Anda di halaman 1dari 7

Nama : Sri Cinta Sinurat

Nim : 3192431005
Kelas : Geografi B

Konsep profesionalisasi di bidang pendidik

Konsep Profesionalisasi

Profesional adalah kata benda dari profesi, merupakan lawan kata dari amateur
yang berkaitan dengan seseorang yang menerima bayaran atas jasa pekerjaannya.
Pengertian lain adalah seseorang yang mempraktekkan suatu profesi dan seseorang
yang dipandang sebagai ahli dalam suatu cabang ilmu (one who is regarded an
expert since he has mastery of a specific branch of learning). Jadi seseorang yang
mempraktekkan suatu pekerjaan yang diterima sebagai status profesional, maka ia
adalah seorang yang ahli dari cabang ilmu yang digelutinya, dengan demikian
lembaga profesional yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk
mengawasinya. Seorang yang profesional akan senantiasa terus-menerus mencari
kesempurnaan (mastery) dari cabang ilmu yang ia kuasai dan melakukan pekerjaan
dengan itu, sehingga ia akan lebih sempurna dalam memberikan pelayanan kepada
publiknya.

Oleh karena itu, seseorang yang menjadi profesional/ahli seharusnya ia terus


menerus meningkatkan mutu pengetahuannya sesuai dengan bidang pekerjaan
yang ia geluti, ini sesuai dengan pendapat Peter Jarvis (1983 : 27) “In order to be
master of branch of learning it is essential for a practitioner to continue his learning
after initial education and some professions have institutionalized education”.
Selanjutnya Jarvis menegaskan bahwa seorang profesional adalah yang berikhtiar
untuk menjadi ahli serta melaksanakan ilmu pengetahuannya dalam pekerjaannya
secara efektif (one who endeavor to have mastery of and to apply effectively that
knowledge upon which his occupations is based).

Untuk menjadi profesional harus melalui pendidikan dan atau latihan yang khusus.
Pendidikan profesional adalah suatu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
dengan panggilan atau pekerjaan profesional. Profesionalisasi berasal dari kata
professionalization yang berarti kemampuan profesional. Dedi Supriadi (1998)
mengartikan profesionalisasi sebagai pendidikan prajabatan dan/atau dalam
jabatan. Proses pendidikan dan latihan ini biasanya lama dan intensif.

Menurut Eric Hoyle (1980) konsep profesionalisasi mencakup dua dimensi yaitu :
“…..the improvement of status and the improvement of practice”. Pendapat ini
mengemukakan bahwa dimensi yang pertama meliputi upaya yang terorganisir
untuk memenuhi kriteria profesi yang ideal dan bila telah mencapai tingkatan
profesi yang sudah mapan, maka upaya tersebut adalah mempertahankan serta
membina posisi yang telah mapan itu. Profesionalisasi dalam dimensi ini
mengandung implikasi untuk meningkatkan periode latihan bagi anggota profesi
yang memiliki kualitas sehingga terlihat jelas batas yang berprofesi dan berhak
melaksanakan profesinya secara resmi dengan tidak, selanjutnya mempunyai
implikasi dalam meningkatkan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas profesi dan
kontrol atas latihan yang dilakukan anggota profesi.

Dimensi kedua menurut Hoyle adalah penyempurnaan pelaksanaan (improvement


of practice), meliputi penyempurnaan keterampilan secara terus menerus, serta
pengetahuan dari pelaksanaannya. Karena itu konsep profesionalisasi dapat
disamakan dengan pembinaan profesi (professional development).

C. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan

Secara normatif, Pasal 20 UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen


menandaskan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (a)
merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu,
serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (b) meningkatkan dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (c) bertindak
objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (d) menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika;
dan (e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Lebih lanjut Pasal 28 PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan


menjabarkan bahwa:
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional;

(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat
pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan
dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku;

(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b)
Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi profesional; dan (c) Kompetensi sosial;

(4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan
diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan
kesetaraan;

(5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pandangan yang ideal mengenai profesionalisme guru, direfleksikan dalam citra


guru masa depan sebagaimana dikemukakan oleh Sudarminta (1990), yaitu guru
yang: (1) sadar dan tanggap akan perubahan zaman; (2) berkualifikasi profesional;
(3) rasional, demokratis dan berwawasan nasional; (4) bermoral tinggi, beriman.

Sadar dan tanggap akan perubahan zaman artinya, pola tindak keguruannya tidak
rutin, maju dalam penguasaan dasar keilmuan dan perangkat instrumentalnya. Jadi
guru tersebut diharapkan menguasai daya foresight, intellectual coriosity, dan
kemampuan berpikir lateral.

Guru profesional yaitu guru yang tahu mendalam tentang apa yang diajarkan,
mampu mengajarkannya secara efektif, efisien, dan berkepribadian mantap. Guru
yang bermoral tinggi dan beriman tingkah lakunya digerakkan oleh nilai-nilai
luhur.
Syah (1995) memperinci kompetensi profesional guru ke dalam tiga aspek, yaitu:
(1) kompetensi kognitif; (2) kompetensi afektif; dan (3) kompetensi psikomotorik.

Aspek pertama meliputi penguasaan terhadap pengetahuan kependidikan,


pengetahuan materi bidang studi yang diajarkan, dan kemampuan mentransfer
pengetahuan kepada para siswa agar dapat belajar secara efektif dan efisien.

Kompetensi kedua yaitu sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi
keguruan, yang meliputi self concept, self efficacy, attitude of self-acceptance dan
pandangan seorang guru terhadap kualitas dirinya.

Sedangkan aspek yang disebut terakhir -kompetensi psikomotorik- meliputi


kecakapan fisik umum dan khusus seperti ekspresi verbal dan nonverbal.

Johnson sebagaimana dikutip Sanusi dkk (1991) mengetengahkan tiga aspek


performansi guru, yaitu :

(a) Kemampuan profesional yang mencakup : (1) penguasaan pelajaran yang


terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar
keilmuan dari bahan yang diajarkan itu; (2) penguasaan dan penghayatan atas
landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (3) penguasaan proses-proses
kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.

(b) Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada


tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai
guru.

(c) Kemampuan personal guru, mencakup : (1) penampilan sikap yang positif
terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi
pendidikan beserta unsur-unsurnya; (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan
nilai-nilai yang seyogianya dianut oleh seorang guru; (3) penampilan upaya untuk
menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.

P3G Depdikbud (1980) merumuskan sepuluh kompetensi dasar guru, yang


meliputi kemampuan-kemampuan dalam hal : (1) menguasai bahan ajar; (2)
mengelola program belajar mengajar; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media
dan sumber pengajaran; (5) menguasai landasan-landasan kependidikan; (6)
mengelola interaksi belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar siswa; (8)
mengenal fungsi dan program pelayanan BP; (9) mengenal dan ikut
menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) memahami prinsip-prinsip
penelitian pendidikan dan menafsirkannya untuk pengajaran.

Aktualisasi profesi guru dalam proses pembelajaran merupakan hal paling pokok
dalam menjawab isu-isu pokok pendidikan dewasa ini. Pelaksanaan pekerjaan
dalam bidang ini secara garis besar terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap kesiapan
guru untuk melakukan tugas yang ditunjukkan dengan perencanaan pengajaran; (2)
tahap pelaksanaan prosedur pengajaran berdasarkan perencanaan yang telah
dipersiapkan; dan (3) tahap ketiga berkaitan dengan kemampuan guru dalam
membina hubungan antarpribadi.

Tahap perencanaan pengajaran meliput aspek-aspek: (1) rencana pengorganisasian


bahan pengajaran; (2) pengelolaan pengajaran; (3) rencana pengelolaan kelas; (4)
penggunaan media dan sumber belajar; dan (5) rencana penilaian prestasi.

Tahap pelaksanaan prosedur terdiri atas aspek-aspek : (1) penggunaan metode,


media, dan bahan pengajaran; (2) berkomunikasi dengan siswa; (3)
mendemonstrasikan metode; (4) mendorong keterlibatan siswa; (6)
mengorganisasikan waktu, ruang, dan perlengkapan pengajaran; (7) melakukan
evaluasi.

Tahap pembinaan hubungan antarpribadi dapat diamati dari aspek-aspek: (1)


pengembangan sikap positif terhadap siswa; (2) sikap terbuka dan fleksibel; (3)
kesungguhan dan kegairahan mengajar; (4) mengelola interaksi perilaku di dalam
kelas.

Sejalan dengan uraian di atas, Wotruba dan Wright (1975) mengidentifikasi enam
karakteristik mengajar yang efektif.

Pertama, pengorganisasian yang baik dari pokok bahasan dan mata pelajaran.
Organisasi yang baik dari pokok bahasan ditunjukkan dalam tujuan-tujuan, materi
pelajaran, tugas-tugas, aktivitas kelas, dan ujian.

Tahapan penyiapan kelas dan efektivitas penggunaan waktu di dalam kelas, juga
merupakan indikator dari organisasi yang baik dari pokok bahasan dan mata
pelajaran.
Riset menunjukkan bahwa pengorganisasian mata pelajaran mempunyai hubungan
dengan cara siswa belajar. Apabila pelajaran diberikan secara terorganisasi akan
dapat membantu mengembangkan kemampuan belajar siswa, maka dapat
dinyatakan bahwa organisasi bahan pengajaran yang baik memberikan kontribusi
terhadap efektivitas mengajar.

Kedua, komunikasi yang efektif. Kemampuan guru termasuk penggunaan


audiovisual atau teknik-teknik lain untuk menarik perhatian siswa, merupakan
karakteristik mengajar yang penting untuk dievaluasi.

Keahlian berkomunikasi meliputi kemampuan-kemampuan menjelaskan


presentasi, kelancaran verbal, interpretasi gagasan-gagasan abstrak, kemampuan
berbicara yang baik dan kemampuan mendengarkan.

Dapat berkomunikasi dengan baik merupakan karakteristik penting bagi mengajar


yang efektif. Karena, komunikasi yang efektif sangat penting untuk kelas-kelas
yang besar, seminar, laboratorium, grup-grup diskusi kecil, sebaik dalam
percakapan orang perorang.

Ketiga, pengetahuan dari —dan perhatian pada— bahan pelajaran serta proses
pembelajaran. Guru harus mengetahui bahan pelajaran yang mereka bina agar
mereka dapat mengorganisasikannya secara tepat sehingga dapat
mengkomunikasikannya secara tepat pula.

Seorang pengajar penting untuk mencurahkan perhatian dan pemikirannya


terhadap disiplin ilmunya, termasuk yang didapatkannya dari penelitian.
Pengetahuan pengajar terhadap materi pelajaran direfleksikan juga dalam
kemampuannya memilih buku teks, bahan bacaan dan daftar referensi, isi
pengajaran serta silabus pelajaran.

Keempat, sikap yang positif kepada siswa. Sikap-sikap yang disukai siswa di
antaranya ialah pemberian pertolongan oleh pengajar atau instruktur ketika siswa
mengalami kesulitan berkenaan dengan materi pelajaran, pemberian kesempatan
mengajukan pertanyaan atau mengekspresikan opini siswa, dan kepedulian
terhadap hal-hal yang dipelajari siswa.
Sikap positif terhadap siswa dicerminkan pula dalam dukungan dan kepercayaan
diri siswa. Mengajar yang efektif sesungguhnya melibatkan harapan-harapan yang
tepat, pembimbingan dan dorongan kepada siswa.

Kelima, adil dalam ujian dan penilaian. Sejak awal pembelajaran, siswa harus
diberitahu mengenai jenis-jenis penilaian seperti karya tulis, proyek, ujian, kuis-
kuis, yang akan dijumlahkan pada akhir perkuliahan. Keterkaitan masing-masing
materi yang tercakup dalam pelajaran merupakan aspek penting dari keadilan.
Konsistensi penting bagi tujuan pelajaran, isi pelajaran, ujian, kuis-kuis, dan
penilaian.

Batas waktu dan manfaat umpan balik mengenai kinerja siswa, juga merupakan
elemen penting dari keadilan sebagaimana kesesuaian antara beban kerja dengan
kredit yang diterima. Umpan balik dalam bentuk peringkat dan komentar tidak
hanya dapat menjadi indikator pencapaian pengetahuan relatif siswa terhadap
dibanding rekan sekelasnya, tetapi harus dapat pula menjadi indikator
pertumbuhan pribadi.

Keenam, fleksibel dalam pendekatan mengajar. Pengajar yang jarang mencoba


pendekatan instruksional yang beragam mengindikasikan kehilangan semangat
mengajar. Variasi pendekatan instruksional berguna dalam menyempurnakan
bermacam-macam peraturan dan tujuan-tujuan pelajaran, serta dalam merespons
keragaman latar belakang individual siswa.

Dengan memvariasikan langkah-langkah instruksional yang mempertimbangkan


keragaman siswa akan memungkinkan pencurahan perhatian yang lebih baik dari
siswa terhadap materi pelajaran

Anda mungkin juga menyukai