cara dibakar/ditimbun ada juga yang dibuang ke TPA. Hal ini disebabkan

karena puskesmas ini tidak memiliki fasilitas atau alat untuk memusnahkan limbah atau mamiliki

alat namun sudah tidak dapat difungsikan. Namun saat ini penanganan seperti ini tidak dilajutkan

lagi karena lahan yang digunakan untuk penimbunan dan pembakaran sudah tidak ada lagi

sehingga terjadi penumpukan.

Di Puskesmas balaraja pemusnahannya hampir sama dengan puskesmas Curug dan

Binong. Bedanya di puskesmas sama sekali tidak memilikialat pemusnah limbah. Kondisi ini

didukung dengan adaya pernyataan dari salah satu informan yaitu

“Karena limbah medis di puskesmas paling banyak adalah jarum suntik sehingga

penanganannya sederhana, tidak memerlukan peralatan dan tenaga yang fungsional,

seharusnya limbah itu dimusnahkan lewat incinerator tapi incinerator di kota tidak ada

jadi kita hanya menggunakan galian dan dibakar” (Bpk Al, Kepala Puskesmas Balaraja)

Cara penanganan yang seperti ini tidak sesuai dengan Permenkes RI

1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa benda tajam harus diolah dengan incinerator . Lain halnya

dengan Puskesmas Tiga Raksa yang melakukan pemusnahan jarum suntik menggunakan nidle
destroyer untuk menghancurkan jarum suntik ini sudah tepat dan untuk dispo dibakar dengan

limbah lainnya di tempat sampah medis yang telah disediakan di puskesmas.

Sedangkan untuk Tiga Raksa, Binong, Sindang Jaya, Lego, dan Curugktidak melakukan

pemusnahan, dimana limbah dibiarkan menumpuk di tempat penampungan sementara karena

puskesmas tidak memiliki fasilitas yang mendukung pengelolaan limbah dan ada juga

incinerator yang mereka miliki sudah tidak berfungsi lagi. Hal ini dibenarkan dari hasil

wawancara Kepala PuskesmasCurug yang menyatakan bahwa

“sarana tidak bisa difungsikan lagi, sehingga limbah medis menjadi tertumpuk”. (Ibu

Lp, Kepala Puskesmas Curug)

Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hampir seluruh puskesmas di Kab Tangerang

belum melakukan pemusnahan limbah dengan baik, kecuali Tiga Raksa.

Untuk penanganan akhir flakon, ampul, kapas, handscoon di Puskesmas Curug, Binong, dan

Balaraja dimusnahkan dengan cara dibakar/ditimbun seperti hasil wawancara dengan salah satu

informan yang mengatakan

“untuk flakon, ampul, kapas, handscoon dimusnahkan dengan dengan cara dibakar di dalam

tempat sampah medis”.(Bpk, My, Petugas Sanitasi Puskesmas Balaraja)

Hal ini tidak sesuai dengan Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa untuk

limbah infeksius sebaiknya di musnahkan menggunakan incinerator, karena ampul dan flakon

terbuat dari bahan kaca/tajam maka tidak akan cepat musnah jika tidak dilakukan pembakaran

dengan suhu yang tepat.

Jadi untuk cara pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah medis padat di

Sembilan puskesmas se-Kota Gorontalo belum sesuai dengan apa yang di rekomendasikan dalam

Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004.
BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa proses pengelolaan limbah medis kegiatan

imunisasi dilihat dari kegiatan minimasi limbah telah terlaksana dengan baik. Sedangkan dalam

hal kegiatan pemilahan, pewadahan, penampungan, pengangkutan, dan pemusnahan masih

kurang maksimal. Kendala paling besar terletak pada proses pemusnahan akhir.

Saran

Saran bagi puskesmas harus mengatur jadwal pengiriman limbah tidak lebih dari 72 jam

(3 hari) waktu tampung, harus merencanakan dan melakukan pembenahan / menata kembali

manajemen sistem pengelolaan limbah medis yang masih terbatas dari segi sumber daya dan

fasilitas, puskesmas dapat memilih tahapan-tahapan sistem pengelolaan yang praktis dengan

menyesuaikan kuantitas limbah yang dihasilkan seperti pengadaan autoclave, needle cutter,

needle burner sebagai alat pemusnah limbah. Dan untuk Dinas Kesehatan di sarankan juga untuk

segera melakukan perbaikan incinerator yang sudah rusak serta perlu menyediakan poster-poster

informasi mengenai hal-hal yang dapat menimbulkan resiko pajanan limbah medis bagi petugas

yang menangani limbah.


Daftar Pustaka

Kementrian Kesehatan Indonesia. 2013. Kepmenkes RI No. No. 42 Tahun 2013


tentang penyelenggaraan imunisasi. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. 2017. Modul Pelatihan Kepasitas Petugas Imunisasi Rumah
Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan Swasta. Tangeran :Dinkes Kab.Tangerang
Kementrian Kesehatan Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Depkes
RI
Pruss A, Giroul T, Rushbrook. 2005. Pengelolaan Aman Limbah Layanan
Kesehatan. Jakarta :EGC
Salmonella sp adalah jenis Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora,
motil (bergerak dengan flagel peritrik) serta mempunyai tipe metabolisme yang bersifat fakultatif
anaerob.Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriacea. Ukurannya 2 - 4 mikrometer x 0,5 – 0,8
mikrometer. Sifat

Anda mungkin juga menyukai