Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN FARMAKOLOGI

PENGARUH INDUKTOR DAN INHIBITOR ENZIM


TERHADAP METABOLISME OBAT
(Interaksi Simetidin Terhadap Kinetika Eliminasi Parasetamol pada
Kelinci)

Dosen Pembimbing :

A.A. Hesti W.S., M.Si. Med., Apt

Disusun oleh :

1. Ariana Dwi Widayanti (1031711008)


2. Dinda Silvia Santosa (1031711015)
3. Dini Zafarina Indonesia (1031711016)
4. Fajariyah Wahyu Prihandini (1031711021)

FAKULTAS FARMASI JURUSAN D3 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
“YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2019
A. TUJUAN
Mahasiswa dapat mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim
pemetabolisme obat dengan pengukur efek farmakologinya.

B. DASAR TEORI
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada
umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresikan dari dalam tubuh (Arief, 2000)
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Syarif,1995). Metabolisme
obat mempunyai dua efek penting.
1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal
karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam
tubulus ginjal.
2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu
seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada
obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mngobati
ansietas ) dimetbolisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif.
Prodrug bersifat inaktif sampai dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat aktif.
Sebagai contoh, levodopa, suatu obat antiparkinson, dimetabolisme menjadi
dopamin, sementara obat hipotensif metildopa dimetabolisme menjadi metil
norepinefrin-α (Neal,2005).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum
endoplasma halus (yang pada isolasi invitro membentuk kromosom ) dan enzim non
mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga
terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan
plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan
flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar reaksi
oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom
mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi reduksi dan
hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada
umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresikan dari dalam tubuh (Arief, 2000).

Fakor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat:


1) Induksi enzim
Beberapa obat, fenobarbital, karbamazepin, etanol, dan rifampicin
serta polutan menaikkan aktivitas enzim pemetabolisme obat.
2) Inhibisi enzim
Reaksi inhibisi enzim terjadi lebih cepat daripada induksi enzim karena
terjadi secara cepat setelah onsentrasi inhibitor ini mencapai titik tertentu yang
sanggup bersaing dengan obat dalam menduduki sisi aktif enzim
pemetabolisme. Contoh : Simetidin menghambat metabolisme fenitoin,
teofilin, dan warfarin.
Eritromisin menghambat sitokrom P450 sehingga meningkatkan aktivitas teofilin,
warfarin, karbamazepin, dan digoksin.
 Polimorfisme genetic
Respon terhadap obat berbeda pada tiap individu karena perbedaan
genetik.Contohnya adalah debrisoquine hydroxylation.
 Usia
Enzim mikrosomal di hati dan fungsi ginjal belum sempurna pada saat lahir
dan akan berkembang secara cepat pada empat minggu pertama setelah dilahirkan.
Di masa tua, metabolisme obat oleh hati akan berkurang sehingga untuk manula,
dosis obat biasanya lebih rendah daripada untuk usia muda. (Neal, 2002)
Obat lebih banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan mempunyai
sejumlah kesanggupan memetabolisme obat. Kebanyakan biotransformasi metabolik
obat terjadi pada titik tertentu antara absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik dan
pembuangannya melalui ginjal. Sejumlah kecil transformasi terjadi di dalam usus
atau dinding usus. Umumnya semua reaksi ini dapat dimasukkan ke dalam dua
katagori utama, yaitu reaksi fase 1 dan fase 2 (Katzung, 1989).
 Reaksi Fase I (Fase Non Sintetik)
Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih
polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional
(misalnya –OH, -NH2, -SH) (Neal,2005). (Gordon dan Skett, 1991).
Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:
a). Reaksi Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada
berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing
struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril, dan
heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi pembentukan N-oksida
dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif; pembukaan inti dan sebagainya
(Anonim,1999).
Reaksi oksidasi meliputi:
1. Hidroksilasi aromatic
2. Hidroksilasi alifatik
3. Dealkilasi
4. Desulfurasi
5.  Dehalogenasi
6. Deaminasi oksidatif

b). Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro)


Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi terutama
berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada
karbon. (Anonim, 1999).
c). Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis
dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik mikrosomal dan
nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang mengandung gugus ester. Di
hepar,lebih banyak terjadi reaksi hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis
peptidin oleh suatu enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan
beberapa jaringan (Anief,1995).
 Reaksi Fase II (Fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau
metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu
kurang aktif dan merupakan molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal (Neal,
2005).
Metabolit dari reaksi fase satu memang lebih polar dari keadaan semula, tetapi
masih belum cukup polar untuk dapat diekskresi oleh ginjal. Oleh karena itu, dibuat
lebih polar lagi melalui reaksi fase II, konjugasi dengan senyawa endogen di dalam
hati. Hasil akhir dari reaksi fase II biasanya sangat polar dan dapat segera
diekskresikan. (bawah).
Reaksi fase II meliputi:
1. Konjugasi dengan glukoronat (glukoronidasi)
2. Konjugasi dengan sulfat (sulfatasi)
3. Konjugasi dengan glutation (pembentukan asam merkapturat)
4. Asilasi dan asetilasi
Reaksi terpenting dari fase ini adalah glukoronidasi, tidak terjadi secara
spontan tetapi membutuhkan bentuk teraktivasi dari asam glukoronat yaitu asam
glukoronat-uridin difosfat. Bentuk aktif ini dihubungkan dengan molekul aseptor oleh
mikrosomal glukoronil transferase. (Lullman et al, 2000).

C. ALAT DAN BAHAN

Hewan uji : Kelinci

Bahan :
1) Paracetamol po
2) Simetidin
3) CMC 1%

Alat :

1) Jarum suntik tumpul (sonde)


2) spektrofotometer

D. SKEMA KERJA

Percobaan dilakukan dengan 2 kelompok kelinci

Masing-masing kelompok terdapat 5 kelinci dengan berat 2 kg -3 kg

5 kelinci diberi simetidin oral 78mg/kg BB sehari tiga kali, sehari sebelum perlakuan

Dihitung volume paracetamol yang akan diberikan dengan dosis 450mg/kg BB


Kelinci diberi obat sesuai dengan pembagian kelompok:


Kelompok 1: paracetamol po
Kelompok 2: paracetamol po, setelah pemberin simetidin sehari sebelum perlakuan

Diambil cuplikan darah dari vena marginalis kelinci ± 2ml pada menit ke : 0, 5, 10,
30, 45, 60, 75, 90, 150, 180, 240 dan 300

Cuplikan darah dipusingkan selama 10 menit lalu plasma dipisahkan


Disimpan pada suhu -20oC sampai dilakukan analisis kadarnya

Ditentukan kadar plasma paracetamol secara spektrofotometri dengan metode Glynn


Kendal yang dimodifikasi dan parameter kinetika eliminasi paracetamol dianalisi
dengan asumsi model kompartemen dua terbuka

Dilakukan uji statistika dengan pooled t test

E. DATA PENGAMATAN

Tabel I
Hasil penentuan tetapan laju eliminasi (β) parasetamol pada dua kelompok kelinci

Subjek Kelompok P1 Subjek Kelompok P2


ß (menit -1) ß (menit -1)
K2 3,663.10-3 K1 2,009.10-3
K4 8,139.10-3 K3 1,1175.10-3
K6 5,129.10-3 K5 1,507.10-3
K7 4,125.10-3 K8 2,068.10-3
K9 3,044.10-3 K10 1,663.10-3
Rerata : 4,820.10-3 Rerata : 1,684.10-3
SD : 2,005.10-3 SD : 3,688.10-3
Table II
Hasil penentuan waktu paruh eliminasi (t1/2β) parasetamol pada dua kelompok
kelinci

Subjek Kelompok P1 Subjek Kelompok P2


ß (menit -1) ß (menit -1)
K2 189,20 K1 344,93
K4 85,15 K3 589,76
K6 135,13 K5 459,77
K7 167,99 K8 335,03
K9 227,63 K10 416,81
Rerata : 161,02 Rerata : 161,02
SD : 54,097 SD : 54,097

F. PERHITUNGAN

G. PEMBAHASAN

Efek hepatotoksik akan kecil atau tidak ada selama glutation cukup tersedia
untuk konjugasi, tetapi lama kelamaan jumlah glutation hati yang terpakai lebih besar
dari pada yang dibentuk ulang, sehingga terjadi penumpukan metabolit antara yang
toksik ( N-asetil-ppbenzokinonimina ) yang bila bereaksi dengan gugusan nukleofilik
yang terdapat pada makromolekul sel hati akan mengakibatkan efek hepatotoksik
(Ameer et al. 1977; Clissold 1986; Katzung 2001).
Simetidin bekerja sebagai penghambat metabolisme obat dengan cara berikatan
dengan sitokrom P-450 dalam hati membentuk kompleks yang reversible sehingga
sitokrom P-450 aktif berkurang jumlahnya (Somogyi et al. 1982; Shargel et al. 2005).
Dengan demikian metabolisme parasetamol melalui jalur sitokrom P-450
dapat dihambat. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan parasetamol dengan
dosis di atas dosis terapi. Parameter yang menggambarkan kinetika eliminasi dapat
dikaji dari nilai tetapan laju eliminasi ( β ) dan t1/2 β (waktu paruh eliminasi).
Praperlakuan simetidin menyebabkan nilai t1/2 β parasetamol lebih besar dan nilai β
parasetamol lebih kecil serta menunjukkan perbedaan yang bermakna ( p < 0,01 ).
Lebih kecilnya nilai β dan lebih besarnya nilai t1/2 β parasetamol disebabkan karena
simetidin berikatan dengan sitokrom P-450 sehingga menghambat aktivitas enzim
tersebut (Somogyi et al. 1987; Faux et al. 1993; Al-Mustafa et al. 1997).
Interaksi simetidin dengan sitokrom P-450 akan mengurangi interaksi substrat
(obat lain) terhadap enzim tersebut. Dengan demikian pembentukan metabolit reaktif
N-asetil-pbenzokinonimina secara oksidasi Nhidroksi terhambat. Metabolisme obat
oleh hati tergantung pada kecepatan obat dibawa aliran darah ke hati dan aktivitas
enzim untuk metabolisme obat (Katzung 2001; Rowland et al. 1999).
Untuk obat-obat dengan nilai rasio ekstraksi hati antara 0,3 – 0,7
metabolismenya dipengaruhi oleh kecepatan obat dibawa aliran darah ke hati dan
aktivitas enzim untuk metabolisme obat tersebut. Parasetamol mempunyai nilai rasio
ekstraksi hati 0,43 (Shargel et al. 2005; Rowland et al. 1999).
Simetidin mengurangi aliran darah ke hati (Sorkin et al. 1983; Somogyi et al.
1987). Dengan demikian metabolisme parasetamol secara umum akan terhambat. Jadi
secara ringkas terjadinya penurunan metabolisme parasetamol oleh simetidin
kemungkinan disebabkan oleh penurunan aliran darah ke hati dan penghambatan
proses oksidasi N-hidroksilasi parasetamol oleh sitokrom P-450 yang dapat dilihat
dari nilai β yang lebih kecil dan lebih besarnya nilai t1/2 β parasetamol yang
bermakna. Namun dalam penelitian ini pengaruh pengurangan aliran darah ke hati
oleh praperlakuan simetidin diduga tidak ada karena mengingat jangka waktu antara
pemberian simetidin dan parasetamol cukup panjang, sedangkan waktu paruh
simetidin adalah 2 jam. Kemungkinan simetidin sudah tereliminasi tetapi masih
terdapat ikatan antara simetidin dan sitokrom P-450 (Ritschel 1992; Katzung 2001).
Dengan demikian penurunan metabolisme parasetamol oleh praperlakuan
simetidin diduga karena simetidin berikatan dengan sitokrom P-450 sehingga
menghambat aktivitas enzim tersebut.

H. KESIMPULAN

Interaksi simetidin menyebabkan perubahan kinetika eliminasi parasetamol yang


dapat dilihat dari nilai β yang lebih kecil dan t1/2 β yang lebih besar serta
memberikan perbedaan yang bermakna terhadap kontrol ( p < 0,01 ).
I. DAFTAR TEORI

Anief, Moh, 1995, Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada Univ
Press.
Anonim, 1999, Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 04, Mandiri Jaya Offset,
Yogyakarata.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi Revisi V, Balai
Penerbit Falkultas, Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gibson, G.Gordon Dan Paul Skett, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Presss,
Jakarta.
Katzung, Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
La Du, BR, Mandel, H.G. dan Way, E.L,1971, Fundamentals of drug Metabolism and
drug Dispositin. The Williamns & Wilkins company, Baltimore, pp 149-578.
Lullman, Heinz, et al, 2000, Color Atlas of Pharmacology, second edition revised and
expanded, Thieme, New York.
Neal, M.J, 2005, At A Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai