Anda di halaman 1dari 76

I MADE BAGIADA

DIVISI RESPIROLOGI DAN


PENYAKIT KRITIS
DEPARTEMEN PENYAKIT
DALAM FK UNUD/RSUP
SANGLAH DENPASAR
TB treatment and pregnancy, CDC 2016
Pendahuluan
• Pasien dengan penyakit ginjal memiliki peningkatan
risiko TB
• Ini berlaku untuk semua pasien dengan penyakit
ginjal kronis (CKD),
• Kejadian TB terutama pada pasien CKD stadium
lanjut
• Prevalensi TB laten pada pasien dialysis sangat
tinggi, antara 20% dan 70%

Segall L and Covic A. Diagnosis of Tuberculosis in Dialysis Patients: Current Strategy. CJASN June 2010, 5 (6) 1114-1122; DOI: https://doi.org/10.2215/CJN.09231209
Prevalensi TB CKD
Pasien menjalani dialysis:
• 10 - 12 kali lipat risiko lebih tinggi dibanding
dengan populasi umum
• Pasien HD regular insiden TB 3,7% - 13,3%
• Insidensi TB pasien dialisis diperkirakan:
• 18 per 100.000/tahun (low TB incidence
countries)
• 698 per 100,000/tahun (highest TB
incidence countries)
Prevalensi TB CKD
Transplantasi ginjal:
• Insiden TB 1% – 4% (Eropa Utara), 5% - 10%
(India)
• Penelitian Ye et al. 2012:
• Dari 2144 pasien SOT yang TB 40 kasus
• Waktu rata-rata kejadian TB 234 hari (33-
3940 hari)
• Faktor risiko adalah tacrolimus dan infeksi
CMV
Ha Y.E., Joo E.J., Park S.Y., Wi Y.M., Kang C.I., Chung D.R., Joh J.W., Lee S.K. Song J.H., Peck K.R. Tacrolimus as a risk factor for tuberculosis and outcome of treatment with rifampicin in
solid organ transplant recipients. Tranplantation Infectious Disease. 2012. https://doi.org/10.1111/j.1399-3062.2012.00721.x
Prevalensi TB CKD
• Dari 641 transplantasi ginjal:
• 12 kasus mengalami TB:
• 25% memiliki riwayat penolakan akut,
dan
• 50% kadar kreatinin >1,5 mg/dl
• 50% TB paru dan
• 33,3% Diseminata

Higuita L. M. S., Nieto-Ríos J. F., Daguer-Gonzalez S. et al. Tuberculosis in renal transplant patients: The experience of a single center in Medellín-Colombia, 2005-2013. J. Bras. Nefrol.
vol.36 no.4 São Paulo Oct./Dec. 2014 http://dx.doi.org/10.5935/0101-2800.20140073
Sistem imun pada CKD
• Disfungsi ginjal menyebabkan:
• Gangguan metabolisme ginjal dan
• Gangguan filtrasi glomerulus,
 akibatnya retensi zat terlarut toksik (uremia)
mempengaruhi semua organ tubuh
 mengganggu daya tahan tubuh
 berpengaruh terhadap leukosit, monosit /
makrofag, limfosit dan sel penyaji antigen (APC)

Cohen G, Hörl WH. Immune dysfunction in uremia—an update. Toxins (Basel). 2012;4(11):962–990. Published 2012 Oct 24. doi:10.3390/toxins4110962
Sistem imun pada CKD
UREMIA:
• Fungsi kemotaksis, dan fagositosis menjadi rusak
• Fungsi ko-stimulator sel-sel penyaji antigen
mengalami kelaianan
• Produksi Interleukin-2 (sel T-Helper) menurun
• Kondisi monosit persisten yang persisten, yang
disebabkan oleh uremia per se, serta oleh
perawatan dialisis.

Cohen G, Hörl WH. Immune dysfunction in uremia—an update. Toxins (Basel). 2012;4(11):962–990. Published 2012 Oct 24. doi:10.3390/toxins4110962
Sistem imun pada CKD
HEMODIALISIS
• Membran selulosa konvensional menyebabkan
jalur komplemen alternatif yang menyebabkan
perubahan pada molekul adhesi sel granulosit
CD11b, CD18 dan L-selectin, ini berkorelasi
dengan leukopenia.
• Gangguan fagositosis sering dijumpai dengan
membran cupropana.

Cohen G, Hörl WH. Immune dysfunction in uremia—an update. Toxins (Basel). 2012;4(11):962–990. Published 2012 Oct 24. doi:10.3390/toxins4110962
Sistem imun pada CKD
Terapi Immunosupresif:
• Tacrolimus atau mycophenylate mofetil sebagai
imunosupresan faktor risiko terjadinya TB lebih
awal pada masa pasca-transplantasi dan pada
pasien yang lebih muda.
• Berpengaruh terhadap imunitas humoral
predisposisi terhadap infeksi
• Faktor lain yang berkontribusi pada penurunan
kekebalan adalah Malnutrisi, defisiensi vitamin D,
dan Hiperparatiroidisme
Nilai Kerusakan Renal Dalam CKD

• CKD std. 1: CC normal dengan kelainan


struktural
• CKD STD. 2: CC 60 - 90ml / mnt
• CKD STD. 3: CC 30 - 60ml / mnt
• CKD STD. 4: CC 15 - 30ml / mnt
• CKD STD. : CC <15ml / menit dengan atau
tanpa dialisis
 Klainan imun dimulai dari std. 3
Patofisiologi TB - CKD
• Kelainan ini menetap setelah dialysis
• Rentan terkena infeksi TB
• Infeksi baru atau reaktivasi TB laten
• Penerima Transplantasi ginjal risiko TB aktif
(post tranplantasi)
• T cell–mediated immunity, penting sekali
untuk mempertahankan M.tb tetap laten
Faktor risiko TB pada CKD
• Stadium CKD (HD)
• Usia tua
Mengganggu
• Uremia imuitas seluler
• Hipoalbuminemia
• Malnutrition, and
• Obat imunosupresan
• Ko-morbid
Mudah
Infeksi

Kato S, Chmielewski M, Honda H, Pecoits-Filho R, Matsuo S, Yuzawa Y, et al. Aspects of immune dysfunction in end-stage renal disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3(5):1526–1533.
Gambaran Klinis TB pada CKD
• Onset akut, disertai demam, anoreksia, dan
kehilangan berat merupakan keluhan utama,
menyerupai gejala uremik
• Demam rata-rata 72% dari kasus (kisaran 29-100%),
• Malaise pada rata-rata 69% (kisaran 29-100%), dan
• Penurunan berat badan pada rata-rata 54% (kisaran
10-100% ).
• Batuk dan hemoptisis, gejala klasik TB pada
populasi umum, kurang sering dilaporkan pada
pasien dialisis (rata-rata 22% kasus; kisaran 5-71%)
Gambaran Klinis TB pada HD reguler
• Ascites, efusi pleura, limfadenopati, piuri
steril, hematuria, PNC
• Laki-laki hampir dua kali lebih sering
dibanding perempuan
• Mayoritas mengalami TB sebelum inisiasi HD
• Gejala konstitusional pada 30% - 92% pasien
• Paru adalah lokasi tersering pada pasien HD
regular 40-92 %

Vikrant S. Clinical profile of tuberculosis in patients with chronic kidney disease: A report from an endemic Country. Saudi J Kidney Dis Transpl 2019;30:470-7
Gambaran Klinis TB pada HD reguler
TB Ekstra paru
• KGB paling sering, 15% - 30%, disusul
• Abdomen,
• Pleura,
• Meningen,
• Tulang dan sendi, dan
• TB milier (10% - 15%)
TB pada peritoneal dialisis
TB peritonitis
• Demam, • Pertimbangkan TB
• Nyeri perut, dan peritonitis bila:
• Dialisatnya keruh peritonitis dengan
• Sitologi cairan hasil kultur negatif,
dialisat atau kultur positif
predominan tapi tidak sembuh
limfosit atau PMN dengan antibiotika
Gambaran Klinis TB pasien
Transplantasi Ginjal (TG)
• Penelitian di India, 5,6 % - 8,9% pasien pre-
tranplantasi ginjal memiliki riwayat TB sebelumnya
• Gejala konstitusional lebih sering dijumpai pada
pasien TG daripada pasien HD regular
• Paru lokasi yang paling sering diikuti oleh abdomen,
pericardium, thalamus, tulang dan sendi.
• Miliary TB juga telah dilaporkan pada 7% - 36%
• TB otak jarang
Diagnosis TB pada CKD
• Klinis
• Radiologis
• Laboratoris:
• Mikroskopis
• Biakan
• Molekuler
Klasifikasi TB
TB paru dan/atau EP, Kasus
Baru/ulangan (non-RO/RO), status ko-
morbid (CKD)
Diagnosis LTBI pasien CKD
• Orang dengan LTBI, beban bakteri sangat
kecil  tidak mungkin mendeteksi M.tb:
• Mikroskopis  bahan sputum tidak ada
• Kultur tidak menemukan tuberkel pada
sampel aspirasi
• Uji serologi unreliable dan
• Foto toraks biasanya normal

Segall L and Covic A. Diagnosis of Tuberculosis in Dialysis Patients: Current Strategy. CJASN June 2010, 5 (6) 1114-1122; DOI: https://doi.org/10.2215/CJN.09231209
OAT pada CKD
• Sifat farmakologis OAT menentukan bagaimana
OAT akan dipengaruhi oleh kelainan ginjal:
• Pembersihan selama dialisis
• Interaksi OAT dengan obat imunosupresif yang
digunakan pada pasien yang menjalani
transplantasi ginjal
• Waktu pemberian yang tepat:
• Berkaitan dengan dialisis dan
• Penggunaan bersamaan obat imunosupresif
setelah transplantasi ginjal
Isonizid (INH)
• INH dimetabolisme oleh hati menjadi senyawa yang
kurang aktif yang kemudian diekskresikan oleh
ginjal
• Bukti terbaru bahwa INH dapat didialisis hanya
dalam jumlah yang sangat kecil dan sebagian besar
pengeluarannya terjadi dari metabolisme hati
• Waktu paruh INH meningkat sekitar 45%:
• Tidak menyebabkan efek samping
• Tidak butuh pengurangan dosis, dan
• Tidak perlu pemantauan obat terapeutik
Isonizid (INH)
• CKD Std. 1-3 Isoniazid 300 mg;
• CKD std. 4-5 Isoniazid 300mg;
• Penerima Transplantasi Ginjal 15 mg / kg
maks 900 mg 3X / minggu
OAT pada CKD
Rifampicin INH Pyrazinamide
Aman Aman Metabolized dalam hati
metabolit aktif Metabolisasi dalam hati Eliminasi obat & metabolit
diekskresikan dalam yang terlambat pada CKD
empedu 4&5

Metabolit tidak aktif Tambahkan pyridoxine Membutuhkan


(10%) diekskresikan dalam untuk menghindari penyesuaian interval
urin neuropati perifer dosis:
-CKD 1-3:
Gunakan dosis normal di Gunakan dosis normal di <50kg: 1.5g setiap hari
semua tahap semua tahap > 50Kg: 2 g setiap hari
-CKD 4-5: 25-30 mg / Kg
3 x / minggu
Ethambutol Streptomycin Lini II

Nefrotoksik Nefrotoksik Prothionamide:


-aman
Ekskresi ginjal - 80% tidak Ekskresi ginjal- 80% tidak -ekskresi Billiary
berubah berubah

Toksisitas okular - Pembersihan berkurang Thiacetazone, PAS,


tergantung dosis pada usia lanjut Cycloserine Harus
dihindari Sebagian
Pemantauan serum yang Perlu penyesuaian interval diekskresikan oleh ginjal
diperlukan - harus <1.0ug dosis dalam semua tahap
/ ml • 12-15mg / Kg - 2 atau 3
-CKD 1-3: 15mg/kg setiap waktu / minggu
hari • Monitor kadar serum,
-CKD 4-5: 15-25mg/Kg • Rekomendasi baru –
3 x minggu Max 2,5 g hindari Aminoglikosida
Skrining TB pada pasien CKD
• Memiliki 2 tujuan:
• Mendeteksi TB asimptomatik atau simptomatik
minimal
• Meminimalisasi morbiditas, mortalitas, dan
potensi penyebarannya
• Prosedurnya:
• Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,
immune assay, dan foto dada
• Semua itu sangat mendasar untuk diagnosis pasti
TB aktif dan TB laten
Skrining TB pada pasien CKD
• Backbone skrining TB laten:
• Tes kulit tuberculin (Mantoux) dan IGRA
• TES KULIT TUBERKULIN:
• Tidak mahal
• False-negative sangat tinggi pada CKD
• False-positive post vaksinasi BCG
• IGRA:
• Menilai respon imun antigen-spesifik terhadap
M.tb
• Kelemahannya, mahal
Skrining TB pada pasien CKD
• BTS:
Semua pasien CKD dan dialysis ditentukan
risiko TB melalui:
• Pemeriksaan klinis,
• Foto toraks, dan
• IGRA bila ternyata berisiko TB
• Direkomendasikan skrining untuk yang
menunggu transplantasi
Farmakologi ko-
manajemen CKD dan TB
Pengobatan TB laten

• Pada imunokompeten, pencegahan dengan INH


efektif mengurangi terjadinya TB aktif dari 60%
sampai 90%.
• Terapi optimal TB laten pada CKD atau setelah
transplantasi belum jelas
Pengobatan TB laten
Harris et al.:
• Mengobati 97 pasien TB laten:
• Komplit menjalani terapi 76 (78.4%):
• Komplit untuk INH 59 (60.8%)
• Komplit RIF 9 (9.3%)
• 9 (9.3%) orang tidak dilaporkan hasilnya
• 7 (7.2%) pasien INH beralih ke RIF untuk menyesaikan
terapi
Reaksi efek samping:
• Total 30 (30.9%) pasien mengalami reaksi efek samping
• 10 pasien yang tidak menyelesaikan terapi:
• 6 (60.0%) dihentikan secara dini karena reaksi obat dan
• 1 pasien membutuhkan rawat inap RS
• Tidak ada yang meninggal
Miriam Harris, James Johnston, Lisa Ronald, Latent Tuberculosis Treatment Cascade in Chronic Kidney Disease Patients: The Vancouver Experience, Open Forum Infectious Diseases,
Volume 3, Issue suppl_1, December 2016, 2313, https://doi.org/10.1093/ofid/ofw172.1860
Pengobatan TB aktif
• Terapi lini-pertama (HRZE) boleh diberikan
pada CKD atau transplan, regimen ini
memiliki masalah khusus pada CKD stadium
lanjut
• E dan Z diekskresi melalui ginjal, memerlukan
penyesuaian dosis
• R berinteraksi dengan antihipertensi, DM, dan
obat imunosupresif
• Mungkin dibutuhkan penyesuaian dosis, atau R
diganti rifabutin atau rifamycin
Terapi TB post transplantasi ginjal
• Fase awal terapi 3 bulan:
• HZRE (75% kasus) dan
• HZME (25% kasus)
• Fase lanjutan:
• RH (75%)
• HE (25%)
• Lama terapi 6 – 18 bulan
• Hepatotoksik: 41,7% terjadi difase awal
• Follow up setahun kreatinin tetap stabil
• Angka kematian 16,7%
Higuita L. M. S., Nieto-Ríos J. F., Daguer-Gonzalez S. et al. Tuberculosis in renal transplant patients: The experience of a single center in Medellín-Colombia, 2005-2013. J. Bras. Nefrol.
vol.36 no.4 São Paulo Oct./Dec. 2014 http://dx.doi.org/10.5935/0101-2800.20140073
Kapan waktu tepat OAT pasien HD
• Masih jadi perdebaan
• 4 – 6 jam sebelum HD memiliki keuntungan untuk
mengurangi toksisitas E dan Z  namun terjadi
pengeluaran dini
• Dosis postdialisis, bisa DOT dan meningkatkan
kepatuhan, risiko meningkatnya kadar obat
diantara jeda dialysis
• Pemantauan kadar puncak (1 jam setelah
pemberian dosis) etambutol dan aminoglikosida
wajib dilakukan
Myall K. and Milburn H. J. An update on the management of latent tuberculosis infection and active disease in patients with chronic kidney disease. Pol Arch Intern Med. 2017; 127 (10):
681-686 doi:10.20452/pamw.4093
OAT pada Transplantasi Ginjal
• Dosis dan durasi standar untuk HRZE
• Mungkin perlu modifikasi sampai fungsi ginjal
normal
• Ethambutol dapat diganti dengan Moxifloxacin
• Rifampicin Hepatic enzyme inducer - risiko
penolakan cangkok
• Dosis penyesuaian untuk Cyclosporin, Tacrolimus
Mycofenolate
• Dobel dosis steroid
Myall K. and Milburn H. J. An update on the management of latent tuberculosis infection and active disease in patients with chronic kidney disease. Pol Arch Intern Med. 2017; 127 (10):
681-686 doi:10.20452/pamw.4093
OAT lini II untuk TB RO
• Fluoroquinolone, ofloxacin dan ciprofloxacin juga
tergantung pada pembersihan ginjal dan dosis
harus dikurangi.
• Fluoroquinolon lainnya menjalani beberapa tingkat
pembersihan ginjal yang bervariasi dari obat ke
obat.
• Levofloxacin menjalani pembersihan ginjal lebih
besar dari moxifloxacin.
• Fluoroquinolones menurunkan metabolisme
ciclosporin A dan menggantikannya dari bentuk
terikat, sehingga meningkatkan toksisitasnya
Cycloserine
• Hingga 70% cycloserine diekskresikan oleh ginjal
dan 56% dikeluarkan oleh hemodialisis.
• Mengingat efek samping neurologis dan psikiatri
terkait dosis hingga 50% pasien, diperlukan
penyesuaian dosis pada penyakit ginjal
• ATS merekomendasikan peningkatan interval dosis
dan menyarankan 250 mg sekali sehari atau lebih
disukai 500 mg 3 kali / minggu.
• Harus diberikan setelah hemodialisis untuk
menghindari dosis untuk neurotoksisitas.
Para-amino salicylic acid (PAS)
• PAS (6,3%) dibersihkan oleh hemodialisis tetapi
metabolitnya, asetil-PAS, secara substansial
dihilangkan
• 8-12 g / hari dalam dua atau tiga dosis terbagi dua
kali cukup.
• Ethionamide / prothionamide tidak dibersihkan
oleh ginjal dan juga tidak dikeluarkan oleh
hemodialisis, jadi tidak diperlukan penyesuaian
dosis.
• 15 hingga 20 mg / kg / hari (maksimum 1g;
biasanya 500 hingga 750 mg) dalam dosis harian
tunggal atau dua dosis terbagi
Clofazimine & Linezolid
Clofazimin:
• Dapat terakumulasi pada CKD dan menyebabkan kulit dan
rambut berubah warna, fotosensitivitas dan masalah mata.
• Dosis pada CKD dan menjalani HD, tiga kali seminggu.
Linezolid:
• Penggunaan >28 hari meningkatkan insiden gangguan
hematologi dan neuropati optik, menjadi sulit pada TB CKD
• Linezolid adalah inhibitor monoamine oxidase non-selektif
reversibel dan pasien harus menghindari makan makanan
kaya tyramine seperti keju dan produk yang mengandung
ragi.
• Dosis normal adalah 600 mg setiap 12 jam
TB DM
Pendahuluan
• TB IS THE SHADOW OF DM
• Sudah lama dikenal tapi tidak dihiraukan
• Dokter India Susruta (600 AD)  ”phthisis
frequently complicated diabetes”
• Autopsi pasien Diabetic pada th 1883
menunjukkan adanya TB
• Kaitan antara DM dan TB telah dicatat oleh
Avicenna (980 – 1027)
Pendahuluan
• Sebelum era insulin, diagnosis DM adalah
kalimat mati
• Penyebab utama kematian TB
• Selama abad ke 20, pasien DM yang mati
bukan karena koma diabetikum sepertinya
mati karena TB
• DM terutama dengan control darah jelek,
menyebabkan imunokompromised relative
dapat terjadi reaktivasi TB
DM meningkatkan kejadian TB
• Mekanisme:
• Langsung terkait dengan hiperglikemia
dan insulinopenia seluler, dan
• Tidak langsung pada makrofag dan fungui
limfosit, terutama menurunkan
kemampuan fagositosis organisme
• Menghasilkan asidosis jaringan local dan
imbalans elektrolit yang menggangu repair
DM meningkatkan kejadian TB
• Gangguan metabolisme KH:
• Akibat dari hiperglikemia
• Gula, gliserol dan substansi nitrogen darah
meningkat  baik bagi tumbuh - kembangnya basil
tuberkel
• Gangguan metabolisme protein:
• Pembentukan antibodi menurun
• Gangguan metabolism lemak:
• Ketosis menurunkan efek bakterisidal dari asam
laktat
• Peningkatan gliserol darah yang baik untuk
pertumbuhan basil tuberkel
DM meningkatkan kejadian TB
• Insufisiensi hati sebagai hasil dari fatty liver
menyebabkan hipovitaminosis hati (A dan D )
menurunkan integritas jaringan epitel
• Stres akibat peningkatan ACTH 
peningkatan kortikosteroid jalan menuju
berkembangnya TB
• Jika ada aterosklerosis mengganggu perfusi
paru dan meningkatkan VA/Q yang
meningkakan tekanan O2 alveolar 
membantu multiplikasi organisme
DM meningkatkan kejadian TB
• Gangguan fungsi endokrin pada std. lanjut:
• Disfungsi tiroid  pembentukan antibodi
menurun
• Disfungsi pituitary  ACTH meningkat  kadar
kortisolmeningkat:
• Pembentukan jaringan granuloma menurun
(terutama jaringan granulasi)  terjadi inflamsi
eksudatif dan penyebaran infeksi
• Reseptor insulin pada makrofag dan monosit
berkurang keadaan diabet memburuk (insulin
antagonis)  menekan imunitas
Apakah TB menyebabkan DM?
• TB dapat menyebakan terjadinya DM pada yang
sebelumnya tidak diketahui DM:
• Menurunnya glikogenesis hati
• Meningkatnya glikogenesis dan gluconeogenesis
• Kurangnya insulin akibat gangguan pankreasnya
sendiri
• Basil tuberkel menekan sensitivitas jaringan
terhadap insulin
• TB menyebabkan rusaknya jaringan
• Efek diabetogenic INH
Efek DM pada TB paru
• Meluasnya eksudat dan pengkejuan
berakibat kavitasi dan toksemia
• Lebih sering hemoptysis dan efusi pleura
• Predileksi area hilar dan basal
• Jarang TB ekstraparu dan lesi fibrous
• DM juga risiko meningkatkan hepatotoksik OAT
• DM menyebabkan perubahan absorbsi obat,
menurunkan ikatan protein obat, insufisiensi atau
perlemakan hati dengan gangguan pembersihan
obat
Efek DM terhadap outcome TB
DM berkaitan dengan:
• Kemungkinan terlambatnya konversi sputum
• Meningkatkan kematian
• Meningkatkan risiko kambuhnya TB
• Memburuknya kondisi DM karena TB mungkin
menginduce intoleransi glukosa dan memburuknya
control glukosa dengan peningkatan kebutuhan
insulin dan ketosis
• TB yang berat dapat mempengaruhi fungsi
pankreas
Diagnosis TB – DM
Anamnesis:
• Batuk berkepanjangan >2 minggu
• Demam berkepanjanan
• BB menurun atau meningkatnya kebutuhan
insulin
• Kelainan pada foto rontgen
• Gula darah lama terkontrol
Temuan radiologi
• Atipikal radiografi baik pola maupun distribusinya,
terutama paru bawah
• Lower-lobe tuberculosis:
• Salah diagnosis dengan pneumonia atau kanker
• Sputum mikroskopis dan kultur sering negative
• Kelainan multi lobar/kavitas lebih sering pada DM
• Keterlibatan paru bagian bawah dengan kavitas
kemungkinan TB DM
Manajemen TB-DM
• Mencegah TB pada pasien DM bagi yang
risiko tinggi TB dengan skrining TB laten:
• Tes kulit tuberkulin atau
• IGRA TST or IGRA, seharusnya dikerjakan
pada saat terdiagnosa DM
• Pemeriksaan foto torak dan sputum bila ada
gejala klinis TB atau kebutuhan insulin
meningkat
Pengobatan TB - DM
Terapi TB laten:
• Terapi TB laten mencegah berkembangnya
TB aktif
• Sebelum mulai terapi TB laten:
• Ekslusi TB aktif
• Pastikan pasien tidak mempunyai
riwayat KTD
• Pasien TB laten anjurkan terapi INH 9
bulan
Pengobatan TB - DM
Terapi penyakit TB:
• Pastikan bahwa terapi TB sesuai (ko-morbid?)
• Perlu penyesuaian PZA dan EMB bila ada
gangguan ginjal
• Diabetik nefropati : cek kreatinin
• Periksa fungsi hati untuk menghindari hepatotoksik
• Regimen yang sesuai:
• Fase awal: 2 bulan HRZE
• Fase lanjutan: 4 bulan RH
• Durasi 6 bulan
Pengobatan TB - DM
• Durasi terapi bisa sampai 9 bulan jika pasien
dengan kavitas paru dan kultur BTA positif
pada akhir fase awal
• Pada saat terapi komplit kerjakan sputum
mikroskopis dan kultur BTA
• Follow up pasien 6 bulan dan 1 tahun setelah
selesai pengobatan
Pengobatan TB - DM
• OAT yang diberikan mungkin:
• Toksisitas overlapping pada ko-manajemen TB dan DM
• Neuropati perifer karena INH, berikan B6
• Memburuknya kontrol gula darah:
• RIF langsung menyebabkab fase-awal hiperglikemia terkait
hyperinsulinemia bahkan pada non diabetes, atau
• RIF tidak langsung menyebabkan perburukan kontrol
glikemik melalui interaksi dengan OAD
• RIF menurunkan konsentrasi rosiglitazone 54-65% dan
pioglitazone 54%
• Kebutuhan insulin mungkin meningkat pada RIF
Ko-infeksi TB -
HIV
KO-INFEKSI TB - HIV
• Epidemi TB HIV masih merupakan tantangan
besar kesehatan masyarakat global
• Termasuk juga tantangan dalam diagnosis TB
• Ko-infeksi TB HIV tidak otomatis harus ada
• TB bisa terjadi jauh sebelum infeksi HIV
• Angka kematian ko-infeksi 2x lipat dibanding
infeksi HIV sendiri tanpa TB, bahkan
meskipun dengan ARV

Aaron L., Saadoun D., Calatroni I., et al. Tuberculosis in HIV-infected patients: a comprehensive review Clin Microbiol Infect, 10 (2004), pp. 388-398
Perjalanan alamiah TB pada infeksi HIV
• Berubah akibat kerusakan system imun (HIV)
• Tidak ada fase panjang latensi antara infeksi dan
menjadi sakit
• Pada infeksi HIV bisa menjadi sakit TB dalam waktu
mingguan sampai bulanan
• Perkiraan percepatan dari TB laten menjadi aktif
antara 12 dan 20 kali pada infeksi HIV
• Ini berarti penyebaran TB lebih cepat
• Dalam 1 tahun infeksi HIV menyebabkan 5-10% TB
laten menjadi aktif
Risiko TB pada HIV
• Diperkirakan antara 16-27 lebih tinggi dibanding
tanpa HIV
• Dari 10.4 juta kasus TB secara global, 1.2 juta
[11%] dengan HIV+
• Hampir 60% [57%] kasus TB pasien HIV tidak
terdiagnosa atau tidak diobati
• 390 000 kematian TB diantara mereka dengan HIV

WHO. Tuberculosis and HIV. 2018. available at: https://www.who.int/hiv/topics/tb/en/


Prevalensi TB HIV
• Studi Meta-analisis mendapatkan prevalensi ko-
infeksi TB / HIV adalah 25,59% (95% CI (20,89% -
30,29%)
• Hubungan yang signifikan ditemukan antara jumlah
CD4 rendah (OR: 3,53; 95% CI: 1,55, 8,06)/WHO
stadium lanjut (OR: 6.81; 95% CI: 3.91, 11.88) dan
ko-infeksi TB / HIV / AIDS.

Tesfaye B, Alebel A, Gebrie A, Zegeye A, Tesema C, Kassie B. The twin epidemics: Prevalence of TB/HIV co-infection and its associated factors in Ethiopia; A systematic review and meta-
analysis. PLoS One. 2018;13(10):e0203986. Published 2018 Oct 3. doi:10.1371/journal.pone.0203986
Gejala klinis TB pada infeksi HIV
• Batuk, demam, keringat malam, dan BB
menurun
• Sebagian kecil dengan gejala klasik TB,
• Sebagian besar dengan beberapa gejala,
• Malah ada yang gejalanya kurang spesifik
• Diagnosis TB jadi terlambat, pengobatan
terlambat
• Sering dengan sebutan “sub clinical TB”
• Lebih sering TB ekstraparu
Getahun H, Kittikraisak W, Heilig CM et al. Development of a standardized screening rule for tuberculosis in people living with HIV in resource-constrained settings: individual
participant data meta-analysis of observational studies. PLoS Med.
Gejala klinis TB pada infeksi HIV
• Semakin lengkap gejala semakin tinggi
kemungkinan TB
• Nilai prediksi dari kriteria 4 gejala ini menjadi
menurun bila pasien HIV mendapatkan terapi ARV
• Satu penelitian menemukan:
• Keluhan terbanyak adalah penurunan berat
badan (81%),
• Batuk (49%), dan
• Keringat malam

Hamada, Y., Lujan, J., Schenkel, K., Ford, N., & Getahun, H. (2018). Sensitivity and specificity of WHO’s recommended four-symptom screening rule for tuberculosis in people living with HIV: a
systematic review and meta-analysis. The Lancet HIV. doi:10.1016/s2352-3018(18)30137-1
Hanifa Y, Toro Silva S, Karstaedt A, et al. What causes symptoms suggestive of tuberculosis in HIV-positive people with negative initial investigations?. Int J Tuberc Lung Dis. 2019;23(2):157–165.
doi:10.5588/ijtld.18.0251
Gambaran radiologi
• Pola radiografi toraks pasien infeksi HIV berubah,
• Opasitas radiologi tidak seluas seperti pada non-
infeksi HIV,
• Jumlah CD4 juga perperan terhadap tampilan
radiografi toraks
• CD4 <100 temuan radiografik:
• Sering normal
• Pola milier dan
• Efusi pleura, dan cendrung tanpa kavitas
Swaminathan S, Narendran G, Menon PA, Padmapriyadarsini C, Arunkumar N, Sudharshanam NM, et al. Impact of HIV infection on radiographic features in patients with pulmonary tuberculosis. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2007;49:133–6.
Angthong W., Varavithya V., Angthong C., Leelasithorn V; Nayok/TH N., Thani/TH P. Comparative study of Pre-and-Post Treatment Radiographic Features in Pulmonary Tuberculosis Patients with and without HIV infection. ECR 2011 / C-
0038
Ravi N, Nagaraj B. R., Singh B. K., Kumar S. A study of various chest radiological manifestations of pulmonary tuberculosis in both human immunodeficiency virus-positive and human immunodeficiency virus-negative patients in south Indian
population. West African Journal of Radiology. 2017;24(1):14-19
Laboratorium diagnostik
Mikroskopis sputum BTA
• Paling sederhana
• Murah
• Cepat hasil
• Spesifik
• Butuh jumlah kuman banyak
• Sensitivitasnya pada HIV+ 48% - 54%
• Sensitivitas menurun lagi apabila pasien HIV
disertai dengan infeksi paru lain
Hopewell P, Pai M, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC. International standards for tuberculosis care. Lancet Infect Dis. 2006;6:710–25.
Cattamanchi A, Dowdy DW, Davis JL, Worodria W, Yoo S, Joloba M, et al. Sensitivity of direct versus concentrated sputum smear microscopy in HIV-infected patients suspected of having pulmonary
tuberculosis. BMC Infect Dis. 2009;9:53.
Keflie TS, Ameni G. Microscopic examination and smear negative pulmonary tuberculosis in Ethiopia. Pan Afr Med J. 2014;19:162. Published 2014 Oct 16.
Laboratorium diagnostik
Biakan BTA:
• Biakan untuk M.tb sangat lebih sensitive dibanding
dengan BTA mikroskopis dan merupakan standar
yang dianjurkan untuk mengkonfirmasi diagnosis
TB pada infeksi HIV
• Masa inkubasi yang lama (6 – 8 minggu)
• Biakan juga dapat mengetahui strain
mikobakterium dan sentivivitas obat

Padmapriyadarsini C., Narendran G., and Swaminathan S. Diagnosis & treatment of tuberculosis in HIV co-infected patients. Indian J Med Res. 2011 Dec; 134(6): 850–865.
Vittor A. Y., Garland J. M., Gilman R. H. Molecular Diagnosis of TB in the HIV Positive Population: State-of-the-Art Review. Annals of Global Health. Volume 80, Issue 6, November–
December 2014, Pages 476-485.
Laboratorium diagnostik
Molekuler
• Diagnosis molekuler memberikan hasil cepat dan
sangat akurat dibandingkan dengan pengecatan
dahak mikroskopik
• Tes molekuler seperti Xpert®MTB/RIF adalah
alternatif pemeriksaan cepat dibandingkan biakan
• Dianjurkan oleh WHO
• Pada pasien HIV-positif sensitivitasnya 0.81, 95% CI
0.73–0.87
Madico G, Mpeirwe M, White L, Vinhas S, Orr B, et al. (2016) Detection and Quantification of Mycobacterium tuberculosis in the Sputum of Culture-Negative HIV-infected Pulmonary
Tuberculosis Suspects: A Proof-of-Concept Study. PLOS ONE 11(7): e0158371.
WHO. Xpert MTB/RIF implementation manual Technical and operational ‘how-to’: practical considerations. WHO/HTM/TB/2014.1
Li S, Liu B, Peng M, et al. Diagnostic accuracy of Xpert MTB/RIF for tuberculosis detection in different regions with different endemic burden: A systematic review and meta-analysis. PLoS
One. 2017;12(7):e0180725.
Diagnosis TB pada ko-infeksi TB-HIV

TB paru dan/atau EP, kasus


baru/ulangan, terkonfirmasi
bakteriologis/klinis, non-RO/RO, ko-
morbid (infeksi HIV)
Pengobatan TB HIV
• Prinsipnya sama dengan terapi TB umumnya
• Pengobatan TB adalah prioritas
• Rejimen harus termasuk R dan H
• Durasi terapi 6 bulan
• ARV bisa untuk menurunkan angka kekambuhan TB
• Memulai ARV tidak lebih dari 8 minggu
• Terapi TB tanpa ARV hasil pengobatan suboptimal

Manosuthi W., Wiboonchutikul S. and Sungkanuparph S. Integrated therapy for HIV and tuberculosis. AIDS Res Ther (2016) 13:22 DOI 10.1186/s12981-016-0106-y
Fry S. H. L., Barnabas S. L. and Cotton M. F. Tuberculosis and HIV—An Update on the “Cursed Duet” in Children. Front. Pediatr., 25 April 2019 | https://doi.org/10.3389/fped.2019.00159
Memulai terapi HIV atau TB
• Mengambil keputusan terapi mempertimbangkan:
• Apakah ada gejala , dan apakah sakitnya dengan
TB, atau infeksi oportunistik terkait HIV?
• Apakah telah mendapat terapi TB atau infeksi
HIV?
• Obat apa yang tersedia untuk terapi infeksi HIV,
dan juga TB, bila pasien belum mendapakan
terapi?
• Bila membutuhkan terapi untuk HIV dan TB,
adakah petugas yang berpengalaman dan/atau
ada guideline untuk ini?
Ketersediaan terapi ARV dan OAT
bersama
• Terapi ARV dan OAT pada waktu yang sama
melibatkan beberapa kesulitan:
• Toksisitas obat kumulatif
• Interaksi obat-obat
• Jumlah pil yang banyak
• IRIS
Memulai terapi ARV dan OAT
• Mulai terapi OAT dan ARV (dikelola secara
Bersamaan)
• Guideline rekomendasi WHO:
• CD4 <200 mm3 mulai ARV antara 2 dan 8 minggu
setelah mulai OAT
• CD4 <50 sel/mm3: ARV mulai dalam 2 minggu, jangan
>4 minggu; lebih sering terjadi IRIS bila ARV dimulai
lebih awal
• Drug-resistant TB (TB RO):
• Kematian TB-MDR dan TB-XDR sangat tinggi
• Belum ada kepastian kapan waktu optimal
• Manajemen TB RO dan HIV adalah kompleks
Memulai terapi ARV dan OAT
• Pasien dengan TB meningitis:
• Sering dikaitkan dengan komplikasi berat
dan angka kematian tinggi
• Lebih tinggi kejadian tidak diinginkan (KTD)
pada TB meningitis yang segera diberikan
ARV dibanding dengan yang ditunda
• Harus hati-hati bila memulai ARV lebih awal
• dan RIF
Standar terapi OAT pada HIV+
• HRZE
• Durasi 6 bulan
• Fase awal 2 bulan HRZE
• Fase lanjutan 4 bulan HR

Kombinasi ARV dosis tetap emtricitabine / tenofovir /


efavirenz:
• Cukup aman dan
• Efektif sebagai ARV pada TB HIV
Semvua HH, Kibiki GS. AtriplaR/anti-TB combination in TB/HIV patients. Drug in focus. BMC Res Notes. 2011;4:511. Published 2011 Nov 24. doi:10.1186/1756-0500-4-511

Anda mungkin juga menyukai