Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS FARMASI

DISENTRI BASILER DENGAN DEHIDRASI BERAT

Oleh:
Nurul Hidayah
G99172130

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disentri basiler, shigellosis merupakan suatu infeksi akut yang mengakibatkan
radang pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang ditandai gejala diare,
adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus (Tjokroprawiro,
2007).
Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Shigellosis
terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab tersering ketiga diare bakterial di
negara maju (Mandal, 2004). Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus
Shigella. Disentri basiler terdapat, terutama di negara sedang berkembang dengan
lingkungan yang kurang dan penghuni yang padat. Disentri mudah menyebar pada
kondisi lingkungan yang jelek (Tjokroprawiro, 2007). Di dunia sekurangnya 200 juta
kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur
5 tahun.
Gejala yang muncul pada disentri basiller bersifat berat dan jika tidak tertangani
dengan baik maka dapat menyebabkan dehidrasi berat hingga kematian.
A. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan disentri
basiller dengan dehidrasi berat.
B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan disentri basiller
dengan dehidrasi berat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Disentri basiler, shigellosis merupakan suatu infeksi akut yang mengakibatkan
radang pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang ditandai gejala diare,
adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus (Tjokroprawiro,
2007).

B. Epidemiologi
Shigellosis terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab tersering ketiga diare
bakterial di negara maju (Mandal, 2004). Disentri basiler terdapat, terutama di negara
sedang berkembang dengan lingkungan yang kurang dan penghuni yang padat. Disentri
mudah menyebar pada kondisi lingkungan yang jelek (Tjokroprawiro, 2007). Di dunia
sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun.
Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centres for Disease
Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit
di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita
diare berat, ditemukan 5% bakteri shigella (Sudoyo, 2007). Setiap tahun, sekitar 14.000
kasus Shigellosis dilaporkan di Amerika Serikat. Karena banyak kasus ringan yang tidak
didiagnosis atau dilaporkan, jumlah infeksi mungkin dua puluh kali lebih besar (CDC,
2009).

C. Etiologi
Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus Shigella. Shigella adalah
basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. ada 4 spesies shigella yaitu S.
dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.
sonnei adalah satu-satunya spesies yang memiliki serotipe tunggal (Sudoyo, 2007).
Dengan pengecualian S. sonnei, masing-masing spesies dapat dibagi lagi menjadi
serotipe berdasarkan reaktivitas dengan serum hiperimun: S. dysenteriae (15 serotipe), S.
flexneri (6 serotipe dan 2 varian), & S. boydii (20 serotipe) (serotyping shigella) (WHO,
2010). Jumlah bakteri yang diperlukan untuk menginfeksi rendah (10-100 organisme)
(Mandal, 2004).
4
D. Patogenesis
Shigella masuk ke dalam tubuh per oral. Karena mampu bertahan terhadap pH
rendah, Shigella dengan mudah melewati asam lambung. Terjadi invasi sel epitel kolon,
yang diawali dengan melekatnya bakteri, masuk sel dengan cara endositosis dan berada
di sitoplasma. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kerusakan dan kematian sel yang
akan berakibat ulserasi mukosa. Sifat penting lain adalah kemampuan membuat
enterotoksin. Toksin berperan atas pathogenesis komplikasi mikroangiopati, hemolytic
uremic syndrome, thrombotic thrombocytopenic purpura.
Enterotoksin lain menyebabkan gangguan transportasi elektrolit dan menyebabkan
sekresi cairan ke lumen usus. Pada shigellosis permukaan epitel mengalami ulserasi yang
ekstensif. Dengan eksudat terdiri dari sel kolon yang terkelupas, leukosit PMN, eritrosit.
Lamina propria mengalami edema dan hemoragik, serta mengalami infiltrasi neutrofil
dan sel plasma. Ulserasi pada tempat tertentu menyerupai pseudomembran. Perubahan
histologi diduga akibat endotoksin kuman. Imunitas dapat timbul dan bersifat serotipe
spesifik (Tjokroprawiro, 2007).

E. Gejala klinis
Masa tunas dari beberapa jam-3 hari. Mulai gejala awal sampai timbulnya gejala
khas biasanya cepat. Gejala yang khas adalah defekasi sedikit-sedikit, terus menerus,
sakit perut kolik, tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat.
Sakit perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warna kemerah-
merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja dijumpai
sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag.
Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa terjadi renjatan
septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang prolaps. Hemoroid yang ada
sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian dapat terjadi karena gangguan sirkulasi
perifer, anuria, koma uremikum, dan sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro,
2007).
Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare menghilang
spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia, kehilangan air dan
elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan bahkan kematian. Penyakit yang
disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-kadang dapat sangat parah.

5
Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam waktu
singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan dapat mengalami
serangan penyakit secara berulang. Setelah sembuh dari infeksi, kebanyakan orang
membentuk antibodi sirkulasi terhadap shigella, tetapi antibodi ini tidak mencegah
terjadinya infeksi ulang (Jawtez, 2008).
Tabel 1. Derajat dehidrasi pada diare dewasa

F. Diagnosis
Diagnosis penyakit disentri dapat di tegakkan dengan pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting.
Biasanya tinja berbau busuk,berlendir dan bercampur darah.
Pemeriksaan ini meliputi :
6
 Makroskopis: Disentri amoeba dapat di tegakkan bila di temukan bentuk
tropozoit dan kista dalam tinja
 Benzidin test
 Mikroskopis: Leukosit fecal (petanda adanya kolitis ),darah fecal
b. Biakan tinja
Media agar mc-conkey, xylose-lysinedioxycholate (XLD), agar SS.
c. Pemeriksaan darah rutin
Leukositosis (5000-15000 sel/mm3), kadang ditemukan leukopenia.

G. Penatalaksanaan
Pada infeksi ringan umumnya dapat sembuh sendiri, penyakit akan sembuh dalam
4-7 hari. Pasien perlu istirahat untuk mencegah dan memperbaiki dehidrasi. Penyebab
kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral,
sesuai derajat dehidrasi. Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi.
1. Rehidrasi
Dehidrasi berat
Kekurangan cairan >9% dari kebutuhan normal/berat badan
Terapi :
Kebutuhan cairan : 112/100 x 30 sampai 40cc/kgBB/hari
Dalam satu jam pertama 50% defisit cairan harus diberikan, setelah itu 3 jam
berikutnya diberikan sisa defisit, selanjutnya diberikan sesuai dengan kehilangan
cairan melalui feses
2. Antibiotik
Ampisilin dan TMP-SMZ efektif untuk jenis yang rentan; amoksisilin kurang efektif
daripada ini karena penyerapannya cepat tinggi di saluran GI. Rute oral lebih disukai
kecuali untuk pasien yang sakit parah. Di Amerika Serikat, data pengawasan sentinel
dari 2003-2006 menunjukkan bahwa 94% S sonnei dan 67% organisme S flexneri
resisten terhadap ampisilin dan TMP-SMZ. WHO sekarang merekomendasikan
bahwa kasus-kasus disentri Shigella yang didiagnosis secara klinis diobati dengan
siprofloksasin sebagai pengobatan lini pertama, dan pivmecillinam (tidak tersedia di
Amerika Serikat), ceftriaxone, atau azithromycin sebagai pengobatan lini kedua dan
daftar yang lain tidak efektif (WHO 2005a). Namun, resistensi terhadap kuinolon
juga telah diamati sejak akhir 1990-an, dan beberapa penulis telah mempertanyakan

7
efektivitas kelas ini untuk Shigella. Pilihan antibiotik untuk digunakan sebagai lini
pertama melawan Shigella disentri harus diatur oleh pola sensitivitas antibiotik lokal
yang diperbarui secara berkala dari isolat Shigella.
3. Anti diare
Obat anti diare (diphenoxylate hydrochloride dengan atropine [Lomotil] atau
loperamide [Imodium]) tidak boleh digunakan karena risiko memperpanjang
penyakit. WHO telah memperkenalkan penggunaan Zinc selama 10-14 hari sebagai
bagian dari program pengendalian penyakit diare selain terapi rehidrasi oral.

H. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit ini dapat di lakukan dengan jalan:
1. Memperhatikan pola hidup sehat dan bersih
2. Menjaga kebersihan makanan dan minuman dari kontaminasi kotoran dan serangga
pembawa kuman
3. Menjaga kebersihan lingkungan
4. Membersihkan tangan dengan baik sesudah buang air besar atau sebelum makan
dan
5. Mencegah terjadinya dehidrasi

I. Prognosis
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali  bila mendapatkan
pengobatan dini. Namun, pada bentuk sedang, biasanya angka kematian rendah. Bentuk
dysentriae  biasanya berat dan masa penyembuhan lama, meskipun dalam bentuk yg
ringan.

J. Komplikasi
Dapat timbul komplikasi shigellosis:
1. Ekstraintestinal terutama oleh S. dysenteriae tipe 1, S. flexneri
2. Bakteremia pada AIDS
3. Artritis: masa penyembuhan, sendi besar (lutut)
4. Neuritis perifer, iritis, iridosiklitis, peritonitis jarang.
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dapat timbul akibat infeksi oleh S.
dysenteriae tipe 1, dengan gejala:

8
1. Oligouria, anuria yang progresif, gagal ginjal
2. Penurunan hematokrit, anemia progresif
3. Reaksi leukomoid, trombositopenia
4. Hiponatremia, hipoglikemia
5. Gejala susunan saraf pusat, ensefalopatia, perubahan kesadaran.
(Tjokroprawiro, 2007).

9
BAB III
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. W
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jebres
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Pemeriksaan : 8 Februari 2019
No. RM : 011467XX

B. Keluhan Utama
BAB berdarah dan berlendir

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan saat buang air besar tinja disertai darah dan lendir.
Keluhan sudah dirasakan sejak 1 hari ini, pasien mengaku diare dan bolak-balik BAB
mencret sebanyak + 7 kali hingga sebelum ke rumah sakit. Tinja berupa ampas berwarna
kuning, terdapat lendir dan darah. Selain itu pasien mengaku demam. Pasien mengaku
saat buang air besar terasa nyeri dan tinjanya berbau busuk. Pasien juga merasa perut
sebelah kirinya melilit. Pasien merasa lemas, nafsu makan dan minum menurun,
tenggorokan dan mulut terasa kering. Pasien mengaku 1 hari yang lalu makan jajan di
warung makan dekat rumah.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


a. Riwayat kelainan serupa : (-)
b. Riwayat dirawat di RS : (-)
c. Riwayat alergi obat dan makanan : (-)

E. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga

10
a. Riwayat kelainan serupa : (-)
b. Riwayat alergi obat dan makanan : (-)

F. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan
cukup
B. Status gizi BB : 50 kg
TB : 155 cm
BMI : 20,81 kg/m2
Kesan : Status Gizi Normoweight
Tanda Vital Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 110x/menit, lemah
Frekuensi Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 38,50C
C. Kulit Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
turgor lambat, hiperpigmentasi (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban
(+), mudah rontok (-), luka (-), atrofi
m.temporalis(-).
E. Mata Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-),
cekung (+/+)
F. Mulut Trismus (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), kering
(+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)
G. Leher JVP (R+2), trakea di tengah, simetris,
pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-)
H. Thorax Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
(-), atrofi m. Pectoralis (-), ginecomasti (-), spider
nevi (-) regio infra clavicula, pernafasan
torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

11
Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea
parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea
parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III lateral parasternalis
sinistra
Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).

Pulmo :
Depan
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar
Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi Statis Simetris
Dinamis Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =
ki, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Kiri Sonor
Kanan Sonor

Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara


tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)
basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas meningkat, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-),
ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Belakang
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
mendatar
Dinamis Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela

12
iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)
Palpasi Statis Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak
melebar, retraksi (-),
Dinamis Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba
kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri
Perkusi Sonor /Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),
ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),
krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas normal,
wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah
halus (-), krepitasi (-)

I. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok


kostovertebra (-),
J. Abdomen
Inspeksi Dinding perut sejajardinding thorak, bekas luka
operasi (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),
caput medusae (-)
Auscultasi Peristaltik (+) meningkat, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi Perut keras seperti papan (-), timpani, pekak sisi
(-), pekak alih (-),undulasi (-), area trobe
tymphani, NKCV (-/-)
Palpasi Perut keras seperti papan (-), nyeri tekan (+)
perut sebelah kiri, hepar/ lien sulit dievaluasi.
K. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), nyeri
(-)
L. Ekstremitas
Superior dekstra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-)
petechie (-), Spoon nail (-)kuku pucat (-),clubing
finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar eritema (-),
CRT .>4 detik
Superior sinistra Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat
(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
eritema (-), CRT .>4 detik
13
Inferior dekstra Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-), CRT .>4 detik
Inferior Sinistra Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku
pucat(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-),
nyeri tekan (-), CRT .>4 detik

G. Diagnosis Banding
Disentri Basiler
Disentri Amoeba

H. Diagnosis
 Disentri Basiler

I. Tujuan Terapi
 Memperbaiki keadaan umum
 Menangani kegawatan

J. Terapi
 IVFD Ringer lactat
 Ciprofloxacin 2 x 500 mg p.o
 Parasetamol 3 x 500 mg p.o

Penulisan resep :
R/ Infus Ringer Lactat fl 500cc No.IV

Cum infuse set No. I

Iv 3000 No. I

Abbocath no. 22 No. 1

Three way No. I

∫ imm 1 jam pertama 50 tpm, selanjutnya 20 tpm


14
R/ Ciprofloxacine tab mg 500 No. X

∫ 2 dd 1

R/ Parasetamol tab mg 500 No. X

∫ 3 dd tab I

Pro : Ny. W (25 tahun)

15
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

1. Cairan infus ringer lactat


 Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa =
28-30 mEq/l.
 Kemasan : 500, 1000 ml.
 Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah
komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung
cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah.
Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi
saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan
cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.
 Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok
hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan
hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam
laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
 Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
 Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya
paru-paru.
 Peringatan dan Perhatian : ”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-
hati pemberian pada penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal
function & pre-eklamsia.
2. Natrium Chlorida 0,9% cairan infus
 Komposisi : Per 1000 ml Na 154 meq/L, Cl 154 meq/L (Natrium Chlorida 9 g, water
for injection 1000 ml). Osmolaritas 308 mOsm/L.
 Dosis :
Diberikan sesuai kondisi pasien. Biasanya digunakan untuk mengganti cairan yang
hilang atau menjaga balance cairan.
 Farmakodinamik :
Cairan salin normal terdiri atas 154 mmol/L natrium dan 154 mmol/L
klorida. Serum memiliki tingkat osmolaritas dan osmolalitas yang serupa,

16
285-295 mOsm/L (osmolaritas) dan mOsm/kg (osmolalitas). Cairan salin
normal memiliki tingkat osmolaritas dan osmolalitas yang hampir serupa
dengan serum sehingga disebut sebagai cairan isotonik. Osmolaritas
cairan infus ini adalah 308 mOsmol/L dan osmolalitas 286 mOsmol/kg.
Cairan salin normal merupakan cairan kristaloid yang terdiri atas
molekul kecil air. Cairan salin normal terdistribusi pada kompartemen
ekstraseluler yakni intravaskluar dan intersisial. Selain cairan kristaloid,
terdapat juga cairan koloid yang dapat digunakan sebagai pengganti
volume cairan tubuh.
 Farmakokinetik:
Cairan salin normal diadministrasikan langsung dalam sirkulasi sistemik
dengan jalur intravena. Bioavaibilitas masing-masing komponen aktifnya
100%. Setelah pemberian dengan infus, cairan salin normal terdistribusi
pada kompartemen ekstraseluler dan bertahan dalam tubuh untuk waktu
yang lama. Pada pasien normovolemik, pemberian cairan salin normal
membuat peningkatan cairan pada kompartemen intrvaskular selama 6
jam. Kelebihan air dieksresikan melalui ginjal dan feses, sebagian kecil
diekskresikan melalui kulit dan paru-paru.
 Indikasi :
Hiponatremia atau sindrom rendah garam. Mengembalikan keseimbangan cairan
tubuh dan Natrium Chlorida, pengganti cairan ekstraseluler, terapi untuk alkalosis
metabolik, pelarut untuk obat yang diberikan secara iv drip.
 Interaksi obat :
Natrium Chlorida memiliki kompatibilitas farmakologis dengan sejumlah besar obat.
Ini berkat properti ini yang sering diresepkan untuk pembubaran atau pengenceran
banyak obat.
 Efek samping :
Demam, abses, nekrosis jaringan atau infeksi pada tempat suntikan, trombosis vena
atau hipervolemia.
 Peringatan dan perhatian :
Hipernatremia, retensi cairan.
 Sediaan :
Natrium Chlorida 0.9% flush 100ml, 500ml
3. Ciprofloxacin tab

17
Ciprofloxacin merupakan bakterisid dengan mekanisme kerja menghambat relaksasi
DNA, menghambat girase DNA pada organisme yang rentan, dan mempromosikan
kerusakan DNA beruntai ganda. Digunakan pada kasus infeksi tulang, saluran kemih,
diare, infeksi saluran napas bawah, dan kulit. Pada infeksi shigella dosis yang dianjurkan
2 x 500 mg perhari selama 5-7 hari p.o, atau 2g single dose.
Farmakokinetik/farmakodinamik :
a. Absorpsi :
Bioavaibilitas : 50-85%
Peak plasma time : immediate release : 0,5-2 hari; extended release : 1-2,5 hari
Distribusi :
Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh; terutama pada ginjal, kantong empedu,
hati, paru-paru, jaringan ginekologi, dan jaringan prostat; konsentrasi cairan
serebrospinal (CSF) adalah 10% pada meninges noninflamed dan 14-37% pada
meninge yang meradang; melintasi plasenta; memasuki ASI
Terikat Protein: 20-40%
Vd: 2.1-2.7 L / kg
c. Metabolisme :
Dimetabolisme di hepar, enzime inhibitor : CYP1A2
d. Eliminasi :
Waktu paruh : 2-5 jam (anak), 3-5 jam (dewasa)
Ekskresi : Urine (30-50%), feces (15-43%)
4. Parasetamol tab
Parasetamol merupakan obat analgetik dan antipiretik simptomatik. Sifat antipiretik
disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek
sentral. Efek analgetik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai
sedang. Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah. Relatif aman penggunaannya
dalam dosis terapi. Dosis dewasa 3-4 x 500 mg/ hari. Dosis anak 10 mg/kgBB/per kali
pemberian.
Farmakodinamik :
 Parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang mempunyai efek mengurangi
nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik). Parasetamol mengurangi
nyeri dengan cara menghambat impuls/rangsang nyeri di perifer. Parasetamol
menurunkan demam dengan cara menghambat pusat pengatur panas tubuh di
hipotalamus.
18
 Parasetamol merupakan penghambat enzim COX (cyclooxygenase)-1 dan COX-2
yang lemah di jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-
inflamasi/anti-radang. Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi
bila lingkungan yang rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus sedangkan
lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan
leukosit, hal inilah yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada.
Studi terbaru menduga parasetamol juga menghambat COX-3 di susunan saraf
pusat yang menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.

Indikasi :
 Mengurangi nyeri pada kondisi : sakit kepala, nyeri otot, sakit gigi, nyeri pasca
operasi minor, nyeri trauma ringan.
 Menurunkan demam yang disebabkan oleh berbagai penyakit. Pada kondisi
demam, parasetamol hanya bersifat simtomatik yaitu meredakan keluhan demam
(menurunkan suhu tubuh) dan tidak mengobati penyebab demam itu sendiri.

Kontraindikasi
 Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif atau alergi terhadap
Parasetamol.
 Penderita gangguan fungsi hati berat.

Sediaan dan Dosis


 Paracetamol Tablet
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
 Paracetamol Sirup 120 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 120 mg.

Efek Samping
 Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.
 Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati.
 Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam, kemerahan kulit, bengkak di wajah
(mata, bibir), sesak napas, dan syok.
Peringatan dan Perhatian

19
 Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, perlu observasi lebih lanjut.
 Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter.
Penggunaan paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan dapat menyebabkan
efek samping yang serius dan overdosis.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada penderita penyakit hati/liver, penyakit
ginjal dan alkoholisme. Penggunaan Parasetamol pada penderita yang
mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan fungsi hati.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada penderita G6PD (Glukosa-6-Fosfat
Dehidrogenase) deficiency.
 Hati-hati penggunaan Parasetamol pada wanita hamil dan ibu menyusui.
Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari pada risiko janin atau
bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI namun efek pada bayi belum
diketahui pasti.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et
al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York:
Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.

Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.

Jawetz, E. 1995. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. Edisi 16. 303-306. Jakarta:
EGC.
Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors.
Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York:
Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Cetak Ulang 2001. Jakarta: Bagian
Farmakologi FK UI.
Tjokroprawiro, Askandar, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:
Airlangga University Press.

21

Anda mungkin juga menyukai