Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIKUM COMPONDING DAN DISPENSING

“SWAMEDIKASI SAKIT KEPALA”

DOSEN PENGAMPU:
Vivin Nopiyanti, M.Sc., Apt

KELOMPOK 2 C
Oleh :
Tantri Agustia (2020394418)

PROGRAM STUDI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan menurut UU nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan didefinisikan
sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan dimaknai sebagai
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan/ atau masyarakat (Anonim, 1992). Swamedikasi menjadi alternatif yang
diambil oleh masyarakat.
Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Dalam
penatalakasanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar
tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu
profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug
informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat
termasuk dalam golongan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek relatif
aman digunakan untuk swamedikasi. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan
kegiatan pemilihan dan penggunaan obat baik itu modern, herbal, maupun obat
tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO,
1998).
Pada dasarnya, bila dilakukan secara rasional, swamedikasi memberikan
keuntungan besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan nasional (Depkes,
2008). Beberapa keuntungan swamedikasi adalah memberikan tuntutan dan informasi
yang jelas dan tepat penggunaan obat, dimana obat ini biasanya tersedia di rumah
tangga, selanjutnya bagi masyarakat di daerah terpencil swamedikasi akan menghemat
banyak waktu yang diperlukan untuk ke kota mengunjungi dokter (Tan&Rahardja,
1993).
Salah satu penyakit yang banyak diobati dengan melakukan swamedikasi adalah
sakit kepala (headache). Pada penelitian Worku (2003) dilaporkan bahwa sakit kepala
merupakan penyakit yang paling sering diobati dengan swamedikasi. Sakit kepala
termasuk kelainan yang sering dikeluhkan manusia. Sakit kepala dapat menyebabkan
seseorang tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja dan mengakibatkan keterbatasan
aktivitas keseharian. Bahkan pada suatu keadaan mungkin bisa mengancam kehidupan
(Yatim, 2004).
Sakit kepala dapat diobati dengan swamedikasi karena kecenderungan diderita
banyak orang dan terkadang tidak perlu intervensi medis yang besar untuk dapat
mengobatinya. Bahkan kebanyakan penderita migrain dan sakit kepala tipe tegang tidak
melakukan perawatan kesehatan terhadap sakit kepala yang diderita (King dan
Herndon, 2005). Penelitian Worku (2003) menyebutkan 60% penderita sakit kepala
melakukan swamedikasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa sakit kepala tidak
selalu ringan, karena sejatinya ada beberapa jenis sakit kepala dengan tingkat yang
berbeda-beda.
Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, apoteker
mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat, dan
petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat
melakukannya secara bertanggung jawab. Apoteker harus menekankan kepada pasien,
bahwa walaupun dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas,
obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek
samping yang tidak diinginkan jika dipergunakan secara tidak semestinya.

B. Tujuan
Mampu memahami keluhan pasien, membantu memilihkan obat, dan
memberikan informasi yang diperlukan pasien dalam swamedikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sakit Kepala


Menurut WHO (2000), sakit kepala merupakan gejala dari sejumlah kelainan
neurologis, mencakup sejumlah gejala yang umum dan ada di berbagai tempat.
Terminologi keluhan sakit kepala terkait dengan berbagai kondisi yang bervariasi
dalam keparahan, insidensi, dan durasi. Nyeri kepala merupakan keluhan yang umum
ditemukan dalam praktek neurologi. Nyeri yang kronik dan sering kambuh cenderung
ke penyebab vaskuler dan psikogenik, sedangkan yang akut dan berat mungkin
mempunyai latar belakang yang lebih serius (Wibowo dan Gafir, 2001).
B. Klasifikasi
Sakit kepala merupakan gangguan yang sangat umum terjadi. Menurut The
International Headache Society, sakit kepala diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Sakit kepala primer, yaitu sakit kepala yang merupakan penyakit utamanya.
Termasuk sakit kepala primer adalah migrain, sakit kepala ketegangan, dan sakit
kepala cluster.
b) Sakit kepala sekunder, yaitu sakit kepala yang merupakan gejala penyakit lain.
Sakit kepala primer
1) Migrain
Migrain adalah gangguan sakit kepala primer, bersifat berat dan kambuhan
(recurrent), yang kadang dapat mempengaruhi fungsi normal tubuh. Migrain
ditandai dengan episode berulang nyeri kepala yang terasa seperti gelombang yang
menghantam (throbbing/pulsating) dan biasanya hanya terjadi di sebelah kepala
(unilateral), jika tidak diobati dapat berlangsung selama 4-72 jam. Sakit kepala
migrain dapat menyebabkan mual, muntah, peka terhadap cahaya (photophobia),
suara (phonophobia), dan atau terhadap gerakan. Tidak semua gejala tersebut akan
muncul saat terjadi serangan. Gejala lain yang dapat diidentifikasikan yaitu
prodromal, aura, sakit kepala, berhentinya sakit kepala, dan postdromal (Ikawati,
2018).
2) Sakit kepala ketegangan (tension type headache)
Sakit kepala ketegangan atau nyeri kepala tegang otot merupakan jenis sakit kepala
yang paling banyak ditemui, lebih sering ditemui pada wanita dibandingkan dengan
pria. Nyerinya biasanya ringan sampai sedang, yang bisa terjadi di kedua belah sisi
kepala (bilateral) serta di daerah frontal (dahi) dan temporal (pelipis). Selain itu,
daerah belakang kepala (occipital dan parietal) juga dapat terkena serangan.
Kualitas nyerinya khas, yaitu nyeri tumpul yang menetap atau konstan, menekan,
mengikat, dan tidak berdenyut. Fotofobia atau fonofobia dapat terjadi. Otot
perikranial atau servikal (leher) pada sebagian pasien mungkin sedikit menonjol atau
nyeri saat disentuh. Dapat disertai anoreksia (selera makan hilang atau turun),
cemas, depresi, dan penggunaan analgesik yang berlebihan, yang mana semua ini
dapat memperburuk sakit kepala (Ikawati, 2018).
3) Sakit kepala cluster
Sakit kepala cluster merupakan sakit kepala primer vaskuler yang paling parah,
ditandai dengan nyeri sebelah dengan tanda otonom ipsilateral dan gelisah. Nyeri
kepalanya bersifat periodik, unilateral (satu sisi kepala), dan dalam satu periode
biasanya terjadi antara 15 menit sampai 3 jam, tetapi umumnya sekitar 30-45 menit.
Gejalanya adalah warna kemerahan di wajah secara unilateral (sebelah sisi), keluar
air mata dari mata yang dipengaruhi, hidup berair, tetapi tidak ada gejala mual atau
sensitivitas terhadap cahaya, dan suara (Ikawati, 2018).
C. Patofisiologi Migrain
Migrain diawali oleh adanya suatu pemicu (trigger) yang menyebabkan
terjadinya peristiwa cortical spreading depression (CSD), suatu fenomena elektrokimia
di sekitar korteks yang hyper-excitable. CSD selanjutnya menyebabkan refleks
vasospasme (kontraksi vaskuler) dari berbagai arteri kepala termasuk arteri pensuplai
darah otak. Hal tersebut dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri intraserebral. Jika
pembuluh darah menyempit, maka suplai oksigen menurun sehingga terjadi iskemia
pada bagian otak. Hal ini mengakibatkan munculnya gejala prodormal. Jika aliran darah
serebral menurun cukup banyak sampai level tertentu, maka dapat memicu terjadinya
aura.
Di sisi lain, platelet di pembuluh darah juga teragregasi melepaskan serotonin
yang merupakan vasokonstriktor. Pembuluh darah serebral banyak diinervasi oleh
reseptor 5-HT (serotonin), sehingga pelepasan serotonin juga berkontribusi terhadap
terjadinya vasokonstriksi serebral.
Selanjutnya, sebagai kompensasi dari refleks vasospasme dari berbagai arteri
kepala adalah aktivitas syaraf trigeminal yang merupakan jalur vasodilatasi. Aktivasi
syaraf trigeminal menyebabkan pelepasan senyawa peptida, antara lain prostaglandin
(menyebabkan inflamasi neurogenik) dan neurokinin A. Senyawa-senyawa tersebut
dapat menyebabkan pembuluh darah intrakranial mengalami silatasi/inflamasi
neurogenik. Ketika darah melalui pembuluh darah yang terdilatasi dan terinflamasi
tersebut, syaraf-syaraf disekitarnya mentransmisikan impuls ke cortex otak sehingga
menimbulkan rasa nyeri yang berdenyut-denyut.
Aktivasi syaraf menuju ke hipothalamus menyebabkan gejala fotofobia dan
fonofobia (sensitif terhadap cahaya dan suara). Selain itu, aktivasi syaraf menuju
chemoreceptor trigger zone (CTZ) memicu gejala mual dan muntah.
D. Faktor pemicu
Migrain dapat dipicu oleh berbagai faktor, dan sebaiknya seorang penderita
migrain dapat mengenal dan mengidentifikasi faktor pencetus apa yang menyebabkan
migrainnya kambuh, sehingga dapat menghindari.
Pencetus yang berasal dari lingkungan:
- Cahaya yang menyilaukan atau sangat terang
- Dataran tinggi/ketinggian
- Suara keras/bising
- Bau atau uap yang tajam/menusuk
- Asap rokok
- Perubahan cuaca
Pencetus yang berasal dari perilaku fisiologis
- Tidur berlebihan atau kurang tidur
- Kelelahan
- Menstruasi, menopause
- Tidak makan
- Akitivitas fisik berlebihan (misalnya olahraga berat)
- Stress atau pasca stress
E. Tatalaksana terapi
1. Tujuan terapi
 Mengatasi serangan secara cepat dan konsisten
 Mencegah terulangnya serangan
 Mengembalikan fungsi normal pasien
 Meminimalkan penggunaan obat-obatan
 Menekan sesedikit mungkin efek samping obat
2. Terapi non farmakologi
 Menghindari pemicu
 Melakukan relaksasi, biofeedback, visualisasi, dan tekanan ekstrakranial
 Menempelkan es di kepala
 Beristirahat atau tidur sejanak
 Biasanya di ruangan yang agak gelap dan tenang juga dapat bermanfaat bagi
pasien migrain
3. Terapi farmakologi
1) Analgesik
- Acetaminofen (paracetamol)
Merupakan obat analgesik dan antipiretik yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin di bagian sentral. Parasetamol diserap
dengan baik pada saluran gastrointestinal dan dimetabolisme di hati menjadi
asam glukoronat dan konjugat asam belerang. Selain itu PCT juga
dimetabolisme menjadi metabolit hepatotoksik intermediet oleh enzim
Sitokrom P450. Aktivitas analgesik PCT diperkirakan bereaksi setelah 30
menit setelah dikonsumsi secara oral, durasi kerja PCT sekitar 4 jam.
Parasetamol efektif dalam mengurangi nyeri ringan hingga sedang.
- Salisilat (aspirin, magnesium salisilat and natrium salisilat)
Salisilat adalah agen antiinflamasi yang bekerja dengan menghambat enzim
COX1 dan COX2 pada proses sintesis prostaglandin, sehingga akan
mengurangi sensitivitas reseptor nyeri. Aspirin diserap dalam lambung dan
usus kecil.
2) NSAIDs (ibuprofen dan nafroxen)
NSAIDs meringankan nyeri dengan cara menghambat COX pada bagian
peripheral sehingga menghambat sintesis prostaglandin. Sama halnya dengan
PCT, NSAIDs diserap dengan baik pada saluran GI, dimetabolisme di hati dan
diekskresikan melalui urin. NSAIDs memiliki efek analgesik, antipiretik dan
antiinflamasi, serta memiliki fungsi menurunkan nyeri ringan sampai sedang.
Aktivitas analgesik ibuprofen selama 6-8 jam sedangkan nafroxen selama 12 jam.

F. Pengertian swamedikasi
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin
melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi
obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat bebas, obat bebas
terbatas, dan obat wajib apotek (OWA). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral
kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta obat tenggorokan, obat saluran nafas,
obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit, dan obat anti topikal.
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan yang penting di apotek
sehubungan dengan perkembangan pelayanan farmasi komunitas yang berorientasi
pada asuhan kefarmasian. Pasien mengemukakan keluhan atau gejala penyakit,
apoteker hendaknya mampu menginterpretasikan penyakitnya kemudian memilihkan
alternatif obat atau merujuk ke pelayanan kesehatan lain.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
dan untuk mengatasi masalah kesehatan perlu ditunjang dengan sarana yang dapat
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional. Sarana penunjang
berupa obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri dan edukasi. Apoteker dalam
menjalani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2 serta wajib pula membuat catatan
pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting
tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu
diperhatikan oleh pasien.
Menurut WHO swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat
modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit
dan gejalanya (WHO, 1998). Sedangkan menurut The International Pharmaceutical
Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah
penggunaan obat non resep oleh seseorang atau inisiatif sendiri (FIP, 1999).
G. Alasan melakukan swamedikasi
Selain pengobatan sendiri atau swamedikasi, saat ini juga berkembang perawatan
sendiri (self care). Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan terjadinya penyakit
atau menjaga supaya penyakitnya tidak bertambah parah dengan perubahan pola hidup,
menjaga pola makan, menjaga kebersihan, dan lain-lain.
Menurut WHO, peningkatan kesadaran untuk perawatan sendiri ataupun
pengobatan sendiri (swamedikasi) diakibatkan oleh beberapa faktor berikut ini :
1. Faktor sosial ekonomi
2. Gaya hidup
3. Kemudahan memperoleh produk obat
4. Faktor kesehatan lingkungan
5. Ketersediaan produk baru
H. Peran farmasi/apoteker dalam swamedikasi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi semakin banyak dilakukan masyarakat,
sehingga informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka juga
semakin diperlukan. Berdasarkan hal tersebut maka apoteker mempunyai peranan
penting untuk memberikan informasi yang tepat tentang obat kepasa pasien atau
konsumen.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented
menjadi klien oriented/patient oriented yang berdasarkan pada konsep tanggung jawab
farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam
meningkatkan kualitas hidup klien (ISFI, 2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya
menjual obat tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas,
mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakainya dan harga
yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai dengan informasi yang cukup
memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi.
Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang
berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
mutu, dan kemanfaatan.
KASUS
SAKIT KEPALA

Seorang ibu yang berumur 30 tahun datang ke apotek dengan keluhan nyeri bagian
kepala, diikuti dengan mual, muntah dan sensitive terhadap suara dan cahaya.

Penyelesaian
Penyakit: Migrain
Terapi Framakologi: Obat Paracetamol dan Metoklopramid
Deskripsi obat Paracetamol

Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, demam


Kontra indikasi : Hipersensitif, gangguan hati
Efek samping : Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau urtikaria, kelainan darah,
hipotensi, kerusakan hati
Dosis :
Dewasa: 500 mg – 1000 mg perkali, diberikan tiap 4-6 jam. Maksimum 4 gr per hari.
Anak <12 tahun : 10 mg/kgBB/kali (bila ikterik : 5 mg/kgBB/kali) diberikan tiap 4-6 jam.
Maksimum 4 dosis sehari.
Interaksi obat :
Kolestiramin menurunkan absorpsi paracetamol.
Metoclopramide dan Domperidon meningkatkan efek paracetamol.
Paracetamol meningkatkan kadar warfarin.
Peringatan : Gangguan fungsi hati, ginjal, ketergantungan alkohol.
Sediaan :
Tablet/kaplet 500 mg : Alphamol, Dumin, Erphamol, Farmadol, Fevrin, Kamolas, Nasamol,
Nufadol, Ottopan, Paracetamol generik, Pamol, Panadol, Progesic, Pyrex, Pyridol, Sanmol,
Hufagesic, Pyrexin.
Tablet 600 mg : Alphamol, Sumagesic. Tablet 1000 mg : Alphamol, Dumin, Kamolas.
Syrup 120 mg/5ml : Alphamol, Dumin, Fevrin, Erphamol, Kamolas, Nufadol, Ottopan,
Pyrex, Pyridol, Sanmol, Paracetamol generik, Sanmol.
Sediaan drops 60 mg/0,6ml : Alphamol, Erphamol, Fevrin, Grafadon, Moretic, Naprex,
Sanmol drops, Ottopan drops, Pyrex, Pyridol.
Sediaan rectal tube 125 mg/2,5ml ; 250 mg/4ml : Dumin RT, Pamol Supp.
Sediaan infus 10 mg/ml : Paracetamol generik, Farmadol, Sanmol.

Deskripsi Obat Metoklopramid

Indikasi :
Dewasa: mual dan muntah pada gangguan saluran cerna dan pada pengobatan dengan
sitotoksik atau radioterapi; untuk kontrol muntah karena operasi abdominal dan prosedur
diagnostik.
Kontra indikasi : Obstruksi gastrointestinal, perforasi atau perdarahan; 3-4 hari setelah
operasi gastroinstestinal; feokromositoma; epileptik; gejala ekstrapiramidal dari tipe
parkinson, meyusui.
Efek samping : Efek ekstrapiramidal (terutama pada anak & dewasa muda),
hiperprolaktinemia, tardive dyskinesia pada pemakaian lama, mengantuk, gelisah, diare,
depresi, sindrom neuroleptik maligna, ruam kulit, pruritus, udem; gangguan konduksi jantung
(pemberian IV)
Dosis :
Pemberian secara oral/ injeksi intramuskular/ intravena lebih dari 1-2 menit :
Dosis dewasa : 3 x 10 mg sehari (3 x 5 mg pada dewasa muda berusia 15 -19 tahun dengan
berat di bawah 60 kg)
Anak < 1 tahun (berat sampai 10 kg) 2 x 1 mg sehari
Anak 1-3 tahun (10-14 kg) 2-3 x 1 mg sehari
Anak 3-5 tahun (15-19 kg) 2-3 x 2 mg sehari
Anak 5-9 tahun (20-29 kg) 3 x 2,5 mg sehari
Anak 9-14 tahun (30 kg dan lebih) 3 x 5 mg sehari.
Interaksi obat : Bersifat antagonis terhadap kerja obat-obat golongan antikolinergik dan
analgetik narkotik. Menambah efek sedasi bila diberikan bersama-sama dengan alkohol,
sedatif, hipnotik, narkotik, atau tranquilizers. Meningkatkan absorbsi dari paracetamol,
tetracycline, levodopa, ethanol, cyclosporin, dan menurunkan absorbsi digoksin. Penggunaan
bersamaan MAO inhibitor.
Peringatan : Gangguan hati, gangguan ginjal; lansia, dewasa muda, dan anak (hitung dosis
secara akurat); dapat menutupi penyakit utama seperti iritasi serebral; epilepsi; kehamilan;
porfiria.
Sediaan :
Tablet/ kaplet 10 mg: Clopramel, Damaben, Ethiferan, Lexapram, Metoclopramide OGB
Dexa, Nilatika, Primperan, Vomitrol.
Suspensi 5 mg/ 5 ml : Damaben, Ethiferan, Lexapram.
Sediaan injeksi (ampul) 5 mg/ 5 ml : Clopramel, Damaben, Ethiferan, Metoclopramide OGB
Dexa.
Terapi non farmakologi :
- Menempelkan es di kepala
- Berbaring atau tidur di tempat gelap
- Memijat pelipis atau leher yang tegang dengan menggunakan minyak angin.
Dialog Swamedikasi Sakit Kepala

Pada sore itu di Apotek Ceria Bersama saat apotek tersebut sepi pembeli, ada seorang
ibu yang datang menuju apotek tersebut. Mengetahui kedatangannya, senyum apoteker di
apotek tersebut mengembang seakan menyambut kedatangannya.
Apoteker : “Selamat sore ibu. Perkenalkan saya Tantri Agustia sebagai apoteker di
Apotek Ceria Bersama ini. Ada yang bisa saya bantu?”
Pasien : “Sore mba, begini mba saya mau beli obat sakit kepala, obat sakit kepala
yang ampuh apa ya mba?”
Apoteker : “Maaf bu, boleh saya tau nama, umur, alamat dan nomor telfon ibu?”
Pasien : “Iya, nama saya Yani mba, usia 30 tahun, alamat di Jl. Surakarta, nomor
telfon 085xxxxx.”
Apoteker : “Baik bu. Obat sakit kepalanya untuk siapa bu?”
Pasien : “Untuk diri saya sendiri mba.”
Apoteker : “Oh begitu ya bu. Sakit kepala yang ibu rasakan seperti apa?’
Pasien : “Kepala saya sakit hanya sebelah mba, sakitnya hanya disebelah kiri.”
Apoteker : “Sudah berapa lama ibu merasa sakit kepalanya? Sakitnya sering atau baru
aja bu?”
Pasien : “Baru seharian ini mba, sebelumnya tidak pernah.”
Apoteker : “Apakah sebelumnya sudah pernah diobati?”
Pasien : “Belum mba.”
Apoteker : “Ada keluhan lain tidak bu seperti mual mungkin?”
Pasien : “Iya ada mba. Merasa lebih sensitiv juga sama cahaya dan suara mba.”
Apoteker : “Ibu ada riwayat alergi obat tidak selama ini?”
Pasien : “Alhamdulillah sejauh ini belum ada mba, mudahan tidak ada.”
Apoteker : “Baik sebentar ya bu, saya ambilkan obatnya dulu.”
(beberapa menit kemudian)
Apoteker : “Jadi gini bu, saya menyarankan untuk pakai obat Paracetamol dan obat
Metoklopramid. Sebelumnya saya minta waktunya sebentar untuk
menjelaskan mengenai obat ini, apakah ibu ada waktu?”
Pasien : “Iya ada mba.”
Apoteker : “Jadi Obat Paracetamol ini untuk mengatasi sakit kepala diminum 3 x sehari
1 tablet setelah makan. Dan Obat Metoklopramid untuk mengatasi mual dan
muntah bu diminum 3 x sehari 1 tablet setelah makan.”
Pasien : “Oh gitu ya mba. Untuk efek sampingnya itu gimana mba? Ada atau tidak
ya?”
Apoteker : “Untuk efek samping Obat Paracetamol itu terjadi dalam jangka waktu yang
lama jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dan dosis yang berlebih.
Sedangkan untuk Obat Metoklopramid efek sampingnya berupa mengantuk
dan diare. Sehingga jangan mengendarai kendaraan setelah minum obat ini ya
bu. Untuk terapi tambahan dengan non farmakologi seperti menempelkan es di
kepala, berbaring atau tidur di tempat gelap, dan memijat pelipis atau leher
dengan menggunakan minyak angin. Apakah sudah paham bu?”
Pasien : “Iya sudah mba.”
Apoteker : “Baik, boleh diulangi kembali penjelasan saya tadi bu?”
Pasien : “Obat Paracetamol untuk mengatasi sakit kepala dipakai 3 x sehari 1 tablet
setelah makan. Dan Obat metoklopramid untuk mengatasi mual dan muntah
dipakai 3 x sehari 1 tablet setelah makan. Untuk efek samping Obat
Paracetamol itu terjadi dalam jangka waktu yang lama jika dikonsumsi dalam
waktu yang lama dan dosis yang berlebih. Sedangkan untuk Obat
Metoklopramid efek sampingnya berupa mengantuk dan diare. Sehingga
jangan mengendarai kendaraan setelah minum obat ini. Untuk terapi non
farmakologi dengan menempelkan es di kepala, berbaring atau tidur di tempat
gelap, dan memijat pelipis atau leher dengan menggunakan minyak angin.
Untuk harganya berapa ya mba?”
Apoteker : “Ya, saya kira ibu sudah cukup paham dengan penjelasan saya ini. Untuk
harga Obat Paracetamol Rp 4.000,- dan Obat Metoklopramid Rp 3.000,-.
Apakah ada yang ingin ditanyakan lagi bu?”
Pasien : “Tidak mba, sudah cukup jelas.”
Apoteker : “Baik, silahkan ke kasir ya bu untuk pembayarannya. Terimakasih dan
semoga lekas sembuh. Kalau selama tiga hari belum juga sembuh, silahkan
langsung ke dokter ya bu. Dan jangan lupa istirahat yang cukup.”
Pasien : “Iya mba. Terimakasih.”
(meninggalkan ruangan apoteker dan menuju kasir)
BAB III
KESIMPULAN

1. Swamedikasi adalah pengobatan sendiri yang diberikan oleh apoteker di apotek


dengan obat yang digunakan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek
(OWA).
2. Sakit kepala merupakan penyakit yang dapat dilakukan dengan swamedikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Information Obat Nasional Indonesia. 28. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Ikawati Z dan Dito A. 2018. Tata Laksana Terapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta:
Bursa Ilmu.

Tan HT dan Rahardja

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi Dalam Neurologi, 60, Salemba Medika,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai