FRAKTUR SIKU
Fraktur siku umumnya dijumpai dalam pengaturan perawatan akut. Pola
cedera untuk anak-anak dan orang dewasa sangat berbeda. Fraktur siku
termasuk fraktur ekstraartikular dan intraartikular. Fraktur ekstraartikular
termasuk fraktur interkondilaris, fraktur suprakondilaris, fraktur epicondylar, dan
fraktur kondilus. Fraktur intraartikular termasuk fraktur trochlea dan capitellum,
kepala radial, fraktur ulnaris proksimal. Dokter pemeriksa harus melakukan
pemeriksaan neurovaskular menyeluruh dengan semua fraktur siku yang
dicurigai; mengenali pola fraktur yang halus; memberikan imobilisasi yang
memadai; dan menilai apakah patah tulang memerlukan perawatan, evaluasi
ortopedi langsung, atau rujukan yang kurang mendesak.
Mekanisme cedera untuk sebagian besar fraktur siku adalah trauma siku
langsung atau jatuh ke tangan yang terulur. Pasien mungkin mengalami hal
berikut:
- Rasa sakit
- Pembengkakan
- Berkurangnya rentang gerak
Infeksi.
Muncul jaringan parut pada otot, sehingga otot menjadi tidak lentur dan
berkurang fungsinya.
Amputasi.
Kerusakan saraf permanen.
Rhabdomyolysis.
Gagal ginjal.
Kematian.
4. Fraktur Cruris
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat, 2004).
Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari dua tulang panjang
yaitu tulang tibia dan fibula. Lalu 1/3 distal dextra adalah letak suatu patahan
terjadi pada 1/3 bawah dari tungkai sebelah kanan. Jadi pengertian dari fraktur
cruris 1/3 distal dextra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan
fibula yang terletak pada 1/3 bagian bawah sebelah kanan.
Pada fraktur cruris 1/3 distal dextra disebabkan karena adanya trauma pada
tungkai bawah kanan akibat benturan dengan benda yang keras, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Dalam kasus fraktur cruris 1/3 distal dextra, tindakan yang biasa dilakukan untuk
reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau operasi. Ini dilakukan
karena pada kasus ini memerlukan pemasangan internal fiksasi untuk mencegah
pergeseran antar fragmen pada waktu proses penyambungan tulang (Apley,
1995).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat
berupa intra medullary nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan
lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri,
keterbatasan lingkup gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai
bawah.
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan
jaringan otot. Pada fraktur cruris 1/3 distal dextra upaya penanganan dilakukan
tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal
pertama yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan
terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh
darah terpotong dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan
menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan
menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien
cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan perlengketan
jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup
gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan penurunan nilai kekuatan
otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan
individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara
lain : usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan
darah pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan
yang paling penting adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami
perpatahan. Apabila stabilitas antar fragmen baik maka penyembuhan akan
sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan atau diperlukan.
a. Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur
(Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah pada tulang yang
berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
b. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
c. Pembentukan callus
d. Konsolidasi
e. Remodeling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur
normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya,
semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).