PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat
yang dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan
lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut
perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. Skizofrenia pada lansia
angka prevalensinya sekitar 1% dari kelompok lanjut usia (lansia)
(Dep.Kes.1992)
Gangguan skizofrenia pada lanjut usia (lansia) ditandai oleh gangguan pada
alam pikiran sehingga pasien memiliki pikiran yang kacau. Hal tersebut juga
menyebabkan gangguan emosi sehingga emosi menjadi labil misalnya cemas,
bingung, mudah marah, mudah salah faham dan sebagainya. Terjadi juga
gangguan perilaku, yang disertai halusinasi, waham dan gangguan kemampuan
dalam menilai realita, sehingga penderita menjadi tak tahu waktu, tempat
maupun orang.
1. TUJUAN
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang Schizophrenia Paranoid
3. Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
Schizophrenia Paranoid.
1. MANFAAT
BAB II
PEMBAHASAN
Kasus:
Seorang wanita berusia 57 tahun di bawa oleh keluarga pasien ke RSJ karena
mengamuk. Hari masuk rumah sakit, pasien masih suka marah-marah dan
mudah tersinggung. Pasien senang keluyuran di waktu luangnya, tidak lagi
mandi dengan teratur.
Kesan umum wanita perawatan diri buruk, tingkah laku; hiperaktif, halusinasi
visual, sehingga pasien ini dapat di diagnosis Skizofrenia Paranoid.
Kata-kata sukar
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir kehidupan. Usia
lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia
yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,
mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya
sehari-hari lagi.
Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penuaan dan penurunan, yang
penururnanya lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya.
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,
jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia , penuaan dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit,
tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya.
Dengan kemampuan regeneratife yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa
lain. Penurunan ini terutama penurunan yang terjadi pada kemampuan otak,
Perkembangan jasmani
Penuaan terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan penuaan sekunder
(secondary aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah dan mengalami
penurunan alamiah. Sedangkan pada proses penuaan sekunder, terjadi proses
penuaan karena faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku.
Berbagai paparan lingkungan dapat dapat mempengaruhi proses penuaan,
misalnya cahaya ultraviolet serta gas karbindioksida yang dapat menimbulkan
katarak, ataupun suara yang sangat keras seperti pada stasiun kereta api
sehingga dapat menimbulkan berkurangnya kepekaan pendengaran. Selain hal
yang telah disebutkan di atas perilaku yang kurang sehat juga dapat
mempengaruhi cepatnya proses penuaan, seperti merokok yang dapat
mengurangi fungsi organ pernapasan.
Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit menjadi semakin
menebal dan kendur atau semakin banyak keriput yang terjadi. Rambut yang
menjadi putih juga merupakan salah satu cirri-ciri yang menandai proses
penuaan. Kulit yang menua menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang
bersinar. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lapisan konektif ini dapat
mengurangi kekuatan dan elasitas kulit, sehingga para lansia ini menjadi lebih
rentan untuk terjadinya pendarahan di bawah kulit yang mengakibatkan kulit
mejadi tampak biru dan memar. Pada penuaan kelenjar ini mengakibatkan
kelenjar kulit mengasilkan minyak yang lebih sedikit sehingga menyebabkan
kulit kehilangan kelembabanya dan mejadikan kulit kering dan gatal-gatal.
Dengan berkurangnya lapisan lemak ini resiko yang dihadapi oleh lansia
menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera kulit.
Penuaan juga mengubah sistim saraf. Masa sel saraf berkurang yang
menyebabkan atropy pada otak spinal cord. Jumlah sel berkurang, dan masing-
masing sel memiliki lebih sedikit cabang. Perubahan ini dapat memperlambat
kecepatan transmisi pesan menuju otak. Setelah saraf membawa pesan,
dibutuhkan waktu singkat untuk beristirahat sehingga tiidak dimungkinkan lagi
mentrasmisikan pesan yang lain. Selain itu juga terdapat penumpukan produksi
buangan dari sel saraf yang mengalami atropy pada lapisan otak yang
menyebabkan lapisan plak atau noda.
Orang lanjut usia juga memiliki berbagai resio pada sitem saraf, mislanya
berbagai jenis infeksi yang diderita oleh seorang lansia juga dapat
mempengaruhi proses berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang
menyebabkan kesulitan sesaat dalam proses berfikir dan perilaku adalah
gangguan regulasi glukosa dan metabolisme lansia yang mengidap diabetes.
Fluktuasi tingkat glukosa dapat menebabkan gangguan berfikr. Perubahan
signifikan dalam ingatan, berfikir atau perilakuan dapat mempengaruhi gaya
hidup seorang lansia. Ketika terjadi degenerasi saraf, alat-alat indra dapat
terpengaruh. Refleks dapat berkurang atau hilang.
Struktur mata juga berubah karena penuaan. Mata memproduksi lebih sedikit air
mata, sehingga dapat me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang
sensitive. Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran ketika
berusia 20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap perubahan cahaya
gelap ataupun terang. Lensa mata menjadi kuning, kurang fleksibel, dan apabila
memandang menjadi kabur dan kurang jelas. Bantalan lemak pendukung
berkurang, dan mata tenggelam ke kantung belakang. Otot mata menjadikan
mata kurang dapat berputar secara sempurna, cairan di dalam mata juga dapat
berubah. Masalah yang paling yang paling umum dialami oleh lansia adalah
kesulitan untuk mengatur titik focus mata pada jarak tertentu sehingga
pandangan menjdi kurang jelas.
Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera dan sistem
saraf mereka. Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali perubahan
penurunan keberfungsian alat indera tersebut. Sedangkan pada sistem sarafnya
adalah mulai menurunnya pemberian respon dari stimulus yang diberikan oleh
lingkungan. Pada lansia juga mengalami perubahan keberfungsian organ-organ
dan alat reproduksi baik pria ataupun wanita. Dari perubahan-perubahan fisik
yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya
diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198).
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri
fisik lansia yaitu sebagi berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok
(bungkuk),(2) kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat mulai
menurun,(4) kondisi mata yang mulai rabun,(5) pendengaran yang berkurang.
Perkembangan Intelektual
Perkembangan Emosional
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan
menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang
dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi (Widyastuti,
2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan
menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh,
kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang
tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.
Hal – hal tersebut di atas yang dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan
dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan
penyesuaian diri yang buruk. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya
gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakuatan akan mengakibatkan
lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga
lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi
semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.
Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan
orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan
perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan
untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari
lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme
psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan– kebutuhan dirinya
tanpa menimbulkan masalah baru.
Pada orang – orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang menjalani masa pensiun
dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik merupakan lanjut usia yang
sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki
relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan
biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk,
1985). Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan
kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang
terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih
banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch,
1984).
Ditinjau dari aspek yang lain respon-respon emosional mereka lebih spesifik,
kurang bervariasi, dan kurang mengena pada suatu peristiwa daripada orang-
orang muda. Bukan hal yang aneh apabila orang-orang yang berusia lanjut
memperlihatkan tanda-tanda kemunduran dalam berperilaku emosional; seperti
sifat-sifat yang negatif, mudah marah, serta sifat-sifat buruk yang biasa terdapat
pada anak-anak.
Perkembangan Spiritual
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama
menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan
optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan
ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia. Rasulullah bersabda “semua
penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau
penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik
maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hawari (1997), bahwa :
1. Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar
daripada orang yang religius.
2. Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat
dibandingkan yang non religius.
3. Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi atau
masalah hidup lainnya.
4. Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada
yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.
5. Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir
(kematian) daripada yang nonreligius.
Perubahan Sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun
pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan
hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi
merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga
mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (J.W.Santrock,
2002, h.239).
Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang
disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa
memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara
anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan
anak memiliki hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50
sampai 55 tahun.
Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya
sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya
dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal
keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat
menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam
penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya
bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau
merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga,
takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa kesepian yang akan datang.
Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia,
namun begitu pula sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya
atau tidak memberikan ruang hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka
tentunya memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup lansia.
Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh lansia berkaitan dengan
perilaku yang baik (adaptif) dan tidak baik (maladaptif).
b. Perilaku yang baik
Pengertian Schizophrenia Paranoid
Dari beberapa jenis skizofrenia diatas, terdapat skizofrenia paranoid. Jenis ini
ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi, dan tidak ada perilaku pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham
kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 1998). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.
a) Schizophrenia paranoid
Schizophrenia paranoid merupakan schizophrenia yang dikarakteristikkan
dengan kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain dengan halusinasi dan
waham kejar atau waham kebesaran (Towsend, 1998).
b) Schizophrenia catatonic
Schizophrenia catatonic merupakan salah satu jeniss schizophrenia yang
ditandai dengan rigiditas otot, negativism, kegembiraan berlebih atau posturing
(mematung), kadang-kadang pasien juga menunjukkan perubahan yang cepat
antara kegembiraan dan stupor. Cirri penyerta yang lain adalah gerakan
stereotypic, manerisme dan fleksibilitas lilin (waxy flexibility) dan yang sering
dijumpai adalah mutisme (Kusuma, 1997).
c) Schizophrenia hebephrenic
Schizophrenia hebephrenic (Disorganized schizophrenia) merupakan jenis
schizophrenia yang ditandai dengan adanya percakapan dan perilaku yang
kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi, pasien
mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial
yang ekstrim, mengabaikan hygiene dan penampilan diri, biasanya terjadi
sebelum usia 25 tahun (Isaac, 2005)
d) Schizophrenia tak tergolongkan
Schizophrenia tak tergolongkan dikarakteristikkan dengan perilaku yang
disorganisasi dan gejala-gejala psikosis (mis: waham, halusinasi, inkoherensia
atau perilaku kacau yang sangat jelas) yang mungkin memenuhi lebh dari satu
tipe/kelompok criteria schizophrenia (Towsend, 1998).
e) Schizoaffective
Kelainan schizoaffective merujuk kepada perilaku yang berkarakteristik
schizophrenia, ada tambahan indikasi kelainan alam perasaan seperti depresi
atau mania (Towsend, 1998).
f) Schizophrenia residual
Schizophrenia residual adalah eksentrik, tetapi gejala-gejala psikosis saat
diperiksa/dirawat tidak menonjol. Menarik diri atau afek yang serasi merupakan
karakteristik dari kelainan, pasien memiliki riwayat paling sedikit satu episode
schizophrenia dengan gejala-gejala yang menonjol
1. Pengaruh Genetik
Dalam penelitian, peneliti menganalisa gen dari 6.000 – 10.000 orang dari
seluruh dunia yang separuhnya menderita schizophrenia. Mereka menemukan
satu mutasi pada kromosom 1, dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu
jenis gen yang terkait dengan kondisi schizophrenia pada kromosom 22.
Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya schizophrenia hingga
15 kali lipat.
1. Usia
Schizophrenia umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa.
Menurut data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga perempat
pe3nderita schizophrenia berusia 16 – 25 tahun. Pada kelompok usia 16 – 25
tahun, schizophrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding
perempuan, sedangkan pada kelompok usia 26 – 32 tahun penyakit ini lebih
banyak menyerang perempuan. Semakin muda saat ditemukan semakin buruk.
1. Sosial
1. Obat
1. Psikologis
Sejumlah mekanisme psikologis telah mempengaruhi orang menderita
schizophrenia. Ketika dibawah tekanan atau situasi membingungkan, termasuk
perhatian yang berlebihan dapat memunculkan penyakit ini. Banyak individu
penderita schizophrenia emosinya sangat responsif, itu dapat menyebabkan
kerentanan terhadap gejala kekacauan.
Faktor predisposisi
1) Biologi
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada
diensefalon/ oleh perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada
waktu membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini
dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan
gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami
skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu
makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf
Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis,
1998).
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa
skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel
piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis
sering berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan
neurologis yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung
memiliki waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan
gangguan kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock,
1997).
2) Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan
dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat
perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari
perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada
lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang
seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan
perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan
mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya
adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata
mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan
waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis,
menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.
3) Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan
terutama anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 –
1,8%, saudara kandung 7 – 15%, anak dengan salah satu orang tua yang
mengalami skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua mengalami skizofrenia 40
– 68%, kembar dua telur (heterozygot) 2-15%, kembar satu telur (monozygot)
61-86% (Maramis, 1998).
Faktor presipitasi
• Delusi referensi: kepercayaan bahwa tingkah laku orang lain atau obyek
tertentu atau kejadian tertentu diacukan kepada dirinya.
• Delusi nihilisme : merasa dirinya, orang lain mupun dunia tidak ada.
• Delusi ketidak setiaan : kepercayaan yang salah bahwa orang yang dicintai
tidak setia.
• Delusi lain bahwa pikiran dapat disiarkan, diubah atau ditarik dari pikiran oleh
orang atau kekuatan luar.
• Proses kognitif tidak teratur dan tidak fungsional, sehingga tidak ada
hubungan dan tidak logis.
• Pengekspresian ide, piker dan bahasa begitu terganggu hingga tidak dapat
dimengerti.
1. Gangguan kognitif :
- Neologisme : membuat kata-kata baru atau pengrusakan kata-kata yang ada.
1. Gangguan psikomotor
- Kekakuan katatonik : sikap badan yang kaku dan menolak usaha untuk
dipindahkan.
- Excitement yang katatonik : gerakan badan yang tidak ada tujuannya dan
diulang-ulang.
• Bingung mengenai siapa dirinya, percaya bahwa dirinya dikontrol orang atau
kekuatan luar.
1. Gangguan motivasi
• Tidak ada motivasi karena kurang dorongan atau perhatian atau karena
kebingungan adanya pilihan-pilihan yang mungkin.
• Jika gangguan mitivasi dibarengi pikiran lacau dan obsesif maka orang ini
tidak akan dapat digerakkan.
Upaya yang perlu dilakukan adalah segera membawa Sadid ke fasilitas psikiatri
untuk menentukan diagnosis kemungkinan dan pengobatan yang adekuat.
Perawatan yang intensif (rawat inap), tampaknya diperlukan bagi Sadid.
Berbagai pemeriksaan akan dilakukan sesuai indikasi, misalnya pemeriksaan
Electro Enceplalografi dan CT Scan, atau bahkan bila diperlukann MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Dokter yang memeriksa akan menentukan
apakah gejala-gejala psikotik yang ditampilkan merupakan bagian dari
epilepsinya atau merupakan gangguan yang terpisah.
• Individu mengalami simtom psikotik : hakusinasi dan delusi, bicara yang tidak
teratur, demikian pula tingkah lakunya, tanda-tanda penarikan diri.
1. Fase residual : simtom seperti pada fase sebelumnya ada, tetapi tidak
parah dan tidak mengganggu.
- Aksis V : GAF Scale 40-31 (beberapa disabilitas dalam hubungan
dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi)
1) Waham
2) Halusinasi
5) Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition)
Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau
atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus mengomentari perilaku
atau pikiran pasien atau dua lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama
lainnya.
- Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):
a) – “thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama
tapi kualitasnya berbeda.
–“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal); dan
–“thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan yang
menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.
g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu
(porturing), fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor;
h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosialdan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
1. Pengkajian apa saja yang perlu perawat lakukan pada kasus Skizofrenia
Paranoid!
Pengkajian
Pengkajian merupakan awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien.
Data yang dikupulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilian terhadap stressoe, sumber keping dan
kemampuan kuping yang dimiliki klien (stant dan sunden, 1995). Cara
pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual,
sosial dan spiritual. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Dimensi fisik / biologis
5. Dimensi psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10.Aspek medik
Pada saat pengkajian focus pada penderita skizofrenia sering didapatkan adanya
data – data sebagai berikut (Carpenito, L.J, 1998; 328 – 329);
a. Perubahan persepsi sensori ; halusinasi
1) Data subyektif: tidak mampu mengenal waktu, orang, tempat, tidak mampu
memecahkan masalah, mengungkapkan adanya halusinasi (misalnya mendengar
suara – suara atau bayangan – bayangan), mengeluh cemas dan khawatir.
2. Data obyektif ; muka merah, mata melotot, rahang dan bibir mengatup tangan
dan kaki tegang, tangan mengepal, tampak mondar – mandir, tampak berbicara
sendiri dan ketakutan, tampak bicara dengan suara tinggi, tekanan darah
meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, banyak keluar keringat, napas
pendek.
e. Waham
1. Data subyektif : merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/ diguna –
guna, merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa, merasa
sakit/ rusak organ tubuh, merasa sudah mati, merasa perilakunya dikontrol
orang lain, merasa pikiran orang lain masuk ke dalam alam pikirnya, merasa
orang lain mengetahui isi pikirannya, merasa orang lain menjauh, merasa tidak
ada orang yang mau mengerti.
2. Data obyeksif ; badan kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan, BAB/
BAK sembarang tempat, rambut dan kuku panjang, badan bau, gigi kotor,
pakaian kotor, dan tidak terkancing dengan benar, menolak ketika disarankan
untuk makan, mandi dan berpakaian. Menolak buang air kecil dan buang air
besar di tempat yang disediakan.
1. Terapi apa saja yang dapat dilakukan pada lansia dengan Skizofrenia
Paranoid!
b. Metode psikosis
Menurut Hawari (2006, p.105-108) jenis psikoterapi yang dilakukan untuk
menangani penyakit skizofrenia antara lain;
1. Psikoterapi suportif
Bentuk terapi yang bertujuan memberikan dorongan semangat dan motivasi
agar penderita tidak merasa putus asadan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup.
2. Psikoterapi redukatif
Bentuk terapi yang dimaksudkan member pendidikan ulang untuk merubah pola
pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap
dunia luar.
3. Psikoterapi rekonstruksi
Terapi yang dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang
mengalami keresahan.
5. Terapi keluarga
Bentuk terapi yang menggunakan media sebagai titik tolak terapi karena
keluarga selain sebagai sumber terjadinya gangguan tingkah laku juga sekaligus
sarana terapi yang dapat mengembalikan fungsi psikis dan sosial melalui
komunikasi timbal balik.
6. Psikoterapi kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif sehingga mampu membedakan nilai – nilai
sosial dan etika.
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala
emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis
awal : 3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis
awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham.
Pada kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat
antipsikotik secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan
obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain
harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering adalah
ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter
dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu
penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :
75-300 mg/hari.
Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal
: 25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform,
kelainan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-
gejala insomnia dan ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu
hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk
mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang
disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis
(terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara
yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
– Tahapan orientasi
– Tahapan kerja
– Tahapan terminasi
Tahapan orientasi dilaksanakan ketika perawat memulai interaksi dengan klien.
Yang pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting untuk
mengawali hubungan agar klien bersedia mengekspresikan segala masalah yang
dihadapi dan mau bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut sepanjang
berhubungan dengan perawat. Setelah klien mempercayai perawat, tahapan
selanjutnya adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi
latar belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga
penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan
antara perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam
hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Perawat melakukan intervensi keperawatan setelah klien mempercayai perawat
sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja, di mana klien melakukan eksplorasi
diri. Klien mengungkapkan apa yang dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya
memperhatikan konteks cerita klien akan tetapi harus memperhatikan juga
bagaimana perasaan klien saat menceritakan masalahnya. Dalam fase ini klien
dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang siapa dirinya, apa
yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk berani mengambil risiko
berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.
Setelah kedua fihak (klien dan perawat) menyepakati bahwa masalah yang
mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah mereda dan lebih terkendali
maka perawat dapat melakukan terminasi dengan klien. Pertimbangan lain
untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah merasa lebih baik, terjadi
peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta yang lebih penting adalah
tujuan terapi telah tercapai.
Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan
berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas
dan interaksi.
Dalam terapi lingkungan perawat harus memberikan kesempatan, dukungan,
pengertian agar klien dapat berkembang menjadi pribadi yang bertanggung
jawab. Klien juga dipaparkan pada peraturan-peraturan yang harus ditaati,
harapan lingkungan, tekanan peer, dan belajar bagaimana berinteraksi dengan
orang lain. Perawat juga mendorong komunikasi dan pembuatan keputusan,
meningkatkan harga diri, belajar keterampilan dan perilaku yang baru.
Bahwa lingkungan rumah sakit adalah lingkungan sementara di mana klien akan
kembali ke rumah, maka tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan
klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi
yang diperlukan untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan
rumah tinggalnya.
Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di
mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model
konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah
gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan
patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan
pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya
akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu.
Ada beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi: pemberian obat
(medikasi psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT),
foto terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap
diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan
ECT.
Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor
tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan
berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah
membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
Ada tiga tujuan terapi kognitif meliputi:
Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar
keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis
ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-
fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi
dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya
masalah tersebut digali. Dengan demikian terleih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa
kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian
mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan
atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2
(kerja), fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan
hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi
ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga
dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi
di antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing
individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga,
peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase
terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani
untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul.
Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang
berkesinambungan.
Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam
kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok.
Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara
teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan
hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya
meliputi: tahap permulaan, fase kerja, diakhiri tahap terminasi.
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut sebagai fase
orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang diperlukan dalam
interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa aktivitas tersebut
dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai model peran dengan
cara mengusulkan struktur kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di
awal pembentukan kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota
kelompok. Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja.
Di fase kerja terapis membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus
pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk
mencapai tujuan terapi. Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana
klien bersama kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target
perubahan perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan
dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong
anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta
bertoleransi terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir dari terapi kelompok
adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan mampu menyelesaikan
masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Terapi Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul
akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan
disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam
terapi jenis ini adalah:
– Role model
– Kondisioning operan
– Desensitisasi sistematis
– Pengendalian diri
– Terapi aversi atau releks kondisi
Teknik role model adalah strategi mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan melihat contoh klien mampelajari
melalui praktek dan meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya
dikombinasikan dengan teknik kondisioning operan dan desensitisasi.
Kondisioning operan disebut juga penguatan positif di mana terapis memberi
penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan
oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka
perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya
seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi,
perawat memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan
mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan
balik berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau
penghargaan bagi perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.
Terapi perilaku yang cocok untuk klien fobia adalah teknik desensitisasi
sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu stimulus atau
kondisi dengan secara bertahap memperkenalkan/memaparkan pada stimulus
atau situasi yang menimbulkan kecemasan tersebut secara bertahap dalam
keadaan klien sedang relaks. Makin lama intensitas pemaparan stimulus makin
meningkat seiring dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil
akhirnya adalah klien akan berhasil mengatasi ketakutan atau kecemasannya
akan stimulus tersebut.
Untuk mengatasi perilaku dorongan perilaku maladaptive klien dapat dilatih
dengan teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih mengubah
kata-kata negatif menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka klien
sudah memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku yang lain sehingga
menghasilkan terjadinya penurunan tingkat distress klien tersebut.
Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan negatif.
Caranya adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk merusak
perilaku yang maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan ini dapat berupa
menghilangkan stimulus positif sebagai “punishment” terhadap perilaku
maladaptive tersebut. Dengan ini klien akan belajar untuk tidak mengulangi
perilaku demi menghindari konsekuensi negatif yang akan diterima akibat
perilaku negatif tersebut.