Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Fraktur femur merupakan salah satu trauma mayor di bidang
orthopaedi. Dikatakan sebagai trauma mayor karena tulang femur
merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga diperlukan suatu
trauma sangat besar yang menyebabkan fraktur femur. Fraktur femur
juga mengalami terjadinya perdarahan dan peradangan yang
ditimbulkan karena rupturnya pembuluh darah sehingga
mengakibatkan volume darah menurun dan terjadi ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer (Andra dan Yessie, 2013). Apabila
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer tidak segera ditangani maka
menyebabkan nekrosis otot, cedera saraf parsial atau total, dan
gangguan vaskular yang bisa menimbulkan hilangnya fungsi
ekstremitas (Kathleen S.Oman dkk,2008).
Di Provinsi Jawa Timur proporsi cedera kejadian fraktur atau
patah tulang di dapatkan data 6,0%, luka robek 22,7%, lecet/memar
68,0%, terkilir 27,3%, anggota tubuh terputus 0,3%, cedera mata
0,5%, gegar otak 0,7 lainnya 1,7%. ( Riset Kesefhatan Dasar 2013 ).
Kasus fraktur femur di Indonesia merupakan kasus yang sering
terjadi yaitu sebesar 39% kemudian diikuti fraktur humerus (15%),
fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab terbesar fraktur
femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan
jatuh dari ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria(63,8%).
Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak
kedua (17,0 per 10.000 orang per tahun 2017) dan nomer tujuh pada
pria (5,3 per orang per tahun 2017). Puncak distribusi usia pada
fraktur femur adalah pada usia dewasa 15-34 tahun dan orang tua
diatas 70 tahun (Desiartama,2017).

1
Kasus fraktur femur dikarenakan adanya trauma besar yang
mana juga mengalami rupturnya pembuluh darah sekitar yang
menyebabkan perdarahan disekitar daerah tulang yang patah dan
jaringan lunak sekitar tulang tersebut yang menimbulkan reaksi
peradangan. Peradangan ketika tidak segera ditangani dapat terjadi
insufisiensi pembuluh darah sehingga serabut saraf mengalami
penekanan dan menurunkan asupan darah pada ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan jaringan perifer. Apabila terjadinya
kerusakan saraf perifer tidak terkontrol maka menyebabkan
peningkatan tekanan jaringan, dan oklusi darah yang merusak
serabut saraf maupun jaringan otot yang disebut sindrom
kompartemen (Wijaya, 2013).
Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik mengambil
sebuah masalah asuhan keperawatan gawat darurat muskuloskaletal
pada klien fraktur femur.
B. RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini bagaimana asuhan keperawatan pada klien kegawat
daruratan muskuloskaletal fraktur femur ?

C. TUJUAN

1. TUJUAN UMUM
Guna memperoleh pengalaman yang nyata dalam memberikan
asuhan keperawatan secara langsung dan komprehensif meliputi aspek
bio-psiko-sosio dan kultural pada Tn. M melalui pendekatan proses
keperawatan

2. TUJUAN KHUSUS
a. Mampu melakukan pengkajian pada Tn.M.M dengan Sistem
Muskuloskeletal: Fraktur Femur Dekstra
b. Mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan Pada Tn.M.M
dengan Sistem Muskuloskeletal: Fraktur Femur Dekstra

2
c. Mampu melaksanakan tindakan mandiri dan kolaboratif pada Tn.M.M
dengan Sistem Muskuloskeletal: Fraktur Femur Dekstra
d. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan sesuai dengan
rencana yang telah disusun.
e. Mampu melakukan evaluasi hasil tindakan keperawatan pada Tn.M
dengan Sistem Muskuloskeletal: Fraktur Femur Dekstra

3
BAB II

TINJAUAN TEORI
A. DEFINIS
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang / tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap
atau tidak lengkap (Price & wilson, 2006).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai
adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh
darah). Fraktur femur disebut terbuka apabila terdapat hubungan langsung
antara tulang dengan udara luar, dan disebut tertutup apabila tidak terdapat
hubungan antara tulang dengan udara luar. Kondisi ini secara umum
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi,2012).
D. ETIOLOGI
Menurut (Chairuddin, 2003) penyebab fraktur dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Frakturtraumatik
Akibat terjadinya kecelakaan, cidera dan lainnya.
2. Fraktur patologis
Terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang menyebabkan
kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3. Fraktur stress
Terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang- ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali ditemukan
pada anggota gerak atas.
E. KLASIFIKASI
Fraktur memiliki jenis atau klasifikasi yang dibedakan dengan melihat
tingkat cedera tulang dan kerusakan jaringan yang dialami. Klasifikasi Fraktur

4
menurut (Nurarif, 2013) dibagi menjadi 3 :
1. Fraktur tertutup bias disebut (simple fraktur), apabila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan duni aluar.
2. Fraktur terbukabisadisebut (compoun fraktur), apabila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan dikulit.
3. Fraktur dengan komplikasi, missal malunion, delayed, union,nonunion,
infeksi.
Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat yaitu:
a) DerajatI
1) Luka < 1cm
2) Kerusakan pada jaringanlunaksedikit, tidakadalukaremuk
3) Fraktur sederhana, transversal, kominutifringan
4) Kontaminasiminimal
b) DerajatII
1) Laserasi> 1 cm
2) kerusakan pada jaringanlunak, tidakluas, flap/avulsi
3) Kontaminasisedang.
c) Derajat III
Terjadinya rusak pada jaringan lunak yaitu meliputi struktur kulit, otot
dan juga neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur dapat dikategorikan berdasarkan :
a) Jumlahgaris
1) Simplefraktur :Terdapatsatugarisfraktur
2) Multiplefraktur :Lebihdarisatugarisfraktur
3) Comminutivefraktur :Lebihbanyakgarisfraktur dan
patahmenjadifragmen kecil.
b) Luas garisfraktur
1) Frakturinkomplit :Tulangtidakterpotongsecarakeseluruhan.
2) Frakturkomplikasi :Tulangterpotongtotal.
3) Hairlinefraktur : Garis fraktur tidaktampak.
c) Bentukfragmen

5
1) Greenstick: Retak pada sebelahsisidaritulang (sering pada
anakanak).
2) Frakturtransversal : Fraktur fragmenmelintang
3) Frakturobligue: Fraktur fragmenmiring
4) Frakturspinal :Frakturfragmenmelingkar
F. MANIFESTASI KLINIS
klinis patah tulang yaitu munculnya gejala sakit/nyeri, hilangnya fungsi
esktremitas, terjadi deformitas, pembengkakan lokal, pemendekan ekstremitas,
krepitus serta perubahan warna. Manifestasi klinis fraktur menurut Brunner &
Suddarth (2005) :

1. Nyeri hebat berlangsung lama serta bertambah beratnya hingga fragmen


tulang diimobilisasi. Adanya spasme pada otot yang menyertai patah tulang.

2. Setelah terjadinya patah tulang bagian tulang tidak dapat digerakan secara
alamiah/gerakan luar biasa yang tidak tetap seperti normalnya. Pada
pergeseran fragmen pada patah tulang lengan maupun pada tungkai
mengakibatkan ndeformitas ekstremitas yang bias diketahui dengan
membading kan pada ekstremitas normal .Ekstremitas menjadi tidak bias
bergerak normal karena fungsi otot bergantung pada
integritastulangtempatmelekatnyaotot.

3. Pada patah tulang panjang, terjadiny apemendekan tulang karena adanya


kontraksi pada otot yang menempel dibawah tempat patah tulang Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain hingga 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2inchi).

4. Ketika ekstremitas diperiksa, akan teraba derik tulang (krepitus) yang


menjadi dampak gesekan antara fragmen satu dengan tulang lainnya.

5. Pembengkakan serta adanya perubahan warna pada kulit klien sebagai


dampak dari trauma serta perdarahan yang menyertai patah tulang.
G. PATOFISIOLOGI
Patah tulang merupakan gangguan pada tulang yang disebabkan oleh
trauma atau adanya benturan keras, stress, gangguan fisik, dan gangguan

6
metabolik, serta patologik. Kemudian kemampuan otot mendukung tulang
untuk turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Terjadinya kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, sehinggavolume darah
menurun. Ketika volume dalam darah menurun hematoma mengeksudasi
plasma serta poliferasi menjadi edema lokal yang menyebabkan penumpukan
dalam tubuh. Fraktur terbuka / tertutup mengenai pada serabut saraf yang
mengakibatkan gangguan rasa nyeri. Kemudian dapat mempengaruhi tulang
dan neurovaskuler yang menimbulkan rasa nyeri saat gerak sehingga
mobilitas fisik klien terganggu. Sedangkan patah tulang terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang mungkin mengalami infeksi karena
terkontaminasi dengan udara luar serata kerusakan jaringan lunak yang
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, yang
disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi terbuka
atau tertutup. Umumnya klien patah tulang terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang berfungsi untuk mempertahankan fragmen tulang
yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya hingga sembuh (Sylvia, 2005).
Adanya jejas ditimbulkan karena adanya patah tulang yang
mengakibatkan rupturnya pembuluh darah yang menjadi perdarahan. Adanya
respon dini terhadap hilangnya darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral. Saat ada
cedera, maka respon adanya berkurang volume darah yang akut yaitu
peningkatan detak jantung sebagai usaha dalam menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga
dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin,
bradikinin, beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokinin-
sitokinin. Substansi ini berdampak besar pada mikro–sirkulasi dan
permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return)

7
dengan cara kontraksi volume darah di dalam sistem vena sistemik. Cara
yang paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel
dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial
yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan
produksienergi.
Dalam keadaan awal saat terjadi kompensasi dengan berpindah ke
metabolisme anaerobik, dan membuat pembentukan asam laktat serta
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosin triphosphat) tidak
memadai, maka membran sel tidak dapat mempertahankan
integritasnya/gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan retikulum
endoplasmik merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler
setalah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan
melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra- seluler. Jika proses ini
berjalan terus, maka terjadi pembengkakan sel. Dan terjadi penumpukan
kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, maka terjadi cedera seluler
progresif, penambahan edema jaringandan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi (Wijaya, 2013).
Ketika patah tulang dan mengalami perdarahan biasanya terjadi pada
lokasi tulang yang patah dan kedalaman jaringan lunak sekitar tulang. Pada
jaringan lunak akan mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setalah patah tulang. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi dan
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
osteoblast terangsang dann terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati (Wijaya, 2013).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
esktremitas dan mengakibatkan keruskan saraf perifer. Bila tidak terkontrol

8
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya
serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Wijaya, 2013).
H. KOMPLIKASI
Klien yang mengalami fraktur segera mungkin harus segera diberi
penanganan, apabila klien tidak diberikan penangananyang tepat maka akan
timbul komplikasi. Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddart (2005)
dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Komplikasiawal
a) Syok

Syok hipovolemik terjadi karena perdarahan tulang yang


merupakan organ vaskuler sehingga terjadi perdarahan yang sangat
besar sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan
fraktur pelvis.
b) Emboli lemak

Saat terjadinya fraktur, globula lemak masuk kedalam darah karena


tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan
katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran
darah. Globula lemak kemudian bergabung dengan trombosit
membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok darah ke otak, paru-paru, ginjal dan organlainnya.
c) Compartment syndrome
Compartment syndrome yaitu masalah yang terjadi ketika adanya
perfusi jaringan dalam otot. Gangguam ini disebabkan karena
penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat balutan
yang terlalu ketat dan peningkat isi kompartemen karena perdarahan
atau edema.
d) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, trombo emboli dan
koagulo patii ntravaskuler.

9
2. Komplikasi lambat
a) Delayed union / malunion /nonunion
Pada patah tulang penyatuan secara terlambat / delayed union
terjadi ketika penyembuhan dengan waktu yang tidak normal
berhubungan dengan timbulnya infeksi serta distraksi/tarikan dari
fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang dapat menyebabkan kesalahan
bentuk penyatuan tulang (malunion). Tidak ada penyatuan (nonunion)
karena kegagalan penyatuan ujung dari patahan tulang.
b) Nekrosisavaskulartulang
Nekrosis avaskuler timbul saat tulang kekurangan asupan darah..
Tulang yang kekurangan asupan darah mengalami kolaps/diabsorbsi
kemudian diganti dengan tulang yang baru.
c) Reaksi pada alatfik sasiinterna
Timbulnya reaksi dari alat fiksasi interna yaitu nyeri serta
menurunnya fungsi tubuh merupakan indikator terjadinya masalah.
Masalah yang dialami meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan
stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan metrial, berkaratnya alat,
respon alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling
osteoporotik disekitar alat.
I. TAHAP PENYEMBUHAN
Penyembuhan fraktur membutuhkan proses yang tidak cepat sebab tulang
yang mengalami trauma kehilangan kontinuitas tulang dan bahkan juga
mengalami kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh
darah) maka untuk penyembuhan fraktur melewati beberapa tahap. Berikut ini
tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut (Brunner 2005):
1. Inflamasi, merupakan tubuh berespon pada tempat cedera terjadi hematom.
2. Proliferasi sel,yaitu terbentuknya fibrin sehingga terjadi revaskularisasi
3. Pembentukan kalus, berupa jaringan fibrus yang menghubungkan efek
tulang
4. Opsifikasi, proses penyembuhan jaringan tulang yang baru
5. Remodeling, yaitu perbaikan tulang yang meliputi pengambilan jaringan

10
yang mati .
Proses penyembuhan fraktur menurut (Sjamsuhidajat, 2005) :
1. Fase Hematoma :

Jika terjadi fraktur terletak di tulang panjang, maka pembuluh


darah kecil yang melewati kanalikuli sistem havers mengalami robekan
dan membentuk hematoma di kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
akan diliputi periosteum. Periosteum terdorong dan dapat mengalami
robekan akibat tekanan hematoma sehingga terjadi ekstravasasi darah
kedalam jaringan lunak.Osteositn didaerah farktur akan kehilangan darah
dan mati sehingga menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang
yang mati pada sisi-sisi fraktur setelah trauma.
2. FaseProliferasiSelulerSubperiosteal

Penyembuhan fraktur dikarenakan sel osteogenik yang berproliferasi


dari periosteum lalu membentuk kalus eksterna dari endosteum
membentuk kalusinterna untuk aktivitas seluler dalam kanalis medularis.

Kemudian tahap awal penyembuhan terjadi pertambahan sel


osteogenik. Setelah beberapa bminggu, kalis pada fraktur membentuk
suatu massa yang jaringan osteogenik sehingga apabila di foto rontgen
akan tampak radiolusen.
3. FaseTerbentuknyaKalus

Sel yang berkembang biak berpotensi kondrogenik dan osteogenik


jika berada pada keadaan yang tepat akan membentuk tulang sejati/tulang
kartilago. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen
serta perlekatan polisakarida oleh garam kalsium membentuk suatu tulang
imatur yang disebut moven bone.
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan konservatif

Penatalaksanaan konservatif yaitu penanganan non pembedahan agar


imobilisasi pada fraktur dapat terpenuhi yaitu :
a) Proteksi (tanpareduksisertaimobilisasi)

11
Proteksi fraktur untuk mencegah adanya trauma lebih lanjut yaitu
memberikan sling (mitela) pada ekstremitas atas atau tongkat pada
esktremitas bawah. Tindakan ini di indikasikan pada patah tulang yang
tidak bergeser, atau fraktur klavikula pada anak dan fraktur falang.
Indikasi yang lain yaitu patah tulang impaksi pada humerus proksimal,
serta fraktur yang mengalami union secara klinis, tetapi belum
mencapai konsolidasiradiologis.
b) Imobilisasi bidaieksterna (tanpa reduksi)
Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna cuma memberikan
sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips dengan bermacam
bidai dari plastik ataupun metal. Metode ini dipakai pada patah tulang
yang perlu dipertahankan posisinya.
c) Reduksi tetutup
Reduksi tertutup dengan memberikan traksi secara kontinu dan
couter traksi yaitu memanipulasi serta imobilisasi eksterna dengan
menggunakan gips. Menurut Muttaqin (2008), penatalaksanaan fraktur
yang ke 2 yaitu dengan pembedahan. Penatalaksanaan dengan
pembedahan perlu diperhatikan karena memerlukan asuhan
keperawatan yang komprehensif perioperatif, meliputi:
1) Reduksi tertutup yaitu dengan memberikan fiksasi
eksternal atau fiksasi perkuatan denganK-wire.
2) Reduksi terbuka yaitu dengan memberikan fiksasi internal / fiksasi
eksterna tulang Operasi reduksi terbuka fiksasi internal/ORIF
(open reduction internal fixation) dan operasi reduksi t erbuka
fiksasi eksternal/OREF (open reduction eksternalfixation).
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi (Wijaya, 2013).
Ketika patah tulang dan mengalami perdarahan biasanya terjadi pada
lokasi tulang yang patah dan kedalaman jaringan lunak sekitar tulang. Pada
jaringan lunak akan mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setalah patah tulang. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi dan

12
menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
osteoblast terangsang dann terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang.

13
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan adalah proses menemukan pemecahan kasus
keperawatan secara ilmiah yang dipakai untuk mengidentifikasi masalah
klien, merencanakan secara sistematis dan melaksanakan dengan cara
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Wijaya,
2013).
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
a. Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap
lanjut, takikardia, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis
pada tahap lanjut
b. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
c. Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara napas
terdengar rochi/aspirasi.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
1) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
2) Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi (kadang terlihat sebgai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardia
4) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
5) Capillary refill melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) Nyeri tiba-tiba saat cedera
2) Spasme/kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan lokal(Musliha, 2010)
K. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya
pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada
lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan intregritas
tulang, terapi pembatasan gerak, kerusakan musculoskeletal
4. Resilko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya
darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh
darah.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah arteri atau vena, trauma pada pembuluh darah.
6. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cedera jaringan
lunak sekuderakibat fraktur femur terbuka.
L. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa 1:

1) Rencana Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan nyeri yang dialami pasien
berkurang atau hilang.
2) Kriteria Hasil
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3) Pasien tampak rileks
4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
3) Rencana Tindakan
1) Observasi TTV
R : Mengetahui kondisi pasien sehingga dapat menentukan rencana
selanjutnya seperti peningkatan nadi, tekanan darah dimana
menunjukan adanya peningkatan atau penurunan akibat rasa nyeri
sehingga merupakan indikator atau derajat nyeri secara tidak
langsung.
2) Kaji nyeri dengan teknik PQRST.
R : Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan perubahan
dimana memerlukan evaluasi dan intervensi yang berguna
dalampengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
3) Anjurkan klien istirahat di tempat tidur.
R : Istirahat yang adekuat dapat mengurangi intensitas nyeri
dimana istirahat dapat meningkatkan normalisasi fungsi organ,
misalnya menurunkan ketidaknyamanan pada daerah abdomen post
operasi.
4) Beri posisi nyaman.
R : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen
bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang
bertambah dengan posisi terlentang.
5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
R : Distraksi menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan
perhatian pasien dengan cara mengajak pasien dalam hal-hal yang
digemari pasien. Relaksasi mengurangi ketegangan, membuat
perasaan lebih nyaman, dan meningkatkan mekanisme koping.
6) Beri kompres hangat / dingin sesuai indikasi
R : Menghilangkan atau mengurangi nyeri melalui cara
meningkatkan rasa nyaman dimana dengan mengompres di sekitar
daerah yang terindikasi dapat memvasodilatasi dan meningkatkan
aliran sirkulasi sehingga dapat mengurangi ketegangan dan
meningkatkan relaksasi otot akibat nyeri yang ditimbulkan dan
memberikan sensasi yang menyenangkan.
7) Intruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika
nyeri itu muncul
R : Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat
menurunkan beratnya serangan yang ditimbulkan.
1. Beri teknik sentuhan yang terapeutik, biofeedback, hipnotis sendiri,
dan reduksi stress.
R : Memberikan pasien sejumlah pengendali nyeri dan / atau dapat
mengubah mekanisme sensasi nyeri dan mengubah persepsi nyeri.
2. Beri HE mengenai manajemen nyeri.
R : Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berlangsung, dan antisipasi ketidak nyamanan
akibat timbulnya nyeri sehingga pasien tidak mengalami
kecemasan dan pasien mampu mandiri untuk menangani jika nyeri
itu timbul.
3. Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
R : Analgetik berguna mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi
lebih nyaman dimana obat golongan analgesik akan merubah
persepsi dan interprestasi nyeri sistem saraf pusat pada thalamus
dan korteks serebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum
pasien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh
nyeri.

Diagnosa 2

a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kerusakan integritas
jaringan dapat diatasi.
b. Kriteria hasil
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
c. Rencana tindakan
(1) Observasi keadaan kulit/kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada klien.
R : menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi perawatan
luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang akam dilakukan.
(2) Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
R : apa bila masih belum tercapai kriteria evaluasi, sebaiknya perlu dikaji
ulang faktor-faktor apa yang menghambat pertumbuhan jaringan lika.
(3) Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
R : perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi kontaminasi kuman
langsung kearea luka
(4) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang)
R : Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
(5)Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
R : Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
(6) Kolaborasi dengan tim bedah untuk dikukan bedah perbaikan pada
karusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat dipercepat.
R : Bedah perbaikan dilakukan terutama pada klien fraktur terbuka dengan
luka yang luas yang dapat menjadi pintu  masuk kuman yang ideal.
Diagnosa 3

a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi jaringan efektif
b. Kriteria hasil
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6) Nadi perifer tidak teraba
7) Edema perifer tidak ada
c. Rencana tindakan
(1) Auskultasi frekuensi dan irama jantung, catat terjadinya bunyi jantung
ekstra.
R : Takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya peningkatan
aliran darah dan perfusi jaringan.
(2)Pantau/catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan normalnya.
R : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK.
(3)Melakukan perawatan sirkulasi perifer secara komprehensif misal: periksa
nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna, dan suhu ekstremitas.
R : Mengetahui keefektifan intervensi dan perkembangan pasien.
(4)Ajarkan pasien pentingnya mematuhi diit dan program pengobatan.
R  : Mempercepat proses penyembuhan.
(5) Tinggikan anggota badan yang terkena 20 derajat atau lebih tinggi dari
jantung.
R  : Meningkatkan aliran darah balik vena.
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti trombosit & anti
koagulan
R  : Untuk meningkatkan aliran darah serebral
Diagnosa 4

a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pasien dapat melakukan
mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang
b. Kriteri hasil
(1)Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling
tinggi yang mungkin
(2)Mempertahankan posisi fungsional
(3)Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
c. Rencana tindakan
(1) Kaji kemampuan mobilisasi pasien
R: Menilai sejauh mana masalah yang dialami pasien
(2) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
R :Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus
otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
(3)Berikan penyangga pada ekstrimitas yang bermasalah
R: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
(4)Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
R: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia).
(5)Dorong/pertahankan asupan cairan.
R: Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi
(6)Berikan diet TKTP.
R : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan
dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
(7)Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
R: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas
fisiksecara individual

Diagnosa 5

a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan resiko syok hipovolemik
tidak terjadi.
b. Kriteria hasil
(1)Klien tidak mengeluh pusing
(2)Membra mukosa lembab
(3)Turgor kulit normal
(4)TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80 mmHg)
(5)CRT <2 detik
(6)Urine >600 ml/hari
c. Rencana tindakan
(1)Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
R  :  Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan status cairan.
Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunan produksi urine,
pemantauan yang ketat pada produksi urine < 600 ml/ hari merupakan tanda-
tanda terjadinya syok hipovolemik.
(2)Kaji sumber kehilangan cairan.
R :  Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor gijal dan diluar ginjal.
Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume cairan ini juga haris
diarasi. Perdarahan harus dikendalikan.
(3)Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.
R :  hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang menunjukan terlibatnya
sistem kardiovaskuler untuk melakukan konpensasi mempertahankan tekanan
darah.
(4)Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur.
R : Mengetahui adanya pengaruh penungkatan tahanan perifer.
(5)Pantau frekuensi dan irama jantung.
R : Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan komplikasi disritmia.
(6)Kolaborasi pemberian cairan melalui intravena.
R : Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan
perawat dalam melakukan kontrol asupan dan haluaran cairan.
Diagnosa 6

a. Rencana tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi
b. Kriteri hasil
(1)Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
(2)Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
(3)Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
(4)Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000)
c. Rencana tindakan
(1)Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda infeksi
R: peningkatan suhu tubuh merupakan salah satu tanda terjadinya proses
infeksi.
(2)Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
R : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
(3) Lakukan perawatan perawatan luka
R: Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
(4)Ajarkan klien untuk mempertahankan kebersihan luka.
R : Meminimalkan kontaminasi dan resiko terjadinya infeksi
(5)Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
R : Mencegah terjadinya infeksi secara lebih awal
(6)Kolaborasi pemberian antibiotika
R :Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi.
M.Implementasi
Menurut Nursalam (2011), Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana
intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai
setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing order untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
N. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana
intervensi, dan implementasinya (Nursalam, 2011), maka hasil yang
diharapkan sesuai dengan rencana tujuan, yaitu:
a. Nyeri yang dialami pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3) Pasien tampak rileks
4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7) Wajah tampak tenang dan rileks.
8) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
b. Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2)  Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
c. Perfusi jaringan efektif
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6)  Nadi perifer tidak teraba
7)  Edema perifer tidak ada
d)  Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan
mobilitas fisik dapat berkurang
d. Resilko tinggi syok hipovolemik
Kriteri hasil :
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling
tinggi yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
e. Resiko syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) Membra mukosa lembab
3) Turgor kulit normal
4) TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80
mmHg)
5) CRT <2 detik
7)  Urine >600 ml/hari

2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Identitas klien
Nama : Tn. MA

Umur : 24 thn

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Wonasa

No.RM : 00.53.19.37
Diagnosa Medis : Fraktur femur

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Tanggal MRS : 26 April 2018

O. Pengkajian
Keluhan utama :Nyeri pada kaki sebelah kanan

Riwayat Penyakit : Nyeri dirasakan pada kaki sebelah kanan akibat tertabrak
motor pada hari kamis jam 20.00 yg lalu saat pasien
sedang mengendarai sepeda motor, nyeri dirasakan hilang
timbul dengan skala nyeri 5-6 ( sedang ), tampak kaki
kanan bengkak dan ada luka

1. Pengkajian Kondisi Mental


A. (Alert) : Keadaan klien compos mentis
V (Verbal) : Klien dapat berorientasi dengan baik
P (Pain) : Klien merasakan nyeri pada bagian kaki sebelah kanan
U (Un Respon): Klien sadar penuh

2. Primary Survey

Airway :
- Bebas
- Tidak Bebas : Pangkal lidah
Jalan nafas bebas, suara nafas terdengar normal,
jatuh ,
Sputum,darah,Spasme,bendah
Tidak ada penumpukan secret pada jalan nafas asing
- Suara Napas: Normal, Stridor
- Dx: Resiko / gangguan bersihan
- jalan
Pola napas
Napastidak efektif,
: Apneau
Bradipneu,Orthopneu,Dispneu,
Takhipneu
- Frekuensi Napas :
- Bunyi Napas: Teratur , Tidak
Breathing : teratur
- Penggunaan otot bantu napas:
retraksi dada,cuping hidung,
- jenis pernapasan : Pernapasan
dada , perut
- Dx: Resiko/ Pola napas tidak
efetif ,
- Resiko /gangguan pertukaran
gas
Pola nafas eupnea (normal),R :24x/menit,

Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan

Jenis pernapasan dada.

Sirculation :
- Akral : Hangat,dingin,pucat,sianosis
Akral hangat, nadi teraba, irama reguler, - Pengisian kapiler :<2detik ,>2detik
- Nadi: teraba ,tidak teraba,frekuensi
frekuensi 87x/menit,pendarahan(-), - irama : regular,ireguler
- Kekuatan : Kuat,Lemah
kelembaban kulit dan turgor normal - Tekanan darah :
- Perdarahan : ada/tidak, lokasi , jumlah
tidak ada perdarahan & kehilangan cairan - Kelembaban kulit , turgor
- Riwatan kehilangan cairan dalam jumlah
T. 130/80 MMHg, CRT < 2 detik besar : Diare,Muntah,luka bakar
,perdarahan
- DX: Resiko /gangguan perfusi jaringan
perifer
- Resiko/volume cairan kurang dari
kebutuhan

3. Secondary survey

Disability : - Tingkat kesadaran : GCS


- Pupil : bentuk,ukuran,respon
Compos Mentis, GCS :15 (E: 4, M: 6, V: 5) cahaya
- Penilaian ekstremitas : sensorik,
Respon pupil normal motorik
- Kekuatan otot :
Sensorik motorik normal - Lain-lain :
- Dx: Resiko/gangguan perfusi
jaringan serebral

Exposure : - Adanya trauma pada daerah?


- Adanya jejas /luka daerah :
ukuran , kedalaman luka .
- Keluhan nyeri : daerah , lama ,
jenis nyeri
- Lain-lain:
- Dx: Nyeri, kerusakan integritas
kulit
Terlihat luka fraktur pada bagian kaki sebelah

Kanan, nyeri hilang timbul dengan skala 5

Fahrenheit (suhu tubuh hypertermi) : - Suhu tubuh:


- Lama terpapar suhu
Suhu tubuh normal: 36,2˚C
panas
- Riwayat pemakaian obat
Tidak terdapat adanya peningkatan suhu tubuh
- Riwayat penyakit :
metabolic , kehilangan
cairan, penyakit SSP
- Lain-lain
- -Dx: Peningkatan suhu
tubuh

Fahrenheit (suhu tubuh hipotermi) : - Suhu tubuh :


- Lama terpapar suhu dingin:
Tidak ada
- Riwayat penyakit : cedera kepala ,
hipoglikemia, pemberian cairan
infuse yang terlalu dingin,
pemberian transfuse yang masih
dingin
- Lain-lain
- Dx:Gangguan suhu hypotermia
4. Psikososial : Pasien memiliki hubungan baik dengan lingkungan sekitar

5. Px penunjang :

a. Pemeriksaan radiologi ( menunggu hasil )


b. Pemeriksaan labolatorium ( menunggu hasil )
Therapi :

- IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit

-Antrala injeksi 1 ampul via IV

-Cetorolax injeksi 1 ampul via IV

P. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot kerusakan akibat fraktur
2. Ketidak mampuan beraktifitas berhubungan dengan fraktur dan cedera
jaringan sekitar

Q. Intervensi
1. Ndx 1 : 1. Observsi TTV (TD, R, N, S, )
2. Kaji keluhan nyeri klien
3. Beri posisi nyaman sesuai keinginan klien
4. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
5. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

2. Ndx 2 : 1. Observasi TTV ( TD, R, N, S, )


2. Kaji tingkat kemampuan beraktivitas klien
3. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan yang
tidak dapat dilakukan sendiri
4. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan
kebutuhan klien

R. Implementasi

Tgl/Jam Ndx Implementasi Evaluasi


27/4/18 1. Mengobservasi tanda-tanda vital Tgl : 27/04/2018 Jam :
01:00 Hasil: TD 120/80 mmHg, R: 24x/menit, 06.00
N:87x/menit, S: 36,2˚C
S : Pasien mengatakan
merasakan nyeri pada
01:30 Mengkaji keluhan nyeri klien
kaki sebelah kanan
Hasil : P = Fraktur kaki sebelah kanan
Q = skala nyeri (5) klien tampak
meringis
O:
R = di bagian kaki sebelah kanan
- Klien tampak meringis
S = 5 (0-10) nyeri sedang
P= fraktur kaki sebelah
T = hilang timbul
kanan
Q = skala nyeri (5) klien
tampak meringis
02:00 Memberikan posisi nyaman sesuai
R = di bagian kaki
keinginan klien
sebelah kanan
Hasil: klien merasa nyaman setelah
S = 5 (0-10)
diberikan posisi nyaman sesuai
T = hilang timbul
keinginan klien dengan meletakkan
bantal di bawah kaki kanan

- TD: 120/80mmHg
02:15 Mengajarkan tehnik relaksasi nafas R: 24X/MNT
dalam dengan meminta klien menarik N: 87x/mnt
nafas dalam dan dihembuskan perlahan- S: 36,2˚C
lahan
Hasil : klien mengerti dan mau A : Masalah belum teratasi
mengikutinya
02:30 Melakukan perawatan luka dikaki
bagian kanan klien P : Lanjutkan intervensi
Hasil : klien merasa sudah sedikiy
nyaman karena luka sudah dirawat dan
dibalut .

03:00 Berkolaborsi dalam pemberian


analgetik
Hasil: - Ketorolac 1 ampl via IV
- Antrala 1amp via IV

03.30 2. Mengobservasi tanda-tanda vital S : Klien mengatakan tidak


Hasil: TD 120/80 mmHg, R: 24Xmenit, dapat beraktivitas secara
N:87x/menit, S: 36,2˚C mandiri

03:55 Melakukan pemasangan IVFD Nacl


O: Klien hanya bisa
0,9 % di tangan kiri klien
beraktifitas di sekitar
tempat tidur

04:45 Membantu pemenuhan kebutuhan klien


A: Masalah belum teratasi
dengan membantu memberi minum dan
BAK

P: Lanjutkan intervensi
05:15 Mengkaji tingkat kemampuan aktivitas
klien
Hasil: klien hanya bisa berakivitas di
sekitar tempat tidur
( Skala 3 = memerlukan bantuan orang
lain )
BAB IV

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan yang
menjabarkan kesenjangan maupun kesamaan dari tinjauan
pustaka dengan pengalaman kasus maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Pengkajian.
Berdasarkan asuhan keperawatan pada Tn. S yang
mengalami close fraktur femur 1/3 Medial dengan
masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer di RSUD Bangil Pasuruan, di dapatkan
kesimpulan sebagai berikut :dari data pengkajian kasus
pada pengkajian data subyektif dan data obyektif
didapatkan melalui ungkapan bahwa Tn. S mengatakan
nyeri pada daerah paha kaki sebelah kananyang
berhubungan dengan kondisi yang dialaminya sekarang
yaitu fraktur femur dekstra, dari data obyektif yang di
dapatkan oleh peneliti yaitu ekstremitas kaki kanan
pasien pada paha terpasang tensocrep, ekstremitas kaki
kanan pasien terpasang traksi dengan beban 5 kg., ada
edema pada paha kanan, ADL pasien ditempat tidur,
ADL pasien dibantu perawat, dan CRT 3detik.
Sedangkan pada Tn. A tidak jauh berbeda dengan
Tn. S, klien mengalami patah tulang paha bagian
sinistra. dari data pengkajian kasus pada pengkajian
data subyektif dan data obyektif didapatkan melalui
ungkapan bahwa Tn. S mengatakan nyeri pada daerah
paha kaki sebelah kananyang berhubungan dengan
kondisi yang dialaminya sekarang yaitu fraktur femur
dekstra, dari data obyektif yang di dapatkan oleh
peneliti yaitu

ekstremitas kaki kanan pasien pada paha terpasang


tensocrep, ekstremitas kaki kanan pasien terpasang
traksi dengan beban 5 kg., ada edema pada paha
kanan, ADL pasien ditempat tidur, ADL pasien
dibantu perawat, CRT 3 detik.

2. Diagnosakeperawatan.

Diagnosa keperawatan yang muncul dari


pengkajian pada klien Tn. S dan Tn. A yang
digunakan dalam asuhan keperawatanfraktur
femur 1/3 medial adalah ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer berhubungan dengan trauma.
3. IntervensiKeperawatan.
Dalam intervensi keperawatan / rencana tindakan
keperawatan pada Tn. S dan Tn. A yaitu dengan
diberikannya teknik penurunan tingkat nyeri.
Teknik penurunan tingkat nyeri ini ditujukan untuk
mengatasi masalah ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer pada klien dikarenakan klien harus
melakukan berbagai macam perawatan sebelum
operasi dan melatih persendian atau
latihanmobilisasi.
4. ImplementasiKeperawatan.
Pada kasus ini, implementasi keperawatan yang diberikan
kepada klien tidak semuanya intervensi keperawatan diberikan
tetapi terlebih dulu memperhatikan respon klien dikarenakan
hari pertama sebelum tindakan pembedahan, klien merasa
kecemasan dan hal itu harus kita perhatikan jika akan
mengaplikasikan intervensi penurunan tingkat rasa nyeri dan
implementasi yang belum diberikan diaplikasikan pada
hariselanjutnya.

5. Evaluasikeperawatan.
Dalam penelitian ini pada hari terakhir evaluasi keperawatan
klien Tn. S berhasil menurunkan tingkat nyeri dengan skala
nyeri 4 dengan hasil tercapainya sebagian tujuan dan kriteria
hasil, lalu pada klien Tn. A berhasil menurunkan nyerinya
dengan skala nyeri 3 dengan ditandai tercapainya dari tujuan
dan kriteria hasil dari tindakan yang telah diaplikasikan
olehpeneliti.
S. SARAN
1. Bagi Klien danKeluarga
Tingkat nyeri pada klien begitu berpengaruh terhadap proses
perawatan sebelum operasi dan sesudah operasi dikarenakan di rumah
sakit atau di rumah klien harus menjalankan berbagai macam
perawatan dan latihan untuk melatih anggota geraknya, terapi dan
latihan harus dilakukan dengan kemauan yang tinggi dari klien sendiri,
jadi klien tersebut harus bisa menjaga danmengontrol tingkat nyeri
yang dialami, dan peran keluarga jugapenting untuk mendukung klien.
Keluarga juga harus berperan aktif jika klien mempunyai suatu
masalah dan menjaga komunikasi yang baik agar masalahbisa
diselesaikan bersama.
2. Bagi InstitusiPendidikan.
Hasil dari penelitian studi kasus ini peneliti berharap ini dapat
menjadi tambahan pengetahuan untuk mahasiswa dan pengajar
sehingga menambah ilmu pengetahuan tentang proses keperawatan
pada kasus fraktur femur.
3. Bagi Peneliti selanjutnya.
Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan waktu sebaik
mungkin agar bisa memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan
close fraktur femur secaraoptimal.
4. Bagi RumahSakit
Diupayakan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi dan
mempertahankan kolaborasi yang mapan antara medis serta klien yang
berguna untuk meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara
optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Askep IGD/Fraktur. 2013. Diakses Pada Tanggal 6 MARET


2020. https://ebixpopitod.wordpress.com/2013/01/23/askep-
igdfraktur/
Brunner&Suddarth. 2005. Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8. Jakarta : EGC Bulechek, Gloria M, dkk. 2013.
Nursing Intervention Classification (NIC).
Missouri : ELSEVIER.Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC).Missouri : ELSEVIER.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Desiartama, Agus. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur
Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas. 2017. Diakses pada
tanggal 16 MARET 2020 .
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/30486/187
28
Dosen Team, DIII Keperawatan. 2017. Buku Panduan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah : Studi Kasus. Jombang :
STIKES ICME.
Helmi, ZN. 2012. Buku saku kedaruratan di bidang bedah
orthopedi. Jakarta : Salemba medika
Herdman & Kamitsuru. 2015-2017. Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.
Lukman & Ningsih, Nurna. 2009. Asuhan keperawatan
pada klien dengan Musliha. 2010. Keperawatan Gawat
Darurat. Yogyakarta : Nuha Medika Muttaqin, Arif. 2008.
Asuhan Keperawatan Klien
GangguanMuskuloskeletal.Jakarta : EGC.
Nurarif, AH & Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda
NIC-NOC. Jilid 1. Jogjakarta : Mediaction.
Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan :
Pendekatan Praktis.Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika.
Pokja Tim, SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosis
Keperawatan Indonesia Edisi : 1. Jakarta Selatan : Dewan
Pengurus Pusat.Potter & Perry. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan. Volume 4. Jakarta : EGC
Ramadhan. Konsep Fraktur (Patah Tulang). 2008. Diakses
Pada Tanggal 6 MARET 2020 .
https://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-
fraktur-patah-tulang/ Sjamsuhidayat, R & De Jong, W.
2005. Ilmu Bedah (Handbook Of Surgery). Jakarta : EGC
Sylvia, A. 2005. Patofisiologi Konsep Kliinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6.Jakarta :EGC
Wijaya, AS & Putri,YM. 2013. Keperawatan Medikal
Bedah 2. Yogyakarta : NuhaMedika.

Anda mungkin juga menyukai