Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Schizoprenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan


kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang
salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial.

Schizophrenia adalah masalah kesehatan umum di seluruh dunia. Kejadian


schizophrenia di seluruh dunia adalah kurang dari 1 persen, walaupun angka
kejadian bisa lebih tinggi atau lebih rendah yang telah diketahui.

Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat
yang dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan
lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut
perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. Skizofrenia pada lansia
angka prevalensinya sekitar 1% dari kelompok lanjut usia (lansia)
(Dep.Kes.1992)

Banyak pembahasan yang telah dikeluarkan para ahli sehubungan dengan


timbulnya skizofrenia pada lanjut usia (lansia). Hal itu bersumber dari
kenyataan yang terjadi pada lansia bahwa terdapat hubungan yang erat antara
gangguan parafrenia, paranoid dan skizofrenia. Parafrenia lambat (late
paraphrenia) digunakan oleh para ahli di Eropa untuk pasien-pasien yang
memiliki gejala paranoid tanpa gejala demensia atau delirium serta terdapat
gejala waham dan halusinasi yang berbeda dari gangguan afektif.

Gangguan skizofrenia pada lanjut usia (lansia) ditandai oleh gangguan pada
alam pikiran sehingga pasien memiliki pikiran yang kacau. Hal tersebut juga
menyebabkan gangguan emosi sehingga emosi menjadi labil misalnya cemas,
bingung, mudah marah, mudah salah faham dan sebagainya. Terjadi juga
gangguan perilaku, yang disertai halusinasi, waham dan gangguan kemampuan
dalam menilai realita, sehingga penderita menjadi tak tahu waktu, tempat
maupun orang.

1. TUJUAN
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang Schizophrenia Paranoid
3. Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
Schizophrenia Paranoid.

1. MANFAAT

Dengan mempelajari dan mengerti tentang gangguan schizofrenia, maka


mahasiswa dapat dengan mudah mempelajari dan  mengetahui penyebab-
penyebab schizofrenia serta dapat menganalisa hal-hal yang dapat timbul
sehubungan dengan gangguan tersebut sehingga kita dapat mengatasi masalah
tersebut  dengan cepat dan tepat.

 
 

BAB II

PEMBAHASAN

Kasus:

Seorang wanita berusia 57 tahun di bawa oleh keluarga pasien ke RSJ karena
mengamuk. Hari masuk rumah sakit, pasien masih suka marah-marah dan
mudah tersinggung. Pasien senang keluyuran di waktu luangnya, tidak lagi
mandi dengan teratur.

Kesan umum wanita perawatan diri buruk, tingkah laku; hiperaktif, halusinasi
visual, sehingga pasien ini dapat di diagnosis Skizofrenia Paranoid.

Kata-kata sukar

1. Hiperaktif  adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal yang


disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu
memusatkan perhatian.
2. Halusinasi visual yaitu individu melihat pemandangan, orang, binatang
atau sesuatu yang tidak ada.
3. Skizofrenia Paranoid merupakan schizophrenia yang dikarakteristikkan
dengan kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain dengan halusinasi
dan waham kejar atau waham kebesaran (Towsend, 1998).

1. Jelaskan perkembangan perilaku pada lansia!

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir kehidupan. Usia
lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan
mengalami proses menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia
yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,
mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya
sehari-hari lagi.
Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penuaan dan penurunan, yang
penururnanya lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya.
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,
jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia , penuaan dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit,
tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya.
Dengan kemampuan regeneratife yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa
lain. Penurunan ini terutama penurunan yang terjadi pada kemampuan otak,

Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, teradapat berbagai perbedaan


teori, namun para pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak
ditemukan oleh faktor gen. Penelitian telah menemukan bahwa tingkat sel, umur
sel manusia ditentukan oleh DNA yang disebut telomere, yang beralokasi pada
ujung kromosom. Ketentuan dan kematian sel terpicu ketika telomere berkurang
ukuranya pada ujung kritis tertentu.

Perubahan yang terjadi pada lansia

Perkembangan jasmani

Penuaan terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan penuaan sekunder
(secondary aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah dan mengalami
penurunan alamiah. Sedangkan pada proses penuaan sekunder, terjadi proses
penuaan karena faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku.
Berbagai paparan lingkungan dapat dapat mempengaruhi proses penuaan,
misalnya cahaya ultraviolet serta gas karbindioksida yang dapat menimbulkan
katarak, ataupun suara yang sangat keras seperti pada stasiun kereta api
sehingga dapat menimbulkan berkurangnya kepekaan pendengaran. Selain hal
yang telah disebutkan di atas perilaku yang kurang sehat juga dapat
mempengaruhi cepatnya proses penuaan, seperti merokok yang dapat
mengurangi fungsi organ pernapasan.

Penuaan membuat sesorang mengalami perubahan postur tubuh. Kepadatan


tulang dapat berkurang, tulang belakang dapat memadat sehingga membuat
tulang punggung menjadi telihat pendaek atau melengkung. Perubahan ini dapat
mengakibatkan kerapuhan tulang sehingga terjadi osteoporosis, dan masalah ini
merupakan hal yang sering dihadapi oleh para lansia.

Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit menjadi semakin
menebal dan kendur atau semakin banyak keriput yang terjadi. Rambut yang
menjadi putih juga merupakan salah satu cirri-ciri yang menandai proses
penuaan. Kulit yang menua menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang
bersinar. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lapisan konektif ini dapat
mengurangi kekuatan dan elasitas kulit, sehingga para lansia ini menjadi lebih
rentan untuk terjadinya pendarahan di bawah kulit yang mengakibatkan kulit
mejadi tampak biru dan memar. Pada penuaan kelenjar ini mengakibatkan
kelenjar kulit mengasilkan minyak yang lebih sedikit sehingga menyebabkan
kulit kehilangan kelembabanya dan mejadikan kulit kering dan gatal-gatal.
Dengan berkurangnya lapisan lemak ini resiko yang dihadapi oleh lansia
menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera kulit.

Penuaan juga mengubah sistim saraf. Masa sel saraf berkurang yang
menyebabkan atropy pada otak spinal cord. Jumlah sel berkurang, dan masing-
masing sel memiliki lebih sedikit cabang. Perubahan ini dapat memperlambat
kecepatan transmisi pesan menuju otak. Setelah saraf membawa pesan,
dibutuhkan waktu singkat untuk beristirahat sehingga tiidak dimungkinkan lagi
mentrasmisikan pesan yang lain. Selain itu juga terdapat penumpukan produksi
buangan dari sel saraf yang mengalami atropy pada lapisan otak yang
menyebabkan lapisan plak atau noda.
Orang lanjut usia juga memiliki berbagai resio pada sitem saraf, mislanya
berbagai jenis infeksi yang diderita oleh seorang lansia juga dapat
mempengaruhi proses berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang
menyebabkan kesulitan sesaat dalam proses berfikir dan perilaku adalah
gangguan regulasi glukosa dan metabolisme lansia yang mengidap diabetes.
Fluktuasi tingkat glukosa dapat menebabkan gangguan berfikr. Perubahan
signifikan dalam ingatan, berfikir atau perilakuan dapat mempengaruhi gaya
hidup seorang lansia. Ketika terjadi degenerasi saraf, alat-alat indra dapat
terpengaruh. Refleks dapat berkurang atau hilang.

Alat-alat indra persebtual juga mengalami penuaan sejalan dengan perjalanan


usia. Alat-alat indra menjadi kuranng tajam, dan orang dapat mengalami
kesulitan dalam membedakan sesuatu yang lebih detail, misalnya ketika seorang
lansia di suruh untuk membaca koran maka orang ini akan mengalami kesulitan
untuk membacanya, sehingga dibutuhkan alat bantu untuk membaca berupa
kacamata. Perubahan alat sensorik memiliki dampak yang besar pada gaya
hidup sesorang. Seseorang dapat mengalami masalah dengan komunikasi,
aktifitas, atau bahkan interaksi sosial.

Pendengaran dan pengelihatan merupakan indra yang paling banyak mengalami


perubahan, sejalan dengan proses penuaan indra pendengaran mulai memburuk.
Gendang telinga menebal sehingga tulang dalam telinga dan stuktur yang lainya
menjadi terpengaruh. Ketajaman pendengaran dapat berkurang karena terjadi
perubhan saraf audiotorik. Kerusakan indara pendengaran ini juga dapat terjadi
karena perubahan pada lilin telinga yang biasa terjadi seiring bertambahnya
usia.

Struktur mata juga berubah karena penuaan. Mata memproduksi lebih sedikit air
mata, sehingga dapat me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang
sensitive. Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran ketika
berusia 20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap perubahan cahaya
gelap ataupun terang. Lensa mata menjadi kuning, kurang fleksibel, dan apabila
memandang menjadi kabur dan kurang jelas. Bantalan lemak pendukung
berkurang, dan mata tenggelam ke kantung belakang. Otot mata menjadikan
mata kurang dapat berputar secara sempurna, cairan di dalam mata juga dapat
berubah. Masalah yang paling yang paling umum dialami oleh lansia adalah
kesulitan untuk mengatur titik focus mata pada jarak tertentu sehingga
pandangan menjdi kurang jelas.

Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera dan sistem
saraf mereka. Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali perubahan
penurunan keberfungsian alat indera tersebut. Sedangkan pada sistem sarafnya
adalah mulai menurunnya pemberian respon dari stimulus yang diberikan oleh
lingkungan. Pada lansia juga mengalami perubahan keberfungsian organ-organ
dan alat reproduksi baik pria ataupun wanita. Dari perubahan-perubahan fisik
yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya
diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198).
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri
fisik lansia yaitu sebagi berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok
(bungkuk),(2) kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat mulai
menurun,(4) kondisi mata yang mulai rabun,(5) pendengaran yang berkurang.

Perkembangan Intelektual

Menurut david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran kemampuan


mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme sacara umum, hampir
sebagian besar penelitian menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada
usia antara 45-55 tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus
menerus mengalami penurunan, hal ini juga berlaku pada seorang lansia.
Ketika lansia memperlihatkan kemunduran intelektualiatas yang mulai
menurun, kemunduran tersebut juga cenderung mempengaruhi keterbatasan
memori tertentu. Misalnya seseorang yang memasuki masa pensiun, yang tidak
menghadapi tantangan-tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan
masalah pekerjaan, dan di mungkinkan lebih sedikit menggunakan memori atau
bahkan kurang termotivasi untuk mengingat beberpa hal, jelas akan mengalami
kemunduran memorinya. Menurut Ratner et.al dalam desmita (20080
penggunaan bermacam-macam strategi penghafalan bagi orang tua , tidak hanya
memungkinkan dapat mencegah kemunduran intelektualitas, melinkan dapat
menigkatkan kekuatan memori pada lansia tersebut.

Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatau yang


tidak dapat dihindarkan, disebabkan berbagai faktor, seperti penyakit,
kecemasan atau depresi. Tatapi kemampuan intelektual lansia tersebut pada
dasarnya dapat dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat mempertahankan
kondisi tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan lingkungan yang
dapat merangsang ataupun melatih ketrampilan intelektual mereka, serta dapat
mengantisipasi terjadinya kepikunan.

Perkembangan Emosional

Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan
menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang
dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi (Widyastuti,
2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan
menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh,
kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang
tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.
Hal – hal tersebut di atas yang dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan
dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan
penyesuaian diri yang buruk. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya
gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakuatan akan mengakibatkan
lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga
lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi
semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.

Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan
orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan
perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan
untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari
lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme
psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan– kebutuhan dirinya
tanpa menimbulkan masalah baru.

Pada orang – orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang menjalani masa pensiun
dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik merupakan lanjut usia yang
sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki
relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan
biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk,
1985). Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan
kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang
terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih
banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch,
1984).

Penyesuaian diri lanjut usia pada kondisi psikologisnya berkaitan dengan


dimensi emosionalnya dapat dikatakan bahwa lanjut usia dengan keterampilan
emosi yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan
berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong
produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas
kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin yang merampas
kemampuan mereka untuk berkonsentrasi ataupun untuk memiliki pikiran yang
jernih.

Ohman & Soares (1998) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan


bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal
buruk yang mungkin akan terjadi. Dorongan yang relevan dengan rasa takut
menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut
mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan
yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi
hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul rasa takut. Ketika individu
memasuki fase lanjut usia, gejala umum yang nampak yang dialami oleh orang
lansia adalah “perasaan takut menjadi tua”. Ketakutan tersebut bersumber dari
penurunan kemampuan yang ada dalam dirinya. Kemunduran mental terkait
dengan penurunan fisik sehingga mempengaruhi kemampuan memori,
inteligensi, dan sikap kurang senang terhadap diri sendiri.

Ditinjau dari aspek yang lain respon-respon emosional mereka lebih spesifik,
kurang bervariasi, dan kurang mengena pada suatu peristiwa daripada orang-
orang muda. Bukan hal yang aneh apabila orang-orang yang berusia lanjut
memperlihatkan tanda-tanda kemunduran dalam berperilaku emosional; seperti
sifat-sifat yang negatif, mudah marah, serta sifat-sifat buruk yang biasa terdapat
pada anak-anak.

Orang yang berusia lanjut kurang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan


kehangatan dan persaan secara spontan terhadap orang lain. Mereka menjadi
kikir dalam kasih sayang. Mereka takut mengekspresikan perasaan yang positif
kepada orang lain karena melalui pengalaman-pengalaman masa lalu
membuktikan bahwa perasaan positif yang dilontarkan jarang memperoleh
respon yang memadai dari orang-orang yang diberi perasaan yang positif itu.
Akibatnya mereka sering merasa bahwa usaha yang dilakukan itu akan sia-sia.
Semakin orang berusia lanjut menutup diri, semakin pasif pula perilaku
emosional mereka.

Perkembangan Spiritual

Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama
menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan
optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan
ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia. Rasulullah bersabda “semua
penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau
penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik
maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukan dengan  penelitian yang dilakukan
oleh Hawari (1997), bahwa :

1. Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar
daripada orang yang religius.
2. Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat
dibandingkan yang non religius.
3. Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi atau
masalah hidup lainnya.
4. Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada
yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.
5. Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir
(kematian) daripada yang nonreligius.

Perubahan Sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun
pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan
hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi
merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga
mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (J.W.Santrock,
2002, h.239).

Perubahan Kehidupan Keluarga

Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang
disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa
memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara
anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan
anak memiliki hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50
sampai 55 tahun.

Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya
sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya
dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal
keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat
menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.

Hubungan Sosio-Emosional Lansia

Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam
penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya
bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau
merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga,
takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa kesepian yang akan datang.

Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia,
namun begitu pula sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya
atau tidak memberikan ruang hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka
tentunya memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup lansia.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Lansia

Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh lansia berkaitan dengan
perilaku yang baik (adaptif) dan tidak baik (maladaptif).

a. Perilaku yang kurang baik

 Kurang berserah diri


 Pemarah, merasa tidak puas, murung, dan putus asa
 Sering menyendiri
 Kurang melakukan aktivitas fisik/olahraga/kurang gerak
 Makan tidak teratur dan kurang minum
 Kebiasaan merokok dan meminum minuman keras
 Minum obat penenang dan penghilang rasa sakit tanpa aturan
 Melakukan kegiatan yang melebihi kemampuan
 Menganggap kehidupan seks tidak diperlukan lagi
 Tidak memeriksakan kesehatan secara teratur

 
b. Perilaku yang baik

 Mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa


 Mau menerima keadaan, sabar dan optimis, serta meningkatkan rasa
percaya diri dengan melakukan kegiatan yang sesuai dengan kemampuan.
 Menjalin hubungan yang baik dengan keluarga dan masyarakat
 Melakukan olahraga ringan setiap hari
 Makan dengan porsi sedikit tetapi sering, memilih makanan yang sesuai,
serta banyak minum
 Berhenti merokok dan meminum minuman keras
 Minumlah obat sesuai anjuran dokter/petugas kesehatan
 Mengembangkan hobi sesuai kemampuan
 Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks
 Memeriksakan kesehatan secara teratur

c. Manfaat perilaku yang baik

 Lebih takwa dan tenang


 Tetap ceria dan banyak mengisi waktu luang
 Keberdayaannya tetap diakui oleh keluarga dan masyarakat
 Terhindar dari kegemukan dan kekurusan serta penyakit berbahaya
seperti jantung, paru-paru, diabetes, kanker, dan lain-lain
 Mencegah keracunan obat dan efek samping lainnya
 Mengurangi stress dan kecemasan
 Hubungan harmonis tetap terpelihara
 Gangguan kesehatan dapat diketahui dan diatasi sedini mungkin

 
Pengertian Schizophrenia Paranoid

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang


mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri
buruk (Kaplan dan Sadock, 1997). Schizoprenia adalah kekacauan jiwa yang
serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi,
khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu
kerja dan fungsi sosial.

Gejalanya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu primer yang meliputi perubahan


proses pikir, gangguan emosi, kemauan, dan otisme. Sedangkan gejala sekunder
meliputi waham, halusinasi, gejala katatonik. Gejala sekunder merupakan
manifestasi untuk menyesuaikan diri terhadap gangguan primer. Skizofrenia
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu simplex, hebefrenik, katatonik, paranoid,
tak terinci, residual (Maslim, 2000).

Dari beberapa jenis skizofrenia diatas, terdapat skizofrenia paranoid. Jenis ini
ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi, dan tidak ada perilaku pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya waham
kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak konstan (Kaplan dan
Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas) lebih sering terdapat pada
mania, pada skizofrenia lebih sering inkoherensi (Maramis, 1998). Kriteria
waktunya berdasarkan pada teori Townsend (1998), yang mengatakan kondisi
klien jiwa sulit diramalkan, karena setiap saat dapat berubah.

Proses Terjadinya Schizophrenia Paranoid

Menurut Isaac (2005) schizophrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik


yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu termasuk berfikir dan
berkomunikasi, menerima, menginterpretasikan realitas, merasakan dan
menunjukkan emosi serta perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara
sosial. Schizophrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
melibatkan perilaku psikotik, pemikiran kongkret, kesulitan dalam memperoleh
informasi dan hubungan interpersonal serta kesulitan dalam memecahkan
masalah (Stuart, 2007).
Gangguan schizophrenia merupakan gangguan jiwa yang berlanngsung
menahun, sering kambuh dan kondisi kejiwaan penderita semakin lama semakin
merosot, gangguan ini terdiri dari:

a) Schizophrenia paranoid
Schizophrenia paranoid merupakan schizophrenia yang dikarakteristikkan
dengan kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain dengan halusinasi dan
waham kejar atau waham kebesaran (Towsend, 1998).

b) Schizophrenia catatonic
Schizophrenia catatonic merupakan salah satu jeniss schizophrenia yang
ditandai dengan rigiditas otot, negativism, kegembiraan berlebih atau posturing
(mematung), kadang-kadang pasien juga menunjukkan perubahan yang cepat
antara kegembiraan dan stupor. Cirri penyerta yang lain adalah gerakan
stereotypic, manerisme dan fleksibilitas lilin (waxy flexibility) dan yang sering
dijumpai adalah mutisme (Kusuma, 1997).

c) Schizophrenia hebephrenic
Schizophrenia hebephrenic (Disorganized schizophrenia) merupakan jenis
schizophrenia yang ditandai dengan adanya percakapan dan perilaku yang
kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi, pasien
mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial
yang ekstrim, mengabaikan hygiene dan penampilan diri, biasanya terjadi
sebelum usia 25 tahun (Isaac, 2005)
d) Schizophrenia tak tergolongkan
Schizophrenia tak tergolongkan dikarakteristikkan dengan perilaku yang
disorganisasi dan gejala-gejala psikosis (mis: waham, halusinasi, inkoherensia
atau perilaku kacau yang sangat jelas) yang mungkin memenuhi lebh dari satu
tipe/kelompok criteria schizophrenia (Towsend, 1998).

e) Schizoaffective
Kelainan schizoaffective merujuk kepada perilaku yang berkarakteristik
schizophrenia, ada tambahan indikasi kelainan alam perasaan seperti depresi
atau mania (Towsend, 1998).

f) Schizophrenia residual
Schizophrenia residual adalah eksentrik, tetapi gejala-gejala psikosis saat
diperiksa/dirawat tidak menonjol. Menarik diri atau afek yang serasi merupakan
karakteristik dari kelainan, pasien memiliki riwayat paling sedikit satu episode
schizophrenia dengan gejala-gejala yang menonjol

1. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya Skizofrenia


Paranoid!

Meskipun penyebab spesifik schizophrenia tidak diketahui, kekacauan ini jelas


mempunyai dasar biologi. Namun dari sisi psikologispun mempengaruhi
terjadinya penyakit ini pada diri seseorang. Berikut ini faktor-faktor penyebab
seseorang mengidap schizophrenia :

1. Pengaruh Genetik

Perkiraan heritability dari schizophrenia cenderung bervariasi karena kesulitan


memisahkan pengaruh genetika dan lingkungan hidup. Walaupun telah
diusulkan studi kembar heritability tingkat tinggi. Kemungkinan bahwa
schizophrenia merupakan kondisi kompleks warisan, dengan beberapa gen
mungkin berinteraksi untuk menghasilkan resiko schizophrenia terpisah atau
komponen yang dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan muncul untuk
nonspesifik dimana mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti
kekacauan gangguan bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal
sebagai menyalin nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko
schizophrenia.

Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari DNA


yang diperkirakan meningkatkan penyakit schizophrenia, serta beberapa gen
lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang
psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini
seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari
proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan.

Dalam penelitian, peneliti menganalisa gen dari 6.000 – 10.000 orang dari
seluruh dunia yang separuhnya menderita schizophrenia. Mereka menemukan
satu mutasi pada kromosom 1, dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu
jenis gen yang terkait dengan kondisi schizophrenia pada kromosom 22.
Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya schizophrenia hingga
15 kali lipat.

Varian-varian gen yang ditemukan amat berperan dibandingkan mutasi luar


biasa lainnya. Mutasi ini terjadi pada sekitar 1 dari 10.000 orang dibanding 1
dari 10 juta. Peneliti tengah mencari apakah faktor lingkunganikut berperan
dalam mutasi ini. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti adalah
menentukan bagaimana penghapusan gen ini mempengaruhi fungsi otak.

1. Usia
Schizophrenia umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa.
Menurut data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga perempat
pe3nderita schizophrenia berusia 16 – 25 tahun. Pada kelompok usia 16 – 25
tahun, schizophrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding
perempuan, sedangkan pada kelompok usia 26 – 32 tahun penyakit ini lebih
banyak menyerang perempuan. Semakin muda saat ditemukan semakin buruk.

1. Sosial

Tinggal di perkotaan secara konsisten telah menjadikan faktor resiko mengidap


schizophrenia. Keadaan sosial merugikan menjadi faktor resiko, termasuk
kemiskinan dan migrasi terkait dengan kesulitan bersosialisasi, diskriminasi ras,
pengaruh keluarga atau kondisi rumah miskin. Pengalaman yang menjadi
trauma juga salah satu faktor resiko diagnosa schizophrenia dalam kehidupan.

1. Obat

Sekitar setengah dari semua pasien schizophrenia akibat penggunaan narkoba


atau alkohol, yang jelas hubungan antara penggunaan narkoba dan
schizophrenia sulit untuk dibuktikan. Dengan adanya bukti kuat berdasarkan
beberapa studi menunjukkan bahwa cannabis sativa berperan dalam
perkembangan schizophrenia. Namun, tak ada bukti cukup untuk alkohol atau
narkoba lain. Di sisi lain, penderita schizophrenia diketahui menggunakan obat
untuk mengatasi depresi, gelisah dan kesendirian akibat dari kekacauan mereka.

1. Psikologis
Sejumlah mekanisme psikologis telah mempengaruhi orang menderita
schizophrenia. Ketika dibawah tekanan atau situasi membingungkan, termasuk
perhatian yang berlebihan dapat memunculkan penyakit ini. Banyak individu
penderita schizophrenia emosinya sangat responsif, itu dapat menyebabkan
kerentanan terhadap gejala kekacauan.

Faktor predisposisi
1) Biologi
Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada
diensefalon/ oleh perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada
waktu membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini
dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan
gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami
skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu
makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf
Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis,
1998).
Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa
skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel
piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis
sering berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan
neurologis yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung
memiliki waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan
gangguan kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock,
1997).
2) Psikologis
Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan
dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat
perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari
perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada
lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang
seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan
perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan
mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya
adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata
mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu, sesuai dengan
waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan ketidakpuasan yang ironis,
menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.

3) Genetik
Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan
terutama anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 –
1,8%, saudara kandung 7 – 15%, anak dengan salah satu orang tua yang
mengalami skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua mengalami skizofrenia 40
– 68%, kembar dua telur (heterozygot) 2-15%, kembar satu telur (monozygot)
61-86% (Maramis, 1998).

Faktor presipitasi

Faktor ini dapat bersumber dari internal maupun eksternal.

-          Stresor sosiokultural


Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya (Stuart, 1998).
-          Stresor psikologis
Intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman
diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaan-dambaan atau
harapan yang tidak kunjung sampai, merupakan sumber dari waham. Waham
dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan yang hebat, hinaan dan sakit
hati yang mendalam (Kartono, 1981).

1. Bagaimana perilaku pada lansia dengan Skizofrenia Paranoid!

Tanda dan gejala:

1. Gangguan isi pikiran, delusi: kepercayaan yang salah macamnya:

• Delusi referensi: kepercayaan bahwa tingkah laku orang lain atau obyek
tertentu atau kejadian tertentu diacukan kepada dirinya.

• Delusi persekusi : kepercayaan bahwa ada orang atau orang-orang akan


mencelakan dirinya, keluarganya atau kelompoknya.

• Delusi grandeur : merasa dirinya penting.

• Delusi kemiskinan : merasa tidak mempunyai hal yang berharga.

• Delusi menyalahkan diri.

• Delusi control : merasa dirinya dikontrol oleh orang lain.

• Delusi nihilisme : merasa dirinya, orang lain mupun dunia tidak ada.

• Delusi ketidak setiaan : kepercayaan yang salah bahwa orang yang dicintai
tidak setia.
• Delusi lain bahwa pikiran dapat disiarkan, diubah atau ditarik dari pikiran oleh
orang atau kekuatan luar.

• Delusi somatic : kepercayaan yang keliru mengenai kerja badan, percaya


otaknya dimakan semut.

1.  Gangguan gaya berfikir, berbahasa dan komunikasi :

• Proses kognitif tidak teratur dan tidak fungsional, sehingga tidak ada
hubungan dan tidak logis.

• Pengekspresian ide, piker dan bahasa begitu terganggu hingga tidak dapat
dimengerti.

1. Gangguan kognitif :

-    Inkoherensi : bicara ngawur

-   Tidak ada asosiasi

-    Neologisme : membuat kata-kata baru atau pengrusakan kata-kata yang ada.

-    Bloking : tidak dapat melanjutkan pembicaraan (beberapa detik – beberapa


menit)

-    Isi pembicaran yang sangat kurang.

-   Apa yang dikatakan atau yang ditulis tidak berarti.

-    Kadang mereka seperti bisu sampai berhari-hari.


 

1. Gangguan persepsi : halusinasi.

• Halusinasi : persepsi palsu yang mencakup kelima pancaindera.

• Bagi orangnya nampak nyata, terjadi secara spontan.

1. Gangguan afek. (afek : keadaan emosi)

• Keadaan emosi yang berlawanan dengan rangsangnya.

1. Gangguan psikomotor

• Tingkah laku aneh

• Menunjukkan gangguan katatonik berupa :

-        Stupor katatonik : keadaan tidak respponsif terhadap rangsang luar.

-        Kekakuan katatonik : sikap badan yang kaku dan menolak usaha untuk
dipindahkan.

-        Excitement yang katatonik : gerakan badan yang tidak ada tujuannya dan
diulang-ulang.

1. Gangguan hubungan Interpersonal


• Karena tingkah lakunya, orang tidak berinteraksi denagn penderita – ia tidak
mampu berinteraksi dengan cara yang umum – hidup dalam dunia fantasi dan
delusi.

1. Gangguan perasaan diri:

• Bingung mengenai siapa dirinya, percaya bahwa dirinya dikontrol orang atau
kekuatan luar.

1.  Gangguan motivasi

• Tidak ada motivasi karena kurang dorongan atau perhatian atau karena
kebingungan adanya pilihan-pilihan yang mungkin.

• Jika gangguan mitivasi dibarengi pikiran lacau dan obsesif maka orang ini
tidak akan dapat digerakkan.

Gejala-gejala yang dialami Sadid dapat dikategorikan dalam psikotik. Psikotik


dapat muncul dalam beberapa bentuk, yaitu:

1. Skizofrenia adalah penyakit jiwa yang ditandai kemunduran atau kemurungan


kepribadian. Berdasarkan fase Sadid telah berada pada fase aktif. Karena
individu mengalami simtom psikotik, halusinasi, delusi, bicara dan tingkah laku
tidak teratur serta tanda-tanda penarikan diri.
2. Paranoid adalah gila kebesaran atau merasa lebih dari segalanya. Individu
yang mempunyai kepribadian paranoid kemungkinan terdapat waham, namun
gejala itu hanya sekilas.

3. Maniac depressive psychosis adalah kondisi inidividu di mana perasaan


gembira yang mendadak bisa berubah sebaliknya.

Upaya yang perlu dilakukan adalah segera membawa Sadid ke fasilitas psikiatri
untuk menentukan diagnosis kemungkinan dan pengobatan yang adekuat.
Perawatan yang intensif (rawat inap), tampaknya diperlukan bagi Sadid.
Berbagai pemeriksaan akan dilakukan sesuai indikasi, misalnya pemeriksaan
Electro Enceplalografi dan CT Scan, atau bahkan bila diperlukann MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Dokter yang memeriksa akan menentukan
apakah gejala-gejala psikotik yang ditampilkan merupakan bagian dari
epilepsinya atau merupakan gangguan yang terpisah.

Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan


seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak
acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan
atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau
memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik
diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan
jelas, mengganggu dan tak disiplin.

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:

1.         Gejala-gejala Positif


Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini
disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh
orang lain.

2.         Gejala-gejala Negatif

Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari


ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya
dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang
disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia)

v  Fase-fase schizophrenia, adalah:

1. Fase prodromal : periode sebelum periode aktif :

• Individu menunjukkan gangguan- gangguan berfungsi social dan interpersonal


yang progresif.

• Perubahan yang terjadi dapat berisi : penarikan sosial, ketidak mampuan


bekerja secara produktif, eksentrik, pakaian yang tidak rapi, emosi myang tidak
sesuai, perkembangan pikiran dan bicara yang aneh, kepercayaan yang tidak
biasa, pengalaman persepsi yang aneh, hilangnya inisiatif dan energi.

1. Fase aktif : paling sedikit satu bulan.

• Individu mengalami simtom psikotik : hakusinasi dan delusi, bicara yang tidak
teratur, demikian pula tingkah lakunya, tanda-tanda penarikan diri.

1. Fase residual : simtom seperti pada fase sebelumnya ada, tetapi tidak
parah dan tidak mengganggu.
 

1. Diagnosis Skizofrenia Paranoid!

-          Aksis I       : skizofrenia paranoid (F20.0)

-          Aksis II      :  Tipe kepribadian introvert.

-          Aksis III     :  Disfungsi seksual (N48)

-          Aksis IV     :  Adanya masalah keluarga

-          Aksis V      : GAF Scale 40-31 (beberapa disabilitas dalam hubungan
dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi)

Penegakan diagnosis menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental


Disorder –IV (DSM-IV) sebagai berikut:

1. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan


untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang
jika diobati dengan berhasil):

1)      Waham

2)      Halusinasi

3)      Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoherensi)

4)      Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

5)      Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition)

Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau
atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus mengomentari perilaku
atau pikiran pasien atau dua lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama
lainnya.

1. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak


onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang
dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja,
kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik,
atau pekerjaan yang diharapkan).
2. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6
bulan. Pada 6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang
memperlihatkan gejala kriteria A) dan mungkin termasuk gejala
prodormal atau residual.

1. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan


skizoafektif atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang
telah terjadi bersama-sama gejala fase aktif atau (2) jika episode mood
telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat
dibandingkan durasi periode aktif dan residual.

1. Penyingkiran zat/kondisi medis umum

1. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif


Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut:

-       Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):

a)        – “thought eco” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama
tapi kualitasnya berbeda.

–“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal); dan

–“thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;

b)       – “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar, atau

– “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar

– “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah


terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);

– “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna


sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
 

c)         Halusinasi auditorik:

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilkau


pasien, atau Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara) atau Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh pasien

d)       Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat


dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:

e)        Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan yang
menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.

f)        Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.

g)       Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu
(porturing), fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor;
 

h)       Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosialdan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal).

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri,  dan penarikan diri secara sosial.

1. Pengkajian apa saja yang perlu perawat lakukan pada kasus Skizofrenia
Paranoid!

Pengkajian

Pengkajian merupakan awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap
pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien.

Data yang dikupulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilian terhadap stressoe, sumber keping dan
kemampuan kuping yang dimiliki klien (stant dan sunden, 1995). Cara
pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual,
sosial dan spiritual. Isi pengkajian meliputi :

1. Identitas klien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Dimensi fisik / biologis
5. Dimensi psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10.Aspek medik

Pada saat pengkajian focus pada penderita skizofrenia sering didapatkan adanya
data – data sebagai berikut (Carpenito, L.J, 1998; 328 – 329);
a. Perubahan persepsi sensori ; halusinasi
1) Data subyektif: tidak mampu mengenal waktu, orang, tempat, tidak mampu
memecahkan masalah, mengungkapkan adanya halusinasi (misalnya mendengar
suara – suara atau bayangan – bayangan), mengeluh cemas dan khawatir.

2) Data obyektif ; mudah tersinggung, apatis, dan cenderung menarik diri,


tampak gelisah, perubahan perilaku dan pola komunikasi, kadang berhenti
berbicara seolah – olah mendengar sesuatu, menggerakkkan bibirnya tanpa
mengeluarkan suara, menyeringai dan tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata
yang cepat, pikiran yang berubah – ubah dan konsentrasi rendah, kadang
tampak ketakutan, respon – respon yang tidak sesuai (tidak mampu berespon
terhadap petunjuk yang kompleks).
b. Perilaku kekerasan/ resiko perilaku kekerasan
1. Data subyektif: klien mengeluh perasaan terancam, marah, dendam, klien
mengungkapkan perasaan tidak berguna, klien mengungkapkan perasaan
jengkel, klien mengungkapkan keluhan adanya fisik seprti dada berdebar –
debar, rasa tercekik, dada terasa sesak, bingung, klien mengatakan mendengar
suara – suara yang menyuruh melukai diri sendiri. Orang lain dan lingkungan,
klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya.

2. Data obyektif ; muka merah, mata melotot, rahang dan bibir mengatup tangan
dan kaki tegang, tangan mengepal, tampak mondar – mandir, tampak berbicara
sendiri dan ketakutan, tampak bicara dengan suara tinggi, tekanan darah
meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, banyak keluar keringat, napas
pendek.

c. Gangguan konsep diri ; harga diri rendah


1. Data subyektif; mengkritik diri sendiri dan orang lain, perasaan dirinya
sangat penting yang berlebih – lebihan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah.
Sikap negative pada diri sendiri, sikap pesimis pada kehidupan.

2. Data obyektif; produktivitas menurun, perilaku destruktif pada diri sendiri,


perilaku destruktif pada orang lain, penyalahgunaan zat, menarik diri dari
hubungan sosial, ekspresi wajah malu dan rasa bersalah, menunjukkkan tanda
depresi (sukar makan dan sukar tidur), tampak mudah tersinggung, mudah
marah.

d. Isolasi sosial : menarik diri


1. Data subyektif; mengungkapkan perasaan tidak berguna, penolakan oleh
lingkungan, mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki.

2. Data obyektif; tampak menyendiri dalam ruangan, tidak berkomunikasi dan


tidak bisa memulai pembicaraan, menarik diri, tidak melakukan kontak mata,
tampak sedih, afek datar, posisi meringkuk di tempat tidur dengan punggung
menghadap ke pintu. Kegagalan berinteraksi dengan orang lain didekatnya,
kurang aktifitas fisik dan verbal, tidak mampu membuat keputusan dan
berkonsentrasi, mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya.

e. Waham
1. Data subyektif : merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/ diguna –
guna, merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa, merasa
sakit/ rusak organ tubuh, merasa sudah mati, merasa perilakunya dikontrol
orang lain, merasa pikiran orang lain masuk ke dalam alam pikirnya, merasa
orang lain mengetahui isi pikirannya, merasa orang lain menjauh, merasa tidak
ada orang yang mau mengerti.

2. Data obyekstif : marah – marah tanpa sebab, banyak berbicara (logorrhoe),


menyendiri, sirkumtansial, inkoheren, flight of idea, hipermotorik, euphoria
(gembira berlebihan), disforia (sedih berlebihan), marah – marah karena alasan
sepele, menyendiri.

f. Defisit perawatan diri


1. Data subyektif; menyatakan malas mandi, tidak tahu cara makan yang baik,
tidak tahu cara dandan yang baik, tidak tahueliminasi yang baik, tidak tahu cara
berpakaian yang baik, merasa tak berguna, merasa tak perlu mengubah
penampilan, merasa tidak ada yang peduli.

2. Data obyeksif ; badan kotor, dandanan tidak rapi, makan berantakan, BAB/
BAK sembarang tempat, rambut dan kuku panjang, badan bau, gigi kotor,
pakaian kotor, dan tidak terkancing dengan benar, menolak ketika disarankan
untuk makan, mandi dan berpakaian. Menolak buang air kecil dan buang air
besar di tempat yang disediakan.
1. Terapi apa saja yang dapat dilakukan pada lansia dengan Skizofrenia
Paranoid!

Menurut Tomb (2004), pengobatan untuk penderita skizofrenia dapat


menggunakan beberapa metode antara lain:
a. Metode biologic
Obat psikosis akut dengan obat anti psikotik, lebih disukai dengan anti psikotik
atypical baru (kisaran dosis ekuivalen = chlorpromaxine 300-600 mg/hari).
Ketidak patuhan minum obat sering terjadi, oleh karena itu perlu diberikan depo
flufenazine atau haloperidol kerja – lama merupakan obat terpilih. Penambahan
litium, benzodiazepine, atau diazepam 15-30 mg/ hari atau klonazepam 5-15
mg/hari sangat membantu menangani skizofrenia yang disertai dengan
kecemasan atau depresi. Terapi kejang listrik dapat bermanfaat untuk
mengontrol dengan cepat beberapa psikosis akut. Sangat sedikit pasien
skizofrenia yang tidak berespon dengan obat-obatan dapat membaik dengan
ECT.

b. Metode psikosis
Menurut Hawari (2006, p.105-108) jenis psikoterapi yang dilakukan untuk
menangani penyakit skizofrenia antara lain;
1. Psikoterapi suportif
Bentuk terapi yang bertujuan memberikan dorongan semangat dan motivasi
agar penderita tidak merasa putus asadan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup.

2. Psikoterapi redukatif
Bentuk terapi yang dimaksudkan member pendidikan ulang untuk merubah pola
pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap
dunia luar.
3. Psikoterapi rekonstruksi
Terapi yang dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang
mengalami keresahan.

4. Terapi tingkah laku


Adalah terapi yang bersumber dari teori psikologi tingkah laku (behavior
psichology) yang mempergunakan stimulasi dan respon modus operandi dengan
pemberian stimulasi yang positif akan timbul proses positif.

5. Terapi keluarga
Bentuk terapi yang menggunakan media sebagai titik tolak terapi karena
keluarga selain sebagai sumber terjadinya gangguan tingkah laku juga sekaligus
sarana terapi yang dapat mengembalikan fungsi psikis dan sosial melalui
komunikasi timbal balik.

6. Psikoterapi kognitif
Memulihkan kembali fungsi kognitif sehingga mampu membedakan nilai – nilai
sosial dan etika.

Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan


skizofrenia secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998)
antara lain :

1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala
emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat
ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis
awal : 3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis
awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham.
Pada kondisi gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat
antipsikotik secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan
obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain
harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering adalah
ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan oleh dokter
dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu
penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.

2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari

3) Anti Depresan
Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :
75-300 mg/hari.
Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal
: 25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.

4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform,
kelainan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-
gejala insomnia dan ansietas. Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari

Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa

Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu
hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk
mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang
disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis
(terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara
yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
– Tahapan orientasi
– Tahapan kerja
– Tahapan terminasi
Tahapan orientasi dilaksanakan ketika perawat memulai interaksi dengan klien.
Yang pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting untuk
mengawali hubungan agar klien bersedia mengekspresikan segala masalah yang
dihadapi dan mau bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut sepanjang
berhubungan dengan perawat. Setelah klien mempercayai perawat, tahapan
selanjutnya adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi
latar belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga
penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan
antara perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam
hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Perawat melakukan intervensi keperawatan setelah klien mempercayai perawat
sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja, di mana klien melakukan eksplorasi
diri. Klien mengungkapkan apa yang dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya
memperhatikan konteks cerita klien akan tetapi harus memperhatikan juga
bagaimana perasaan klien saat menceritakan masalahnya. Dalam fase ini klien
dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang siapa dirinya, apa
yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk berani mengambil risiko
berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.
Setelah kedua fihak (klien dan perawat) menyepakati bahwa masalah yang
mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah mereda dan lebih terkendali
maka perawat dapat melakukan terminasi dengan klien. Pertimbangan lain
untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah merasa lebih baik, terjadi
peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta yang lebih penting adalah
tujuan terapi telah tercapai.

Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan
berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas
dan interaksi.
Dalam terapi lingkungan perawat harus memberikan kesempatan, dukungan,
pengertian agar klien dapat berkembang menjadi pribadi yang bertanggung
jawab. Klien juga dipaparkan pada peraturan-peraturan yang harus ditaati,
harapan lingkungan, tekanan peer, dan belajar bagaimana berinteraksi dengan
orang lain. Perawat juga mendorong komunikasi dan pembuatan keputusan,
meningkatkan harga diri, belajar keterampilan dan perilaku yang baru.
Bahwa lingkungan rumah sakit adalah lingkungan sementara di mana klien akan
kembali ke rumah, maka tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan
klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi
yang diperlukan untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan
rumah tinggalnya.

Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di
mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model
konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah
gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan
patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan
pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya
akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu.
Ada beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi: pemberian obat
(medikasi psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT),
foto terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap
diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan
ECT.

Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor
tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan
berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah
membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.
Ada tiga tujuan terapi kognitif meliputi:

 Mengembangkan pola berfikir yang rasional. Mengubah pola berfikir tak


rasional yang sering mengakibatkan gangguan perilaku menjadi pola
berfikir rasional berdasarkan fakta dan informasi yang actual.
 Membiasakan diri selalu menggunakan pengetesan realita dalam
menanggapi setiap stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
 Membentuk perilaku dengan pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan
terlebih dahulu mengubah pola berfikir.

Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi mengajarkan untuk


mensubstitusi pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan memodifikasi
percakapan diri negatif.

Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar
keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis
ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-
fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi
dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya
masalah tersebut digali. Dengan demikian terleih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa
kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian
mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan
atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2
(kerja), fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan
hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi
ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga
dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi
di antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing
individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga,
peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase
terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani
untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul.
Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang
berkesinambungan.

Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam
kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok.
Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara
teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan
hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya
meliputi: tahap permulaan, fase kerja, diakhiri tahap terminasi.

Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut sebagai fase
orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang diperlukan dalam
interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa aktivitas tersebut
dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai model peran dengan
cara mengusulkan struktur kelompok, meredakan ansietas yang biasa terjadi di
awal pembentukan kelompok, dan memfasilitasi interaksi di antara anggota
kelompok. Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja.
Di fase kerja terapis membantu klien untuk mengeksplorasi isu dengan berfokus
pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar masing-masing anggota
kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase permulaan untuk
mencapai tujuan terapi. Fase kerja adalah inti dari terapi kelompok di mana
klien bersama kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai target
perubahan perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain anggota
kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan maka
diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan
dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong
anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta
bertoleransi terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir dari terapi kelompok
adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan mampu menyelesaikan
masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Terapi Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul
akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan
disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam
terapi jenis ini adalah:
– Role model
– Kondisioning operan
– Desensitisasi sistematis
– Pengendalian diri
– Terapi aversi atau releks kondisi

Teknik role model adalah strategi mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan melihat contoh klien mampelajari
melalui praktek dan meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya
dikombinasikan dengan teknik kondisioning operan dan desensitisasi.
Kondisioning operan disebut juga penguatan positif di mana terapis memberi
penghargaan kepada klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan
oleh klien. Dengan penghargaan dan umpan balik positif yang didapat maka
perilaku tersebut akan dipertahankan atau ditingkatkan oleh klien. Misalnya
seorang klien begitu bangun tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi,
perawat memberikan pujian terhadap perilaku tersebut. Besok pagi klien akan
mengulang perilaku segera mandi setelah bangun tidur karena mendapat umpan
balik berupa pujian dari perawat. Pujian dalam hal ini adalah reward atau
penghargaan bagi perilaku positif klien berupa segera mandi setelah bangun.
Terapi perilaku yang cocok untuk klien fobia adalah teknik desensitisasi
sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu stimulus atau
kondisi dengan secara bertahap memperkenalkan/memaparkan pada stimulus
atau situasi yang menimbulkan kecemasan tersebut secara bertahap dalam
keadaan klien sedang relaks. Makin lama intensitas pemaparan stimulus makin
meningkat seiring dengan toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil
akhirnya adalah klien akan berhasil mengatasi ketakutan atau kecemasannya
akan stimulus tersebut.
Untuk mengatasi perilaku dorongan perilaku maladaptive klien dapat dilatih
dengan teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih mengubah
kata-kata negatif menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka klien
sudah memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku yang lain sehingga
menghasilkan terjadinya penurunan tingkat distress klien tersebut.
Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan negatif.
Caranya adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk merusak
perilaku yang maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan ini dapat berupa
menghilangkan stimulus positif sebagai “punishment” terhadap perilaku
maladaptive tersebut. Dengan ini klien akan belajar untuk tidak mengulangi
perilaku demi menghindari konsekuensi negatif yang akan diterima akibat
perilaku negatif tersebut.

Anda mungkin juga menyukai