Anda di halaman 1dari 2

UNIVERSITAS ANDALAS Nama : Fitra Ramadhan

FAKULTAS EKONOMI No. BP : 1710521009


JURUSAN MANAJEMEN Kelas : M 1 / S1 Manajemen
KOMUNIKASI BISNIS Semester : III / 3

Liputan6.com, Jakarta - Masalah impor gula rafinasi kembali dikeluhkan oleh para petani
lokal, khususnya Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Sebab, adanya impor ini
dinilai membuat harga tebu petani lokal jatuh dan tidak terserap.

Namun hal tersebut dibantah oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Dia mengatakan,
sebenarnya yang menjadi masalah bukan soal impor, melainkan produktivitas dan kualitas gula
yang dihasilkan oleh pabrik dalam negeri khususnya milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Kenapa pabrik gula swasta yang juga berasal dari tebu tidak ada masalah, karena dia efisien.
Bahkan petani tebu yang dibeli tebunya oleh swasta tidak ada masalah. Dia beli putus. Jadi ada
dua hal, sistem dan efisiensinya," ujar dia di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Menurut Enggar, industri gula swasta sudah menggunakan mesin yang modern. Hal ini membuat
biaya produksinya menjadi lebih efisien dan kuaitas gula yang dihasilkan juga baik. Sedangkan
industri milik BUMN dinilai tidak efisien sehingga biaya produksinya lebih tinggi dan berimbas
pada harga jual gula.

"Berapa harga pokok gula yang dijual oleh pabrik gula swasta yang berasal dari tebu? Apakah
dia onfarm atau dia beli. Range-nya antara Rp 5.500-Rp 8.000 per kg. Yang BUMN karena
mesinnya ada yang 185 tahun usianya, itu dia tidak efisien, menjadi di atas Rp 9.000. Kemudian
apakah kita harus naikan (harga eceran tertinggi/HET)? 264 juta rakyat Indonesia harus
menanggung beban kerugian harga tinggi akibat efisiensi dari pabrik gula BUMN itu.
Enggak fair. Mari kita jaga rakyat," jelas dia.

Enggar menyatakan, sebenarnya saat ini harga gula di tingkat konsumen bisa hanya sekitar Rp
12 ribu per kg, atau di bawah HET yang sebesar Rp 12.500. Namun dengan harga seperti ini,
pabrik-pabrik gula yang sudah tua tidak bisa bersaing.

"Sekarang terbukti, bisa dengan Rp 12 ribu, tapi yang collapse yang tidak efisien. Yang tidak
efisien ya tutup saja. Sebenarnya juga harus ada investasi baru atau serahkan kepada swasta
karena BUMN tidak efisien," tandas dia.

Dari data Kementerian Perdagangan (Kemendag), dari 59 pabrik gula di Indonesia, 35 pabrik
diantaranya telah berumur 100-184 tahun atau sekitar 59,3 persen. Kemudian 4 pabrik (6,8
persen) berumur 50-99 tahun, 11 pabrik (18,6 persen) berumur 25-49 tahun dan hanya 9 pabrik
(15,3 persen yang berumur di bawah 25 tahun.
Dari sisi produktivitas, dari 59 pabrik, sebanyak 16 pabrik (28 persen) berkapasitas 2.000
ton cane per day (TCD), 27 pabrik (45,6 persen) berkapasitas 2.000-4.000 TCD, 4 pabrik (6,6
persen) berkapasitas 4.000-6.000 TCD, 9 pabrik (13,4 persen) berkapasitas 6.000-8.000 TCD, 1
pabrik (1,4 persen) berkapasitas 8.000-10.000 TCD dan 3 pabrik (5 persen) yang berkapasitas di
atas 10 ribu TCD.

Sedangkan dibandingkan negara lain, seperti Thailand, jumlah pabriknya sebanyak 51 pabrik
dengan total kapasitas giling sekitar 940 ribu TCD dan rata-rata kapasitas 16.500 TCD per
pabrik.

Australia, sebanyak 24 pabrik dengan total kapasitas giling sekitar 480 ribu TCD dan rata-rata
kapasitas 11 ribu TCD per pabrik. Dan India, sebanyak 684 pabrik dengan total kapasitas giling
3,42 juta TCD dan rata-rata kapasitas 5.000 TCD per pabrik.

Anda mungkin juga menyukai