Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TUGAS

Praktikum Compounding & Dispensing

Dosen Pengampu :
Vivin Nopiyanti, M.Sc., Apt

Disusun oleh:

Ariska Maulana
2020394426

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXIX


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat
menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaanya, swamedikasi /pengobatan sendiri dapat
menjadi masalahterkait obat (Drug Related Problem) akibat terbatasnya pengetahuan
mengenai obat dan penggunaannya (Nur Aini, 2017). Dasar hukum swamedikasi adalah
peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993. Menurut Pratiwi, et al (2014)
swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam
mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu
melakukan konsultasi kepada dokter. Swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional terlebih
dahulu mencari informasi umum dengan melakukan konsultasi kepada tenaga kesehatan
seperti dokter atau petugas apoteker. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa
etiket atau brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker
pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam daftar obat
wajib apotek (Depkes RI., 2006).
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit
ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit
maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2010). Kriteria yang dipakai
untuk memilih sumber pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya,
keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya, dan jarak
ke sumber pengobatan. Keparahan sakit merupakan faktor yang dominan diantara keempat
faktor diatas (Supardi, 2005).
Perilaku swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari interaksi
manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
dibedakan menjadi dua yakni faktorfaktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup
pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk
mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015). Menurut Notoatmodjo (2003) faktor ekstern
meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial-
ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Swamedikasi menjadi tidak tepat apabila terjadi
kesalahan mengenali gejala yang muncul, memilih obat, dosis dan keterlambatan dalam
mencari nasihat / saran tenaga kesehatan jika keluhan berlanjut. Selainitu, resiko potensial
yang dapat muncul dari swamedikasi antara lain adalah efek samping yang jarang muncul
namun parah, interaksi obat yang berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah
(BPOM, 2014).
Menurut Supardi (2005) terdapat keuntungan dan kekurangan seseorang dalam
menggunakan obat secara mandiri. Keuntungan yang didapatkan antara lain aman apabila
digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk
menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa
intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya
pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi
kesehatan, kepuasan karena ikut berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan,
menghindari rasa malu atau stres apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu di
hadapan tenaga kesehatan. Kekurangan dalam menggunakan obat secara mandiri yaitu dapat
membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya
dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat
yang tidak diinginkan, misalnya sensitifitas, efek samping atau resistensi, penggunaan obat
yang salah akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman
menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya.

Apotek sebagai sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk


mendapatkan obat. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2009, apotek merupakan
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2014).

Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat


diserahkan :

1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah


usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Obat dimaksud memiliki rasio keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri
BAB II

PEMBAHASAN

a. Definisi Gatritis
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik
penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi pada
mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya
infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009). Gastritis atau lebih
dikenal sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti
perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah suatu
keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronis,
difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis akut dan kronik
(Price dan Wilson, 2005).Klasifikasi gastritis menurut Mansjoer 2011 :
1. Gastritis Akut
Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang
akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada gastritis ditemukan sel
inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema, merah dan terjadi erosi kecil dan
perdarahan (Price dan Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri dari beberapa tipe yaitu
gastritis stres akut, gastritis erosif kronis, dan gastritis eosinofilik. Semua tipe gastritis
akut mempunyai gejala yang sama. Episode berulang gastritis akut dapat
menyebabkan gastritis kronik (Wibowo, 2007).
2. Gastritis kronik
Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan perjalanan klinik bervariasi
(Wibowo, 2007). Gastritis kronik ditandai dengan atropi progresif epitel kelenjar
disertai hilangnya sel parietal dan chief cell di lambung, dinding lambung menjadi
tipis dan permukaan mukosa menjadi rata. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan
tiga perbedaan yaitu gastritis superfisial, gastritis atropi dan gastritis hipertropi (Price
dan Wilson, 2005).Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta
perdarahan dan erosi mukosa; Gastritis atropi, dimana peradangan terjadi pada seluruh
lapisan mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan kanker
lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik dari penurunan
jumlah sel parietal dan sel chief; Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan
terbentuknya nodulnodul pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan
hemoragik.

b. Patofisiologi gastritis
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat
jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal.
Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila terdapat
ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan (defensif) pada
mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan
kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin,
asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif,
OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif
mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan
subepitelial (Pangestu, 2003). Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama
adalah berupa lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi
terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis
pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi
produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan
membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005). Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran
darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi
subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003).

c. Tanda dan gejala gastritis


Gastritis didefinisikan sebagai peradangan (iritasi) yang terjadi pada mukosa
lambung ditandai dengan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, rasa mual,
muntah, nafsu makan menurun atau sakit kepala (Sumangkut dan Karundeng, 2014).
Berbagai gejala lain seperti kembung, rasa sesak, nyeri pada ulu hati, wajah pucat,
suhu badan naik, bersendawa berlebihan juga menunjukkan adanya gastritis (Sulastri,
dkk., 2012).

d. Tatalaksana terapi gastritis


1. Terapi Farmakologi Gastritis
Berdasarkan patofisiologisnya, terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk
menekan faktor agresif (asam lambung) dan memperkuat faktor defensif
(ketahanan mukosa). Hingga saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam
lambung dengan cara menetralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam
lambung. Obat pendarahan lambung, seperti antasida, antagonis reseptor H2
(simetidin, ranitidin), dan Proton Pump Inhibitor (PPI) efektif dalam mengurangi
asam lambung (Dipiro, dkk., 2015).
Ranitidin dan antasida merupakan obat antiulcer yang paling banyak
digunakan dalam terapi gastritis, ranitidin diberikan sebelum makan dengan tujuan
memaksimalkan penghambatan sekresi asam lambung sebelum adanya rangsangan
sekresi asam lambung dari makanan sedangkan antasida bertujuan untuk
menetralkan asam lambung (Tjay dan Rahardja, 2007).
a. Antasida
Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik membentuk
garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin tidak aktif
pada pH tinggi (pH>4), maka penggunaan antasida juga dapat mengurangi
aktivitas pepsin (Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki efek pengurangan
kolonis H. pylori dan merangsang sintesis prostaglandin (Mycek, 2001). Berikut
adalah uraian obat antasida sebagai terapi farmakologi gastritis: (BPOM, 2015)
 Indikasi : untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan
asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak duodeni, yang tidak dapat
diatasi dengan antasida.
 Kontraindikasi : hipofosfatemia, alergi terhadap famotidin atau antagonis
reseptor H2 lainnya.
 Efek samping : konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, pusing,
gangguan irama jantung dan ruam kulit.
 Interaksi : Pemberian antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya
dihindari karena mungkin dapat mengganggu absorpsi obat lain. Selain itu,
antasida mungkin dapat merusak salut enterik yang dirancang untuk
mencegah pelarutan obat dalam lambung.
 Sediaan : Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan
DOEN II. Antasida DOEN I terdiri dari kombinasi alumunium hidroksida
200 mg dan magnesium hidroksida 200 mg adalah tablet kunyah, sedangkan
antasida DOEN II kombinasi dari alumunium hidroksida 200 mg/5 ml dan
magnesium hidroksida 200 mg/5 ml adalah suspensi (Departemen Kesehatan
RI, 2008).
 Dosis : 3x500-1000 mg/hari (KepMenKes RI, 2014). Antasida dapat
diminum saat menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan
(Departemen Kesehatan RI, 2007).

b. Antagonis Reseptor H2
Mekanisme kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah mengurangi
sekresi asam lambung dengan memblokir secara kompetitif pelekatan histamin
pada reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat reversibel (Finkel, 2009). Obat
ini menghambat sekresi asam yang dirangsang histamin, gastrin, obat-obat
kolinomimetik dan rangsangan vagal. Volume sekresi asam lambung dan
konsentrasi pepsin juga berkurang. Simetidin, ranitidin dan famotidin kecil
pengaruhnya terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter esofagus
yang lebih bawah (Katzung, 2012). Berikut adalah uraian obat ranitidin sebagai
terapi farmakologi gastritis: (BPOM, 2015)
 Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia
episodik kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori,
sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung
akan bermanfaat.
 Kontraindikasi : penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidin.
 Efek samping : sakit kepala, pusing, diare dan nyeri otot, takikardi, agitasi,
gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial.
 Interaksi : ranitidin tidak memiliki sifat menghambat metabolisme obat
seperti halnya simetidin.
 Sediaan : tablet, injeksi intravena, dan injeksi intramuskuler.
 Dosis : Pengobatan dengan ranitidin digunakan dosis 150-300 mg dan dua
kali sehari secara IV. Pemberian secara oral dilakukan pada malam hari.

c. Proton Pump Inhibitor (PPI)


Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+ATPase (pompa
proton) yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang digunakan
untuk mengeluarkan asam klorida dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen
lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli
menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor
agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh regimen
triple drugs (Finkel, 2009). Contoh obat dengan golongan PPI diantaranya
omeprazole dan lansoprazole. Berikut adalah uraian obat omeprazole sebagai
terapi farmakologi gastritis: (BPOM, 2015)
 Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan
duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan duodenum, regimen
eradikasi H. pylori pada tukak peptik, refluks esofagitis, Sindrom Zollinger
Ellison.
 Kontraindikasi : penderita yang diketahui hipersensitif terhadap omeprazole.
 Efek samping : vertigo, alopesia, ginekomastia, impotensi, stomatitis,
ensefalopati pada penyakit hati yang parah, hiponatremia, bingung
(sementara), agitasi dan halusinasi pada sakit yang berat, gangguan
penglihatan dilaporkan pada pemberian injeksi dosis tinggi.
 Sediaan : kapsul dan injeksi intravena.
 Dosis : Pengobatan dengan omeprazole digunakan dosis 2x20 mg atau 1x40
mg. Sebaiknya digunakan 30-60 menit sebelum makan pada pagi hari.

2. Terapi Non Farmakologi Gatritis


Terapi non farmakologi gastritis dapat dilakukan dengan cara: (Novitasaryi,
dkk., 2017)
 Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya
keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi
kecil dan hindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.
 Mengurangi tingkat stress yang dapat memicu timbulnya gastritis.
 Istirahat yang cukup dan memperbaiki pola hidup dengan menghindari
merokok.
e. Kasus
Seorang mahasiswa datang ke apotek dengan keluhan perut melilit, seakan penuh
berisi gas, mudah merasa kenyang dan tidak nyaman setelah makan sehingga tidak
bisa mengikuti kuliah beberapa hari ini. Apa rekomendasi obat untuk pasien tersebut?

Penyelesaian
- Penyakit yang diderita pasien tersebut adalah gastritis akut.
- Riwayat pengobatan : tidak ada
- Riwayat alergi : tidak ada
- Rekomendasi pengobatan :
a. Terapi farmakologi
Obat Antasida Sirup
 Indikasi: mengurangi nyeri lambung yang disebabkan oleh kelebihan
asam lambung.
 Dosis: 1-2 sendok makan, 3-4 kali sehari. Diminum 1 jam sebelum
makan.
 Mekanisme: secara langsung menetralisir keasaman, peningkatan pH, atau
secara reversibel mengurangi atau menghalangi sekresi asam lambung
oleh sel untuk mengurangi keasaman di perut.
 Efek samping: diare, sembelit, mual muntah, keram perut
 Monitoring terapi: dilakukan dengan melihat tingkat nyeri pada bagian
uluh hati.
b. Terapi nonfarmakologi
 Konsumsi air yang cukup
 Menjaga pola makan
 Istirahat yang cukup
 Hindari minuman kafein
 Hindari makanan yang pedas
 Hindari kebiasaan langsung tidur setelah makan
Dialog swamedikasi

Suatu hari datanglah seorang pasien perempuan ke Apotek “SEHAT SENTOSA”.


Pasien tersebut mengeluhkan perut melilit, seakan penuh berisi gas, mudah merasa kenyang
dan tidak nyaman setelah makan. Pasien tersebut meminta rekomendasi obat kepada
apoteker.

Apoteker : Selamat pagi mbak, ada yang bisa saya bantu?

Pasien : Pagi mbak. Ini mbak perut saya melilit. Rasanya seperti penuh, dan sering
sendawa. Terus saya jg sering merasa kenyang meskipun belum makan. Itu
kira-kira kenapa ya mbak?

Apoteker : Oh begitu.. apa mbak juga sering mengkonsumsi kopi dan juga kurang tidur?

Pasien : hehehee.. iya mba. Hampir tiap hari saya minum kopi trus begadang
begadang juga. Kan saya ini mahasiswa semester akhir mba, jadi saya saat ini
sedang mempersiapkan skripsi saya.

Apoteker : Oh iya saya mengerti mbak.. sudah berapa lama mbak sakit perutnya?

Pasien : Sudah 2 hari ini mbak

Apoteker : Sebelumnya sudah pernah diobati belum?

Pasien : Belum mbak..

Apoteker : Oh, sebentar ya saya ambilkan obatnya dulu.. (apoteker mengambil obat
yang akan diberikan). Baik mbak, ini untuk obatnya saya berikan Mylanta.
Nah, mbak mau pilih yang bentuk tablet kunyah atau sirup?

Pasien : Bedanya apa mbak?

Apoteker : Bedanya, kalau yang tablet kan harus dikunyah dulu. Kalau yang cair tinggal
diminum saja mbak, lebih praktis.

Pasien : Oh gitu.. yaudah saya pilih yang sirup aja mbak

Apoteker : Baik.. untuk Mylanta sirup ini diminum 1 jam sebelum makan, 1-2 sendok
makan, sehari 3 sampai 4 kali. Nanti kalau perutnya sudah enakan, gak
kembung/gak melilit lagi boleh dihentikan. Kalau gak sembuh sembuh atau
malah semakin nyeri, segera periksa ke dokter ya mbak.

Pasien : Oh iya baik mbak.. terus ada pantangannya gak? Maksud saya kayak
makan, minum, gitu ada yang dilarang gak?
Apoteker : Hmm.. sebaiknya dikurangi dulu konsumsi kopi, makanan asam, dan
makanan pedas. Terus jangan banyak begadang, usahakan istirahat yang
cukup. Jangan lupa menjaga pola makan, dan konsumsi air yang cukup.

Pasien : Baik mbak

Apoteker : Baik, kalau sudah jelas boleh coba diulang lagi penjelasan saya tadi untuk
memastikan mbak benar-benar paham dengan obat ini.

Pasien : Iya jadi ini obatnya Mylanta sirup. Diminumnya satu jam sebelum makan, 1-
2 sendok, sehari 3-4 kali. Kalau sudah sembuh boleh dihentikan. Terus harus
mengurangi konsumsi kopi, makanan pedas, makanan asam. Terus harus
istirahat yang cukup dan jaga pola makan. Begitu kan mbak??

Apoteker : Iya betul mbak.. ini ada kartu nama saya. Kalau ada yang ingin ditanyakan
boleh menghubungi saya di nomor ini ya. Untuk obatnya bisa diambil dikasir
sekalian bayar ya. Semoga lekas sembuh..

Pasien : Baik terimakasih mbak


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

- Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag adalah suatu peradangan pada lambung
yang disebabkan oleh beberapa kondisi kompleks yang menyebabkan sakit,
mulas, dan perih pada perut. Kondisi yang menyebabkan gastritis adalah infeksi
Helicobacter pylori, trauma fisik, stress, pola makan.
- Tujuan pemberian swamedikasi adalah agar pasien yang mengalami gejala-gejala
penyakit yang dirasakan mampu melakukan pengobatan sendiri dengan
menggunakan obat-obat secara baik dan benar, sehingga efek terapi yang
diinginkan tercapai.
- Terapi untuk gastritis yaitu dengan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi,
serta perlu dilakukan monitoring dengan melihat tingkat nyeri pada bagian ulu
hati.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1997. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Ketiga. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
BPOM RI, 2015. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia. Terdapat di: http://pionas.pom.go.id/ioni.
Bruner, S., 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI, 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas.
Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas.
Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI, 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015. Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edition. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.

Anda mungkin juga menyukai