Anda di halaman 1dari 2

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Limbah peternakan adalah seluruh sisa buangan dari usaha kegiatan


peternakan, baik berupa limbah cair, limbah padat, maupun berupa gas. Menurut
Hidayatullah et al. (2005) limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk
padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang sudah mati, atau isi
perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk
cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat).
Limbah gas adalah semua gas yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas.
Kehadiran bahan pencemar di dalam air dalam jumlah yang tidak normal
mengakibatkan air dinyatakan terpolusi (Anonim, 2007). Satu ekor sapi dengan
bobot 400-500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,7-30 kg/
hari. Diantara ketiga jenis limbah peternakan ini, limbah cair merupakan imbah
yang paling banyak dihasilkan dan limbah cair dari usaha kegiatan peternakan ini
diyakini masih banyak terdapat kandungan bahan mineral yang dapat digunakan
mikroalga untuk pertumbuhan hidupnya.
Penanganan limbah cair yang memiliki kandungan mineral yang tinggi
biasa dilakukan dengan cara kimiawi dan biologis. Penanganan secara kimiawi
dapat menimbulkan jenis limbah baru lagi, sedangkan penanganan secara biologis
relatif lebih ramah lingkungan. Untuk menangani limbah cair yang memiliki
kandungan mineral yang tinggi secara biologis, umumnya menggunakan
organisme yang mampu memanfaatkan mineral tersebut. Organisme dari
kelompok vegetasi sering digunakan dalam kegiatan ini, karena organisme flora
dengan aktivitas fotosintesis mampu mensintesis bahan-bahan anorganik
(mineral) yang terkandung dalam limbah menjadi senyawa organik dengan
bantuan zat hijau daun (klorofil) yang dimilikinya dan energi cahaya.
Menurut Kabinawa (2001), diantara mikroorganisme yang melakukan
fotosintesis, mikroalga merupakan mikroorganisme yang paling efisien dalam
menggunakan sinar matahari, yaitu sekitar 7% dengan kemampuan produksi 60-
80 ton berat kering/Ha/th, sedangkan tanaman budidaya secara konvensional
berkisar antara 10-30 ton berat kering/Ha/th. Mikroalga merupakan vegetasi
tingkat rendah yang sering digunakan dalam pengolahan limbah cair yang kaya
kandungan mineral, karena sifat mineral yang larut dalam air, dan mikroalga
sebagai pemanfaat mineral yang mampu hidup dalam kolom air, mulai dari
permukaan air sampai batas daya tembus cahaya di badan air tersebut. Mikroalga
adalah koloni tumbuhan renik yang dapat hidup di seluruh wilayah perairan tawar,
payau, ataupun yang asin (laut).
Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis
mikroalga yang dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan yang perlu
diperhatikan. Teknik kultur mikroalga yang digunakan pada penelitian ini adalah
teknik semi kontinu, yaitu teknik pemanenan mikroalga pada saat akhir fase
eksponensial yang diikuti dengan penambahan jumlah nutrien (limbah cair
peternakan) sebanyak jumlah yang dipanen. Berdasarkan permasalahan
penanganan limbah cair peternakan di atas penelitian ini diharapkan dapat
memberikan solusi penanganan limbah cair usaha kegiatan peternakan secara
biologis. Selain itu dapat juga sebagai informasi bagi pemerintah dan swasta
dalam pengembangan sistem usaha peternakan yang ramah lingkungan dan juga
usaha dalam budidaya mikroalga yang dapat digunakan sebagai sumber energy
terbaharukan.

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
pertumbuhan mikroalga pada limbah cair peternakan dan mengetahui karakteristik
laju eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan pada kultivasi mikroalga dengan
sistem semi kontinu.

Anda mungkin juga menyukai