Anda di halaman 1dari 7

Nama : Fenny Fitria

Stambuk : C 301 18 154


Kelas : AK 3

Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari kata bahasa Arab, ribh (ar-ribhu) yang berarti keuntungan,
kelebihan, atau tambahan. Di dunia perbankan syariah, perjanjian ini terjadi antara bank
dengan nasabah yang memerlukan barang dari bank tersebut. Pada dasarnya, murabahah
adalah transaksi penjualan. Yang membedakan akad ini dengan praktik penjualan
konvensional adalah informasi yang diberikan kepada pembeli. Menurut pendapat Utsmani,
murabahah adalah bentuk jual-beli yang menuntut penjual untuk memberi informasi kepada
calon pembeli tentang harga dan biaya di baliknya. Selain harga jual, calon pembeli juga
berhak tahu tentang nilai pokok barang serta jumlah keuntungan yang diambil penjual.
Akad murabahah termasuk dalam kategori jual beli amanah atau dalam bahasa arab
disebut bai’ul amanah. Apa itu bai’ul amanah? Ia adalah jual beli dimana penjual dipercaya
untuk menyebutkan harga belinya/harga modal dengan jujur. Bai’ul amanah terdiri dari tiga
jenis yaitu bai’ul murabahah, bai’ul tauliyah dan bai’ul wadiah.
 Bai’ul Murabahah
Pada bai’ul murabahah, penjual dipercaya untuk menyebutkan modal atas barang yang ia
jual termasuk keuntungan yang hendak ia peroleh. Misalnya, Rosnita memiliki usaha kue.
Ia akan menjual kue tersebut kepada Rohman. Ketika akan menjual kue tersebut, Rosnita
akan menyebutkan modal ia ketika membuat kue beserta keuntungan yang ia dapatkan
dari menjual kue tersebut.
 Bai’ul Tauliyah
Pada bai’ul tauliyah, penjual akan menjualkan barangnya sesuai dengan harga modal
ketika ia memperoleh barang tersebut. Misalnya, Rosnita yang memiliki usaha kue
memerlukan modal sebesar Rp50.000 untuk membuat kue tersebut. Kemudian ia menjual
ke Rohman juga dengan harga Rp50.000. Sehingga Rosnita mendapatkan kembali uang
yang menjadi modalnya tanpa memperoleh keuntungan sepeserpun.
 Bai’ul Wadiah
Pada bai’ul wadiah, penjual akan menjualkan barangnya dibawah harga modal ketika ia
memperoleh barnag tersebut. Misalnya, Rosnita memiliki gadget yang sudah lama ia
pakai. Kemudian ia akan menjualnya ke Rohman dengan harga yang lebih rendah. Gadget
tersebut ia beli dengan harga 1juta kemudian dijual kepada Rohman dengan harga
800ribu. Maka dalam hal ini, Rosnita rugi sebesar 200ribu.
Pendapat Ulama terkait Jual Beli Amanah
Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

Pada dasarnya sebagian besar ulama memperbolehkan jual beli amanah dengan tiga
jenis tersebut. karena dalam transaksi tersebut terdapat keridhaan akan kedua belah pihak dan
dapat saling menguntungkan karena masing-masing mengetahui modal dan keuntungan yang
diperoleh. Adapun ulama malikiyah tidak menyarankan jual beli amanah. Hal tersebut
didasarkan karena umumnya manusia tidak menyukai bila harga modal dan keuntungannya
diketahui. Oleh sebab itu, ulama malikiyah lebih menyarankan untuk menggunakan model
transaksi ba’i al musawamah. Jual beli ini tidak menuntuk seorang penjual untuk
memberitahukan harga modal dan keuntungan yang akan diperolehnya. Dalam jual beli ini
juga umum terjadi adanya tawar menawar harga agar mencapai kesepakatan atas harga dan
meraih keridhaan antar kedua belah pihak.
Penyempitan Makna Murabahah
Dewasa ini, akad murabahah mengalami penyempitan makna. Seringkali makna akad
murabahah hanya sekedar jual beli dengan cara cicilan sebagaimana yang dipraktikan oleh
lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah, BMT dan sebagainya. Padahal makna
murabahah tidak sesempit itu. Intinya bila kamu menjual barang yang disertai dengan
pengakuan akan modal dan keuntungan yang hendak diperoleh kemudian disepakati oleh
pembeli maka kamu telah melakukan transaksi murabahah. Dengan kata lain, akad
murabahah bisa terjadi jika transaksi penjualan dan pembelian memiliki margin keuntungan
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, pembeli berhak membatalkan
keinginan untuk bertransaksi jika pada akhirnya biaya yang dikemukakan oleh penjual tidak
sesuai dengan keinginan. Pembayaran barang dalam akad ini bisa dilakukan secara tunai atau
kredit, sesuai kesepakatan sehingga tidak terbatas hanya pada cara cicilan.
Landasan Hukum Murabahah
Landasan utama adanya transaksi murabahah adalah berasal dari Q.S. Al-Baqarah[2] :
275, yang artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga pada
Q.S. An-Nisa[4] : 29 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan
harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah maha penyayang kepadamu“
Fatwa MUI Terkait Murabahah
Pada era saat ini dimana transaksi murabahah erat kaitannya dengan praktik pada
lembaga keuangan syariah, maka transaksi murabahah tercantum dalam fatwa DSN NO:
Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Hal ini dicontohkan seperti ketika seseorang


pembeli berkata, “Beli barang ini olehmu 10 juta, nanti saya berjanji akan membelinya
darimu 12juta tidak tunai dan saya pasti akan memenuhi janji (janji yang mengikat). Dalam
hal ini dikarenakan adanya janji yang terikat yang membuat kedua belah pihak tidak dapat
menarik diri maka transaksi ini diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat dari ulama Dr.
Yusuf Al Qaradhawi dan Dr. Samid Hamud.
Landasan Hadist atas Fatwa
Landasan dari pendapat ini adalah sabda Nabi SAW yaitu, “Tidak boleh melakukan
perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan” (HR.
Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al-Albani). Kemudian terdapat banyak dalil-dalil dari Al-
Qur’an dan Sunnah yang mengharuskan seorang muslim memenuhi janjinya dan menyebut
orang yang tidak memenuhi janji sebagai orang yang munafik. Nabi SAW bersabda, “Tanda
orang munafik itu ada tiga apabila ia berucap ia berdusta, apabila berjanji ia ingkar dan
apabila ia diberikan amanah ia khianat” (HR. Bukhari)
Pendapat Jumhur Ulama
Jumhur (mayoritas) ulama telah sepakat terkait kebolehan akad murabahah. Sebagian
ulama mendasarkan kebolehan ini deengan menganalogikan (qiyas) terhadap jual beli
tauliyah yaitu jual beli dengan harga yang sama dengan harga modalnya. Sebagaimana pada
hadist Nabi SAW, “Rasulullah SAW membeli unta untuk hijrah dari Abu bakar dengan harga
at par (tauliyah); ketika Abu Bakar ingin menghibahkan unta tersebut, Rasulullah
mengatakan; “Tidak, saya akan bayar sesuai dengan harga pokok pembelian (tsaman).”
Kemudian pada riwayat lain, Abu Bakar berkata, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
punya dua ekor unta yang telah aku siapkan keduanya untuk keluar hijrah, maka ambillah
salah satunya.” Maka beliau berkata: “Aku sudah mengambil salah salatunya dan kamu
terima harga jualnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad).
Syarat dan Rukun Terjadinya Akad Murabahah
Sebelum akad murabahah bisa terjadi, ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi, antara lain:
 Adanya pembeli dan penjual yang telah balig dan berakal sehat.
 Keinginan bertransaksi dilakukan dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan.
 Adanya objek akad.
 Adanya barang atau objek yang akan dijual.
Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

 Kejelasan harga dan kondisi barang, dengan harga yang disepakati bersama. Penjual juga
harus memberitahukan harga pokok beserta besaran keuntungan yang diinginkan kepada
pembeli
 Ijab dan kabul.
Skema Murabahah Sederhana
 Skema Murabahah Sederhana dengan 2 pihak

Pada murabahah ini hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Pada tahap
pertama si A akan menjualkan barangnya berupa motor kepada si B. Harga yang
ditetapkan si A adalah Rp12juta. Harga tersebut terdiri dari harga modal sebesar Rp10
juta dan margin sebesar Rp2 juta. A menyebutkan dua harga tersebut kepada si B.
Dikarenakan harga tersebut layak menurut B, maka ia sepakat untuk membayar motor
tersebut dengan harga total Rp12 juta.
 Skema Murabahah pada Perbankan

Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Ideal)


Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

Bila ada yang mengatakan praktik pada perbankan konvensional dan perbankan
syariah adalah sama saja, maka itu sungguh jawaban yang sangat keliru. Karena bila bicara
praktik pada perbankan konvesnional, nasabah yang hendak meminjam sejumlah uang
tertentu untuk membeli barang atau untuk keperluan lain harus membayar kembali uang yang
dipinjam pada tempo waktu yang telah ditentukan beserta tambahan uang atau bunga yang
juga harus dibayar. Adanya tambahan uang yang harus dibayar adalah bentuk dari
keuntungan yang harus diperoleh bank dari pinjaman yang ia berikan kepada nasabah. Hal
tersebut dalam Islam disebut riba dan islam mengharamkan riba sebagaimana dalam Q.S. Al-
Baqarah[2] : 275 bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Lain halnya
dengan yang terjadi pada perbankan syariah. Bila bicara pada kondisi ideal, karena sistem
yang digunakan adalah jual beli murabahah maka nasabah memesan terlebih dahulu kepada
bank syariah sesuai dengan spesifikasi yang nasabah inginkan. Kemudian bank tersebut
membelikan barang yang dipesan nasabah kepada supplier secara tunai sehingga terjadi
perpindahan kepemilikan dari supplier kepada bank. Lalu, bank menjual barang tersebut
kepada nasabah dengan ditambahkan margin keuntungan dan nasabah berhak membeli
barang tersebut secara cicilan. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan murabahah lil amir
bisysyiraa.
Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Real)
Pada kondisi ideal dapat kamu lihat skema di atas. Namum, pada praktik real di
lapangan bank syariah tidak dapat melakukan praktik jual-beli. Hal ini disebabkan bank
syariah berada dalam regulasi bank Indonesia dan otoritas jasa keuangan yang mana pada
regulasi tersebut teradapat undang-undang yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh
melakukan praktik jual-beli. Selain itu, bank syariah memiliki kendala apabila harus
melakukan praktik jual-beli. Kendala tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank
syariah melakukan transaksi jual-beli maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak
yaitu antara supplier dengan bank dan antara bank dengan nasabah. Oleh sebab itu, bank
tidak dapat melakukan praktik jual beli. Untuk mengatasi hal tersebut, bank syariah meminta
nasabah untuk membelikan dahulu barang yang ia ingin miliki secara tunai kemudian
diserahkan kepada bank dan bank tersebut menjual kembali kepada nasabah secara cicil. Hal
ini dikenaal dengan sebutan murabahah bil wakalah.
Ilustrasi Akad Murabahah pada Perbankan
Untuk mempermudah gambaran atas transaksi ini, berikut ilustrasinya. Misal, Afif
adalah seorang pengusaha yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli sebuah laptop
Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

seharga 10 juta. Afif datang ke Bank Syariah (sebut saja bank A) kemudian menjelaskan akan
kebutuhannya memiliki sebuah laptop seharga 10 juta. Ia juga menyebutkan spesifikasi
laptop yang ia butuhkan. Tentunya Afif harus menyertakan dokumen-dokumen yang
menandakan bahwa Afif layak untuk dibiayai hal ini juga untuk menghindari terjadi NPF
(non performing financing) atau bahasa sederhananya kredit macet.

Setelah permohonan Afif disetujui terjadi kesepakatan margin yang ditawarkan bank dan
tempo pembayaran cicilan maka Afif diserahkan uang oleh Bank A untuk membelikan laptop
yang ia butuhkan kemudian serahkan kembali ke bank dan bank tersebut menjual kembali
kepada Afif dengan cara cicil beserta margin yang sudah disepakati.
Bila Terlambat Membayar Maka ada Denda, Bolehkah Demikian?
Pada dasarnya Bank Syariah diperbolehkan menerapkan denda apabila terjadi
keterlambatan pembayaran murabahah dari nasabahnya. Namun, nasabah yang diperbolehkan
untuk dikenakan denda adalah nasabah yang mampu tapi menunda pembayaran cicilannya.
Adapun dana yang didapatkan dari denda tersebut tidak boleh digunakan untuk operasional
bank tetapi diperuntukan sebagai dana sosial. Acuan atas penerapan kebijakan ini diambil
dari hadis Rasulullah SAW, “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang
mampu adalah suatu kezhaliman. Maka jika seseorang di antara kamu dialihkan hak
penagihan utangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.” (HR. Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Darami).
Berdasarkan hadist tersebut apabila seorang debitur mampu tetapi ia menunda
pembayaran murabahahnya, maka itu termasuk perbuatan yang zalim kepada kreditur. Lebih
khusus, pengenaan denda adalah untuk memberikan efek jera kepada nasabah serta untuk
menghindarkan kerugian dan mudarat kepada bank syariah dan juga kepada pemilik dana.
Media untuk Melakukan Akad Murabahah
Jika ingin mencoba melakukan akad murabahah baik dalam hal investasi ataupun
untuk mengajukan pembiayaan suatu barang maka ada beberapa media yang kamu bisa pilih,
diantaranya:
 Bank Syariah, ini yang umum diketahui. Kalau kamu ingin melakukan akad murabahah
pada institusi ini maka kamu harus siap-siap untuk di screening lebih dalam karena bank
akan sangat berhati-hati untuk memberikan pembiayaan. Hal tersebut dikarenakan, bank
mencoba untuk meminimalisir non performing financing (NPF) atau gampangnya adalah
kredit macet.
Nama : Fenny Fitria
Stambuk : C 301 18 154
Kelas : AK 3

 Lembaga Keuangan Syariah Non Bank. Kamu bisa memilih media selain bank seperti
BMT, Koperasi Syariah, BPRS dan sebagainya. Jikalau kamu memilih media ini maka
kamu akan lebih mudah mendapatkan pembiayaan. Karena, misalkan BMT sebagai
lembaga keuangan mikro islam memiliki karakteristik sangat guyub terhadap nasabahnya
sehingga fungsi monitoring sangat efektif pada lembaga ini.
 Fintech Syariah. Ada banyak Fintech syariah yang hadir di Indonesia. Di antara mereka
juga menawarkan investasi dan pembiayaan dengan akad murabahah. Salah satunya
Qazwa yang memberikan fasilitas pembiayaan dengan akad murabahah yang membantu
UMKM untuk bisa memiliki peralatan untuk usahanya.
Beberapa pendapat mengatakan akad murabahah adalah sesuatu yang dibolehkan, tetapi
ada juga yang mengharamkan. Berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i, akad ini
diperbolehkan dengan syarat penjual dan pembeli memiliki hak khiyar. Hal tersebut berarti
diperbolehkan untuk meneruskan membatalkan akad jika ditemukan unsur-unsur yang
dilarang agama seperti riba atau menimbulkan masalah.

Anda mungkin juga menyukai