Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajakadalahpungutanwajib dari rakyatuntuk negara. Setiapsen uangpajak yang


dibayarkanrakyatakanmasukdalam pos pendapatan negara darisektorpajak.
Penggunaannyauntukmembiayaibelanjapemerintahpusatmaupundaerah demi
kesejahteraanmasyarakat.
Rakyat yang membayar pajak tidak akan merasakan manfaatdaripajak secara
langsung. Pajak digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
pribadi. Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk melakukan
pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak
dapat dipaksakan karena dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Pajak Penghasilan Pajak 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus
dibayarsendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
AngsuranPajakPenghasilan Pajak 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak
terhadap pajakyangterutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun
pajak yang dilaporkandalamSurat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.
Kredit pajak merupakan perhitungan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau
dipungut pada awal periode. Dalam setiap Tahun Pajak yang berjalan,
Wajib Pajak harus melunasi pajak yang diperhitungkan akan terutang pada
Tahun Pajak tersebut.
PP 46/2013 untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan
badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri
ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan
yang terutang;
A. Rumusan Masalah
1. Apa itu PPh pasal 25?
2. Apa saja dasar hukum PPh pasal 25?
3. Apa saja objek dari PPh pasal 25?
4. Bagaimana cara penghitungan PPh pasal 25?
5. Apa pengertian dari Kredit Pajak?

1
6. Apa saja dasar hukum dari Kredit Pajak?
7. Apa saja jenis – jenis dari Kredit Pajak?
8. Kondisi apa saja yang tidak boleh dikreditkan?
9. Siapa saja yang boleh melakukan kredit pajak?
10. Apa hal yang penting sebelum mengembalikan kelebihan bayar kredit pajak?
11. Siapa saja pejabat yang berwenang untuk memeriksa kredit pajak?
12. Apa itu PP 46/2013?
13. Apa saja keuntungan dari PP 46/2013 bagi UMKM?
14. Bagaimana cara mendaftar untuk memanfaatkan tarif pajak 0,5%?
15. Jelaskan pasal dari PP 46/2013!
16. Bagaimana cara perhitungan PP 46/2013?
B. Tujuan Penulisan
1. Untukmengetahuipengertian dari PPh pasal 25, Kredit Pajak serta PP 46/2013.
2. Untuk mengetahui mengenai dasar hukum dari PPh pasal 25 dan Kredit Pajak
3. Untuk mengetahui cara perhitungan dari PPh pasal 25 dan PP 46/2013
4. Untuk mengetahui objek dari PPh pasal 25
5. Untuk mengetahui jenis – jenis dari Kredit Pajak
6. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh melakukan kredit pajak dan siapa saja
pejabat yang berwenang untuk memeriksa Kredit Pajak
7. Untuk mengetahui hal penting sebelum mengembalikan kelebihan bayar dari
Kredit Pajak
8. Untuk mengetahui apa saja keuntungan dari PP 46/2013 dan bagaimana cara
mendaftarkannya
9. Untuk mengetahui pasal yang ada di PP 46/2013

2
II. PEMBAHASAN

II.1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

Dalam pembayaran pajak, mungkin tidak semua Wajib Pajak dapat membayar pajak secara
keseluruhan. Agar tidak membebani, maka angsuran atau cicilan dikenakan dengan mengikuti
mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Berbeda dengan jenis pajak penghasilan lainnya,
PPh Pasal 25 memiliki kategori dan cara penghitungannya sendiri. Adapun ketentuannya akan
dibahas lebih lanjut dalam penjelasan berikut.

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25

Seperti yang diketahui, Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan Usaha diharuskan untuk
membayar pajak yang terutang dan harus dilunasi dalam jangka waktu satu tahun. Namun dalam
praktiknya, mungkin terdapat kesulitan bagi Wajib Pajak dalam melunasi pembayarannya
sehingga pembayaran pajak secara angsuran akan lebih memudahkan. Pembayaran pajak
penghasilan secara angsuran ini adalah pengertian dari PPh Pasal 25 yang memang tujuannya
ingin meringankan beban Wajib Pajak sehingga tetap dapat memenuhi kewajibannya.

Adapun ketentuannya dalam PPh Pasal 25 adalah Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha
akan membayar angsuran Pajak Penghasilan setiap bulannya. Batas waktu pembayaran PPh
Pasal 25 adalah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari masa pajak yang akan
dibayarkan. Apabila ada keterlambatan dalam penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25, terdapat
sanksi yang berlaku yaitu dikenakan bunga sebesar 2% per bulan dari tanggal jatuh tempo hingga
tanggal pembayaran.

Dasar Hukum
1. Pasal 25 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember
2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun
Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa
Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala termasuk wajib pajak
orang pribadi pengusaha tertentu.

3
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-5573/PJ/2000 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak berjalan dalam hal-
hal tertentu.
4. Peraturan Dirjen Pajak: Per-10/PJ/2009 tentang Pengurangan Besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 dalam Tahun 2009 bagi Wajib Pajak yang mengalami
perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha
5. Keputusan Dirjen Pajak: KEP-207/PJ/2001 tentang Kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan masa PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

B. Kategori Pajak Penghasilan Pasal 25

Wajib Pajak Orang Pribadi

 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP–OPPT) adalah Wajib Pajak


yang melakukan kegiatan usaha baik secara grosir atau eceran, penjualan barang ataupun
jasa di satu atau lebih tempat usaha. Adapun ketentuan tarif PPh Pasal 25 bagi WP-OPPT
adalah 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP–OPSPT) adalah Wajib
Pajak berstatus pekerja bebas atau karyawan yang tidak memiliki usaha sendiri. Adapun
ketentuan tarif PPh Pasal 25 bagi WP-OPSPT adalah dengan penghitungan Penghasilan
Kena Pajak (PKP) x tarif PPh 17 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (12
bulan).

Tarif PPh 17 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sendiri adalah sebagai berikut:

 Penghasilan sampai Rp50.000.000 per tahun = 5%


 Penghasilan Rp50.000.000–Rp250.000.000 per tahun = 15%
 Penghasilan Rp250.000.000–Rp500.000.000 per tahun = 25%
 Penghasilan di atas Rp500.000.000 per tahun = 30%

Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak Badan Usaha adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha tetap dan
memiliki kewajiban sebagai pembayar, pemotong atau pemungut pajak. Ketentuan tarif PPh
Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan adalah PKP x 25% tarif PPh Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

4
C.Cara Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25

PPh Pasal 25 dituliskan dalam bentuk SPT Tahunan dengan penghitungannya selama setahun
sekali setelah data penghasilan sudah lengkap selama satu tahun tersebut. Biasanya juga
penghitungannya dilakukan setelah laporan keuangan sudah memasuki masa tutup buku tahunan.
Dalam ketentuannya, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak berikutnya setelah
tahun pelaporan di SPT Tahunan dihitung sebesar PPh Pasal 25 yang terutang pajak tahun lalu
yang dikurangi pajak penghasilan berikut ini :

 PPh Pasal 21 (sesuai tarif Pasal 17 Ayat (1) bagi pemilik NPWP dan tambahan sebesar
20% bagi yang tidak memiliki NPWP)
 PPh Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah –  2% berdasarkan
sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa)
 PPh Pasal 22 (pungutan sebesar 100% bagi yang tidak memiliki NPWP)
 PPh Pasal 24 yaitu pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri dan boleh
dikreditkan.

Contoh penghitungan PPh Pasal 25

PT Langit Merah bergerak di bidang produksi makanan dimana penjualannya dimasukkan ke


banyak supermarket atau toko besar. Tidak hanya itu, Perusahaan ini juga melakukan ekspor di
luar negeri seperti Thailand dan Korea. Misalnya pada data pajak, angsuran PPh 25 yang sudah
dibayarkan adalah Rp168.982.456 dan jumlah penghasilan PT Langit Merah dalam setahun lebih
dari Rp50.000.000.000 maka penghitungannya menggunakan tarif 25%.  Adapun laba-rugi
sebelum pajaknya adalah Rp937.688.000.

Tarif = Rp937.688.000 x 25% = Rp234.422.000

PPh Pasal 29 = Rp234.422.000 – Rp168.982.456 (angsuran PPh 25) = Rp65.439.544

Angsuran PPh Pasal 25 = Rp234.422.000 ÷ 12 bulan = Rp19.535.166,67 (dibulatkan menjadi


Rp19.535.000)

PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah pajak penghasilan yang dibayar secara angsuran oleh
wajib pajak baik orang pribadi maupun badan untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.

Pada prinsipnya besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan didasarkan pada SPT
tahunan PPh tahun yang lalu yaitu jumlah pajak terutang tahun lalu dikurangi jumlah PPh
dipotong dan dipungut fihak lain dibagi dua belas atau dibagi jumlah bulan perolehan
penghasilan.

Namun demikian bagi wajib pajak tertentu hal tersebut tidak berlaku. Demikian pula apabila
terjadi hal-hal tertentu. Untuk memahami lebih lanjut perhitungan PPh Pasal 25, berikut adalah
beberapa ulasan contoh soal perhitungan PPh Pasal 25.

5
1. Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25

Jumlah Pajak Penghasilan Tuan Purnama yang terutang sesuai dengan SPT Tahunan PPh 2014
sebesar Rp50.000.000. Jumlah kredit pajak Tuan Purnama pada tahun 2014 adalah
Rp21.500.000, dengan rincian sebagai berikut:

 PPh Pasal 21 Rp10.000.000


 PPh Pasal 22 Rp5.000.000
 PPh Pasal 23 Rp3.000.000
 PPh Pasal 24 Rp3.000.000

Berapa besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tuan Purnama untuk tahun 2015:

Jawab:

(semua angka di tabel dalam satuan rupiah)

PPh terutang tahun 2014 50.000.000

Kredit pajak:

PPh Pasal 21 10.000.000

PPh Pasal 22 5.000.000

PPh Pasal 23 3.000.000

PPh Pasal 24 3.500.000

Jumlah kredit pajak (21.500.000)

Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2015 28.500.000

Besarnya PPh Pasal 25 per bulan = Rp28.500.000/12 = Rp2.375.000. Jadi, Tuan Purnama harus
membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan pada tahun 2015 mulai masa Maret
sebesar Rp2.375.000.

2. Perhitungan Angsuran Pajak untuk Bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT
Tahunan PPh

6
Tuan Purnama menyampaikan SPT Tahunan PPh 2014 pada bulan Maret 2015. Angsuran PPh
Pasal 25 pada bulan Desember 2014 adalah Rp2.000.000, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25
untuk bulan Januari dan Februari 2015 masing-masing adalah Rp2.000.000.

3. Perhitungan Angsuran Pajak Apabila dalam Tahun Berjalan Diterbitkan SKP untuk
Tahun Pajak yang Lalu

Berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2013 yang disampaikan oleh Tuan
Purnama pada Maret 2014, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah
Rp1.500.000. Pada bulan Juli 2014 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) tahun pajak 2013
yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000. Berdasarkan
ketentuan yang berlaku, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Tuan Purnama mulai
Agustus 2014 adalah Rp2.000.000.

Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan SKP bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari
nilai angsuran pajak sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan.

4. Perhitungan Angsuran Pajak Apabila Terdapat Kompensasi Kerugian

Penghasilan PT Sinar Rembulan tahun 2014 adalah Rp250.000.000. Perusahaan memiliki sisa
kerugian tahun 2013 yang masih dapat dikompensasikan yaitu sebesar Rp350.0000.000,
sedangkan sisa kerugian yang belum dikompensasikan pada tahun 2013 sebesar Rp100.000.000.

Pada tahun 2014 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain yaitu sebesar Rp9.000.000, dan
tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri. Berapa angsuran PPh Pasal 25 yang
harus dibayar oleh PT Sinar Rembulan?

Jawab:

Penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Rp250.000.000 – Rp100.000.000 = Rp150.000.000.

PPh terutang:

25% x Rp150.000.000 37.500.000


PPh dipotong atau dipungut (9.000.000)
Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2015 28.500.000

Besarnya PPh Pasal 25 PT Sinar Rembulan tahun 2015 = Rp28.500.000/12 = Rp2.375.000

7
5. Perhitungan Angsuran Pajak Apabila Wajib Pajak Memiliki Penghasilan Tidak Teratur

Pada tahun 2014 Tuan Mahendra memperoleh penghasilan teratur sebesar Rp72.000.000.
Sedangkan, Tuan Mahendra memiliki penghasilan tidak teratur pada tahun 2014 sebesar
Rp28.000.000. Atas penghasilan tersebut, maka penghasilan yang dapat dijadikan dasar untuk
perhitungan PPh Pasal 25 untuk tahun 2015 hanya yang berasal dari penghasilan teratur saja
yaitu sebesar Rp72.000.000.

6. Wajib Pajak Membetulkan Sendiri SPT Tahunan Pajak yang Mengakibatkan Angsuran
Pajak Menjadi Lebih Besar dari Angsuran Pajak Sebelum Pembetulan

 SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 PT Bahari disampaikan pada tanggal 24 Maret 2012,
dengan data sebagai berikut:

Penghasilan Neto/Penghasilan Kena Pajak 500.000.000

Pajak Penghasilan Terutang: 25% x Rp


125.000.000
500.000.000
PPh Pasal 22,23, dan 24 yang dapat
42.500.000
dikreditkan

 PPh Pasal 25 masa Desember 2011 yaitu sebesar Rp 6.000.000


 PT Bahari melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 pada tanggal 16
Agustus 2012, dengan data baru sebagai berikut:

Penghasilan Neto/Penghasilan Kena Pajak 600.000.000


Pajak Penghasilan Terutang: 25% x Rp
150.000.000
600.000.000
PPh Pasal 22,23, dan 24 yang dapat
42.500.000
dikreditkan

 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2012 dihitung sebagai berikut:
a. Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Januari sampai Februari 2012 sama besar
dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Desember 2011 masing-masing
sebesar Rp 6.000.000.
b. Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai Juli 2012 dihitung berdasarkan
SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 sebelum pembetulan sebagai berikut:

Pajak Penghasilan terutang tahun 2011 125.000.000

Kredit pajak yang diperbolehkan (42.500.000)

Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2012 82.500.000

8
PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2012 sebesar Rp 82.500.000/12 = Rp
6.875.000.

 Angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2012 dihitung
kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh 2011 setelah adanya pembetulan, yaitu sebagai
berikut:

Pajak Penghasilan terutang tahun 2011 150.000.000

Kredit pajak yang diperbolehkan (42.500.000)

Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2012 107.500.000

PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2012 sebesar Rp 107.500.000/12 = Rp
8.958.300.

 PPh Pasal 25 masa Maret sampai dengan Juli 2012 yang telah disetor masing-masing
sebesar Rp 6.875.000, namun yang seharusnya dibayarkan adalah sebesar Rp 8.958.300,
sehingga menyebabkan kekurangan masing-masing sebesar Rp 2.083.300 yang masih
harus disetor kembali dan dikenakan hutang bunga sebesar:
a. Untuk masa Maret 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 April
2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
b. Untuk masa April 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2012
sampai dengan tanggal penyetoran.
c. Untuk masa Mei 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juni 2012
sampai dengan tanggal penyetoran.
d. Untuk masa Juni 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juli 2012
sampai dengan tanggal penyetoran.
e. Untuk masa Juli 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Agustus
2012 sampai dengan tanggal penyetoran.

Tak hanya keenam contoh di atas, terdapat pula contoh penghitungan angsuran pajak untuk wajib
pajak baru dengan berbagai kondisi sebagai berikut:

1. Wajib Pajak Badan Baru Menyelenggarakan Pembukuan

PT Sarana Indah terdaftar sebagai wajib pajak sejak 1 Februari 2015. Peredaran bruto menurut
pembukuan dalam Februari 2015 adalah sebesar Rp200.00.000 dan dikurangi dengan biaya yang
diperkenankan, sehingga menghasilkan penghasilan neto sebesar Rp60.000.000. Besarnya PPh
Pasal 25 untuk masa Februari 2015 yaitu sebagai berikut:

Penghasilan neto Februari 2015 60.000.000


Penghasilan neto yang disetahunkan 720.000.000
PPh terutang: 25% x 720.000.000 180.000.000

9
Besarnya PPh Pasal 25 PT Sarana Indah tahun 2015 = 180.000.000/12 = 15.000.000.

2. Wajib Pajak Orang Pribadi Baru Menyelenggarakan Pembukuan

Doni Sugianto berstatus menikah dan memiliki 2 orang anak. Doni baru saja terdaftar sebagai
wajib pajak orang pribadi sejak 1 Agustus 2016. Dalam penyelenggaraan usahanya Doni
menggunakan metode pembukuan dengan penghasilan bruto pada bulan Agustus 2016 sebesar
Rp250.000.000 dan biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto sebesar
Rp50.000.000. Hitung besarnya PPh Pasal 25 Agustus 2016?

Jawab:

Besarnya PPh Pasal 25 masa Agustus 2016:


Penghasilan bruto Agustus 2016 120.000.000
Biaya pengurang yang diperkenankan (90.000.000)
Penghasilan neto Agustus 2016 30.000.000
Penghasilan neto yang disetahunkan 360.000.000
PTKP (K/2) (67.500.000)
Penghasilan Kena Pajak 292.500.000
PPh terutang:
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 200.000.000 30.000.000
25% x 42.500.000 10.625.000
Total PPh terutang setahun 43.125.000
Angsuran PPh Pasal 25 Agustus 2016 43.125.000/12 3.593.750

Jadi, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar oleh Doni Sugianto pada masa Agustus 2016
adalah sebesar Rp3.593.700.

3. Wajib Pajak Orang Pribadi Baru hanya Menyelenggarakan Pencatatan dengan


menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto

10
Perusahaan Bahari dimiliki oleh Taslim yang berstatus menikah dan memiliki 3 orang anak.
Taslim baru saja terdaftar sebagai wajib pajak sejak 1 Agustus 2016. Peredaran bruto menurut
catatan harian selama September 2016 yaitu sebesar Rp60.000.000. Persentase Norma
Perhitungan perusahaan Bahari berdasarkan jenis usahanya adalah 30%. Hitung besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar pada Agustus 2016?

Jawab:

Besarnya PPh Pasal 25 masa Agustus 2016:


Penghasilan bruto Agustus 2016 60.000.000
Penghasilan neto (30% x 60.000.000) 18.000.000
Penghasilan neto yang disetahunkan 216.000.000
PTKP (K/3) (72.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 144.000.000
PPh terutang:
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 94.000.000 14.100.000
Total PPh terutang setahun 16.600.000
Angsuran PPh Pasal 25 Agustus 2016 16.600.000/12 1.383.333

Jadi, besarnya Angsuran pajak yang harus dibayar oleh Taslim pada masa Agustus 2016 adalah
sebesar Rp1.383.000

4. Perhitungan Angsuran Pajak bagi Wajib Pajak Bank

Bank Dana Sejahtera dalam laporan triwulan April sampai dengan Juni 2015 menunjukkan
penghasilan neto sebesar Rp500.000.000. Hitunglah angsuran PPh Pasal 25 untuk masa Juli,
Agustus, September 2015?

Jawab:

Penghasilan neto triwulan 300.000.000


Penghasilan neto yang disetahunkan: 4 x 300.000.000 1.200.000.000
PPh terutang: 5% x 1.200.000.000 300.000.000

Besarnya PPh Pasal 25 masa Juli, Agustus, September 2015 adalah 300.000.000/12 =
25.000.000.

5. Perhitungan Angsuran Pajak bagi Wajib Pajak BUMN atau BUMD

11
Menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) Tahun 2015 yang sudah disahkan,
PT Jogja Bangkit (sebuah BUMD yang dimiliki oleh pemerintah Kota Yogyakarta) diperkirakan
mempunyai penghasilan neto sebesar Rp1.000.000.000. Kredit Pajak yang berasal dari PPh Pasal
22, 23, dan 24 adalah sebesar Rp70.000.000. Hitunglah angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun
2015?

Jawab:
Penghasilan neto triwulan 1.000.000.000
PPh terutang: 25% x 1.000.000.000 250.000.000
Kredit pajak (PPh Pasal 22, 23, 24) 70.000.000
PPh yang dibayar sendiri 180.000.000

Besarnya PPh Pasal 25 untuk tahun 2015 adalah 180.000.000/12 = 15.000.000.

2.2 KREDIT PAJAK


A. Pengertian Kredit Pajak
Kredit pajak merupakan perhitungan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau dipungut pada
awal periode. Dalam setiap Tahun Pajak yang berjalan, Wajib Pajak harus melunasi pajak yang
diperhitungkan akan terutang pada Tahun Pajak tersebut. Pelunasan dilakukan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak berwenang atau melalui
pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.

12
Pembayaran pajak dalam satu Tahun Pajak berjalan dapat dikreditkan yaitu dengan melunasi
angsuran pembayaran. Angsuran tersebut diperhitungkan dengan mengkreditkan Pajak
Penghasilan yang terutang dalam Tahun Pajak terkait. Ketentuan ini tidak berlaku untuk
penghasilan yang dikenai pajak bersifat Final.
Sesuai dengan aturan yang termuat dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Perpajakan sebagaimana diubah dengan peraturan terbaru yaitu UU Nomor 28 Tahun
2007 atau dikenal dengan UU KUP. Dalam kebijakan tersebut, Wajib Pajak bisa mengkreditkan
pajak yang telah dipungut dan dipotong untuk mengurangi jumlah pajak terutang pada akhir
tahun.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, kredit pajak diartikan sebagai jumlah pembayaran pajak
yang telah dibayar oleh Wajib Pajak sendiri. Pembayaran tersebut telah ditambah dengan pajak
yang dipungut oleh pihak lain, serta dikurangkan dengan semua pajak yang terutang. Termasuk
jika terdapat pajak atas penghasilan yang masih terutang di luar negeri.

B. Jenis Kredit Pajak 

Setelah diketahui jumlah pajak yang terutang, wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) dapat mengurangi pajak terutang dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang
bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan pasal 28 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah
mengalami perubahan menjadi UU Nomor 36 Tahun 2008 atau dikenal dengan UU PPh, berikut
ini jenis-jenis kredit pajak yang berlaku: 

a. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh.

b. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21 UU PPh.

c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh.

d . Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) UU PPh.

e. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 UU PPh.

f. Pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
UU PPh.
13
Dasar Hukum
1. Pasal 25 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember
2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun
Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa
Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan
ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala termasuk wajib pajak
orang pribadi pengusaha tertentu.
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-5573/PJ/2000 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak berjalan dalam hal-
hal tertentu.
4. Peraturan Dirjen Pajak: Per-10/PJ/2009 tentang Pengurangan Besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 dalam Tahun 2009 bagi Wajib Pajak yang mengalami
perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha
5. Keputusan Dirjen Pajak: KEP-207/PJ/2001 tentang Kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan masa PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

C. Ketentuan Pengembalian Pajak 

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak
yang dimaksud dalam pasal 28 UU PPh, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya. Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah
dikenakan pajak yang bersifat final, tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. 

Kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut
sanksi-sanksinya. Sesuai dengan pasal 17B ayat 1 UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Direktur jenderal pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan
pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak. 

14
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum dilakukan pengembalian pajak di antaranya: 

 Keabsahan bukti pungutan dan bukti potongan serta bukti pembayaran pajak oleh wajib
pajak sendiri untuk tahun pajak bersangkutan.
 Kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang.

Oleh karena itu, pihak yang telah ditentukan berhak untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan
keuangan dan catatan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya pajak penghasilan
terutang. Berdasarkan pasal 28A UU PPh, kelebihan pembayaran pajak merupakan hak wajib
pajak dan harus dikembalikan kepada wajib pajak sebagai restitusi.

Sedangkan kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum SPT Pajak
Penghasilan disampaikan, paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan

Orang Yang Bisa Melakukan Kredit Pajak


Berdasarkan pasal 28 UU PPh, wajib pajak dalam negri dan bentuk usaha bisa mulai
mengurangi pajak yang terhutang. Ada beberapa kredit pajak yang bisa diangsur, seperti:
1. Pemotongan pajak yang dilakukan dari gaji atau pengasilan pekerjaan jasa dan
kegiatan lain seperti yang sudah diatur dalam pasal 21 UU PPh.
2. Pungutan pajak yang dilakukan berdasarkan usaha dari wajib pajak seperti yang
sudah diatur dalam pasal 22 UU PPh.
3. Pemotongan pajak yang dilakukan berdasarkan penghasilan dari harta milik
sendiri berupa uang sewa, bunga, dividen dan lainnya seperti diatur dalam pasal
23 UU PPh.
4. Pajak terhutang atau terbayar selama bekerja di luar negeri seperti diatur dalam
pasal 24 UU PPh.
5. Pembayaran secara berangsur-angsur yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak
seperti yang diatur dalam pasal 25 UU PPh.

Sebelumitu, Anda harustahupengertianpajakpenghasilanpasal 21 hingga 25.


Pajakpenghasilanpasal 21 adalahpajak yang dibebankanatasdasarpekerjaan,
jasaataukegiatan lain yang diterima oleh WajibPajak yang ada di dalam negeri.
PajakPenghasilanpasal 22 adalahpajak yang dibebankankepadawajibpajakatasdasarlaba
yang didapatkandarihasilusahasendiriatauwirausaha.

15
Pajakpenghasilanpasal 23 adalahpajak yang dibebankanatasdasarperusahaan badan
yang beroperasi di dalam negeri, sedangkanPPhpasal 24 adalahperusahaan badan yang
beroperasi di luar negeri. Yang terakhir, pajakpenghasilanpasal 25 adalahpajak yang
bisadiangsurbaik oleh badan atau orang pribadisebagaibentukkeringanandaripemerintah.

Hal Penting Sebelum Mengembalikan Lebih Bayar Kredit Pajak

Pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak harus melalui beberapa tahap


sebelum benar-benar dikembalikan kepada wajib pajak. Berikut ini adalah tahapan atau
hal yang harus menjadi pertimbangan saat pihak berwenang memutuskan kondisi lebih
bayar:
1. Kebenaran tentang pajak penghasilan terhutang
Beberapa wajib pajak orang pribadi maupun perusahaan bayar merasa bahwa
pajak yang dibebankan atas mereka terlalu besar, sehingga mereka melakukan
pemalsuan data. Pajak penghasilan memang menjadi salah satu pajak yang paling
besar dibebankan kepada wajib pajak. Pihak berwenang harus benar-benar memeriksa
track record pajak penghasilan terhutang wajib pajak sebelum memutuskan kondisi
lebih bayar.

2. Kebenaran bukti pungutan dan potongan pajak


Saat membayar pajak, akan ada bukti secara fisik maupun digital. Pihak
berwenang harus memeriksa data-data ini atau melakukan validasi data sebeluh
menentukan kondisi lebih bayar. Wajib pajak harus memberikan bukti pembayaran
pajaknya. Bukti pajak yang diberikan harus bersangkutan dengan tahun yang akan
diperiksa.

Pejabat Berwenang Untuk Memeriksa Kredit Pajak

Tidak semua orang bisa memeriksa kredit pajak seseorang. Ada pejabat
berwenang yang memang ditugaskan untuk memeriksa kredit pajak. Pejabat tersebut
adalah direktur jendral pajak dan pejabat lain yang diberikan kekuasaan untuk memeriksa

16
laporan  keuangan, buku dan juga catatan lainnya yang berkaitan dengan penentuan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak

2.3 PP No. 46 TAHUN 2013

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 memuat tentang diberlakukannya tarif PPh Final
1% yang ditujukan kepada Wajib Pajak pribadi dan badan yang memiliki penghasilan dengan
omzet usaha dibawah 4,8 miliar dalam satu tahun. Pungutan atas pajak tersebut diatur dalam PP
No. 46 Tahun 2013, sehingga penting bagi Anda pemilik usaha untuk memahami peraturan
tersebut.

Dalam peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tersebut dipaparkan poin-poin sebagai
berikut.

17
1. Besar penghasilan Wajib Pajak yang diperoleh dari usaha memiliki peredaran bruto
dibawah 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak.
2. Omzet atau peredaran bruto yang dimaksud merupakan jumlah peredaran bruto semua
gerai, outlet, maupun counter atau semacamnya baik itu pusat ataupun cabang.
3. Ketentuan pembayaran pajak terutang harus dibayar sebesar 1% dari jumlah peredaran
bruto.
Melalui peraturan tersebut bentuk-bentuk usaha dagang dan jasa seperti kios, toko, los
kelontong, warung makan, salon dan sebagainya, harus disetorkan pajak atas penghasilan yang
diperoleh dari penjualan tersebut.

Keuntungan PP 46/2013 untuk UMKM

Aturanpenurunantarifpajakmenjadi 0,5% sangatbermanfaatbagipelaku UMKM.


Beberapakeuntunganitu, di antaranya:
1. UMKM dapatmembayarpajakdenganmudah dan sederhana. Karena PPh Final,
makaperhitunganpajakbuat
UMKM offline maupun online tinggalmenjumlahkanperedaranbrutodalamsebulan
, kemudikandikalikantarif. Simpelkan

2. Bisamengurangibebanpajak para pelaku UMKM. Dengantarifmurah,


sisaomzetbersihsetelahdipotongpajakbisadipakaipengusahauntukmengembangkan
usahanya

3. Tarif pajak yang rendahdapatmerangsang orang untukterjunsebagaiwirausaha.


Jaditidakperlukhawatirdibebankanpajaktinggi

4. Dengantarifistimewaitudiharapkanmendorongkepatuhan UMKM
dalammembayarpajaksertameningkatkan basis wajibpajak

5. UMKM bisa naik kelas. Karena


setelahmerekadapatmenyusunlaporankeuangansecararapi, patuhmembayarpajak,
dapatmenjadijalanbagimerekauntukmemperolehaksespermodalanlewat bank 
WajibPajak yang dikenaidalamPajakPenghasilanataumerupakanobjekpajaksesuai
PP 46 Tahun 2013 adalah orang pribadimaupun badan, tidaktermasuk BUT (Bentuk
Usaha Tetap). Meskitidaksecaralansungdinyatakandalam PP 46 tahun 2013,
namundapatkitapahamibahwa yang menjadi target

18
pemajakandalamketentuanperpajakanbaruiniadalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM).
Pasaluntuk PP 46/2013
Pasal 1
DalamPeraturanPemerintahini, yang dimaksuddengan:
(1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pasal 2
(1) Ataspenghasilandariusaha yang diterimaataudiperolehWajibPajak yang
memilikiperedaranbrutotertentu, dikenaiPajakPenghasilan yang bersifat final.
(2) WajibPajak yang memilikiperedaranbrutotertentusebagaimanadimaksud pada ayat (1)
adalahWajibPajak yang memenuhikriteriasebagaiberikut:
a WajibPajak orang pribadiatauWajibPajak badan tidaktermasukbentukusahatetap;
dan
b Menerimapenghasilandariusaha,
tidaktermasukpenghasilandarijasasehubungandenganpekerjaanbebas,
denganperedaranbrutotidakmelebihi Rp4.800.000.000,00
(empatmiliardelapanratusjuta rupiah) dalam 1 (satu) TahunPajak.
(3) TidaktermasukWajibPajak orang pribadisebagaimanadimaksud pada ayat (2)
adalahWajibPajak orang pribadi yang melakukankegiatanusahaperdagangan
dan/ataujasa yang dalamusahanya:
a menggunakansaranaatauprasarana yang dapatdibongkarpasang, baik yang
menetapmaupuntidakmenetap; dan
b menggunakansebagianatauseluruhtempatuntukkepentinganumum yang
tidakdiperuntukkanbagitempatusahaatauberjualan.

(4) TidaktermasukWajibPajak badan sebagaimanadimaksud pada ayat (2)adalah:

19
a WajibPajak badan yang belumberoperasisecarakomersial; atau

b WajibPajak badan yang dalamjangkawaktu 1 (satu)


tahunsetelahberoperasisecarakomersialmemperolehperedaranbrutomelebihi
Rp4.800.000.000,00 (empatmiliardelapanratusjuta rupiah).

Pasal 3

(1) BesarnyatarifPajakPenghasilan yang bersifat final sebagaimanadimaksuddalamPasal


2 adalah 1% (satupersen).

(2) PengenaanPajakPenghasilansebagaimanadimaksud pada ayat (1) didasarkan pada


peredaranbrutodariusahadalam 1 (satu)
tahundariTahunPajakterakhirsebelumTahunPajak yang bersangkutan.

(3) DalamhalperedaranbrutokumulatifWajibPajak pada suatubulantelahmelebihijumlah


Rp4.800.000.000,00 (empatmiliardelapanratusjuta rupiah) dalamsuatuTahunPajak,
WajibPajaktetapdikenaitarifPajakPenghasilan yang
telahditentukanberdasarkanketentuansebagaimanadimaksud pada ayat (1)
sampaidenganakhirTahunPajak yang bersangkutan.

(4) DalamhalperedaranbrutoWajibPajaktelahmelebihijumlah Rp4.800.000.000,00


(empatmiliardelapanratusjuta rupiah) pada suatuTahunPajak, ataspenghasilan yang
diterimaataudiperolehWajibPajak pada
TahunPajakberikutnyadikenaitarifPajakPenghasilanberdasarkanketentuanUndang-
UndangPajakPenghasilan.

Pasal 4
(1) Dasar pengenaanpajak yang digunakanuntukmenghitungPajakPenghasilan yang
bersifat final sebagaimanadimaksuddalamPasal 2 ayat (1)
adalahjumlahperedaranbrutosetiapbulan.
(2) PajakPenghasilanterutangdihitungberdasarkantarifsebagaimanadimaksuddalamPasal
3 ayat (1) dikalikandengandasarpengenaanpajaksebagaimanadimaksud pada ayat (1).
 
Pasal 5

20
KetentuansebagaimanadimaksuddalamPasal 2 ayat (1)
tidakberlakuataspenghasilandariusaha yang dikenaiPajakPenghasilan yang bersifat final
berdasarkanketentuanPeraturanPerundang-undangan di bidangperpajakan.

Pasal 6
AtaspenghasilanselaindariusahasebagaimanadimaksuddalamPasal 2 ayat (1) yang
diterimaataudiperolehWajibPajak,
dikenaiPajakPenghasilanberdasarkanketentuanUndang-UndangPajakPenghasilan.
 
Pasal 7
Pajak yang dibayaratauterutang di luar negeri ataspenghasilandariluar negeri yang
diterimaataudiperolehWajibPajakdapatdikreditkanterhadapPajakPenghasilan yang
terutangberdasarkanketentuanUndang-UndangPajakPenghasilan dan
peraturanpelaksanaannya.

Pasal 8
WajibPajak yang dikenaiPajakPenghasilanbersifat final
berdasarkanPeraturanPemerintahini dan
menyelenggarakanpembukuandapatmelakukankompensasikerugiandenganpenghasilan
yang tidakdikenaiPajakPenghasilan yang bersifat final denganketentuansebagaiberikut:
a kompensasikerugiandilakukanmulaiTahunPajakberikutnyaberturut-
turutsampaidengan 5 (lima) TahunPajak;
b TahunPajakdikenakannyaPajakPenghasilan yang bersifat final
berdasarkanPeraturanPemerintahinitetapdiperhitungkansebagaibagiandarijangkaw
aktusebagaimanadimaksud pada huruf a;
c kerugian pada suatuTahunPajakdikenakannyaPajakPenghasilan yang bersifat final
berdasarkanPeraturanPemerintahinitidakdapatdikompensasikan pada
TahunPajakberikutnya.
 
Pasal 9

21
Ketentuanlebihlanjutmengenaipenghitungan, penyetoran, dan
pelaporanPajakPenghasilanataspenghasilandariusaha yang
diterimaataudiperolehWajibPajak yang memilikiperedaranbrutotertentu dan
kriteriaberoperasisecarakomersialdiaturdenganatauberdasarkanPeraturan Menteri
Keuangan.

Pasal 10
Hal khususterkaitperedaranbrutosebagaidasaruntukdapatdikenaiPajakPenghasilan yang
bersifat final sebagaimanadiaturdalamPeraturanPemerintahini, diatursebagaiberikut:
1. didasarkan pada
jumlahperedaranbrutoTahunPajakterakhirsebelumTahunPajakberlakunyaPeratura
nPemerintahini yang disetahunkan,
dalamhalTahunPajakterakhirsebelumTahunPajakberlakunyaPeraturanPemerintahi
nimeliputikurangdarijangkawaktu 12 (duabelas) bulan;
2. didasarkan pada
jumlahperedaranbrutodaribulansaatWajibPajakterdaftarsampaidenganbulansebelu
mberlakunyaPeraturanPemerintahini yang disetahunkan,
dalamhalWajibPajakterdaftar pada TahunPajak yang
samadenganTahunPajaksaatberlakunyaPeraturanPemerintahini di
bulansebelumPeraturanPermerintahiniberlaku;
3. didasarkan pada jumlahperedaranbruto pada
bulanpertamadiperolehnyapenghasilandariusaha yang disetahunkan,
dalamhalWajibPajak yang
baruterdaftarsebagaiWajibPajaksejakberlakunyaPeraturanPemerintahini.

Pasal 11
  PeraturanPemerintahinimulaiberlaku pada tanggal 1 Juli 2013.

Perhitungan PP 46/2013
Menghitungpajak UMKM sangatmudah,
tinggalmenjumlahkanomzetdalamsebulan, laludikalikantarif 0,5%.

22
A.Subjek Pajak, Non Subjek Pajak dan Non Objek Pajak Dalam PP No. 46 Tahun 2013

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, yang dimaksud Subjek Pajak adalah


orang pribadi dan badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto dibawah
4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak mengikuti jangka waktu satu tahun pajak sesuai
dengan kalender kecuali jika Wajib Pajak tersebut menggunakan tahun buku lain yang berbeda
dengan tahun kalender.

Sementara yang dimaksud sebagai Non Subjek Pajak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 adalah orang pribadi yang menjalankan aktivitas perdagangan atau jasa yang
menggunakan sarana bongkar pasang serta memanfaatkan tempat umum. Aktivitas perdagangan
atau jasa yang dimaksud termasuk pedagang asongan, pedagang keliling, warung tenda kaki
lima, dan lain sebagainya.

Non Subjek Pajak lainnya adalah badan yang belum beroperasi secara komersial atau beroperasi
dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi komersial, tetapi telah menerima peredaran
bruto lebih dari 4,8 miliar. Kedua kategori Non Subjek Pajak tersebut baik orang pribadi maupun
badan yang telah dijelaskan wajib menjalankan ketentuan perpajakan sesuai dengan UU KUP
maupun UU PPh.

Pengecualian untuk Non Objek Pajak Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013

Ada pengecualian untuk Non Objek Pajak yang tidak dikenakan pajak berdasarkan PP No. 46
Tahun 2013 meskipun memiliki usaha dengan peredaran bruto dibawah 4,8 miliar. Non Objek
Pajak dalam PP No. 46 Tahun 2013 adalah penghasilan dari jasa terkait dengan pekerjaaan
bebas, di antaranya adalah dokter, advokat atau pengacara, PPAT, notaris, akuntan, pembawa
acara, pemain musik, dan segala ketentuan yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 46
Tahun 2013. Usaha perdagangan barang maupun jasa dikenakan PPh Final yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) contohnya adalah usaha sewa kamar kos, jasa konstruksi, sewa rumah, usaha
migas dan lain sebagainya yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah.

Pengecualian bagi Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) seperti pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP
No. 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor
107/PMK.011/2013). Sementara orang pribadi yang melakukan jasa terkait dengan pekerjaan
bebas berikut adalah pengecualian pengenaan pajak pada PP No. 46 Tahun 2013. Sehingga
perhitungan tarif pajak penghasilan yang diberlakukan adalah tarif umum.

23
Pekerjaan- pekerjaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan atau peragawati, pemain drama, dan
penari
3. Olahragawan
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah
6. Agen iklan
7. Pengawas atau pengelola proyek
8. Perantara
9. Petugas penjaja barang dagangan
10. Agen asuransi; dan
11. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (MLM) atau penjualan langsung (direct
selling) dan kegiatan sejenis lainnya
Jenis-jenis pekerjaan yang telah dipaparkan dapat menggunakan acuan Pasal 14 Undang-Undang
PPh No. 36 Tahun 2008 tentang Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN). Wajib Pajak
Objek Pajak (WPOP) yang melakukan akltivitas usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto dalam satu tahun dibawah 4,8 miliar dapat melakukan perhitungan pajak berdasarkan
acuan Norma Perhitungan Penghasilan Netto tersebut.

Untuk Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 miliar
tidak perlu menyelenggarakan pembukuan karena boleh melakukan perhitungan penghasilan
netto dengan norma. Tetapi, mereka harus membuat pencatatan atas peredaran usahanya setiap
bulan.

B. penjelasan tentang pembukuan dan pencatatan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak
Objek Pajak (WPOP).

1. Pembukuan wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) dengan peredaran
bruto di atas 4,8 miliar.
2. Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) yang memiliki peredaran bruto di bawah 4,8 miliar,
dapat melakukan perhitungan penghasilan nettonya dengan Norma Perhitungan Penghasilan
Netto (NPPN). Pembukuan tidak perlu dilakukan, tetapi pencatatan rutin usaha harus disediakan.

24
3. Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) yang memiliki peredaran bruto di bawah 4,8 miliar
namun tidak melakukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak, maka WPOP tersebut
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 14 ayat (3) UU
PPh.
Masa Atau Tahun Pajak
Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun kalender. Namun
demikian, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun kalender, Tahun Pajak
ditentukan berdasarkan tahun buku yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih
dari 6 (enam) bulan dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada
tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6
(enam) bulan pertama dari tahun 2013.

2.4 PP Nomor 23 Tahun 2018 Tentang UMKM

Pada 1 Juli 2018, pemerintah telah menerbitkan kebijakan baru terkait perpajakan. Kebijakan
tersebut adalah Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu.

25
Peraturan ini diterbitkan untuk menggantikan peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 46 Tahun
2013 yang dinilai memiliki sejumlah kekurangan, sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi
perekonomian terkini. Hal yang paling menjadi sorotan adalah perubahan pengenaan tarif PPh
Final dari yang semula 1% menjadi 0,5%.

A. Hal Penting Lain yang Perlu Diperhatikan dari PP Nomor 23 Tahun 2018

Selain perubahan pengenaan tarif PPh Final tersebut, ada beberapa hal lain yang juga perlu
mendapat perhatian khusus, berikut penjelasannya.

1. Tarif PPh Final Bersifat Opsional

Melalui peraturan ini, pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan tarif PPh Final menjadi
0,5%. Meskupun demikian, ketentuan ini bersifat opsional karena Wajib Pajak Badan dapat
memilih untuk mengikuti skema tarif PPh Final 0,5% ataupun menggunakan skema normal
sebagaimana diatur pada Pasal 17 dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.

Sifat opsional ini dapat memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak Badan, terutama bagi Badan
yang telah melakukan pembukuan dengan baik. Hal ini dikarenakan Wajib Pajak Badan dapat
memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan skema tarif normal yang diatur pada Pasal
17 Undang-Undang Nomor 36 tentang Pajak Penghasilan. Dengan skema ini, perhitungan tarif
PPh akan mengacu pada lapisan penghasilan kena pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga terbebas
dari PPh apabila mengalami kerugian fiskal.

2. Pengenaan Tarif PPh Final 0,5% Memiliki Batas Waktu

Kebijakan tentang PPh Final 0,5% memiliki grace period atau batas waktu. Ini merupakan salah
satu hal yang membedakan dengan peraturan sebelumnya. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:

 4 tahun pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, CV, atau Firma.
 3 tahun pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas.
Setelah batas waktu tersebut berakhir, Wajib Pajak akan kembali menggunakan skema tarif
normal sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Hal ini
bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar menyelenggarakan pembukuan dan pengembangan
usaha.

3. Berpenghasilan di Bawah 4,8 Miliar

26
Sama seperti sebelumnya, ambang batas penghasilan Wajib Pajak yang dikenai PPh Final dalam
PP Nomor 23 Tahun 2018 tidak berubah, yakni senilai 4,8 Miliar. Batasan nilai tersebut
menargetkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai target pajak. Tujuannya agar
pemerintah dapat merangkul sebanyak mungkin UMKM untuk terlibat dalam sistem perpajakan.

Skema PPh Final 0,5% dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan seperti koperasi, CV, Firma,
dan PT yang memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto di bawah 4,8 Miliar.

Contoh kasus, Tuan X merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di
beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan, diketahui
rincian peredaran usaha di tahun 2019 adalah sebagai berikut:

 Pasar A sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu Miliar Rupiah).


 Pasar B sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua Miliar Rupiah).
Dengan demikian, Tuan X pada 2020 akan dikenai skema PPh Final 0,5% karena total peredaran
bruto dari seluruh tempat usaha di tahun 2019 kurang dari 4,8 Miliar.

4. Wajib Pajak yang Tidak Dapat Memanfaatkan PPh Final 0,5%

 Wajib Pajak dengan penghasilan yang diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayarkan di luar negeri.
 Wajib Pajak yang penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan khusus.
 Wajib Pajak dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Sebagaimana contoh kasus pada nomor 3 di atas, apabila Tuan X ternyata memiliki tempat usaha
lain, misal di Pasar C dengan rincian peredaran usaha sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga Miliar
rupiah) maka Tuan X pada tahun 2020 tidak dapat dikenai PPh Final 0,5%, karena peredaran
bruto dari seluruh tempat usaha pada tahun 2019 melebihi Rp4,800.000.000,00 (empat Miliar
delapan ratus Juta Rupiah).

5. Wajib Pajak Perlu Mengajukan Diri Jika Ingin Menggunakan Skema Tarif Normal

Apabila tidak ingin berstatus sebagai Wajib Pajak PPh Final 0,5%, Anda harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan tertulis kepada Ditjen Pajak. Selanjutnya Ditjen Pajak akan
memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa Anda merupakan Wajib Pajak yang
dikenai skema tarif normal sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan.

27
Bagi Wajib Pajak yang sudah memilih untuk dikenai PPh dengan skema tarif normal tidak dapat
memilih untuk dikenai skema PPh Final 0,5%.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 ini yang akrab disebut PP 23/2018 adalah
pembaruan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP23/2013). PP 23/2018 ini
membahas tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Penerbitan Peraturan ini dikarenakan
pemerintah ingin merangkul sebanyak mungkin UMKM untuk masuk dalam system perpajakan.

Contoh perhitungannya :

Jika anda WP pribadi memiliki usaha berbentuk toko sembako, bulan April 2019 dengan
penghasilan kotor Rp. 2.500.000 maka pajak yang harus anda setor adalah

Rp. 2.500.000 * 0.5% = Rp. 12.500

Nilai Rp. 12.500 anda setor sendiri ke kas negara dengan mendatangi bank-bank terdekat dengan
batas waktu paling lambat tanggal 15 Mei 2019.

Pemerintah telah mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan
menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang mulai berlaku sejak 1
Juli 2018. Secara sederhana kedua aturan tersebut biasa dikenal dengan istilah PPh Final untuk
UMKM atau dapat juga disebut dengan PPh Final 1%.

Rilis peraturan yang baru lebih dikenal dengan istilah penurunan tarif PPh Final UMKM menjadi
0,5%. Walaupun jika kita lihat lebih detil maka akan ditemukan beberapa poin krusial yang
berubah. Rilis perubahan aturan dilatarbelakangi oleh adanya desakan untuk lebih memberikan
keadilan dan kemudahan bagi Wajib Pajak sekaligus memperbaiki beberapa kelemahan yang ada
pada peraturan sebelumnya.

B. Perbedaan PP No.46/2013 dan PP No.23/2018

28
Berikut disajikan poin-poin perbedaan atas 2 (dua) peraturan tersebut agar kita dapat lebih
mengenal dan menerapkannya dengan baik.

Tabel PP 46/2013 VS PP23/2018

Poin Utama PP 46/2013 PP23/2018

 Wajib Pajak Orang


 WP Orang Pribadi Pribadi
 WP Badan tidak  WP Badan tertentu (PT,
Subjek Pajak termasuk BUT CV dan Firma, Koperasi)
Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang
dalam usahanya menggunakan:
 sarana atau prasarana
 Wajib Pajak yang
yang dapat dibongkar pasang,
memilih
baik yang menetap maupun
untuk dikenai PPh berdasarkan
tidak menetap; dan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
 sebagian atau seluruh
a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal
tempat untuk kepentingan
31E UU PPh
umum yang tidak
 persekutuan komanditer
diperuntukkan bagi
atau firma yang dibentuk oleh
tempat usaha atau berjualan
beberapa Wajib Pajak orang
Wajib Pajak badan yang: pribadi yang memiliki keahlian
 belum beroperasi secara khusus menyerahkan jasa
komersial; atau sejenis dengan jasa sehubungan
 dalam jangka waktu 1 dengan pekerjaan bebas
tahun setelah beroperasi  WP Badan yang
secara komersial memperoleh memperoleh fasilitas Psl 31A
Pengecualian Subjek peredaran bruto melebihi UU PPh dan PP 94
Pajak Rp4,8M  Bentuk Usaha Tetap
Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran
Batasan Omzet bruto tidak melebihi Rp4,8M dalam 1 Tahun Pajak
Pengecualian Objek  penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa
Pajak sehubungan dengan pekerjaan bebas;
 penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
 usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak

29
Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
 penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Tarif 1% 0,5%

WP OP : 7 tahun
CV/Firma/Koperasi : 4 tahun
PT : 3 tahun
 

Dihitung sejak:
Untuk WP lama sejak Tahun
Pajak PP
Berlaku

Untuk WP Baru sejak Tahun


Pajak terdaftar
Batasan Waktu Tidak ada
Jumlah peredaran bruto setiap bulan
DPP
 Setor Sendiri; atau
 Setor Sendiri  Dipotong atau dipungut
 Dibebaskan dari oleh Pemotong atau
pemotongan/pemungutan pihak Pemungut Pajak, dengan
lain dalam hal dapat mengajukan Surat Keterangan
Penyetoran menunjukkan SKB ke KPP ke KPP
Tetap. Penegasan untuk WP OP
Didasarkan pada peredaran yang status Pisah harta dan
bruto dari usaha dalam 1 tahun Memilih Terpisah (2 NPWP)
dari harus berdasarkan
Tahun Pajak terakhir sebelum penggabungan sesuai
Penentuan Pengenaan Tahun Pajak yang prinsip keluarga sebagai satu
Pajak bersangkutan. kesatuan ekonomis.

III.PENUTUP

30
III.1 Kesimpulan

Dari semua uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan Usaha diharuskan untuk membayar pajak yang
terutang dan harus dilunasi dalam jangka waktu satu tahun. Namun dalam praktiknya, mungkin
terdapat kesulitan bagi Wajib Pajak dalam melunasi pembayarannya sehingga pembayaran pajak
secara angsuran akan lebih memudahkan. Pembayaran pajak penghasilan secara angsuran ini
adalah pengertian dari PPh Pasal 25 yang memang tujuannya ingin meringankan beban Wajib
Pajak sehingga tetap dapat memenuhi kewajibannya.

2. Kredit pajak merupakan perhitungan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau dipungut pada
awal periode. Dalam setiap Tahun Pajak yang berjalan, Wajib Pajak harus melunasi pajak yang
diperhitungkan akan terutang pada Tahun Pajak tersebut. Pelunasan dilakukan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak berwenang atau melalui
pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 memuat tentang diberlakukannya tarif PPh Final
1% yang ditujukan kepada Wajib Pajak pribadi dan badan yang memiliki penghasilan dengan
omzet usaha dibawah 4,8 miliar dalam satu tahun. Pungutan atas pajak tersebut diatur dalam PP
No. 46 Tahun 2013, sehingga penting bagi Anda pemilik usaha untuk memahami peraturan
tersebut.

4. Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu.

Peraturan ini diterbitkan untuk menggantikan peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 46 Tahun
2013 yang dinilai memiliki sejumlah kekurangan, sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi
perekonomian terkini. Hal yang paling menjadi sorotan adalah perubahan pengenaan tarif PPh
Final dari yang semula 1% menjadi 0,5%.

31
III.2 Daftar Pustaka

https://news.ddtc.co.id/-contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-25-9541

https://klc.kemenkeu.go.id/bdkptk-pph-final-umkm-pp-46-2013-vs-pp-23-2018/

https://pajak.go.id/id/peraturan-pemerintah-nomor-23-tahun-2018

Buku Perpajakan Siti Resmi Edisi 10 Buku 1

32

Anda mungkin juga menyukai