Geologi Regional Jawa Barat
Geologi Regional Jawa Barat
REGIONAL
BAB III
TATANAN GEOLOGI REGIONAL
Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian
(Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi ini
ternyata cukup menggambarkan kondisi tektonik maupun stratigrafi regional Jawa
Barat itu sendiri. Adapun keempat zona fisiografi tersebut adalah:
Gambar 3.1. Pembagian zona fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)
Proses tektonik yang terjadi di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh subduksi
lempeng Indo–Australia ke bawah lempeng Mikro Sunda. Pulunggono dan
Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang di
Pulau Jawa (Gambar 3.3) adalah:
- Pola Meratus berarah timurlaut–baratdaya (NE–SW) terbentuk pada 80 sampai
52 juta tahun yang lalu ( Kapur–Paleosen ),
- Pola Sunda berarah utara–selatan (N–S) terbentuk 52 sampai 32 juta tahun yang
lalu ( Eosen–Oligosen Akhir ), dan
- Pola Jawa berarah barat–timur (E–W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu
(Oligosen Akhir–Miosen Awal).
Gambar 3.3. Pola struktur Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)
Dari data stratigrafi dan tektonik regional, dapat disimpulkan bahwa Pola Meratus
terbentuk pada 80-52 juta tahun yang lalu (Kapur-Paleosen) dan merupakan pola
tertua di Jawa. Pola ini dihasilkan oleh tatanan tektonik kompresif akibat Lempeng
Samudera India yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia, dengan
penunjaman berorientasi timurlaut-baratdaya. Arah tumbukan dan penunjaman yang
menyudut menjadi penyebab sesar-sesar utama pada Pola Meratus bersifat sesar
mendatar mengiri.
Pola Jawa yang berarah barat–timur merupakan pola yang termuda yang
mengaktifkan kembali seluruh pola sebelumnya. Pada umur Oligosen Akhir–
Miosen Awal (32 juta tahun yang lalu), jalur penunjaman baru terbentuk di selatan
Jawa yang menerus ke Sumatra (Karig dkk., 1979 op cit. Pulunggono dan
Martodjojo, 1994) yang mengakibatkan Pulau Jawa mengalami gaya kompresi yang
menghasilkan zona anjakan-lipatan (thrust fold belt) di sepanjang Pulau Jawa dan
berlangsung sampai sekarang.
Struktur geologi di daerah Jawa Barat berupa sesar, lipatan, kelurusan dan kekar
yang dijumpai pada batuan berumur Oligo–Miosen sampai Kuarter (Gambar 3.4).
Sesar terdiri dari sesar geser yang umumnya berarah utara–selatan dan baratlaut-
tenggara. Pola lipatan yang dijumpai berupa antiklin yang berarah baratdaya–
timurlaut dan barat-timur. Kelurusan yang dijumpai diduga merupakan sesar berarah
baratlaut– tenggara dan baratdaya–timurlaut, umumnya melibatkan batuan berumur
Kuarter.
Kekar umumnya dijumpai dan berkembang baik pada batuan andesit yang berumur
Oligo Miosen–Kuarter.
Jawa Barat dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi berdasarkan ciri sedimen
pembentuknya selama Zaman Tersier (Martodjojo, 1984), yaitu :
- Mandala Paparan Kontinen
Mandala sedimentasi ini terletak di bagian paling utara, dicirikan oleh endapan
paparan, terdiri dari batugamping, batulempung, dan pasir kuarsa, pada
lingkungan pengendapan yang umumnya laut dangkal. Mandala ini memiliki
struktur geologi yang sederhana, umumnya akibat dari pengaruh pergerakan
isostasi dari batuan dasar (basement).
- Mandala Cekungan Bogor
Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang
kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan sedimen seperti andesit, basalt,
tufa, dan batugamping.
- Mandala Banten
Mandala sedimentasi ini sebenarnya tidak begitu jelas, karena sedikitnya data
yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih menyerupai Mandala
Cekungan Bogor, sedangkan pada akhir-akhir Tersier cirinya sangat mendekati
Mandala Paparan Kontinen.
Lokasi Penelitian
Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunungapi dengan batuan bersifat
basalt sampai andesit yang berasal dari selatan dan terendapkan dalam Cekungan
Bogor yang pada kala ini merupakan cekungan belakang busur. Cepatnya
penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah mematikan
pertumbuhan terumbu Formasi Rajamandala sehingga endapan volkanik yang
dikenal dengan nama Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan
pada lingkungan marin. Pada Kala Miosen Tengah, status Cekungan Bogor masih
merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada
lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada kala akhir Miosen
Tengah mulai diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan
turbidit halus aktivitas kipas laut dalam. Cekungan Bogor pada kala ini sudah
semakin sempit menjadi suatu cekungan memanjang yang mendekati bentuk
fisiografi Zona Bogor (van Bemmelen, 1949). Pada daerah ini penurunan
merupakan gerak tektonik yang dominan.
Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang
busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan yang
diendapkan pada lingkungan laut dalam melalui mekanisme arus gravitasi. Pada
Kala Pliosen, Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati
oleh puncak-puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur volkanik).
Daerah pegunungan selatan bagian selatan mengalami penurunan dan genang laut
yang menghasilkan Formasi Bentang, sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas
gunungapi yang menghasilkan Formasi Beser.
Pada Kala Plistosen sampai Resen, kondisi geologi Pulau Jawa sama dengan
sekarang. Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang
menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus pusat
gunungapi dari selatan berpindah ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala
umum yang terjadi di seluruh gugusan gunungapi Sirkum Pasifik.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Garut dan Pamengpeuk, Jawa (Alzwar dkk.,
1992), lokasi penelitian terletak pada Satuan Andesit Waringin-Bedil, Malabar Tua
(Qwb) berumur Plistosen (Gambar 3.7), merupakan perselingan lava, breksi, dan
tuff, bersusunan andesit piroksen dan hornblenda.
107°38’ 107°42’
7°00’
PETA GEOLOGI
N
1 : 10 0.000
KETERANGAN
Qd
Endapan Danau
Qmt
Batuan
Qwb Gunungapi Malabar-Tilu
Tmb Andesi t Waringin-Bedil, Malabar Tua
Formasi Beser
Tmb
Sesar geser
U
Lokasi penelitian
7°03’
Alzwar dkk, 1992
Gambar 3.7. Peta Geologi Regional daerah penelitian (Alzwar dkk., 1992)