Anda di halaman 1dari 8

MODEL SPLINE TERBOBOT UNTUK MERANCANG KARTU MENUJU SEHAT (KMS)

PROPINSI JAWA TIMUR

Adi Wicaksono1 , Mutiah Salamah2, dan Jerry Dwi Trijoyo Purnomo 2


1
Mahasiswa Statistika ITS 2Dosen Statistika ITS

ABSTRAK
Kartu Menuju Sehat (KMS) merupakan alat yang digunakan untuk memantau tumbuh kembang balita
dimana KMS ini merupakan modifikasi WHO-NCHS. Disisi lain, KMS yang saat ini digunakan di Indonesia
kurang menggambarkan pola pertumbuhan balita khususnya di Jawa Timur. Berdasarkan kurva
pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur terdapat perubahan pola pada batas usia tertentu dan juga
varian error yang tidak konstan. Dalam Hal ini spline terbobot merupakan pendekatan yang sesuai untuk
memodelkan pertumbuhan balita di Jawa Timur. Dari analisis regresi spline terbobot diketahui bahwa
perubahan pola pertumbuhan balita di Jawa Timur terjadi pada usia 6 bulan dan 13 bulan pertama. KMS
yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot mempunyai nilai R2>99 % untuk setiap nilai
persentil, sehingga KMS rancangn ini dapat dikatakan baik dalam menggambarkan pola pertumbuhan balita
di Propinsi Jawa Timur. KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot ini memiliki
standar evaluator yang lebih rendah dari pada KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.
Kata kunci : KMS, Kurva, Spline, Model, Rancangan.

1. Pendahuluan Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk


Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah suatu alat mendapatkan angka prevalensi gizi buruk di Propinsi
sederhana yang dapat digunakan untuk mencatat setiap Jawa Timur yang tepat adalah dengan merancangan suatu
perubahan berat badan balita berdasarkan bentuk dan KMS yang dikembangkan dari data balita di Propinsi
warna kurva pertumbuhan. Banyak manfaat yang dapat Jawa Timur. Rancangan KMS ini haruslah lebih dapat
diperoleh dari KMS, salah satunya adalah dapat mewakili pola tumbuh kembang balita di Jawa Timur
mendeteksi gizi buruk pada balita. Bedasarkan hasil daripada KMS yang digunakan saat ini, oleh karena itu
pemantauan Direktorat Bina Gizi Masyarakat selama diperlukan suatu metode regresi yang sesuai untuk
tahun 2005 - 2009, terdapat empat propinsi yang selalu membangun kurva hubungan antara usia dan berat badan
masuk dalam daftar daerah yang mengalami kasus gizi balita di Jawa Timur. Berdasarkan kurva pola pertumbu-
buruk tinggi, salah satunya adalah Propinsi Jawa Timur han balita di Propinsi Jawa Timur cenderung membentuk
dimana pada tahun 2009 Propinsi Jawa Timur menduduki suatu fungsi kurva regresi tertentu yang tidak diketahui.
posisi teratas untuk masalah gizi buruk (Siswono, 2010). Hal tersebut dapat didekati dengan regresi spline. Regresi
Beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur telah spline merupakan salah satu metode nonparametrik yang
melakukan upaya untuk menurunkan jumlah gizi buruk baik digunakan apabila tidak tersedianya informasi
diantaranya adalah revitalisasi Posyandu, pemberian apapun tentang bentuk dari fungsi kurva regresi.
penyuluhan gizi dan kesehatan, kunjungan rumah Pendekatan nonparametrik ini merupakan metode
(sweeping), pemberian makanan pendamping, deteksi pendugaan model yang tidak terikat dengan asumsi
dini masalah kurang gizi, serta menyiapkan anggaran bentuk kurva regresi tertentu, sehingga memberikan
untuk kegiatan penanggulangan gizi buruk. (Dinas fleksibilitas yang lebih besar (Hardle, 1990).
Komunikasi dan Informatika Propinsi Jawa Timur, 2010). Banyak kasus praktis, seperti pola pertumbuhan
Upaya penurunan jumlah gizi buruk balita di balita sangat sulit mengharapkan model regresi nonpara-
Propinsi Jawa Timur tidak memberikan hasil yang sesuai. metrik spline yang homoskedastik (Budiantara dan
Hal ini dapat ditinjau dari hasil Riset Kesehatan Dasar Purnomo, 2010). Untuk menyelesaikan permasalahan
2007 dan 2010 untuk kasus gizi buruk di Propinsi Jawa tersebut dikembangkan model spline terbobot. Model ini
Timur menunjuk penurunan yang kurang signifikan yaitu dikembangkan oleh Budiantara (1999) dan Subanar dan
dari 17.5% pada 2007 hanya turun 0.4% menjadi 17.1% Budiantara (1998).
pada tahun 2010. Oleh karena itu perlu ditindak lanjuti Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan
apakah kasus gizi buruk yang terjadi di Propinsi Jawa kondisi balita di Jawa Timur dengan pendekatan spline
Timur disebabkan oleh standar evaluator KMS yang tidak terbobot. Model Spline terbobot tersebut digunakan untuk
sesuai, sehingga cenderung kurang menggambarkan pola merancang KMS yang kemudian dibandingkan dengan
tumbuh kembang balita di Jawa Timur. Budiantara (2009) KMS yang digunakan di Indonesia saat ini
dalam penelitiannya mengenai KMS menyimpulkan
bahwa penggunaan KMS yang merupakan standar baku 2. Regresi Nonparametrik
dari WHO yang dikeluarkan oleh NCHS (National Center Dalam pendugaan kurva regresi dapat dilakukan
Health Statistics) kurang menggambarkan perilaku melalui dua cara, dimana cara yang paling sering
pertumbuhan balita yang ada di Indonesia. Akibatnya, digunakan adalah dengan pendekatan parametrik, yaitu
terdapat balita yang semestinya sehat, tetapi dalam KMS dengan mengasumsikan bahwa kurva regresi memiliki
terdekteksi tidak sehat, dan sebaliknya. beberapa bentuk fungsional, misalnya garis dengan slope
dan intercept yang tidak diketahui. Sebagai salah satu

1
alternatif adalah dengan menggunakan pendekatan nonpa- berdasarkan titik knot optimum yaitu berapa banyak titik
rametrik dimana metode nonparametrik ini tidak mengacu knot dan dimana letak titik-titik knot tersebut.
pada suatu bentuk fungsi kurva tertentu (Hardle, 1990).
Secara umum bentuk persamaan nonparametrik digam- 5. Pemilihan λ Optimal
barkan sebagai berikut (Wahba, 1985): Parameter λ merupakan pengontrol keseimbangan antara
Yi = f(ti) + εi, i = 1,…,n (1) kesesuaian kurva terhadap data dan kemulusan kurva
(Eubank, 1988). Memasangkan nilai λ yang sangat kecil
dengan yi variabel respon ke-i, f(ti) fungsi nonparametrik, atau besar akan memberikan bentuk fungsi penyelesaian
dan εi residual random yang diasumsikan berdistribusi yang sangat kasar atau sangat mulus (Eubank, 1988),
independen dengan mean nol dan varians σ2. Lebih lanjut sehingga perlu didapatkan λ yang optimal. Salah satu
f(ti) merupakan kurva regresi yang bentuknya tidak metode pemilihan parameter penghalus yang banyak
diketahui. dikembangkan adalah Generalized Cross Validation
(GCV). Metode ini dikembangkan oleh Craven dan
3. Spline Dalam Regresi Nonparametrik Wahba (1979) , Wahba (1985), Li (1986), Kohn dkk
Spline merupakan model polinomial yang (1991), dan Budiantara (1999). Pada model regresi spline
tersegmen. Sifat tersegmen inilah yang memberikan terbobot kriteria GCV didefinsikan sebagai berikut
fleksibilitas yang lebih baik daripada model polinomial (Budiantara, 1999).
biasa. Sifat ini memungkinkan model regresi spline
menyesuaikan diri secara efektif terhadap karakteristik #$%
GCVλ = (4)
lokal dari data. Secara umum, fungsi spline berorde (m-1) &'( )* +,- ./
dengan titik-titik knot S1,S2,..Sk adalah sebarang fungsi
yang dapat disajikan dalam bentuk (Eubank, 1988). 12 3-2 /
= n-1 

 0
(5)
& )* +,- ./
'(
S(t) = 
  

   



 (2)
dengan : A = "! "! "!  "! 
W = Matrik diagonal bobot yang berukuran nxn.
(t- Sj)m-1 , jika t ≥ Sj
dengan 

 = sehingga diperoleh persamaan GCV sebagai berikut.
0 , jika t < Sj
5
1 4 ,-  ,- 
GCVλ = n- (6)
α dan δ adalah konstanta real dan S1, S2,…,Sn adalah titik &'( )* +,- ./
knot
664 (7/ ,- 66/
= n-1 (7)
4. Estimasi Parameter Regresi Spline &'( )* +,- ./
Anggap ada n pengamatan    
yang
memenuhi persamaan yi = f(ti) + εi dimana f(t) adalah Nilai λ yang optimum berkaitan dengan nilai GCV yang
sebuah fungsi regresi yang tidak diketahui dan residual (e) minimum.
diasumsikan independen dengan varian konstan σ2.
Fungsi f(t) dapat dimodelkan dengan (m-1) derajat 6. Estimasi Bobot
penalized spline dan basis potongan polinomial sebagai Ada dua macam cara mendapatkan estimasi bobot.
berikut (Lee dan Yao, 2008). pertama dengan coba-coba (trial residual). Sistem trial
error ini adalah mendapatkan bobot dengan menggunakan
S(t) =            



 fungsi prediktornya (Montgomery dan peck,1982).
dengan {S1,…,Sj} adalah kombinasi knot dan fungsi (t)+ Namun demikian sulit untuk menemukan bobot yang
didefinisikan sebagai maksimum (t,0). Dugaan fungsi optimal karena banyaknya kombinasi dari fungsi
kurva f(t) dapat diperoleh melalui estimasi koefisien α = prediktor. Cara kedua adalah dengan estimasi
(α0,…, α m-1), δ =       dengan y =        menggunakan Moving Average (Silverman, 1985).
Metode estimasi dengan ini adalah dengan mengambil
1  …    
 …   
 persamaan.
X=       

1  …    
 …   
 08 9 : ;  < 

@
= >?
@

(8)
Estimator spline dalam regresi nonparametrik memiliki dimana: mi = Max (1,i-k) ; i = 1,2,…,n
sifat fleksibilitas yang tinggi dan kemampuan mengesti- ni = Min(n,i+k) ; i = 1,2,…,n
masi perilaku data yang cenderung berbeda pada interval k = Jumlah Parameter
yang berlainan (Eubank, 1988). Untuk menda-patkan nilai r*j= Bobot LMA atau GMA.
taksiran parameter dapat diperoleh dengan:
! = "! "! "!  "!  D
@E( C@ 1@ 3- )@ 
/
AB ? = (9)
= Aλ y (3) )*F !

Jika ingin mengestimasi kurva regresi nonparametrik Persamaan untuk Local Moving Average (LMA)
dengan pendekatan regresi spline, maka secara teoritis (7/
D
@E( C@ 1@ 3- )@ 
dapat dilakukan dengan mencari model spline terbaik ri* = (10)
GF@@ !(7/

2
Persamaan untuk General Moving Average (GMA) dengan:
(7/ LK = Koefisien regresi antara |e| terhadap variabel
D
@E( C@ 1@ 3- )@ 
ri* = (11) prediktor.
G '( )*F !(7/
Daerah penolakan :
Penggunaan bobot LMA atau GMA masing-masing Tolak H0 jika thit > ttabel.
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk mengatasi
kasus heteroskedastisitas yaitu varian residual tidak 7.3. Distribusi Normal
homogen, GMA dapat mengatasi lebih signifikan. Disisi Uji asumsi kenormalan residual yang digunakan
lain LMA juga mempunyai kelebihan selain dapat adalah dengan menggunakan uji kenormalan Kolmogorov
mengatasi heteroskedastisitas juga memberikan nilai Smirnov sebagai berikut (Kvam dan Vidakovic, 2007).
GCV yang lebih minimum. Hipotesis :
H0 : F (x) = F0 (x) ( residual berdistribusi normal)
7. Pemeriksaan Asumsi Residual H1 : F (x) ≠ F0 (x) ( residual tidak berdistribusi normal)
7.1. Independen
Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi Statistik Uji :
sisaan yang satu (εi) dengan sisaan lainnya (εj). Penyebab M 9 NO6  P 6 (14)
utama terjadinya autokorelasi adalah ada variabel penting dengan :
yang tidak digunakan dalam model. Pengujian untuk S (x) = fungsi peluang kumulatif
mendeteksi korelasi serial yang dikembangkan oleh F0(x) = fungsi peluang kumulatif distribusi normal
statistik Durbin dan Watson yang dikenal sebagai statistik atau fungsi distribusi yang dihipotesiskan
d Durbin-Watson, yang didefinisikan sebagai (Gujarati, F (x) = fungsi distribusi yang belum diketahui
2004):
Hipotesis Daerah penolakan :
H0 : Tidak ada korelasi antar sisaan Tolak H0 apabila Duji > D1-α,n
H1 : Ada korelasi antar sisaan
8. Kartu Menuju Sehat
Statistik Uji David Morley merupakan pelopor yang menggu-
D
IE/ HI HI'( 
/
d= (12) nakan kartu pertumbuhan anak yang disebut road to
D /
IE/ HI health chart pada tahun 1975 di desa Imesi, Nigeria
(Narendra,dkk, 2002). Kartu ini merupakan kurva berat
Pengambilan keputusan mengenai ada tidaknya badan anak berusia 0–5 tahun terhadap umurnya. Karena
autokorelasi: kelengkapan kartu tersebut untuk kesehatan balita, maka
1. Jika hipotesis nol (H0) adalah tidak ada korelasi serial disebut kartu menuju sehat. UNICEF menyatakan kartu
positif, maka apabila KMS sebagai komponen integral untuk layanan kesehatan
d < dL = Tolak H0 primer yang sangat bermanfaat bagi negara-negara
d > dU = Gagal tolak H0 berkembang.
dL < d ≤ dU = Pengujian tidak meyakinkan (tidak Menurut Morley pertumbuhan balita dapat diamati
dapat diputuskan untuk menolak atau tidak menolak dengan cara menimbang balita secara teratur setiap bulan
H 0) kemudian mencocokannya dengan KMS. Acuan baku
2. Jika hipotesis nol (H0) adalah tidak ada korelasi serial yang digunakan pada KMS Morley adalah presentil sesuai
negatif, maka apabila dengan International Childern’s Center UK Study yaitu
d > 4- dL = Tolak H0 garis atas adalah persentil ke-50 berat badan laki-laki.
d < 4- dU = Gagal Tolak H0 Sedangkan garis bawah merupakan persentil ke-3 berat
4- dU ≤ d ≤ 4- dL = Pengujian tidak meyakinkan badan balita perempuan. Pertumbuhan balita yang baik,
(tidak dapat diputuskan untuk menolak atau tidak akan mengikuti arah lengkungan garis pada KMS. Pada
menolak H0) balita yang sehat, setiap bulan berat badan anak
bertambah mengikuti pola garis hijau atau pindah ke pola
7.2. Identik warna di atasnya.
Identik yaitu varian residual homogen artinya
pada nilai variabel bebas berapapun variannya konstan 9. Sumber Data
yakni σ2. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi, Data yang digunakan adalah data sekunder yang
berarti terjadi heteroskedastisitas. Pengujian secara diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
statistik dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. tentang umur dan berat badan balita yang direkap pada
Setelah mendapatkan residual ei dari OLS, maka untuk setiap Posyandu di 38 (tiga puluh delapan) kabupaten
melakukan uji glejser yaitu dengan meregresikan variabel /kota yang ada di Propinsi Jawa Timur mulai bulan
X terhadap nilai absolut dari ei. Januari sampai dengan Desember 2010.
Hipotesis 10. Variabel Penelitian
H0 : Residual homogen Variabel-variabel yang digunakan dalam
H1 : Residual tidak homogen penelitian ini adalah sebagai berikut:
Statistik Uji: 1. Variabel respon (y) : Berat badan balita (kg)
JK
t= (13) 2. Variabel Prediktor (t) : Usia balita (bulan)
$% JK

3
11. Langkah Analisis
Berdasarkan tujuan penelitian disusun tahap- Scatterplot of Berat Badan (Kg) vs Usia (Bulan)
tahap analisis sebagai berikut :
15.0
Tahap 1 Mendapatkan model regresi spline terbobot
terbaik dari data berat badan balita di Jawa Timur
12.5

Berat Badan (Kg)


Tahap 2 Merancang KMS yang diwakili oleh nilai-nilai 10.0
persentil dengan pendekatan regresi spline terbobot.
7.5
Tahap 3 Membandingkan secara visual antara KMS yang
dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot 5.0
dengan KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.
0 10 20 30 40 50 60
Usia (Bulan)
12. Deskripsi Umum Balita di Propinsi Jawa
Timur Gambar 2 Plot Nilai Median Berat Badan Balita Propinsi Jawa
Secara umum persebaran pola pertumbuhan Timur
balita di Jawa Timur mempunyai variasi yang berbeda
untuk setiap golongan usia, variasi terkecil terletak pada Penggunaan nilai persentil 50 (median) ini karena
usia 0 bulan dan semakin usianya bertambah mendekati terdapat sejumlah outlier pada usia tertentu sehingga
60 bulan, maka variasi persebaran berat badan balita di penggunaan nilai median diharapkan tidak terpengaruh
Jawa Timur juga semakin besar. Untuk mengetahui oleh data pencilan/outlier. Selain itu, nilai persentil 50
Gambaran pola persebaran berat badan balita di Jawa (median) merupakan salah satu nilai yang digunakan
Timur, maka dilakukan ploting data berat badan balita dalam standar baku NCHS untuk mengGambarkan KMS
di Jawa Timur berdasarkan usia 0 – 60 bulan adalah yang nantinya akan menjadi garis pusat rancangan Kartu
sebagai berikut. Menuju Sehat (KMS).
Berdasarkan Plot Nilai Median Berat Badan
Balita di Jawa Timur pada Gambar 2 diketahui bahwa
Pertumbuhan berat badan balita di Jawa Timur secara
umum mengalami perubahan pada batas usia sekitar 1
tahun pertama. Pada batas usia ini pertumbuhan berat
badannya sangat cepat dan setelah 1 tahun pertama,
pertumbuhan berat badannya cenderung melambat.
Akibat adanya perubahan pola pertumbuhan
berat badan balita Jawa Timur menyebabkan bentuk
kurva pertumbuhan balita di Jawa Timur membentuk
suatu fungsi tertentu yang tidak diketahui. Untuk
mendapatkan fungsi tersebut, maka dapat didekati dengan
regresi spline. Dengan pendekatan regresi spline, maka
dapat diketahui kapan atau pada usia berapa pertumbuhan
berat badan balita di Jawa Timur mengalami perubahan
Gambar 1 Plot gabungan berat badan terhadap usia balita pola.
Propinsi Jawa Timur Untuk melakukan pendekatan terhadap suatu
bentuk kurva tertentu secara umum terdapat tiga model
Berdasarkan plot persebaran pada Gambar 1, regresi spline yang sering digunakan yaitu spline linear
maka dapat diketahui bahwa pola persebaran berat badan (orde 1), spline kuadratik (orde 2) dan spline kubik
balita di Jawa Timur yaitu ketika bayi baru lahir usia 0 (orde 3).
bulan berat badannya berikisar antara 2,5 – 5,5 Kg dan Berdasarkan bentuk kurva pertumbuhan berat
semakin usianya bertambah mendekati 60 bulan maka badan balita di Jawa Timur, maka berikut disajikan tiga
pola persebaran berat badannya semakin besar yaitu model regresi spline original (tanpa bobot) untuk 1 titik
berkisar antar 12 – 18 Kg. Hal ini menunjukkan bahwa knot, 2 titik knot dan 3 titik knot dengan nilai GCV
variasi pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur sangat minimum.
tinggi. Untuk itu maka Kartu Menuju Sehat Balita (KMS)
yang dirancang dengan pendekatan regresi spline harus Tabel 1 Knot optimum beserta nilai GCV spline original
Mode Spline 1 Knot 2 Knot 3 Knot
mampu mewakili variasi berat badan balita di Jawa Orde 1 S1=8 S1=5 S2=15 S1=4 S2=11 S3=40
Timur. (Spline Linear) GCV=0,0338 GCV = 0,0157 GCV = 0,0092
13. Model Spline Untuk Membangun Kurva Orde 2 S1=9 S1=6 S2=12 S1=7 S2=20 S3=23
(Spline Kuadratik) GCV=0,0085 GCV=0,0073 GCV=0,0069
Pertumbuhan Balita di Jawa Timur Orde 3 S1=13 S1=10 S2=21 S1=6 S2=9 S3=21
Untuk mengetahui pola pertumbuhan balita di (Spline Kubik) GCV=0,0075 GCV=0,0070 GCV= 0,0072
Jawa Timur, maka digunakan nilai persentil 50 (median),
Berikut adalah scater plot persentil 50 antara berat badan Berdasarkan Tabel 1, dari beberapa model
(Kg) terhadap usia (bulan) balita. regresi spline yang memberikan nilai GCV minimum

4
adalah model regresi spline orde 2 (kuadratik) dengan 3 Setelah didapatkan model spline terbobot terbaik, maka
kombinasi titik knot yaitu S1=7 S2=20 dan S3=23 dengan tahap selanjutnya adalah melakukan diagnostic checking
nilai GCV sebesar 0,0069. terhadap residual data, untuk mengetahui apakah residual
telah memenuhi asumsi IIDN sebagai berikut.
14. Diagnostic Checking Tabel 4 Hasil pengecekan asumsi residual spline terbobot
Setelah didapatkan model spline original (tanpa Asumsi Statistik Hitung Statistik Tabel
bobot) terbaik, maka selanjutnya adalah dilakukan Identik t hitung = 1,784 (t0.025,59) = 2,001
diagnostic checking terhadap residual data, untuk dU(4,61) = 1,728
mengetahui apakah residual telah memenuhi asumsi IIDN 4-dU = 2,272
adalah sebagai berikut. Independen d = 1,97718
Tabel 2 Hasil pengecekan asumsi residual spline original dL(4,61) = 1,449
Asumsi Statistik Hitung Statistik Tabel 4-dL = 2,551
Identik t hitung = 2,524 (t0.025,59) = 2,001 Distribusi Normal Duji = 0,083 D0.95, 60 = 0,172
dU(5,61) = 1,767
4-dU = 2,233 Tabel 4 menunjukkan bahwa model spline
Independen d = 2,1163 terbobot kuadratik dengan 2 titik knot yaitu S1 = 6 dan
dL(5,61) = 1,414 S2 = 13 telah memenuhi asumsi IIDN.
4-dL = 2,586
Distribusi Normal Duji = 0,094 D0.95, 60 = 0,172 16. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi
Spline Terbobot
Berdasarkan pengecekan asumsi residual pada Uji signifikansi parameter digunakan untuk
Tabel 3 terdapat 1 asumsi yang dilanggar yaitu residual mengetahui apakah parameter dari model yang telah
tidak identik. Untuk menyelesaikan kasus residual tidak dibangun berpengaruh atau tidak. Terdapat 2 pengujian
identik maka dalam estimasi parameter dapat digunakan signifikansi parameter, yaitu pengujian secara serentak
suatu bobot tertentu. (uji-F) dan pengujian secara individu (uji-t).

15. Spline Terbobot 16.1 Uji Serentak


Model regresi spline orde 2 (tanpa bobot) dengan Untuk mengetahui pengaruh parameter secara
3 kombinasi titik knot yaitu S1=7 S2=20 dan S3=23 pada serentak terhadap model yang telah dibangun maka
data berat badan balita di Jawa Timur tidak memenuhi dilakukan uji-F.
asumsi residual identik. Untuk menyelesaikan kasus ini, Hipotesis
maka saat melakukan estimasi parameter diperlukan H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0
pembobotan dengan suatu nilai yang diperoleh dengan H1 : Paling sedikit ada satu βi ≠ 0 ; i= 0,1,2,3,4
estimasi menggunakan Local Moving Average (LMA). Tabel 5 Tabel ANOVA model spline kudratik terbobot
Metode pembobotan dengan Local Moving Average Source of Sum of Mean
(LMA) ini selain dapat mengatasi kasus heterokedastisitas df Fhitung
Variation Square Square
juga dapat memberikan nilai General Cross Validation Regression 4 502,0053 125,5013 18782,15
(GCV) yang lebih minimum dari pada metode Residual 56 0,3742 0,0067
pembobotan dengan General Moving Average (GMA).
Total 60 502,3795
Berikut adalah hasil pemodelan dengan menggu-nakan
pembobotan LMA untuk 1 titik knot, 2 titik knot dan 3
Berdasarkan ANOVA pada Tabel 4 didapatkan
titik knot untuk data berat badan balita Propinsi Jawa
nilai F hitung =18782,15 jika dibandingkan dengan F
Timur.
(0.05,4,56) = 2,53658 maka diputuskan tolak H0 yang berarti
Tabel 3 Knot optimum beserta nilai GCV spline terbobot
Mode Spline 1 Knot 2 Knot 3 Knot secara serentak parameter signifikan terhadap model yang
Orde 1 S1=7 S1=5 S2=15 S1=4 S2=11 S3=40 telah dibangun.
(Spline Linear) GCV=0,02876 GCV=0,01528 GCV=0,00928
Orde 2 S1=9 S1=6 S2=13 S1=7 S2=18 S3=25 16.2 Uji Individu
(Spline Kuadratik) GCV=0,00859 GCV=0,00756 GCV=0,00757
Orde 3 S1=13 S1=8 S2=17 S1=7 S2=15 S3=23 Setelah dilakukan uji signifikansi secara serentak
(Spline Kubik) GCV=0,00802 GCV=0,00760 GCV=0,00787 maka selanjutnya adalah dilakukan pengujian parameter
secara individu adalah sebagai berikut.
Tabel 2 menunjukkan nilai GCV minimum yaitu 0.00756 Hipotesis
yang diberikan oleh model spline kuadratik (orde 2) H0 : βi = 0
dengan 2 titik knot yaitu S1 = 6 dan S2 = 13. Hal ini H1 : βi ≠ 0 ; i= 0,1,2,3,4
menunjukkan bahwa balita di Jawa Timur mengalami Tabel 6 Pengujian Parameter Secara Individu
perubahan pola pertumbuhan berat badan sebanyak 2 kali. Parameter Coef SE t hitung t (0.025,56)
Pada estimasi regresi spline dengan bobot General β0 3,4902 0,0609 57,2737
Moving Average (GMA) didapatkan nilai GCV minimum β1 0,9763 0,0302 32,3366
sebesar 0.00776 yang diberikan oleh model spline orde 3
β2 -0,0540 0,0031 -17,2994 2.0032
dengan 2 kombinasi titik knot S1 = 12 dan S2 = 38,
β3 0,0418 0,0038 11,1549
sehingga dapat disimpulkan bahwa pembobotan dengan
β4 0,0117 0,0008 14,8812
LMA didapatkan nilai GCV yang lebih minimum.
5
Hasil pengujian parameter model regresi spline terbobot
kuadratik dengan 2 titik knot secara individu diperoleh
kesimpulan tolak H0 pada setiap parameter, hal ini dapat
diketahui karena nilai |t hitung| > t(0.025, 56) = 2,0032. Artinya
semua parameter secara individu signifikan terhadap
model yang telah dibangun.
Berikut adalah model matematis regresi spline
kuadratik terbobot dengan kombinasi 2 titik knot S1 = 6
dan S2 = 13.

B = β0 + β1 x + β2 x2 + β3 (x – 6)+2 + β4 (x – 13)+2

dengan taksiran parameter model regresi spline kuadratik


terbobot dengan 2 titik knot S1 = 6 dan S2 = 13 adalah

B = 3,4608 + 0,9886x – 0,0552x2 + 0,0431 (x – 6)+2 Plot Berat Badan Balita Propinsi Jawa Timur
+ 0,0116 (x – 13)+2 Untuk Setiap Nilai Persentil

3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 <6 Gambar 4 Plot Berat Badan Balita Untuk Setiap Nilai Persentil
B = 5,0124 + 0,4714 x – 0,0121 x2 6≤ x < 13
6,9728 + 0,1698 x – 0,0005 x2 ≥ 13 Gambar 4 menunjukkan pola persebaran berat
badan balita di Jawa Timur yang diwakili oleh nilai-nilai
Terdapat 3 model regresi spline untuk masing- persentil ke-3, 5, 10, 25, 35, 50, 65, 75, 90, 95 dan 97.
masing potongan atau segmen. Model spline untuk berat Terlihat bahwa pola pertumbuhan berat badan balita di
badan balita di Jawa Timur sebelum usia 6 bulan adalah Jawa Timur cenderung berubah pada sekitar usia 6 bulan
3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 dan model spline terbobot pertama, dan semakin usianya mendekati 60 bulan, maka
ketika usia balita antara 6 sampai dengan sebelum 13 variasi berat badan balita di Jawa Timur semakin besar.
bulan bulan adalah 5,0124 + 0,4714 x – 0,0121 x2 Berikut adalah model regresi spline terbobot
sedangkan model spline terbobot untuk balita yang orde 2 dengan kombinasi 2 titik knot untuk masing-
berusia lebih dari 13 bulan adalah 6,9728 + 0,1698 x – masing persentil.
0,0005 x2.
Berikut adalah plot model regresi spline terbobot BQ = 2,1967 + 0,7896 x – 0,0330 x2 + 0,0321 (x – 11)+2 +
orde 2 dengan kombinasi 2 titk knot S1 = 6 dan S2 = 13. 0,0021 (x – 29)+2

BR = 2,4149 + 0,7960 x – 0,0348 x2 + 0,0324 (x – 9)+2 +


0,0025 (x – 23)+2

B = 2,6773 + 0,8244 x – 0,0384 x2 + 0,0255 (x – 9)+2 +


0,0125 (x – 14)+2

B?R = 3,0229 + 0,9041 x – 0,0453 x2 + 0,0360 (x – 8)+2 +


0,0089 (x – 17)+2

BQR = 3,2049 + 0,9778 x – 0,0558 x2 + 0,0454 (x – 6)+2 +


0,0101 (x – 15)+2

BR = 3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 + 0,0431 (x – 6)+2 +


0,0116 (x – 13)+2

Gambar 3 Plot spline terbobot kuadratik dengan titik knot S1 =6 BSR = 3,6866 + 1,0827 x – 0,0707 x2 + 0,0587 (x – 5)+2 +
dan S2 = 13 0,0116 (x – 13)+2

17. Rancangan Kartu Menuju Sehat (KMS) BTR = 3,8640 + 1,0986 x – 0,0682 x2 + 0,0509 (x – 8)+2 +
Rancangan KMS yang akan dibangun terdiri dari 0,0167 (x – 14)+2
nilai-nilai persentil dari data berat badan balita di Propinsi
Jawa Timur, yaitu persentil ke-3, 5, 10, 25, 35, 50, 65, 75, BU = 4,2381 + 1,3866 x – 0,1186 x2 + 0,1056 (x – 6)+2 +
90, 95 dan 97. Masing-masing persentil dilakukan pemo- 0,0126 (x – 12)+2
delan dengan regresi spline terbobot kuadratik kombinasi
2 titik knot. Berikut merupakan plot persebaran untuk BUR = 4,3490 + 1,7128 x – 0,1939 x2 + 0,1745 (x – 11)+2–
masing-masing persentil. 0,0190 (x –39)+2

6
Tabel 7 Nilai R2 Untuk Setiap Nilai Persentil direvisi berdasarkan Standar Antropometri WHO 2005,
Persentil R2 sehingga KMS yang digunakan di Indonesia saat ini
3 99,45 % adalah KMS standar baru dari WHO 2005, KMS ini
5 99,67 % dirancang dengan mengembangkan data dari beberapa
10 99,73 % Negara di Asia diantaranya adalah Indonesia, Srilangka,
25 99,89 % Bangladesh dan Maldivesini dimana negara-negara terse-
35 99,85 % but mempunyai pola pertumbuhan balita yang relatif
50 99,93 % sama. Berikut adalah KMS yang digunakan di Indonesia
65 99,91 % saat ini.
75 99,90 %
90 99,74 %
95 99,71 %

Model rancangan KMS propinsi Jawa Timur dengan


pendekatan spline terbobot tersebut dapat diketahui
bahwa nilai R2 untuk semua nilai persentil pengamatan
lebih dari 99% sehingga model rancangan KMS tersebut
dapat dikatakan baik dalam menggambarkan pola
pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur. Untuk lebih
jelasnya mengenai hasil rancangan KMS dengan metode
spline terbobot maka dapat dilihat pada Gambar 5 sebagai
berikut.

Gambar 6 KMS yang digunakan di Indonesia saat ini

Setelah merancang KMS dengan menggunakan


pendekatan regresi spline terbobot dan mengetahui KMS
yang digunakan di Indonesia, maka selanjutnya adalah
melakukan perbandingan secara visual antara kedua KMS
yang dapat dilihat pada Gambar 7 sebagai berikut.

Gambar 5 Rancangan KMS dengan spline terbobot

Rancangan KMS pada Gambar 5 merupakan


hasil pemodelan dari masing-masing persentil yang
digambarkan dalam bentuk garis, dimana pusat KMS
berada pada batas persentil ke-50 yang ditandai dengan
garis berwana hijau tua. Pusat KMS tersebut merupakan
pola pertumbuhan balita normal dipropinsi Jawa Timur,
sedangkan pada persentil ke-3 sampai dengan persentil
ke-10 merupakan zona kurang atau beresiko mengalami Gambar 7 Perbandingan KMS rancangan dengan KMS
gizi buruk yang ditandai dengan warna kuning dan pada Indonesia
persentil ke-90 sampai dengan persentil ke-95 juga
merupakan zona beresiko mengalami kelebihan gizi yang Perbandingan KMS pada Gambar 7 menunjukkan bahwa
juga ditandai dengan warna kuning. Zona kritis pada KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline
KMS diwakili oleh garis merah yaitu pada persentil ke-3 terbobot dengan data berat badan balita di Jawa Timur
dengan kata lain pada batas tersebut balita melangalami memiliki standar evaluator yang lebih rendah daripada
gizi buruk yang akut, sehingga harus segera diperlukan KMS yang digunakan di Indonesia saat ini. Untuk berat
penanganan khusus. badan balita normal Usia 36 bulan (3 tahun) yang ditandai
KMS di Indonesia telah digunakan sejak tahun dengan kurva berwarna Hijau pada KMS yang saat ini
1970-an, sebagai sarana utama kegiatan pemantauan digunakan berada pada interval 12 sampai dengan 16 Kg,
pertumbuhan. KMS di Indonesia telah mengalami 3 kali sedangkan pada KMS rancangan untuk berat badan
perubahan. KMS yang pertama dikembangkan pada tahun normal usia 36 bulan berada pada interval 10,7 sampai
1974 dengan menggunakan rujukan Harvard dan pada dengan 14,8 Kg. Untuk berat badan balita dengan resiko
tahun 1990 diterbitkan KMS revisi dengan menggunakan kurang gizi (zona kuning bawah) pada KMS yang saat ini
rujukan WHO-NCHS. Pada tahun 2008, KMS balita digunakan berada pada interval 10 sampai dengan 12 Kg,

7
sedangkan pada KMS rancangan berada pada interval 9,5 metrik dan Semiparametrik: Sebuah Pemodelan
sampai dengan 10,6 Kg. Untuk berat badan balita dengan Statistika Masa Kini dan Masa Mendatang. Pidato
resiko kelebihan gizi (zona kuning atas) pada KMS yang pengukuhan untuk jabatan guru besar dalam
saat ini digunakan berada pada interval 16 sampai dengan bidang Matematika Statistika dan Probabilitas,
17,5 Kg, sedangkan pada KMS rancangan berada pada Jurusan Statistika FMIPA, ITS, Surabaya.
interval interval 14,9 sampai dengan 15,8 Kg. Budiantara, I.N, dan Purnomo, J.D.T. (2010). Model
Berdasarkan perbandingan visual antara KMS Regresi Nonparametrik Spline Terbobot dan
pada Gambar 7 juga dapat diketahui bahwa berat badan Aplikasinya Dalam Merancang KMS. Laporan
balita usia 0-6 bulan pada KMS rancangan berada lebih Penelitian Guru Besar, Jurusan Statistika FMIPA,
tinggi dari pada KMS Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh ITS, Surabaya.
banyaknya ibu yang masih kurang paham akan Craven, P dan Wahba, G. (1979). Smoothing Noisy
pentingnya pemberian ASI eksklusif, sehingga banyak Data With Spline Function: Estimating The
balita di Jawa Timur yang diberi susu formula. Hal ini Correct Degree of Smoothing by The Method of
menyebabkan berat badan balita lebih cepat meningkat Generalized Cross Validation. Numer. Math. , 31,
pada sekitar usia tersebut (adingingsih, 2010). 377-403.
Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi Jawa
19. Kesimpulan Timur. (2011). Rendahnya Daya Beli Pengaruhi
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka Terjadinya Gizi Buruk Di Pamekasan. Diakses
dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: pada 3 Mei 2011, dari Media Jatim Menuju E-
Government: jatimprov.go.id
1. Model regresi spline terbobot terbaik yang Eubank, R.L. (1988). Nonparametric Regression And
mengGambarkan hubungan antara berat badan Spline Smoothing. New York: Marcel Dekker,Inc.
terhadap usia balita di propinsi Jawa Timur dapat Gujarati, D. (2004). Basic Econometric. New York: The
dibagi menjadi tiga segmen yaitu, McGraw-Hill Companies.
Hardle, W. (1990). Applied Nonparametric Regession.
3,4902 + 0,9763 x – 0,0540 x2 <6 Cambridge: Cambridge University Press.
B = 4,9950 + 0,4747 x – 0,0122 x2 6≤ x < 13 Kohn, R.dkk. (1991). Performance of Cross Validation
6,9723 + 0,1705 x – 0,0005 x2 ≥ 13 and Maximum Likelihood Estimators of Spline
Smoothing Parameters. Journal of The American
2. Rancangan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang telah Statistical Association , 86, 1042-1050.
dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot Kvam, P. H., dan Vidakovic, B. (2007). Nonparametric
mempunyai nilai R2=99,77%, sehingga KMS Statistics with Applications to Science and
rancangan ini dapat dikatakan baik dalam menggam- Engineering. New Jersey: John Wiley & Sons.
barkan pola pertumbuhan balita di propinsi Jawa Lee C. M. dan Fang Yao. (2008). On Knot Placement
Timur. for Penalized Spline Regression. Department of
Statistics, University of Toronto Canada.
3. Hasil perbandingan KMS yang digunakan di Li, K.C. (1986). Asymtotic Optimality of Cl and
Indonesia saat ini dengan rancangan KMS dengan Generalized Cross Validation in Ridge Regression
pendekatan regresi spline adalah bahwa KMS With Application to Spline Smoothing. Ann.Statist
dengan pendekatan spline terbobot memiliki standar , 14, 1101-1112.
evaluator yang lebih rendah daripada KMS yang Montgomery, D., & Peck, E. (1982). Introduction to
digunakan di Indonesia saat ini. Linear Regression Analysis. New York: John
Wiley & Son.
Narendra, M., Sularyo, T., Suyitno, H., & Ranuh, I.
19. Saran
(2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.
Petugas posyandu yang mencatat data berat
Jakarta: CV. Sagung Seto.
badan balita di Jawa Timur memiliki tingkat
Silverman, B.W. (1985). Some Aspect of The Spline
ketrampilan yang berbeda. Disamping itu petugas yang
Smoothing Approach to Nonparametric Regression
mengentri data kekomputer berbeda dengan petugas
Curve Fitting (With Discussion). Journal of The
yang mencatat dilapangan, sehingga ada kemungkinan
Royal Statistical Society, ser B , 47, 1-52.
perbedaan informasi data. Oleh karena itu sebelum data
Siswono. (2010). Kasus Gizi Buruk : Empat Propinsi
digunakan dalam analisis sebaiknya di screening atau
Tak Pernah Absen. Diakses pada 3 Mei 2011, dari
diteliti terlebih dahulu apakah terdapat data yang tidak
Indonesian Nutrition Network: http://gizi.net
lazim (salah dalam proses pengentrian/pencatatan) agar
Subanar, dan Budiantara, I.N. (1999). Weighted Spline
didapatkan hasil analisis yang akurat.
Estimator in a Partially Linear Models, Proceeding
of the SEAMS-GMU. International Conference
20. Daftar Pustaka
1999 on Mathematics and Its Applications , 61-70.
Budiantara, I.N. (1999). Estimator Spline Terbobot
Wahba, G. (1985). A Comparison of GCV and GML for
Dalam Regresi Semiparametrik. Majalah Ilmu
Choosing the Smoothing Parameter in the
Pengetahuan dan Teknologi , 10, 103-109.
Generalized Spline Smoothing Problem. Journal
Budiantara, I.N. (2009). Spline dalam Regresi Nonpara-
the Annals of Statistics , 13, 1378-1402 .

Anda mungkin juga menyukai