Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur femur merupakan salah satu trauma mayor di bidang orthopaedi.
Dikatakan sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang
sangat kuat, sehingga diperlukan suatu trauma sangat besar yang menyebabkan
fraktur femur. Fraktur femur juga mengalami terjadinya perdarahan dan
peradangan yang ditimbulkan karena rupturnya pembuluh darah sehingga
mengakibatkan volume darah menurun dan terjadi ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer (Andra dan Yessie, 2013). Apabila ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer tidak segera ditangani maka menyebabkan nekrosis otot,
cedera saraf parsial atau total, dan gangguan vaskular yang bisa menimbulkan
hilangnya fungsi ekstremitas (Kathleen ,2008).
Di Provinsi Jawa Timur proporsi cidera kejadian fraktur atau patah tulang
di dapatkan data 6,0%, luka robek 22,7%, lecet/memar 68,0%, terkilir 27,3%,
anggota tubuh terputus 0,3%, cedera mata 0,5%, gegar otak 0,7 lainnya 1,7%. (
Riset Kesefhatan Dasar 2013 ). Kasus fraktur femur di Indonesia merupakan
kasus yang sering terjadi yaitu sebesar 39% kemudian diikuti fraktur humerus
(15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar fraktur femur
adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil,
motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh dari ketinggian (37,3%)
dan mayoritas adalah pria(63,8%).
Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0
per 10.000 orang per tahun 2017) dan nomer tujuh pada pria (5,3 per orang
per tahun 2017). Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia
dewasa 15-34 tahun dan orang tua diatas 70 tahun (Desiartama ,2017).
Kasus fraktur femur dikarenakan adanya trauma besar yang mana juga
mengalami rupturnya pembuluh darah sekitar yang menyebabkan perdarahan
disekitar daerah tulang yang patah dan jaringan lunak sekitar tulang tersebut
yang menimbulkan reaksi peradangan. Peradangan ketika tidak segera

1
ditangani dapat terjadi insufisiensi pembuluh darah sehingga serabut saraf
mengalami penekanan dan menurunkan asupan darah pada ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan jaringan perifer. Apabila terjadinya kerusakan saraf
perifer tidak terkontrol maka menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, dan
oklusi darah yang merusak serabut saraf maupun jaringan otot yang disebut
sindrom kompartemen (Wijaya, 2013).
Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik mengambil sebuah
masalah asuhan keperawatan gawat darurat muskuloskaletal pada klien fraktur
femur.
B. RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini bagaimana asuhan keperawatan pada klien kegawat
daruratan muskuloskaletal fraktur femur ?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Guna memperoleh pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan secara langsung dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-
sosio dan kultural pada Tn. M melalui pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa konsep kegawat daruratan
b. Mengetahui apa definisi fraktur
c. Mengetahui apa etiologi fraktur
d. Mengetahui bagaimana manifestasi fraktur
e. Mengetahui apa patofisiologi fraktur
f. Mengetahui apa pathway fraaktur
g. Mengetahui apa saja komplikasi fraktur
h. Mengetahui bagaimana tahap penyembuhan fraktur
i. Mengetahui bagimana penatalaksanaan fraktur
j. Mengetahui konsep asuhan keperawatan fraaktur

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kegawat Daruratan


1. Definisi kegawat daruratan
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
lebih lanjut (UU no 44 tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan
yang terjadinya mendadak mengakibatkan seseorang atau banyak orang
memerlukan penanganan atau pertolongan segera dalam arti pertolongan
secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan
semacam itu meka korban akan mati atau cacat atau kehilangan anggota
tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-
waktu/ kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja
sebagai akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan
suatu penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya
memberikkan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami
pasien tetapi juga memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi
kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat darurat adalah
pelayanan professional keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering
digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga filosofi tentang
keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang
dialami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan
(Hati, 2011 dalam Saanin, 2012).
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis
lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu
pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan
kepada pasien (Saanin, 2012). Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat

3
atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau anggota
badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan
secepatnya . biasanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI
(Acut Miocard Infark). Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru.
Misalnya pasien dengan Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam
nyawa dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label
kuning. Misalnya, pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang
tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan. Biasanya dilambangkan
dengan label hijau. Misalnya, pasien batuk, pilek.Keperawatan gawat
darurat atau emergency nursing merupakan pelayanan keperawatan yang
komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yang
mengancam kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi
suatu keadaan cedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera
untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta
rasa sakit pada pasien.
Pasien gawat darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan
segera dengan tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau
kecacatan. Dalam penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang
profesional. Derajat kegawat daruratan serta kualitas dari penanganan yang
diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan,
baik dari penolong pertama, teknisi kesehatan kegawat daruratan serta
dokter kegawat daruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan kegawat
daruratan medis bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu
sendiri serta ketersediaan sumber daya untuk menolong. Hal tersebut
beragam tergantung dimana peristiwa kegawatdaruratan itu terjadi, diluar
atau didalam rumah sakit (Caroline 2013).
3. Tujuan
a. Mencegah kematian dan kecacatan (to save life and limb) pada penderita
gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam

4
masyarakat sebagaimana mestinya
b. Merujuk penderita gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih memadai
c. Menanggulangi korban bencana
d. Penderita Gawat Darurat
e. Kematian dapat terjadi bila seseorang mengalami kerusakan atau
kegagalan dan salah satu sistem/organ.
4. Pengkajian dalam gawat darurat
a. Dilakukan secara cepat
b. Dilakukan sesuai dengan prioritas kegawatdaruratan
c. Pengkajian fokus pada keadaan pasien           
5. Prinsip keperawatan kegawat daruratan
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat
serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik
didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap
saat dan menimpa siapa saja.
a. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan
panik).
b. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
c. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat,
keracunan).
d. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali
jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
e. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
f. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu, memindahkan
jika hanya ada kondisi yang membahayakan.

5
g. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
h. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.

Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (kumpulan


materi mata kuliah Gadar:2006):

a. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat
jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
b. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
c. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak mengancam
nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. Tidak gawat tidak darurat
e. Pasien poliklinik yang datang ke UGD

6
D. Tinjauan Teori fraktur
1. Definisi fraktur dan fraktur femur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang / tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidayat, 2005). Fraktur
adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Price & wilson, 2006).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa atau
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah). Fraktur femur disebut terbuka apabila terdapat hubungan
langsung antara tulang dengan udara luar, dan disebut tertutup apabila
tidak terdapat hubungan antara tulang dengan udara luar. Kondisi ini
secara umum disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi,2012).
6. Etiologi
Menurut Chairuddin (2003) penyebab fraktur dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Frakturtraumatik
Akibat terjadinya kecelakaan, cidera dan lainnya.
b. Fraktur patologis
Terjadi pada tulang karena adanya kelainan atau penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan)
dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
c. Fraktur stress
Terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang- ulang pada
daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali
ditemukan pada anggota gerak atas.
7. Klasifikasi
Fraktur memiliki jenis atau klasifikasi yang dibedakan dengan melihat
tingkat cedera tulang dan kerusakan jaringan yang dialami. Klasifikasi
Fraktur menurut (Nurarif, 2013) dibagi menjadi 3 :
7
a. Fraktur tertutup bias disebut (simple fraktur), apabila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan duni aluar.
b. Fraktur terbukabisadisebut (compoun fraktur), apabila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya
perlukaan dikulit.
c. Fraktur dengan komplikasi, missal malunion, delayed, union,nonunion,
infeksi.
Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat yaitu:
a. DerajatI
1) Luka <1cm
2) Kerusakan pada jaringan lunak sedikit, tidak ada luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, kominutifringan
4) Kontaminasi minimal.
b. DerajatII
1) Laserasi >1 cm
2) kerusakan pada jaringan lunak, tidak luas, flap atau avulsi
3) Kontaminasi sedang.
c. Derajat III
Terjadinya rusak pada jaringan lunak yaitu meliputi struktur kulit, otot
dan juga neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan :
a. Jumlah garis
1) Simplefraktur :Terdapat satu garis fraktur
2) Multiplefraktur :Lebih dari satu garis fraktur
3) Comminutive fraktur :Lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi
fragmen kecil.
b. Luas garisfraktur
1) Fraktur in komplit :Tulang tidak terpotong secara keseluruhan.
2) Fraktur komplikasi :Tulang terpotong total.
3) Hairline fraktur : Garis fraktur tidak tampak.
c. Bentuk fragmen

8
1) Greenstick: Retak pada sebelah sisi dari tulang (sering pada anak-
anak).
2) Fraktur transversal : Fraktur fragmen melintang
3) Fraktur obligue: Fraktur fragmen miring
4) Fraktur spinal :Fraktur fragmen melingkar
8. Manifestasi Klinis
Klinis patah tulang yaitu munculnya gejala sakit/nyeri, hilangnya
fungsi esktremitas, terjadi deformitas, pembengkakan lokal, pemendekan
ekstremitas, krepitus serta perubahan warna. Manifestasi klinis fraktur
menurut Brunner & Suddarth (2005) :
a. Nyeri hebat berlangsung lama serta bertambah beratnya hingga fragmen
tulang diimobilisasi. Adanya spasme pada otot yang menyertai patah
tulang.
b. Setelah terjadinya patah tulang bagian tulang tidak dapat digerakan
secara alamiah/gerakan luar biasa yang tidak tetap seperti normalnya.
Pada pergeseran fragmen pada patah tulang lengan maupun pada
tungkai mengakibatkan ndeformitas ekstremitas yang bias diketahui
dengan membading kan pada ekstremitas normal .Ekstremitas menjadi
tidak bias bergerak normal karena fungsi otot bergantung pada
integritastulangtempatmelekatnyaotot.
c. Pada patah tulang panjang, terjadiny apemendekan tulang karena
adanya kontraksi pada otot yang menempel dibawah tempat patah
tulang Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain hingga 2,5
sampai 5 cm (1 sampai 2inchi).
d. Ketika ekstremitas diperiksa, akan teraba derik tulang (krepitus) yang
menjadi dampak gesekan antara fragmen satu dengan tulang lainnya.
e. Pembengkakan serta adanya perubahan warna pada kulit klien sebagai
dampak dari trauma serta perdarahan yang menyertai patah tulang.
9. Patofisiologi
Patah tulang merupakan gangguan pada tulang yang disebabkan oleh
trauma atau adanya benturan keras, stress, gangguan fisik, dan gangguan

9
metabolik, serta patologik. Kemudian kemampuan otot mendukung tulang
untuk turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Terjadinya kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, sehinggavolume darah
menurun. Ketika volume dalam darah menurun hematoma mengeksudasi
plasma serta poliferasi menjadi edema lokal yang menyebabkan
penumpukan dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup mengenai pada serabut saraf yang
mengakibatkan gangguan rasa nyeri. Kemudian dapat mempengaruhi
tulang dan neurovaskuler yang menimbulkan rasa nyeri saat gerak
sehingga mobilitas fisik klien terganggu. Sedangkan patah tulang terbuka
dapat mengenai jaringan lunak yang mungkin mengalami infeksi karena
terkontaminasi dengan udara luar serata kerusakan jaringan lunak yang
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang,
yang disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi
terbuka atau tertutup. Umumnya klien patah tulang terbuka maupun
tertutup akan dilakukan immobilitas yang berfungsi untuk
mempertahankan fragmen tulang yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya hingga sembuh (Sylvia, 2005).
Adanya jejas ditimbulkan karena adanya patah tulang yang
mengakibatkan rupturnya pembuluh darah yang menjadi perdarahan.
Adanya respon dini terhadap hilangnya darah adalah kompensasi tubuh,
sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral.
Saat ada cedera, maka respon adanya berkurang volume darah yang akut
yaitu peningkatan detak jantung sebagai usaha dalam menjaga output
jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan
tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah
diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya
sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang
bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya
syok, termasuk histamin, bradikinin, beta-endorpin dan sejumlah besar
prostanoid dan sitokinin-sitokinin.

10
Substansi ini berdampak besar pada mikro–sirkulasi dan permeabilitas
pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme
kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan
cara kontraksi volume darah di dalam sistem vena sistemik. Cara yang
paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel dengan
perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang
sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksienergi.
Keadaan awal saat terjadi kompensasi dengan berpindah ke
metabolisme anaerobik, dan membuat pembentukan asam laktat serta
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosin triphosphat)
tidak memadai, maka membran sel tidak dapat mempertahankan
integritasnya/gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan retikulum
endoplasmik merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia
seluler setalah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial.
Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-
seluler. Jika proses ini berjalan terus, maka terjadi pembengkakan sel. Dan
terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
maka terjadi cedera seluler progresif, penambahan edema jaringandan
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi (Wijaya, 2013).
Ketika patah tulang dan mengalami perdarahan biasanya terjadi pada
lokasi tulang yang patah dan kedalaman jaringan lunak sekitar tulang.
Pada jaringan lunak akan mengalami kerusakan. Reaksi peradangan
biasanya timbul hebat setalah patah tulang. Sel-sel darah putih dan sel
mast berakumulasi dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat
tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat
patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang dann terbentuk tulang
baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel

11
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati
(Wijaya, 2013).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah esktremitas dan mengakibatkan keruskan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Wijaya, 2013).

12
10. Pathway

13
11. Komplikasi
Klien yang mengalami fraktur segera mungkin harus segera diberi
penanganan, apabila klien tidak diberikan penangananyang tepat maka
akan timbul komplikasi. Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddart
(2005) dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Hipovolemik terjadi karena perdarahan tulang yang merupakan
organ vaskuler sehingga terjadi perdarahan yang sangat besar
sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur
pelvis.
2) Emboli lemak
Saat terjadinya fraktur, globula lemak masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan
katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam
aliran darah. Globula lemak kemudian bergabung dengan trombosit
membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok darah ke otak, paru-paru, ginjal dan organlainnya.
3) Compartment syndrome
Compartment syndrome yaitu masalah yang terjadi ketika adanya
perfusi jaringan dalam otot. Gangguam ini disebabkan karena
penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat balutan
yang terlalu ketat dan peningkat isi kompartemen karena perdarahan
atau edema.
4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, trombo emboli dan koagulo
pati intravaskuler.
b. Komplikasi lambat
1) Delayed union / malunion /nonunion
Pada patah tulang penyatuan secara terlambat / delayed union
terjadi ketika penyembuhan dengan waktu yang tidak normal
berhubungan dengan timbulnya infeksi serta distraksi/tarikan dari

14
fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang dapat menyebabkan
kesalahan bentuk penyatuan tulang (malunion). Tidak ada penyatuan
(nonunion) karena kegagalan penyatuan ujung dari patahan tulang.
2) Nekrosisavaskulartulang
Nekrosis avaskuler timbul saat tulang kekurangan asupan darah..
Tulang yang kekurangan asupan darah mengalami kolaps/diabsorbsi
kemudian diganti dengan tulang yang baru.
3) Reaksi pada alatfik sasiinterna
Timbulnya reaksi dari alat fiksasi interna yaitu nyeri serta
menurunnya fungsi tubuh merupakan indikator terjadinya masalah.
Masalah yang dialami meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan
dan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan metrial, berkaratnya
alat, respon alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling
osteoporotik disekitar alat.
12. Tahap Penyembuhan
Penyembuhan fraktur membutuhkan proses yang tidak cepat sebab
tulang yang mengalami trauma kehilangan kontinuitas tulang dan bahkan
juga mengalami kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) maka untuk penyembuhan fraktur melewati beberapa
tahap. Berikut ini tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut (Brunner
2005):
a. Inflamasi, merupakan tubuh berespon pada tempat cedera terjadi
hematom.
b. Proliferasi sel,yaitu terbentuknya fibrin sehingga terjadi revaskularisasi
c. Pembentukan kalus, berupa jaringan fibrus yang menghubungkan efek
tulang
d. Opsifikasi, proses penyembuhan jaringan tulang yang baru
e. Remodeling, yaitu perbaikan tulang yang meliputi pengambilan
jaringan yang mati .
Proses penyembuhan fraktur menurut (Sjamsuhidajat, 2005) :
a. Fase Hematoma :

15
Jika terjadi fraktur terletak di tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli sistem havers mengalami robekan
dan membentuk hematoma di kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
akan diliputi periosteum. Periosteum terdorong dan dapat mengalami
robekan akibat tekanan hematoma sehingga terjadi ekstravasasi darah
kedalam jaringan lunak.Osteositn didaerah farktur akan kehilangan
darah dan mati sehingga menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur setelah trauma.
b. Fase Proliferasi Seluler Subperiosteal
Penyembuhan fraktur dikarenakan sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum lalu membentuk kalus eksterna dari
endosteum membentuk kalusinterna untuk aktivitas seluler dalam
kanalis medularis. Kemudian tahap awal penyembuhan terjadi
pertambahan sel osteogenik. Setelah beberapa bminggu, kalis pada
fraktur membentuk suatu massa yang jaringan osteogenik sehingga
apabila di foto rontgen akan tampak radiolusen.
c. Fase Terbentuknya Kalus
Sel yang berkembang biak berpotensi kondrogenik dan osteogenik
jika berada pada keadaan yang tepat akan membentuk tulang
sejati/tulang kartilago. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks
interseluler kolagen serta perlekatan polisakarida oleh garam kalsium
membentuk suatu tulang imatur yang disebut moven bone.
13. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan konservatif
Penatalaksanaan konservatif yaitu penanganan non pembedahan agar
imobilisasi pada fraktur dapat terpenuhi yaitu :
1) Proteksi (tanpa reduksi serta imobilisasi)
Proteksi fraktur untuk mencegah adanya trauma lebih lanjut yaitu
memberikan sling (mitela) pada ekstremitas atas atau tongkat pada
esktremitas bawah. Tindakan ini di indikasikan pada patah tulang
yang tidak bergeser, atau fraktur klavikula pada anak dan fraktur

16
falang. Indikasi yang lain yaitu patah tulang impaksi pada humerus
proksimal, serta fraktur yang mengalami union secara klinis, tetapi
belum mencapai konsolidasiradiologis.
2) Imobilisasi bidaieksterna (tanpa reduksi)
Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna cuma memberikan
sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips dengan bermacam
bidai dari plastik ataupun metal. Metode ini dipakai pada patah
tulang yang perlu dipertahankan posisinya.
3) Reduksi tetutup
Reduksi tertutup dengan memberikan traksi secara kontinu dan
couter traksi yaitu memanipulasi serta imobilisasi eksterna dengan
menggunakan gips. Menurut Muttaqin (2008), penatalaksanaan
fraktur yang ke 2 yaitu dengan pembedahan. Penatalaksanaan
dengan pembedahan perlu diperhatikan karena memerlukan asuhan
keperawatan yang komprehensif perioperatif, meliputi:
a) Reduksi tertutup yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau
fiksasi perkuatan denganK-wire.
b) Reduksi terbuka yaitu dengan memberikan fiksasi internal /
fiksasi eksterna tulang Operasi reduksi terbuka fiksasi
internal/ORIF (open reduction internal fixation) dan operasi
reduksi t erbuka fiksasi eksternal atau OREF (open reduction
eksternal fixation) kematian sel. Proses ini memperberat dampak
kehilangan darah dan hipoperfusi(Wijaya,2013).
Ketika patah tulang dan mengalami perdarahan biasanya terjadi pada
lokasi tulang yang patah dan kedalaman jaringan lunak sekitar tulang. Pada
jaringan lunak akan mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya
timbul hebat setalah patah tulang. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi dan menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai

17
BAB III
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep teori
Asuhan keperawatan adalah proses menemukan pemecahan kasus
keperawatan secara ilmiah yang dipakai untuk mengidentifikasi masalah
klien, merencanakan secara sistematis dan melaksanakan dengan cara
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Wijaya,
2013).
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap
lanjut, takikardia, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia,
kulit dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut
2) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
3) Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara napas terdengar
rochi/aspirasi.
b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b) Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi
a) Hipertensi (kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
b) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardia

18
d) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
e) Capillary refill melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
g) Masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori
a) Kesemutan
b) Deformitas, krepitasi, pemendekan
c) Kelemahan
4) Kenyamanan
a) Nyeri tiba-tiba saat cedera
b) Spasme/kram otot
5) Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan lokal(Musliha, 2010)
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi.
b. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya
pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada
lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan intregritas
tulang, terapi pembatasan gerak, kerusakan musculoskeletal.
d. Resilko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya
darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh
darah.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan aliran darah arteri atau vena, trauma pada pembuluh darah.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Diagnosa 1:

19
Rencana Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan nyeri yang dialami pasien
berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3) Pasien tampak rileks
4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
Rencana Tindakan
a) Observasi TTV
R : Mengetahui kondisi pasien sehingga dapat menentukan rencana
selanjutnya seperti peningkatan nadi, tekanan darah dimana
menunjukan adanya peningkatan atau penurunan akibat rasa
nyeri sehingga merupakan indikator atau derajat nyeri secara
tidak langsung.
b) Kaji nyeri dengan teknik PQRST.
R : Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan perubahan
dimana memerlukan evaluasi dan intervensi yang berguna
dalampengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
c) Anjurkan klien istirahat di tempat tidur.
R : Istirahat yang adekuat dapat mengurangi intensitas nyeri dimana
istirahat dapat meningkatkan normalisasi fungsi organ, misalnya
menurunkan ketidaknyamanan pada daerah abdomen post
operasi.
d) Beri posisi nyaman.
R : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah
atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah
dengan posisi terlentang.

20
e) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
R : Distraksi menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan
perhatian pasien dengan cara mengajak pasien dalam hal-hal
yang digemari pasien. Relaksasi mengurangi ketegangan,
membuat perasaan lebih nyaman, dan meningkatkan
mekanisme koping.
f) Beri kompres hangat / dingin sesuai indikasi
R : Menghilangkan atau mengurangi nyeri melalui cara
meningkatkan rasa nyaman dimana dengan mengompres di
sekitar daerah yang terindikasi dapat memvasodilatasi dan
meningkatkan aliran sirkulasi sehingga dapat mengurangi
ketegangan dan meningkatkan relaksasi otot akibat nyeri yang
ditimbulkan dan memberikan sensasi yang menyenangkan.
g) Intruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri
itu muncul
R : Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat
menurunkan beratnya serangan yang ditimbulkan.
h) Beri teknik sentuhan yang terapeutik, biofeedback, hipnotis sendiri,
dan reduksi stress.
R : Memberikan pasien sejumlah pengendali nyeri dan / atau dapat
mengubah mekanisme sensasi nyeri dan mengubah persepsi
nyeri.
i) Beri HE mengenai manajemen nyeri.
R : Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berlangsung, dan antisipasi ketidak nyamanan
akibat timbulnya nyeri sehingga pasien tidak mengalami
kecemasan dan pasien mampu mandiri untuk menangani jika
nyeri itu timbul.
j) Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
R : Analgetik berguna mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi
lebih nyaman dimana obat golongan analgesik akan merubah

21
persepsi dan interprestasi nyeri sistem saraf pusat pada thalamus
dan korteks serebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan
sebelum pasien merasakan nyeri yang berat dibandingkan
setelah mengeluh nyeri.
b. Diagnosa 2
Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
jaringan dapat diatasi.
Kriteria hasil
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Rencana tindakan
c) Observasi keadaan kulit/kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada
klien.
R : menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi
perawatan luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa
yang akam dilakukan.
d) Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan
jaringan.
R : apa bila masih belum tercapai kriteria evaluasi, sebaiknya perlu
dikaji ulang faktor-faktor apa yang menghambat pertumbuhan
jaringan lika.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
R : perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman langsung kearea luka
d) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang)
R: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
e) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.
R : Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan

22
kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada
imobilisasi.
f) Kolaborasi dengan tim bedah untuk dikukan bedah perbaikan pada
karusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat dipercepat.
R : Bedah perbaikan dilakukan terutama pada klien fraktur terbuka
dengan luka yang luas yang dapat menjadi pintu  masuk kuman
yang ideal.
c. Diagnosa 3
Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi jaringan
efektif
Kriteria hasil
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra
Kranial)
5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6) Nadi perifer tidak teraba
7) Edema perifer tidak ada
Rencana tindakan
a) Auskultasi frekuensi dan irama jantung, catat terjadinya bunyi
jantung ekstra.
R : Takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya
peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan.
b) Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan
dengan keadaan normalnya.
R : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
TIK.

23
c) Melakukan perawatan sirkulasi perifer secara komprehensif misal:
periksa nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna, dan suhu
ekstremitas.
R : Mengetahui keefektifan intervensi dan perkembangan pasien.
3) Ajarkan pasien pentingnya mematuhi diit dan program pengobatan.
R  : Mempercepat proses penyembuhan.
4) Tinggikan anggota badan yang terkena 20 derajat atau lebih tinggi
dari jantung.
R  : Meningkatkan aliran darah balik vena.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti trombosit & anti
koagulan
R  : Untuk meningkatkan aliran darah serebral
d. Diagnosa 4
Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien dapat
melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik
dapat berkurang
Kriteri hasil
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang
paling tinggi yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
Rencana tindakan
a) Kaji kemampuan mobilisasi pasien
R: Menilai sejauh mana masalah yang dialami pasien
b) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
R:Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan
tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
c) Berikan penyangga pada ekstrimitas yang bermasalah

24
R: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
d) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
R: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia).
e) Dorong/pertahankan asupan cairan.
R: Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi
f) Berikan diet TKTP.
R:Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
g) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
R: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisiksecara individual
e. Diagnosa 5
Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan resiko syok
hipovolemik tidak terjadi.
Kriteria hasil
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) Membra mukosa lembab
3) Turgor kulit normal
4) TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80
mmHg)
5) CRT <2 detik
6) Urine >600 ml/hari
Rencana tindakan
a) Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
R  :  Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan status
cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunan
produksi urine, pemantauan yang ketat pada produksi urine <

25
600 ml/ hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok
hipovolemik.
b) Kaji sumber kehilangan cairan.
R :  Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor gijal dan diluar
ginjal. Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume
cairan ini juga haris diarasi. Perdarahan harus dikendalikan.
c) Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.
R :  hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang menunjukan
terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan konpensasi
mempertahankan tekanan darah.
d) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara
teratur.
R : Mengetahui adanya pengaruh penungkatan tahanan perifer.
e) Pantau frekuensi dan irama jantung.
R : Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan komplikasi
disritmia.
f) Kolaborasi pemberian cairan melalui intravena.
R : Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam melakukan kontrol asupan dan
haluaran cairan.
4. Implementasi
Menurut Nursalam (2011), Implementasi adalah pelaksanaan dari
rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan
pada nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi, dan implementasinya (Nursalam, 2011), maka hasil
yang diharapkan sesuai dengan rencana tujuan, yaitu:

26
a. Nyeri yang dialami pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3) Pasien tampak rileks
4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7) Wajah tampak tenang dan rileks.
8) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
b. Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2)  Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
c. Perfusi jaringan efektif
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra
Kranial)
5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6)  Nadi perifer tidak teraba
7)  Edema perifer tidak ada
d)  Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan
mobilitas fisik dapat berkurang
d. Resilko tinggi syok hipovolemik
Kriteri hasil :
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang
paling tinggi yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional

27
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
e. Resiko syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) Membra mukosa lembab
3) Turgor kulit normal
4) TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80
mmHg)
5) CRT <2 detik
7)  Urine >600 ml/hari

28
E. ASUHAN KEPERAWATAN
2. Identitas klien
Nama : Tn. MA
Umur : 24 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Wonasa
No.RM : 00.53.19.37
Diagnosa Medis: Fraktur femur
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Tanggal MRS : 26 April 2018
3. Pengkajian
a. Keluhan utama :Nyeri pada kaki sebelah kanan
b. Riwayat Penyakit : Nyeri dirasakan pada kaki sebelah kanan akibat
tertabrak motor pada hari kamis jam 20.00 yg lalu saat pasien sedang
mengendarai sepeda motor, nyeri dirasakan hilang timbul dengan skala
nyeri 5-6 ( sedang ), tampak kaki kanan bengkak dan ada luka
c. Pengkajian Kondisi Mental
A (Alert) : Keadaan klien compos mentis
V (Verbal) : Klien dapat berorientasi dengan baik
P (Pain) : Klien merasakan nyeri pada bagian kaki sebelah kanan
U (Un Respon): Klien sadar penuh
d. Primary Survey
1) Airway :
a) Jalan nafas bebas, suara nafas terdengar normal,
b) Tidak ada penumpukan secret pada jalan nafas
- Bebas
- Tidak Bebas : Pangkal lidah jatuh ,
Sputum,darah,Spasme,bendah asing
- Suara Napas: Normal, Stridor
- Dx: Resiko / gangguan bersihan jalan
napas tidak efektif

29
2) Breathing :
a) Pola nafas eupnea (normal),R :24x/menit,
b) Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan
c) Jenis pernapasan dada.
- Pola Napas : Apneau , Bradipneu,Orthopneu,Dispneu,
Takhipneu
- Frekuensi Napas :
- Bunyi Napas: Teratur , Tidak teratur
- Penggunaan otot bantu napas: retraksi dada,cuping
hidung,
- jenis pernapasan : Pernapasan dada , perut
- Dx: Resiko/ Pola napas tidak efetif
- Resiko /gangguan pertukaran gas

3) Sirculation :
a) Akral hangat, nadi teraba, irama reguler,
b) frekuensi 87x/menit,pendarahan(-),
c) kelembaban kulit dan turgor normal
d) tidak ada perdarahan & kehilangan cairan
e) T. 130/80 MMHg, CRT < 2 detik
- Akral : Hangat,dingin,pucat,sianosis - Tekanan darah :
- Pengisian kapiler :<2detik ,>2detik - Kekuatan : Kuat,Lemah
- Nadi: teraba ,tidak teraba,frekuensi
- irama : regular,ireguler
- Perdarahan : ada/tidak, lokasi , jumlah
- Kelembaban kulit , turgor
- Riwatan kehilangan cairan dalam jumlah besar : Diare,Muntah,luka
bakar ,perdarahan
- DX: Resiko /gangguan perfusi jaringan perifer
- Resiko/volume cairan kurang dari kebutuhan

e. Secondary survey
1) Disability :
a) Compos Mentis, GCS :15 (E: 4, M: 6, V: 5)
b) Respon pupil normal
c) Sensorik motorik normal

30
- Tingkat kesadaran : GCS
- Pupil : bentuk,ukuran,respon
cahaya
- Penilaian ekstremitas : sensorik,
motorik
- Kekuatan otot :
- Lain-lain :
- Dx: Resiko/gangguan perfusi
jaringan serebral

2) Exposure :
a) Terlihat luka fraktur pada bagian kaki sebelah
b) Kanan, nyeri hilang timbul dengan skala 5
- Adanya trauma pada daerah?
- Adanya jejas /luka daerah :
ukuran , kedalaman luka .
- Keluhan nyeri : daerah , lama ,
jenis nyeri
- Lain-lain:
- Dx: Nyeri, kerusakan integritas
kulit

3) Fahrenheit (suhu tubuh hypertermi) :


a) Suhu tubuh normal: 36,2˚C
b) Tidak terdapat adanya peningkatan suhu tubuh
- Suhu tubuh:
- Lama terpapar suhu panas
- Riwayat pemakaian obat
- Riwayat penyakit : metabolic , kehilangan
cairan, penyakit SSP
- Lain-lain
- -Dx: Peningkatan suhu tubuh

31
4) Fahrenheit (suhu tubuh hipotermi) :
Tidak ada
- Suhu tubuh :
- Lama terpapar suhu dingin:
- Riwayat penyakit : cedera kepala , hipoglikemia,
pemberian cairan infuse yang terlalu dingin,
pemberian transfuse yang masih dingin
- Lain-lain
- Dx:Gangguan suhu hypotermia

5) Psikososial : Pasien memiliki hubungan baik dengan lingkungan


sekitar
6) Px penunjang :
a) Pemeriksaan radiologi ( menunggu hasil )
b) Pemeriksaan labolatorium ( menunggu hasil )
c) Therapi :
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit
Antrala injeksi 1 ampul via IV
Cetorolax injeksi 1 ampul via IV
4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot kerusakan akibat fraktur
b. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cedera
jaringan sekitar
5. Intervensi
Diagnosa 1 :
a. Observsi TTV (TD, R, N, S, )
b. Kaji keluhan nyeri klien
c. Beri posisi nyaman sesuai keinginan klien
d. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
e. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Diagnosa 2 :
a. Observasi TTV ( TD, R, N, S, )
b. Kaji tingkat kemampuan beraktivitas klien

32
c. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan
sendiri
d. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien

6. Implementasi
Tgl/Jam Ndx Implementasi Evaluasi
27/4/18 1. Mengobservasi tanda-tanda vital Tgl : 27/04/2018 Jam :
01:00 Hasil: TD 120/80 mmHg, R: 24x/menit, 06.00
N:87x/menit, S: 36,2˚C
S : Pasien mengatakan
merasakan nyeri pada
01:30 Mengkaji keluhan nyeri klien kaki sebelah kanan
Hasil : P = Fraktur kaki sebelah
kanan
Q = skala nyeri (5) klien O :
tampak - Klien tampak meringis
meringis P= fraktur kaki sebelah
R = di bagian kaki kanan
sebelah kanan Q = skala nyeri
S = 5 (0-10) nyeri (5) klien
sedang tampak
T = hilang timbul meringis
R = di bagian kaki
sebelah
02:00 Memberikan posisi nyaman kanan
sesuai keinginan klien S = 5 (0-10)
Hasil: klien merasa nyaman T = hilang timbul
setelah diberikan posisi nyaman
sesuai keinginan klien dengan
meletakkan bantal di bawah kaki - TD: 120/80mmHg
kanan R: 24X/MNT
N: 87x/mnt
S: 36,2˚C
02:15 Mengajarkan tehnik relaksasi nafas
dalam dengan meminta klien menarik A : Masalah belum teratasi
nafas dalam dan dihembuskan perlahan-
lahan
Hasil : klien mengerti dan mau P : Lanjutkan intervensi
mengikutinya
02:30 Melakukan perawatan luka dikaki
bagian kanan klien
Hasil : klien merasa sudah sedikiy
nyaman karena luka sudah dirawat dan

33
dibalut .

03:00 Berkolaborsi dalam pemberian


analgetik
Hasil: - Ketorolac 1 ampl via IV
- Antrala 1amp via IV

03.30 2. Mengobservasi tanda-tanda vital S : Klien mengatakan tidak


Hasil: TD 120/80 mmHg, R: 24Xmenit, dapat beraktivitas secara
N:87x/menit, S: 36,2˚C mandiri

03:55 Melakukan pemasangan IVFD Nacl O: Klien hanya bisa


0,9 % di tangan kiri klien beraktifitas di sekitar
tempat tidur

04:45 Membantu pemenuhan kebutuhan klien A: Masalah belum teratasi


dengan membantu memberi minum dan
BAK
P: Lanjutkan intervensi

05:15 Mengkaji tingkat kemampuan aktivitas


klien
Hasil: klien hanya bisa berakivitas di
sekitar tempat tidur
( Skala 3 = memerlukan bantuan orang
lain )

34
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan yang menjabarkan kesenjangan
maupun kesamaan dari tinjauan pustaka dengan pengalaman kasus maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Pengkajian.
Berdasarkan asuhan keperawatan pada Tn. S yang mengalami close
fraktur femur 1/3 Medial dengan masalah keperawatan ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer di RSUD Bangil Pasuruan, di dapatkan kesimpulan
sebagai berikut :dari data pengkajian kasus pada pengkajian data subyektif
dan data obyektif didapatkan melalui ungkapan bahwa Tn. S mengatakan
nyeri pada daerah paha kaki sebelah kananyang berhubungan dengan
kondisi yang dialaminya sekarang yaitu fraktur femur dekstra, dari data
obyektif yang di dapatkan oleh peneliti yaitu ekstremitas kaki kanan pasien
pada paha terpasang tensocrep, ekstremitas kaki kanan pasien terpasang
traksi dengan beban 5 kg., ada edema pada paha kanan, ADL pasien
ditempat tidur, ADL pasien dibantu perawat, dan CRT 3detik.
Pada Tn. A tidak jauh berbeda dengan Tn. S, klien mengalami patah
tulang paha bagian sinistra. dari data pengkajian kasus pada pengkajian data
subyektif dan data obyektif didapatkan melalui ungkapan bahwa Tn. S
mengatakan nyeri pada daerah paha kaki sebelah kananyang berhubungan
dengan kondisi yang dialaminya sekarang yaitu fraktur femur dekstra, dari
data obyektif yang di dapatkan oleh peneliti yaitu ekstremitas kaki kanan
pasien pada paha terpasang tensocrep, ekstremitas kaki kanan pasien
terpasang traksi dengan beban 5 kg., ada edema pada paha kanan, ADL
pasien ditempat tidur, ADL pasien dibantu perawat, CRT 3 detik.
2. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang muncul dari pengkajian pada klien Tn. S
dan Tn. A yang digunakan dalam asuhan keperawatanfraktur femur 1/3

35
medial adalah ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
trauma.
3. Intervensi Keperawatan.
Dalam intervensi keperawatan / rencana tindakan keperawatan pada Tn.
S dan Tn. A yaitu dengan diberikannya teknik penurunan tingkat nyeri.
Teknik penurunan tingkat nyeri ini ditujukan untuk mengatasi masalah
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer pada klien dikarenakan klien harus
melakukan berbagai macam perawatan sebelum operasi dan melatih
persendian atau latihanmobilisasi.
4. Implementasi Keperawatan.
Pada kasus ini, implementasi keperawatan yang diberikan kepada klien
tidak semuanya intervensi keperawatan diberikan tetapi terlebih dulu
memperhatikan respon klien dikarenakan hari pertama sebelum tindakan
pembedahan, klien merasa kecemasan dan hal itu harus kita perhatikan jika
akan mengaplikasikan intervensi penurunan tingkat rasa nyeri dan
implementasi yang belum diberikan diaplikasikan pada hariselanjutnya.
5. Evaluasi keperawatan.
Dalam penelitian ini pada hari terakhir evaluasi keperawatan klien Tn.
S berhasil menurunkan tingkat nyeri dengan skala nyeri 4 dengan hasil
tercapainya sebagian tujuan dan kriteria hasil, lalu pada klien Tn. A berhasil
menurunkan nyerinya dengan skala nyeri 3 dengan ditandai tercapainya dari
tujuan dan kriteria hasil dari tindakan yang telah diaplikasikan olehpeneliti.

B. SARAN
1. Bagi Klien dan Keluarga
Tingkat nyeri pada klien begitu berpengaruh terhadap proses perawatan
sebelum operasi dan sesudah operasi dikarenakan di rumah sakit atau di
rumah klien harus menjalankan berbagai macam perawatan dan latihan
untuk melatih anggota geraknya, terapi dan latihan harus dilakukan dengan
kemauan yang tinggi dari klien sendiri, jadi klien tersebut harus bisa
menjaga dan mengontrol tingkat nyeri yang dialami, dan peran keluarga

36
jugapenting untuk mendukung klien. Keluarga juga harus berperan aktif jika
klien mempunyai suatu masalah dan menjaga komunikasi yang baik agar
masalahbisa diselesaikan bersama.
2. Bagi InstitusiPendidikan.
Hasil dari penelitian studi kasus ini peneliti berharap ini dapat menjadi
tambahan pengetahuan untuk mahasiswa dan pengajar sehingga menambah
ilmu pengetahuan tentang proses keperawatan pada kasus fraktur femur.
3. Bagi Peneliti selanjutnya.
Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan waktu
sebaik mungkin agar bisa memberikan asuhan keperawatan kepada klien
dengan close fraktur femur secaraoptimal.
4. Bagi RumahSakit
Diupayakan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi dan
mempertahankan kolaborasi yang mapan antara medis serta klien yang
berguna untuk meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara optimal.

37
DAFTAR PUSTAKA

Askep IGD/Fraktur. (2013). Diakses Pada Tanggal 6 MARET 2020.


https://ebixpopitod.wordpress.com/2013/01/23/askep-igdfraktur/
Brunner&Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Bulechek, Gloria M, dkk. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC).
Margaretha, Caroline. (2013). Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses
pada tanggal 18 Januari 2018
Missouri : ELSEVIER.Bulechek, Gloria M, dkk. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC).Missouri : ELSEVIER.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Desiartama, Agus. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas. (2017). Diakses pada tanggal 16 MARET
2020 .https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/30486/18728
Dosen Team, DIII Keperawatan. (2017). Buku Panduan Penyusunan Karya Tulis
Ilmiah : Studi Kasus. Jombang : STIKES ICME.
Helmi, ZN. (2012). Buku saku kedaruratan di bidang bedah orthopedi. Jakarta :
Salemba medika
Herdman & Kamitsuru. (2015-2017). Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi. Jakarta : EGC.
Lukman & Ningsih, Nurna. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien
GangguanMuskuloskeletal.Jakarta : EGC.
Nurarif, AH & Hardhi Kusuma. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda NIC-NOC. Jilid 1. Jogjakarta :
Mediacti (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan
Praktis.Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika.
Pokja Tim, SDKI DPP PPNI. (2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi : 1. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat.Potter & Perry. (2005).
Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Volume 4. Jakarta : EGC
Ramadhan. Konsep Fraktur (Patah Tulang). (2008). Diakses Pada Tanggal 6
MARET (2020). https://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-
fraktur-patah-tulang/ Sjamsuhidayat, R & De Jong, W. 2005. Ilmu Bedah
(Handbook Of Surgery). Jakarta : EGC
Sylvia, A. (2005). Patofisiologi Konsep Kliinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6.Jakarta :EGC
Saanin, S. (2012). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
BSB Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat
Wijaya, AS & Putri,YM. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta :
NuhaMedika.

38
39

Anda mungkin juga menyukai