Referensi
Referensi
Dari data World Health Organization (WHO), di banyak negara sampai 80% episode sakit dicoba
diobati sendiri oleh penderita (Suryawati, 1997). Sedangkan berdasarkan hasil Susenas tahun
2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan swamedikasi.
Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan ke dokter
(44%).
Swamedikasi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya murah, mudah dan cepat. Namun,
tidak semua orang mampu menerapkan praktik swamedikasi secara benar, sehingga pengobatan
menjadi tidak rasional. Berikut adalah beberapa contoh kesalahan yang lazim dilakukan
masyarakat dalam mengobati dirinya sendiri (Wibowo, 2012).
1. Mengobati flu, batuk, pilek dengan antibiotika, biasanya antibiotik amoxicillin 500 mg
Flu, pilek dan biasanya disertai batuk disebabkan oleh virus bukan oleh bakteri, sedangkan
amoxicillin 500 mg adalah obat yang ditujukan sebagai anti bakteri sehingga tidak ada
relevansinya antibiotik untuk mengobati virus flu.
Sebenarnya tubuh hanya memerlukan vitamin dalam dosis sangat kecil tiap harinya daripada
dosis vitamin yang beredar dipasaran seperti vitamin C 1000 mg padahal secara umum orang
dewasa dengan BMI normal hanya membutuhkan sekitar 75 – 90 mg vitamin C per hari dan akan
terpenuhi jika kita mengkonsumsi buah atau sayuran setiap harii.
Kesalahan ini akan berakibat fatal pada peresepan obat yang tergolong antibiotik karena aturan
dasar antibiotik adalah diminum sesuai jadwal jangan sampai overdose (dosis berlebih) atau
underdose (dosis kurang) dan diminum sampai habis walaupun sudah merasa penyakit membaik.
Kesalahan ini dapat berakibat pada lama waktu sembuh pasien dapat lebih panjang dan lebih
jauh dapat menyebabkan resistensi bakteri.
Sampai saat, ini masih ada sebagian masyarakat yang lebih percaya pengobatan alternatif (mulai
dari herbal, jamu sampai pengobatan secara ghaib yang di luar nalar manusia) daripada pergi ke
dokter, khususnya dalam mengobati penyakit berbahaya seperti misalnya, kanker, diabetes,
jantung.
Banyak sekali pemberitaan yang menyatakan bahwa jamu atau obat herbal dengan embel-embel
back to nature “tidak ada efek sampingnya”. Hal tersebut sangat tidak benar semua tanaman
herbal dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan jika dikosumsi dalam dosis yang
berlebihan seperti halnya obat kimia. Namun, jika diminum dengan aturan tepat dosis dan tepat
indikasi penyakit maka efek samping yang timbul dapat dihindari.
Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran dan tanggungjawab
yang besar pada swamedikasi. Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam
swamedikasi adalah sebagai komunikator (communicator), penyedia obat yang berkualitas
(quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and supervisor), kolaborator
(collaborator), dan promotor kesehatan (health promoter) (WHO, 1998).
Sebagai komunikator, salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan
informasi yang obyektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat menggunakan obat secara
rasional (WHO, 1998). Informasi yang seharusnya diberikan oleh apoteker meliputi informasi
mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis
maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan
dokter, obat lain, makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat,
penyimpanan obat, hal-hal yang harus dilakukan apabila lupa meminum obat, pembuangan obat
yang telah kadaluarsa, dan tujuan penggunaan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).
Apabila peran dan tanggungjawab ini dijalankan dengan benar oleh apoteker, maka diharapkan
permasalahan atau kesalahan yang sering terjadi dalam swamedikasi tersebut dapat diatasi,
sehingga terwujudlah suatu upaya pengobatan yang rasional dan akhirnya dapat meningkatkan
taraf kesehatan masyarakat Indonesia menuju arah yang lebih baik.