DOSEN PENGAMPU:
Vivin Nopiyanti, M.Sc., Apt
KELOMPOK 2 C
Oleh :
Tantri Agustia (2020394418)
A. Latar Belakang
Kesehatan menurut UU nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan didefinisikan
sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan dimaknai sebagai
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan/ atau masyarakat (Anonim, 1992). Swamedikasi menjadi alternatif yang
diambil oleh masyarakat.
Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang dilakukan sendiri. Dalam
penatalakasanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar
tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu
profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug
informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat
termasuk dalam golongan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek relatif
aman digunakan untuk swamedikasi. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan
kegiatan pemilihan dan penggunaan obat baik itu modern, herbal, maupun obat
tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO,
1998).
Pada dasarnya, bila dilakukan secara rasional, swamedikasi memberikan
keuntungan besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan nasional (Depkes,
2008). Beberapa keuntungan swamedikasi adalah memberikan tuntutan dan informasi
yang jelas dan tepat penggunaan obat, dimana obat ini biasanya tersedia di rumah
tangga, selanjutnya bagi masyarakat di daerah terpencil swamedikasi akan menghemat
banyak waktu yang diperlukan untuk ke kota mengunjungi dokter (Tan&Rahardja,
1993).
Salah satu penyakit yang banyak diobati dengan melakukan swamedikasi adalah
sakit kepala (headache). Pada penelitian Worku (2003) dilaporkan bahwa sakit kepala
merupakan penyakit yang paling sering diobati dengan swamedikasi. Sakit kepala
termasuk kelainan yang sering dikeluhkan manusia. Sakit kepala dapat menyebabkan
seseorang tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja dan mengakibatkan keterbatasan
aktivitas keseharian. Bahkan pada suatu keadaan mungkin bisa mengancam kehidupan
(Yatim, 2004).
Sakit kepala dapat diobati dengan swamedikasi karena kecenderungan diderita
banyak orang dan terkadang tidak perlu intervensi medis yang besar untuk dapat
mengobatinya. Bahkan kebanyakan penderita migrain dan sakit kepala tipe tegang tidak
melakukan perawatan kesehatan terhadap sakit kepala yang diderita (King dan
Herndon, 2005). Penelitian Worku (2003) menyebutkan 60% penderita sakit kepala
melakukan swamedikasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa sakit kepala tidak
selalu ringan, karena sejatinya ada beberapa jenis sakit kepala dengan tingkat yang
berbeda-beda.
Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, apoteker
mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat, dan
petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat
melakukannya secara bertanggung jawab. Apoteker harus menekankan kepada pasien,
bahwa walaupun dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas,
obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek
samping yang tidak diinginkan jika dipergunakan secara tidak semestinya.
B. Tujuan
Mampu memahami keluhan pasien, membantu memilihkan obat, dan
memberikan informasi yang diperlukan pasien dalam swamedikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
F. Pengertian swamedikasi
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin
melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi
obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat bebas, obat bebas
terbatas, dan obat wajib apotek (OWA). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral
kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta obat tenggorokan, obat saluran nafas,
obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit, dan obat anti topikal.
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan yang penting di apotek
sehubungan dengan perkembangan pelayanan farmasi komunitas yang berorientasi
pada asuhan kefarmasian. Pasien mengemukakan keluhan atau gejala penyakit,
apoteker hendaknya mampu menginterpretasikan penyakitnya kemudian memilihkan
alternatif obat atau merujuk ke pelayanan kesehatan lain.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
dan untuk mengatasi masalah kesehatan perlu ditunjang dengan sarana yang dapat
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional. Sarana penunjang
berupa obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri dan edukasi. Apoteker dalam
menjalani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2 serta wajib pula membuat catatan
pasien serta obat yang diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting
tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu
diperhatikan oleh pasien.
Menurut WHO swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat
modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit
dan gejalanya (WHO, 1998). Sedangkan menurut The International Pharmaceutical
Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah
penggunaan obat non resep oleh seseorang atau inisiatif sendiri (FIP, 1999).
G. Alasan melakukan swamedikasi
Selain pengobatan sendiri atau swamedikasi, saat ini juga berkembang perawatan
sendiri (self care). Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan terjadinya penyakit
atau menjaga supaya penyakitnya tidak bertambah parah dengan perubahan pola hidup,
menjaga pola makan, menjaga kebersihan, dan lain-lain.
Menurut WHO, peningkatan kesadaran untuk perawatan sendiri ataupun
pengobatan sendiri (swamedikasi) diakibatkan oleh beberapa faktor berikut ini :
1. Faktor sosial ekonomi
2. Gaya hidup
3. Kemudahan memperoleh produk obat
4. Faktor kesehatan lingkungan
5. Ketersediaan produk baru
H. Peran farmasi/apoteker dalam swamedikasi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi semakin banyak dilakukan masyarakat,
sehingga informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka juga
semakin diperlukan. Berdasarkan hal tersebut maka apoteker mempunyai peranan
penting untuk memberikan informasi yang tepat tentang obat kepasa pasien atau
konsumen.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented
menjadi klien oriented/patient oriented yang berdasarkan pada konsep tanggung jawab
farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam
meningkatkan kualitas hidup klien (ISFI, 2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya
menjual obat tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas,
mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakainya dan harga
yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai dengan informasi yang cukup
memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi.
Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang
berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
mutu, dan kemanfaatan.
KASUS
SAKIT KEPALA
Seorang ibu yang berumur 30 tahun datang ke apotek dengan keluhan nyeri bagian
kepala, diikuti dengan mual, muntah dan sensitive terhadap suara dan cahaya.
Penyelesaian
Penyakit: Migrain
Terapi Framakologi: Obat Paracetamol dan Metoklopramid
Deskripsi obat Paracetamol
Indikasi :
Dewasa: mual dan muntah pada gangguan saluran cerna dan pada pengobatan dengan
sitotoksik atau radioterapi; untuk kontrol muntah karena operasi abdominal dan prosedur
diagnostik.
Kontra indikasi : Obstruksi gastrointestinal, perforasi atau perdarahan; 3-4 hari setelah
operasi gastroinstestinal; feokromositoma; epileptik; gejala ekstrapiramidal dari tipe
parkinson, meyusui.
Efek samping : Efek ekstrapiramidal (terutama pada anak & dewasa muda),
hiperprolaktinemia, tardive dyskinesia pada pemakaian lama, mengantuk, gelisah, diare,
depresi, sindrom neuroleptik maligna, ruam kulit, pruritus, udem; gangguan konduksi jantung
(pemberian IV)
Dosis :
Pemberian secara oral/ injeksi intramuskular/ intravena lebih dari 1-2 menit :
Dosis dewasa : 3 x 10 mg sehari (3 x 5 mg pada dewasa muda berusia 15 -19 tahun dengan
berat di bawah 60 kg)
Anak < 1 tahun (berat sampai 10 kg) 2 x 1 mg sehari
Anak 1-3 tahun (10-14 kg) 2-3 x 1 mg sehari
Anak 3-5 tahun (15-19 kg) 2-3 x 2 mg sehari
Anak 5-9 tahun (20-29 kg) 3 x 2,5 mg sehari
Anak 9-14 tahun (30 kg dan lebih) 3 x 5 mg sehari.
Interaksi obat : Bersifat antagonis terhadap kerja obat-obat golongan antikolinergik dan
analgetik narkotik. Menambah efek sedasi bila diberikan bersama-sama dengan alkohol,
sedatif, hipnotik, narkotik, atau tranquilizers. Meningkatkan absorbsi dari paracetamol,
tetracycline, levodopa, ethanol, cyclosporin, dan menurunkan absorbsi digoksin. Penggunaan
bersamaan MAO inhibitor.
Peringatan : Gangguan hati, gangguan ginjal; lansia, dewasa muda, dan anak (hitung dosis
secara akurat); dapat menutupi penyakit utama seperti iritasi serebral; epilepsi; kehamilan;
porfiria.
Sediaan :
Tablet/ kaplet 10 mg: Clopramel, Damaben, Ethiferan, Lexapram, Metoclopramide OGB
Dexa, Nilatika, Primperan, Vomitrol.
Suspensi 5 mg/ 5 ml : Damaben, Ethiferan, Lexapram.
Sediaan injeksi (ampul) 5 mg/ 5 ml : Clopramel, Damaben, Ethiferan, Metoclopramide OGB
Dexa.
Terapi non farmakologi :
- Menempelkan es di kepala
- Berbaring atau tidur di tempat gelap
- Memijat pelipis atau leher yang tegang dengan menggunakan minyak angin.
Dialog Swamedikasi Sakit Kepala
Pada sore itu di Apotek Ceria Bersama saat apotek tersebut sepi pembeli, ada seorang
ibu yang datang menuju apotek tersebut. Mengetahui kedatangannya, senyum apoteker di
apotek tersebut mengembang seakan menyambut kedatangannya.
Apoteker : “Selamat sore ibu. Perkenalkan saya Tantri Agustia sebagai apoteker di
Apotek Ceria Bersama ini. Ada yang bisa saya bantu?”
Pasien : “Sore mba, begini mba saya mau beli obat sakit kepala, obat sakit kepala
yang ampuh apa ya mba?”
Apoteker : “Maaf bu, boleh saya tau nama, umur, alamat dan nomor telfon ibu?”
Pasien : “Iya, nama saya Yani mba, usia 30 tahun, alamat di Jl. Surakarta, nomor
telfon 085xxxxx.”
Apoteker : “Baik bu. Obat sakit kepalanya untuk siapa bu?”
Pasien : “Untuk diri saya sendiri mba.”
Apoteker : “Oh begitu ya bu. Sakit kepala yang ibu rasakan seperti apa?’
Pasien : “Kepala saya sakit hanya sebelah mba, sakitnya hanya disebelah kiri.”
Apoteker : “Sudah berapa lama ibu merasa sakit kepalanya? Sakitnya sering atau baru
aja bu?”
Pasien : “Baru seharian ini mba, sebelumnya tidak pernah.”
Apoteker : “Apakah sebelumnya sudah pernah diobati?”
Pasien : “Belum mba.”
Apoteker : “Ada keluhan lain tidak bu seperti mual mungkin?”
Pasien : “Iya ada mba. Merasa lebih sensitiv juga sama cahaya dan suara mba.”
Apoteker : “Ibu ada riwayat alergi obat tidak selama ini?”
Pasien : “Alhamdulillah sejauh ini belum ada mba, mudahan tidak ada.”
Apoteker : “Baik sebentar ya bu, saya ambilkan obatnya dulu.”
(beberapa menit kemudian)
Apoteker : “Jadi gini bu, saya menyarankan untuk pakai obat Paracetamol dan obat
Metoklopramid. Sebelumnya saya minta waktunya sebentar untuk
menjelaskan mengenai obat ini, apakah ibu ada waktu?”
Pasien : “Iya ada mba.”
Apoteker : “Jadi Obat Paracetamol ini untuk mengatasi sakit kepala diminum 3 x sehari
1 tablet setelah makan. Dan Obat Metoklopramid untuk mengatasi mual dan
muntah bu diminum 3 x sehari 1 tablet setelah makan.”
Pasien : “Oh gitu ya mba. Untuk efek sampingnya itu gimana mba? Ada atau tidak
ya?”
Apoteker : “Untuk efek samping Obat Paracetamol itu terjadi dalam jangka waktu yang
lama jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dan dosis yang berlebih.
Sedangkan untuk Obat Metoklopramid efek sampingnya berupa mengantuk
dan diare. Sehingga jangan mengendarai kendaraan setelah minum obat ini ya
bu. Untuk terapi tambahan dengan non farmakologi seperti menempelkan es di
kepala, berbaring atau tidur di tempat gelap, dan memijat pelipis atau leher
dengan menggunakan minyak angin. Apakah sudah paham bu?”
Pasien : “Iya sudah mba.”
Apoteker : “Baik, boleh diulangi kembali penjelasan saya tadi bu?”
Pasien : “Obat Paracetamol untuk mengatasi sakit kepala dipakai 3 x sehari 1 tablet
setelah makan. Dan Obat metoklopramid untuk mengatasi mual dan muntah
dipakai 3 x sehari 1 tablet setelah makan. Untuk efek samping Obat
Paracetamol itu terjadi dalam jangka waktu yang lama jika dikonsumsi dalam
waktu yang lama dan dosis yang berlebih. Sedangkan untuk Obat
Metoklopramid efek sampingnya berupa mengantuk dan diare. Sehingga
jangan mengendarai kendaraan setelah minum obat ini. Untuk terapi non
farmakologi dengan menempelkan es di kepala, berbaring atau tidur di tempat
gelap, dan memijat pelipis atau leher dengan menggunakan minyak angin.
Untuk harganya berapa ya mba?”
Apoteker : “Ya, saya kira ibu sudah cukup paham dengan penjelasan saya ini. Untuk
harga Obat Paracetamol Rp 4.000,- dan Obat Metoklopramid Rp 3.000,-.
Apakah ada yang ingin ditanyakan lagi bu?”
Pasien : “Tidak mba, sudah cukup jelas.”
Apoteker : “Baik, silahkan ke kasir ya bu untuk pembayarannya. Terimakasih dan
semoga lekas sembuh. Kalau selama tiga hari belum juga sembuh, silahkan
langsung ke dokter ya bu. Dan jangan lupa istirahat yang cukup.”
Pasien : “Iya mba. Terimakasih.”
(meninggalkan ruangan apoteker dan menuju kasir)
BAB III
KESIMPULAN
Anonim. 2000. Information Obat Nasional Indonesia. 28. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Ikawati Z dan Dito A. 2018. Tata Laksana Terapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta:
Bursa Ilmu.
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi Dalam Neurologi, 60, Salemba Medika,
Jakarta.