Anda di halaman 1dari 5

Pada tahap riwayat pemberian asuhan, Lindgren (1993) menyatakan

bahwa pemberian asuhan mungkin merasa tidak berdaya dan harus menghadapi
perasaan frustasi dan kehilangan yang berlebihan. Tahap ketiga atau tahap keluar
ditandai dengan: pemberian asuhan membuat keputusan, melaksanakan aktivitas,
dan membuat penyesuaian dengan melepaskan sampai beberapa derajad baik
melalui kematian maupun institusionalisasi pasangan yang sakit.
Mempertahankan hubungan pernikahan, tugas perkembangan ketiga,
berlanjut menjadi puncak kebahagiaan keluarga. Pernikahan yang dianggap
memuaskan dalam beberapa tahun terakhir biasanya memiliki riwayat positif yang
panjang dan begitu pula sebaliknya. Penelitian juga memperlihatkan bahwa
pernikahan sangat berperan pada moral dan kelanjutan aktivitas pasangan dewasa
(Brubaker,1985; Lee,1978). Mempertahankan hubungan pernikahan yang
memuaskan setelah salah satu atau kedua pasangan pensiun juga dipengaruhi oleh
dukungan yang diterima oleh satu pasangan dari pasangan lainnya dan perubahan
yang terjadi pada kesehatan salah seorang atau kedua pasangan (Brubaker,1983;
Gilford,1984; Keating & Cole,1980). Perubahan kesehatan menciptakan suatu
tantangan dan beban dalam pemberian asuhan, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi penyesuaian pernikahan pasangan (Fitting,Rabbins,Lucas &
Eastham, 1986).
Salah satu mitos usia lanjut adalah dorongan seks dan aktivitas seksual
tidak lagi memungkinkan (atau tidak seharusnya ada). Akan tetapi penelitian
memperlihatkan kebalikannya. Penelitian tersebut menemukan bahwa walaupun
terdapat penurunan kapasitas seksual, kenikmatan dalam aktivitas dan ketertarikan
seksua tetap konsisten dengan ketertarikan dan aktivitas selama masa dewasa awal
(AARP,1999; Heinrich,1996; Starr,1985). Gangguan kesehatan kadang kala
menghilangkan dorongan seksual, tetapi kurang/hilangnya aktivitas seksual terjadi
akibat masalah sosioemosional.
Penyesuaian terhadap kehilangan pasangan, tugas perkembangan keempat,
secara umum merupakan tugas perkembangan yang paling membuat trauma.
Wanita lansia lebih menderita akibat kehilangan pasangannya jika dibandingkan
pria. Menurut statistik pada tahun 2000, 67% pria berusia 75 tahun keatas yang
tidak tinggal di institusi, tinggal bersama pasangan mereka, dibandingkan dengan
hanya 29% wanita dengan usia yang sama (U.S.Bureau of the census 2000). Di
sisi lain, wanita lansia memiliki kemungkinan sampai lebih dari tiga kali untuk
menjadi janda di bandingkan pria lansia (48% dan 14%). Akibatnya banyak lansia
(8 dari 10 lansia yang berada di institusi) hidup sendiri, dan sebagian besar lansia
ini adalah wanita (U.S.Bureau of the census 1995).
Dalam perbandingan dengan kelompok usia muda, lansia menyadari
bahwa kematian adalah bagian dari proses kehidupan yang normal. Sebagian
lansia lebih sedikit takut akan kematian dibandingkan individu yang lebih muda
dan lebih khawatir akan kematian individu yang dicintainya dari pada diri mereka
sendiri (Butler & Lewis, 1982; Neinmeyer, 1988).
Akan tetapi, kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang
telah ditinggalkan pasangannya menemukan kemudahan dalam menyesuaikan diri
terhadap kehilangan. Kehilangan pasangan menimbulkan efek yang merugikan ,
wamita meninggal dari pada pasangan barunya, dan kehidupan cenderung
memiliki masalah kesehatan yang serius (isolasi sosial, bunuh diri, atau gangguan
jiwa). Selain itu, kehilangan pasangan menuntut terorganisasi total fungsi
keluarga . Hal ini terutama sulit untuk mencapai kepuasan, karena kehilangan
telah menghilangkan sumber emosional dan ekonomi yang dibutuhkan untuk
beradaptasi terhadap perubahan. Bagi wanita, hal ini berarti perpindahan dari
saling ketergantungan dan aktivitas kehidupan keluarga bersama sama menjadi
sendiri atau berhubungan dengan sekelompok lansia yang tidak terikat . Bagi pria,
kehilangan pasangan berarti kehilangan pendamping . Secara umum seperti
hilangnya penghubung kekerabatan, keluarga, dan dunia sosial. Janda lansia
sering kali tidak memiliki ketertarikan atau kemampuan untuk melaksanakan
peran sebagai penjaga dan pengasuh rumah tangga dan dapat memerlukan bantuan
dalam mempersiapkan makanan, merapikan rumah, dan keperawatan lainnya.
Seberapa sulit penyesuaiandapat dilihat oleh peningkatan dalam angka
bunuh diri pada individu berusia di atas 65 tahun. Walaupun terdapat peningkatan
angka bunuh diri pada wanita di atas 65 tahun , jumlah bunuh diri lebih besar
ditemukan pada populasi pria yang lebih muda.
Pria lansia lansia yang berniat melakukan bunuh diri cenderung
menggunakan metode yang lebih keras untuk bunuh diri (Kaplan, Adamek &
Johnson, 1994). Menurut Kastenbaum (1994), kekhawatiran pria lansia sering
memicu pemikiran bunuh diri adalah termasuk kesehatan yang buruk, kehilangan
kemandirian mobilitas, kesepian, isolasi, dan kehilangan kontrol. Dengan
mengabaikan model kematian (bunuh diri atau kematian alami), kehilangan
seseorang yang dicintai adalah sulit dan menyebabkan trauma psikologi yang
menonjol sehingga perasaan depresi, bingung, dan berasaan hampa yang pervasif
sering kali muncul (Farberow, Gallagher-Thompson, Gilewski &Thomson, 1992)
Penelitian mengenai janda secara konsisten membukakan kesulitan kondisi
kehidupan dan pada janda. Janda memiliki moral yang cukup rendah dan lebih
sedikit peran dan ikatan sosial dari pada individu yang menikah pada usia yang
sama. Bild dan Havighurst (1976), dalam suatu penelitian besarnya mengenai
penuaan di chieago, melaporkan bahwa kehlangan pasangan telah memindahkan
dukungan lansia yang terkuat, walaupun anak, jika ada, biasanya masuk untuk
mengisi kekosongan orang tuanya. Mereka juga menemukan juga janda yang
tidak memiliki anak akan lebih terisolasi.
Terdapat banyak akibat negatif dalam berespon terhadap kematian seorang
pasangan. Misal menjadi janda menciptakan efek negatif bagi perilaku makan dan
kualitas zat gizi khusus pada diet individu janda yang telah menjadi lansia
(Rosenbloom & whittington,1993). Juga seorang janda lebih cenderung memiliki
gejala depresi atau bahkan mengalami episode depresi yang kuat. Zisook dan
shucter (1993) melaporkan bahwa kesehatan yang buruk, penggunaan obat-obatan
psikotropik, dan peningkatan penggunaan alkohol dan zat-zat yang tidak
diresepkan berkaitan dengan depresi pasca berkabung. Untungnya dukungan
sosial oleh keluarga, kerabat, teman dan profesional mengurangi kemungkinan
depresi. Mullins dan Mushel (1992) menyatakan bahwa teman, terutama teman
dekat, memiliki pengaruh positif pada kesejahteraan emosional individu janda
yang sudah lansia.
Tugas perkembangan kelima adalah beradaptasi dengan pertahanan ikatan
keluarga antargenerasi. Walaupun terdapat kecenderungan bagi lansia untuk
melepaskan diri dari hubungan sosial, keluarga tetap mengingatkan fokus
interaksi sosial pada lansia dan sumber dukungan sosial primer mereka. Pada saat
lansia menarik diri dari aktivitas di dunia luar, hubungan dengan pasangan, anak,
cucu, dan saudara kandung menjadi lebih penting. Sebagian besar lansia di
amerika hidup berdekatan dengan anggota keluarga besar mereka dan melakukan
kontak yang sering dengan mereka (Harris et al.,1975; Shanas et al., 1968, 1980).
Oleh karena itu, anggota keluarga merupakan sumber penting bantuan dan
interaksi sosial yang langsung. Keluarga yang lebih tua ditemukan secara umum
dapat membalas dengan memberikan bantuan sampai sesuai dengan kemampuan
yang mereka miliki.
Seiring bertambahnya usia individu, mereka pasti mempertanyakan
tentang keberadaan mereka. Mengingan tentang kehidupan masa lalu seseorang,
yang disebut dengan tinjauan kehidupan adalah aktivitas yang biasa dan vital
karena tindakan tersebut menyajikan pencarian makna inti dari kehidupan.
Tinjauan ini dipandang sebagai tugas perkembangan keluarga “jenis kognitif”
keenam. Fakta tepenting adalah bahwa tinjauan kehidupan mempermudah
penyesuaian terhadap situasi yang sulit dan memberikan pandangan dari dalam
diri mengenai peristiwa masa lalu. Lansia mengkhawatirkan kualitas kehidupan
mereka dan mampu hidup dengan rasa hormat, rasa berarti dan harga diri
(Duvall,1977; Roth, 1996)
Lansia adalah pengguna pelayanan kesehatan yang terbanyak (U.S. Senate
Special Committee on Aging, 1987-1988). Lebih dari 4 sampai 5 lansia minimal
mengalami satu penyakit kronik, dan kondisi multiple merupakan hal yang umum
pada lansia. Pada tahun 1990, persentase lansia 12,7% dari total populasi tetapi
33% dari mereka tercatat sebagai pengguna pelayanan kesehatan di Amerika
Serikat.
Meningkatnya usia juga sangat berhubungan dengan disabilitas, walaupun
kesehatan yang buruk tidak sebanyak yang diperkirakan masyarakat, pada tahun
1992, tiga dari setiap empat orang lansia berusia 65 tahun sampai 74 tahun yang
tidak tinggal di institusi menganggap diri mereka memiliki kesehatan yang baik .
Dua dari tiga lansia berusia 75tahun atau lebih merasakan hal yang sama. Wanita
lansia cenderung lebih banyak mengalami disabilitas fungsional , gangguan
mobilitan dan penyakit kronik dari pada pria lansia . Tujuh dari sepuluh kematian
lansia dapat disebabkan oleh penyakit jantung, kanker, atau stroke (U.S. Bureau
of the census, 1995)
Faktor-faktir seperti menghilangkan kekuatan dan fungsi fisik, sumber
finansial yang tidak adekuat, isolasi sosial, kesepian, dan banyak kehilangan lain
yang dialami lansia, menunjukkan beberapa kerentanan psikofisiologis penuaan
manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian terhadap kesehatan kronik
multiple dan kebutuhan asuhan jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai