Anda di halaman 1dari 18

A.

CKD
1. Definisi
Adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3
bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain
itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60
mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal
2. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit
peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat
perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau
pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang
3. Klasifikasi

4. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun
perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan
berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini
diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang
mendasarinya sudah tidak aktif lagi Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan
fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang
mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM.
Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas
benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth
Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik
dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses
ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta
fibrosis tubulointerstisialis. Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal
ginjal.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan
struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah
ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah
akan melebar.
Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi
lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air
serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh
kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga
keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya.
5. Manifestasi klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit
yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium dini, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru meningkat.
Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan.
Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah
30%, pasien menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit dan air.
6. Diagnosis
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung. Bukti
langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan
histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal.
Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit
glomerular yang mendasari. Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat
disimpulkan dari urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus
menyebabkan kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan
adanya hematuria atau proteinuria.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-
Gault (Suwitra. Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems
et al., 2013).
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya dalam
darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan penanda endogen
yang ideal (Yaswir & Maiyesi, 2012).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan stadium
penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Perencanaan
tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan sebelum
terjadinya penurunan GFR sehingga tidak terjadi perburukan fungsi ginjal. Selain itu,
perlu juga dilakukan pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid dengan
mengikuti dan mencatat penurunan GFR yang terjadi. Perburukan fungsi ginjal dapat
dicegah dengan mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu melalui pembatasan
asupan protein dan terapi farmakologis guna mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting mengingat 40-45 % kematian pada CKD disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular ini. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular dapat dilakukan
dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia
dan sebagainya. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi yang mungkin muncul seperti anemia dan osteodistrofi renal.

Hemodialisis
1. Pengertian
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan.
Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal
kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan
atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal
ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ;
Nursalam, 2006).
2. Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya
adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup
pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal
sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui membran
semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama
Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel yang
sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan
memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan
memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah.
Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.
Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang
kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2-microglobulin, dan albumin, dan
zat terlarut yang terikat protein seperti p-cresol, lebih lambat berdifusi. Disamping
difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan
bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan
osmotik – sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)).
Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut;
tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh
total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa agar peresepan
dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun
berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat
terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala
(symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun
sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan
penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011).
3. Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis
Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus
selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah
akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di
sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi
melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan
cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari
semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan
cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan
negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2011)).
4. Akses sirkulasi darah pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan femoralis, fistula,
dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter
femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara (Barnett & Pinikaha, 2007).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada
lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)
pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi
matang sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini diperlukan
untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak
aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan
untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis (Barnett &
Pinikaha, 2007).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri atau
vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen sebagai
tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008).
5. Penatalakasanaan pasien yang menjalani hemodialisis
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Anita, 2012).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam
gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari
dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan
kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu
makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang
ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq.hari guna
mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan
menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila
asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi
kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2006).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus
dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).
6. Komplikasi
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli udara,
nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing dari
point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan
dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama
terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena
pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung,
aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri
dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena
perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus
terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
(Smelzer, 2008)
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum,
reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia,
namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).

B. Hipertensi
1. Definisi
Adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5
menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).
2. Etiologi
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf
simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na 10
dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab
spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,
dan lain-lain.
3. Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah
secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.
Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur
jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.
a. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit
substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi
lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan
plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah,
obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau
bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi
pada kasus hipertensi primer.
b. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
1) Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan
cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
c. Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
d. Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stage I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

e. Diagnosis
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran
dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak
tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran
dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi makanan dan
minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda, makanan
tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yakni :
1) Menentukan sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita.
Tujuan pertama program diagnosis adalah menentukan dengan tepat sejauh
mana penyakit ini telah berkembang, apakah hipertensinya ganas atau tidak, apakah
arteri dan organ-organ internal terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengisolasi penyebabnya
Tujuan kedua dari program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
3) Pencarian faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan, yaitu pencarian faktor-faktor risiko
tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan dasar, seperti
kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan rontgen.
5) Tes khusus Tes
Yang dilakukan antara lain adalah :
a) X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang
digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.
b) Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi
(EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).
f. Komplikasi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya sehingga
menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ
tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak
terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan
kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat
komplikasi hipertensi yang dimilikinya.Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan
organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga
membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar
dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah:
1) Jantung - hipertrofi ventrikel kiri - angina atau infark miokardium - gagal jantung
2) Otak - stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati

C. Anemia
1. Pengertian
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein
pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga
pengiriman O2 ke jaringan menurun.13
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung umur, jenis kelamin,
kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu ditentukan batasan
kadar hemoglobin pada anemia.

2. Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1) Gangguan pembentukan eritrosit
seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta
gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah
merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
3. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis
anemia:
1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi
penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin
(Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26
– 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada anak MCV >
73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik
(defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik
(penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl,
MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.
2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.
3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.
Gambar 1. Morfologi Sel Darah Merah pada Anemia
Anemia Defisiensi Besi (ADB)
1. Pengertian
ADB adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan cadangan zat besi. Zat besi yang
tidak adekuat menyebabkan berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga menghambat
proses pematangan eritrosit. Zat besi yang tidak adekuat disebabkan oleh rendahnya
asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi menurun
(makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C), kebutuhan akan zat
besi yang meningkat (pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan
menyusui), perdarahan kronis, diare kronik, Malabsorbsi, serta infeksi cacing
tambang. Dilihat dari beratnya defisiensi besi dalam tubuh, dapat dibagi menjadi 3
tahap, yaitu :
1) Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi.
2) Tahap kedua
Tahap ini disebut dengan iron limited erythropoiesis dimana penyediaan besi yang
tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis.
3) Tahap ketiga
Keadaan ini disebut juga Iron Deficiency Anemia (IDA) terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
kadar Hb.
2. Tanda dan Gejala
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindroma anemia yang dijumpai pada ADB
apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl, badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang serta telinga mendenging.17 Pada pemeriksaan fisik dijumpai
pasien yang pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.Sedangkan
gejala khas pada ADB adalah:17Koilonychia, Atropi papil , dan Stomatitis angularis
(cheilosis).

3. Diagnosis
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO dan Lanzkowsky:16
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal : 32 – 35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

D. Febris
1. Definisi
Febris atau demam adalah suatu keadaan di mana pengeluaran produksi panas yang
tidak mampu untuk dipertahankan karena terjadinya peningktan suhu tubuh abnormal
(Valita, 2007). Produksi panas dapat meningkat atau menurun dapat dipengaruhi oleh
berbagai sebab, misalnya penyakit atau sters, suhu tubuh yang terlalu ekstrim baik
panas ataupun dingin dapat memicu kematian (Hidayat, 2008). Sedangkan menurut
(Widjaja, 2001) Febris atau demam merupakan reaksi alamiah dari tubuh manusia
dalam usaha manusia untuk melakukan perlawanan terdapat beragam penyakit yang
masuk atau yang berada di dalam tubuh manusia. Normalnya suhu tubuh manusia
berkisar antara 360-370C, di mana pada suhu tersebut diartikan sebagai keseimbangan
antara produksi panas tubuh yang diproduksi dan panas yang hilang dari tubuh.
Penyakit febris atau demam Tidak hanya diderita pada anak-anak, tetapi pada manusia
dewasa maupun lansia juga, tergantung dari sistem imun setiap individu itu sendiri
(Hidayat, 2008). Kerugian yang bisa terjadi karena disebabkan oleh febris atau
demam yaitu penderita febris dapat mengalami dehidrasi karena pada saat demam
terjadi peningkatan pengeluran cairan tubuh yang berlebih (Purwanti, 2008). Oleh
karena itu sebaiknya penderita di usahkan agar banyak minum air dan banyak
istirahat. Pada penurunan suhu badan dengan antipiretik, hendaknya antipiretik
diberikan pada saat dibutuhkan sekali yaitu bila suhu >390C. (Waspadji, 1996).
2. Etiologi
Penyebab utama terjadinya demam yaitu Infeksi virus, bakteri, fungus dan parasit
lainnya. Hal ini merupakan penyebab demam yang utama (Munandar, 1979). Demam
dihasilkan oleh pirogen endogen yang bekerja pada mekanisme pengatur suhu tubuh
di sistem saraf pusat. Pirogen terpenting yang bertanggung jawab atas demam adalah
interleukin 1. Produksi hasil bakteri, virus, serta jamur merangsang pelepasan
interleukin 1 dari makrofag, serta juga produksi sitokin-sitokin lain, sehingga
menghasilkan demam dan manifestasi lain respon radang (Rudolph,2006).
3. Gejala Febris
Pada saat terjadi demam, gejala klinis yang timbul bervariasi tergantung pada
fase demam meliputi:
Fase 1 awal ( dingin/ menggigil)
Tanda dan gejala
a. Peningkatan denyut jantung
b. Peningkatan laju dan kedalaman pernapasan
c. Mengigil akibat tegangan dan kontraksi otot
d. Peningkatan suhu tubuh
e. Pengeluaran keringat berlebih
f. Rambut pada kulit berdiri
g. Kulit pucat dan dingin akibat vasokontriksi pembuluh darah
Fase 2 ( proses demam)
Tanda dan gejala
a. Proses mengigil lenyap
b. Kulit terasa hangat / panas
c. Merasa tidak panas / dingin
d. Peningkatan nadi
e. Peningkatan rasa haus
f. Dehidrasi
g. Kelemahan
h. Kehilangan nafsu makan (jika demam meningkat)
i. Nyeri pada otot akibat katabolisme protein.
Fase 3 (pemulihan)
Tanda dan gejala
a. Kulit tampak merah dan hangat
b. Berkeringat
c. Mengigil ringan
d. Kemungkinan mengalami dehidrasi (Ilmu kesehatan, 2013).
4. Diagnosis
Pada dasarnya harus diperhatikan untuk mencapi ketepatan diagnosis penyebab
demam, antara lain: ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan
pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan
laboratorium, serta penunjang secara tepat dan holistic (Rahmasnyah,2010).
5. Penatalaksanaan Febris
Pada saat demam ini, terdapat beberapa cara-cara untuk penatalaksanaannya. Cara
penatalaksanaan ini di bagi menjadi 2 yaitu dengan obat atau metode farmakologi dan
non-obat atau metode terapi. Dalam memberikan penanganan secara obat, penderita
dapat diberikan parasetamol karena parasetamol ini adalah suatu obat antipiretik yang
sifatnya dapat mengurangi suhu atau menurunkan panas. Namun harap diperhatikan
bahwa obat ini hanya mengurangi gejala penyakit dan bukan untuk mengobati
penyakit. Selain itu ada juga asetosal selain fungsinya sebagai analgesik atau
pengurang rasa nyeri juga sebagai penurun demam yang merupakan salah satu gejala
suatu peradangan atau infeksi (Aziz, 2008).
Penatalaksanaan febris atau demam menurut (Shvoong,2010),untuk menurunkan suhu
tubuh dalam batas normal tanpa mengunakan obat yaitu dengan cara di kompres :
1. Menyiapakan air hangat
2. Mencelupkan waslap atau handuk kecil ke dalam baskom dan mengusapnya ke
seluruh tubuh
3. Melakukan tindakkan diatas beberapa kali (setelah kulit kering)
4. Mengeringkan tubuh dengan handuk
5. Menghentikan prosedur bila suhu tubuh sudah mendekati

Penurunan suhu tubuh terjadi saat air menguap dari permukaan kulit. Oleh karena itu,
anak jangan “dibungkus” dengan lap atau handuk basah atau didiamkan dalam air
karena penguapan akan terhambat. Tambah kehangatan airnya bila demamnya
semakin tinggi. Sebenarmya mengompres kurang efektif dibandingkan obat penurun
demam. Karena itu sebaiknya digabungkan dengan pemberian obat penurun demam,
kecuali anak alergi terhadap obat tersebut (Nita, 2004).
6. Pengobatan Febris
Pengobatan febris atau demam dapat menggunakan obat diantaranya yaitu sebagai
berikut :
1. Paracetamol (para acetoaminophenol)
Suatu obat untuk mengurangi demam (antipiretik) dan nyeri (analgetik). Obat ini
aman untuk bayi dan anak sesuai kebutuhan, karena itu dapat dibeli bebas. Obat ini
dimetabolisme di hati sehingga bila dosis berlebih dapat menimbulkan gangguan
fungsi hati. Efek samping obat (ESO) bersifat reversible, penghentian obat dapat
memperbaiki keadaan umum anak dan ESO akan berangsur-angsur hilang sehingga
kondisi anak kembali normal. Parasetamol dapat diberikan setiap 6 jam sesuai
kebutuhan. Dosis parasetamol berdasarkan BB. Jenis obat yang mengandung
parasetamol sangat banyak sepertiTempra, Sanmol, Praxion, Naprex, Bodrexin
sirup, Dumin, Termorex, dll. Dosis 10-15 mg/kg berat badan (BB) per kali
pemberian, maksimal 60 mg/kg BB per hari. Apabila orang tua kesulitan dalam
menghitung dosis hendaknya berkonsultasi dengan dokter atau apoteker. Sediaan
drop diberikan pada bayi dengan BB dibawah 10 kg atau pada anak dengan
kesulitan minum obat karena volume pemberian relatif sedikit. Pada anak dengan
BB diatas 10 kg dapat diberikan sirup. Tablet diberikan pada anak usia diatas 12
tahun. Dari penelitian terbukti bahwa pemberian oral dan suppositoria sama
efektifnya. Sediaan suppositoria (melalui dubur) diberikan bila pemberian oral
tidak memungkinkan, contohnya anak dengan muntah profuse, anak tidur, atau
tidak sadar.
2. Ibuprofen
Ibuprofen dapat diberikan pada kondisi demam yang tinggi (>40 C), demam
membandel yang tidak responsif terhadap pemberian Parasetamol, atau demam
yang disertai dengan peradangan. Dosis obat ini adalah: 5-10 mg/kg BB setiap kali
pemberian, maksimal 40 mg/kg BB/hari. Contoh obat yang mengandung ibuprofen
antara lain Proris, Rhelafen, Fenris, Bufect, dll (Anonim, 2009). Dalam memilih
obat demam, pilih obat yang tidak mengandung alkohol, karena beberapa produk
sirup juga ada yang menggunakan alkohol sebagai campurannya (Anonim, 2009).

Anda mungkin juga menyukai