Anda di halaman 1dari 66

1

1. Ptosis

Definisi

Kelopak mata yang disebut juga palpebra merupakan lipatan kulit yang
terdapat dua buah untuk tiap mata. Ia dapat digerakkan untuk menutup mata,
dengan ini melindungi bola mata terhadap trauma dari luar yang bersifat fisik atau
kimiawi serta membantu membasahi kornea dengan air mata pada saat berkedip.
Dalam keadaan terbuka, kelopak mata memberi jalan masuk sinar ke dalam bola
mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Membuka dan menutupnya kelopak
mata dilaksanakan oleh otot-otot tertentu dengan persarafannya masing-masing.
Ptosis adalah istilah medis untuk suatu keadaan dimana kelopak mata atas
(palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat
terjadi unilateral atau bilateral.2,3,4,5 Posisi normal palpebra superior adalah 2 mm
dari tepi limbus atas dan palpebra inferior  berada tepat pada tepi limbus bawah. 6
Kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga penderita
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau
meng-hiperekstensikan kepalanya. Bila ptosis menutupi pupil secara keseluruhan
maka keadaan ini akan mengakibatkan ambliopia. Pada ptosis kongenital, selain
menyebabkan ambliopia, juga dapat menimbulkan strabismus.5

Anatomi dan histologi


                Secara garis besar palpebra superior terbagi menjadi 2 lapisan, yaitu
lapisan anterior (kulit dan otot orbikularis) dan lapisan posterior (tarsus,
aponeurotik levator, otot muller dan konjungtiva).
2

1. Kulit
Palpebra memiliki kulit yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak
subkutan. Kulit disini sangat halus dan mempunyai rambut vellus halus dengan
kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar keringat.8

Gambar 1. Potongan sagital mata

2. Otot orbikularis
Otot skelet yang berfungsi untuk menutup mata. Otot ini terdiri dari
lempeng yang tipis yang serat-seratnya berjalan konsentris. Otot ini dipersarafi
oleh nervus fasialis yang kontraksinya menyebabkan gerakan mengedip,
disamping itu otot ini juga dipersarafi oleh saraf somatik eferen yang tidak
dibawah kesadaran.8
3. Tarsus
Jaringan ikat fibrous ± 25 mm, merupakan rangka dari palpebra.
Didalamnya terdapat kelenjar meibom yang membentuk “oily layer” dari air
mata.8
4. Septum Orbita
3

Terletak di bawah otot orbikularis post septalis pada kelopak mata atas dan
bawah. Septum orbita ini adalah jaringan ikat yang tipis, merupakan perluasan
dari rima orbita.8
5. Otot levator dan aponeurotik levator palpebra
Merupakan “major refractor”  untuk kelopak mata atas. M. levator palpebra,
yang berorigo pada anulis foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan
sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. M.
levator palpebra dipersarafi oleh nervus okulomotoris, yang berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata.7

Gambar 2. Potongan sagital palpebra superior9


Etiologi
                Secara garis besar ptosis dapat dibedakan atas 2, yaitu :
1. Ptosis yang didapatkan (aquired); pada umumnya disebabkan oleh :

a. Faktor mekanik
Akibat berat yang abnormal dari palpebra dapat menyulitkan otot
levator palpebra mengangkat palpebra. Hal ini dapat disebabkan oleh
4

inflamasi akut atau kronik berupa edema, tumor atau materi lemak yang
keras, misalnya xanthelasma.

b. Faktor miogenik
Ptosis pada satu atau kedua kelopak mata sering merupakan tanda
awal myasthenia gravis dan kejadiannya diatas 95% dari kasus yang ada.
.

c. Faktor neurogenik (paralitik)


Terdapat intervensi pada jalur bagian saraf cranial III yang
mempersarafi otot levator pada tingkat manapun dari inti okulomotor ke
myoneural junction. Ptosis didapat (acquired) biasanya terjadi unilateral.

d. Faktor trauma
Trauma tumpul maupun tajam pada aponeurosis levator maupun
otot levator sendiri juga menyebabkan ptosis.  Pada pemeriksaan
histologik, defek terjadi karena adanya kombinasi faktor miogenik,
aponeurotik dan sikatriks.  Perbaikan terkadang terjadi dalam 6 bulan atau
lebih, jika tidak ada perbaikan maka tindakan pembedahan dapat menjadi
alternatif.

2. Ptosis kongenital; akibat kegagalan perkembangan m.levator palpebra. Dapat


terjadi sendiri maupun bersama dengan kelainan otot rektus superior (paling
sering) atau kelumpuhan otot mata eksternal menyeluruh (jarang).  Hal ini bersifat
herediter.4

Insidens
                Sampai saat ini insidens ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis
kongenital dapat mengenai seluruh ras, angka kejadian ptosis sama antara pria dan
wanita. Ptosis kongenital biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun
pertama kelahiran.3
5

Klasifikasi
Berdasarkan kejadiannya, ptosis dibagi atas :12
A.    Kongenital
1. Unilateral : kegagalan perkembangan – innervasi abnormal otot levator
palpebra.Bila cukup berat dapat menyebabkan ambliopia dan harus segera
ditangani dengan pembedahan. Dapat menyertai Marcus Gunn syndrome
(kelainan nervus III dan nervus V), dimana kontraksi m.levator palpebra
terjadi bila rahang membuka ke samping pada sisi yang berlawanan.
2. Bilateral : infantile myastenia gravis atau anak dari ibu yang menderita MG.
3. Ptosis yang menyertai Sturge Weber, von Recklinghausen syndrome dan
alkohol fetal syndrome.

B. Didapat (acquired)
1. Terkait dengan penyakit muskular, kelainan neurologis, faktor mekanik. Pada
beberapa kasus memerlukan penanganan secepatnya.
2. Myastenia Gravis
3. Botulinism
4. Paralysis n. III akibat trauma, tumor, degenerative CNS disease, lesi vaskular.
5. Distrofi miotonik.
6. Tumor, trauma, jaringan sikatrik pada palpebra.
7. Horner syndrom (ptosis, miosis dan dishidrosis ipsilateral).

            Pada kepustakaan lain juga dibahas mengenai pseudoptosis dimana


palpebra superior jatuh tanpa adanya insufisiensi retraksi otot levator palpebra.
Pseudoptosis dapat terlihat pada kelainan seperti hordeolum, kalazion, tumor
palpebra, atau blefarokalasis yang mengakibatkan kelopak mata sukar diangkat.
Pengobatan yang diberikan pada pseudoptosis adalah dengan mengobati dan
menghilangkan penyebab pseudoptosis tersebut.
Berdasarkan jarak jatuhnya palpebra superior, ptosis diklasifikasikan atas
3 derajat :
Amount Ptosis Classification
6

less than or equal to 2mm Mild


3mm Moderate
greater than or equal to Severe
4mm

Gambaran Klinik
            Pasien ptosis sering datang dengan keluhan utama jatuhnya kelopak mata
atas dengan atau tanpa riwayat trauma lahir, paralisis n. III, horner syndrom
ataupun penyakit sistemik lainnya. Keluhan tersebut biasanya disertai dengan
ambliopia sekunder.
                 
Pada orang dewasa akan disertai dengan berkurangnya lapang pandang
karena mata bagian atas tertutup oleh palpebra superior. Pada kasus lain, beberapa
orang (utamanya pada anak-anak) keadaan ini akan dikompensasi dengan cara
memiringkan kepalanya ke belakang (hiperekstensi) sebagai usaha untuk dapat
melihat dibalik palpebra superior yang menghalangi pandangannya. Biasanya
penderita juga mengatasinya dengan menaikkan alis mata (mengerutkan dahi). Ini
biasanya terjadi pada ptosis bilateral. Jika satu pupil tertutup seluruhnya, dapat
terjadi ambliopia.
            Ptosis yang disebabkan distrofi otot berlangsung secara perlahan-lahan
tapi progresif yang akhirnya menjadi komplit.15
           

Gambar 3. Jatuhnya kelopak mata atas adalah keluhan utama pasien ptosis

            Ptosis pada myasthenia gravis onsetnya perlahan-lahan, timbulnya khas


yaitu pada malam hari disertai kelelahan, dan bertambah berat sepanjang malam.
7

Kemudian menjadi permanen. Ptosis bilateral pada orang muda merupakan tanda
awal myasthenia gravis.
            Pada ptosis kongenital seringkali gejala muncul sejak penderita lahir,
namun kadang pula manifestasi klinik ptosis baru muncul pada tahun pertama
kehidupan. Kebanyakan kasus ptosis kongenital diakibatkan oleh suatu disgenesis
miogenic lokal. Bila dibandingkan dengan otot yang normal, terdapat serat dan
jaringan adipose di dalam otot, sehingga akan mengurangi kemampuan otot
levator untuk berkontraksi dan relaksasi. Kondisi ini disebut sebagai miogenic
ptosis kongenital.
                 
Pada kepustakaan lain digambarkan juga perbedaan klinik antara congenital
myogenic and neurogenic ptosis dan congenital aponeurotic ptosis.

congenital myogenic
congenital aponeurotic
Gejala and
ptosis.
neurogenic ptosis
Jarak fissure Ringan sampai berat Ringan sampai berat
palpebra

Lipatan kelopak Lemah atau tidak Lebih tinggi dari posisi


mata atas terdapat lipatan pada normal
posisi normal

Fungsi levator Berkurang Normal

Pandangan atas- Kelopak mata Kelopak mata jatuh


bawah mengikuti arah
pandangan

Cara Pemeriksaan
            Pemeriksaan fisis pada pasien ptosis dimulai dengan empat pemeriksaan
klinik :
8

a. Palpebra Fissure Height


b. Margin-reflex distance
c. Upper lid crease
d. Levator function
e. Bells Phenomenon
                              
                 

Palpebra Fissure Height


9,5 7,5
Margin-Reflex Distance  +4 +2
Upper Lid Crease   8 11
Levator Function  15 14

1.     Palpebra Fissure Height


            Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah dan
kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan primer.
            Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa biasanya
10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm dari limbus). Jika ptosis
unilateral, pemeriksa harus membedakan dengan artifak strabismus vertikal
(hipotropia) atau retraksi kelopak mata kontralateral. Kelopak mata harus dieversi
untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis papilar
raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila kelopak mata atas mengalami
retraksi – dokter harus secara manual mengangkat kelopak yang ptosis untuk
melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata lain.
2.     Margin-Reflex Distance
        Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya kornea
pada posisi primer, normalnya ± 4 mm. Refleks cahaya dapat terhalang pada
9

kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya nol atau negatif. Bila pasien
mengeluh terganggu pada saat membaca maka jarak refleks-tepi juga harus
diperiksa.
3.     Upper Lid Crease
        Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan kelopak
atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital.
4.     Levator Function
        Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur penyimpangan
total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan ke atas, sambil menekan
dengan kuat pada alis mata pasien untuk mencegah kerja otot frontalis.
Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak
refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas
diukur. 17
6.       Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup/memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa
membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells
Phenomenon (+).
        Jarak penyimpangan fungsi kelopak mata :17

 Baik : lebih dari 8 mm


 Sedang : 5-8 mm
 Buruk : kurang dari 5 mm

Photograph with this patient looking down, a ruler is used to measure the motion
of the eyelid with the forehead muscles blocked.
10

Photograph with the patient looking up with the thumb blocking the frontalis
forehead muscle's contribution to the eyelid.
Gmbar 4. Cara pengukuran fungsi otot levator13

Pada pasien ptosis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium.


Namun untuk mengetahui adanya kelainan sistemik yang dapat mengakibatkan
keadaan tersebut kiranya dapat dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan MRI
dan CT-scan kepala dan mata dibutuhkan misalnya bila untuk melihat adanya
massa tumor yang menyebabkan terjadinya ptosis, dan pada pasien yang
ditemukan adanya kelainan neurologik lainnya misalnya pada pupil yang
abnormal. 3,14

Diagnosis
Diagnosis ptosis tidak sulit untuk ditegakkan. Berdasarkan pada anamnesa
dan pemeriksaan yang tepat maka selain diagnosis, juga dapat diketahui causa dari
ptosis dan derajat beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan
penanganan yang tepat.

Penatalaksanaan                                
Apabila ptosisnya ringan, tidak didapati kelainan kosmetik dan tidak
terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus dan defek lapang pandang,
lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi.1,3
Penanganan ptosis pada umumnya adalah pembedahan. Pada anak-anak
dengan ptosis tidak memerlukan pembedahan secepatnya namun perlu tetap
diobservasi secara periodik untuk mencegah terjadinya ambliopia. Bila telah
terjadinya ambliopia, pembedahan dapat direncanakan secepatnya. Namun jika
11

hanya untuk memperbaiki kosmetik akibat ptosis pada anak, maka pembedahan
dapat ditunda hingga anak berumur 3-4 tahun.
Indikasi pembedahan
1. Fungsional
Gangguan axis penglihatan. Ambliopia dan stabismus dapat menyertai ptosis pada
anak-anak.
2. Kosmetik
Tujuan operasi adalah simetris, dan simetris dalam semua posisi pandangan hanya
mungkin jika fungsi levator tidak terganggu.
Kontra Indikasi pembedahan
a. Kelainan permukaan kornea
b. Bells Phenomenon negatif
c. Paralisa nervus okulomotoris
d. Myasthenia gravis

Prinsip-Prinsip Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan cukup dengan
anestesi lokal. Pada ptosis ringan, jaringan kelopak mata yang dibuang jumlahnya
sedikit. Prinsip dasar pembedahan ptosis yaitu memendekkan otot levator
palpebra atau menghubungkan kelopak mata atas dengan otot alis mata. Koreksi
ptosis pada umumnya dilaksanakan hanya setelah ditemukan penyebab dari
kondisi tersebut. Dan perlu diingat bahwa pembedahan memiliki banyak resiko
dan perlu untuk didiskusikan sebelumnya dengan ahli bedah yang akan
menangani pasien tersebut.

Beberapa Pembedahan Ptosis


Reseksi levator eksternal
Reseksi levator eksternal diindikasikan pada kasus ptosis moderat sampai berat
dengan fungsi kelopak yang buruk. Ptosis kongenital termasuk kategori tersebut.
Pedoman yang dianjurkan Beard :
12

1.       Ptosis kongenital ringan (1,5-2 mm) dengan fungsi levator yang masih baik (8
mm atau lebih) : reseksi 10 – 13 mm.
2.       Ptosis kongenital sedang (3 mm) :
-         fungsi levator baik (8 mm atau lebih) : dipotong 14 – 17 mm;
-         fungsi yang kurang (5-7 mm) : direseksi 13 – 22 mm
-         fungsi yang buruk (0-4 mm): reseksi 22 mm atau lebih.
3.  Ptosis kongenital berat (4 mm atau lebih) dengan fungsi yang kurang sampai buruk
:   reseksi 22 mm atau lebih atau lakukan sling frontalis
 Advancement of the levator aponeurosis atau Tucking19
Prosedur ini biasanya diindikasikan pada ptosis di dapat (acquired). Juga dapat
dilakukan pada ptosis kongenital.

Sebelum Pembedahan

Setelah Pembedahan

Gambar 5. Keadaan seorang pasien sebelum dan sesudah tindakan pembedahan20

Frontalis sling
Pada kasus ptosis berat dengan fungsi palpebra 1-2 mm, frontalis sling merupakan
pendekatan yang paling baik.

Prosedur Fasenella – Servat


13

Operasi ini diindikasikan jika fungsi levator baik (10 mm) dan ptosis ringan (1-2
mm).
Kebanyakan operasi ptosis berupa reseksi aponeurosis levator atau otot-
otot tarsus superior (atau keduanya). Banyak cara, dari kulit maupun dari
konjungtiva, kini dipakai. Pada tahun-tahun terakhir ini, titik berat diletakkan
pada keuntungan  membatasi operasi pada perbaikan dan reseksi aponeurosis
levator, terutama pada ptosis yang didapat.6
Pasien dengan sedikit atau tanpa fungsi levator memerlukan sumber
pengangkatan alternatif. Menggantungkan palpebra pada kening (alis)
memungkinkan pasien mengangkat palpebra dengan bantuan gerak alami
muskulus frontalis. Fascia lata autogen biasanya dianggap sebagai alat terbaik
untuk menggantung.6

Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat ptosisnya dan etiologinya.3

 Ptosis kongenital tipe mild dan moderate dapat mengalami perbaikan


seiring dengan waktu tanpa komplikasi yang berat.
 Ptosis yang menyebabkan ambliopia membutuhkan terapi “Patching”
 Ptosis kongenital yang menyebabkan hambatan penglihatan sebaiknya
segera ditangani dengan pembedahan

2. Katarak

Definisi Katarak
      Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa
mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi karena faktor
usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut.
Katarak juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi atau penyakit lainnya.
Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu
usia diatas 50 tahun (Ilyas, 2005).
14

Lensa Mata Keruh

Etiologi dan Patofisiologi


            Penyebab terjadinya katarak senilis hingga saat ini belum diketahui secara
pasti. Terdapat beberapa teori konsep penuaan menurut Ilyas (2005) sebagai
berikut:
1. Teori putaran biologik (“A biologic clock”).
2. Jaringan embrio manusia dapat membelah diri 50 kali → mati.
3. Imunologis; dengan bertambah usia akan bertambah cacat imunologik yang
mengakibatkan kerusakan sel.
4. Teori mutasi spontan.
5. Terori ”A free radical”
a. Free radical terbentuk bila terjadi reaksi intermediate reaktif kuat.
b. Free radical dengan molekul normal mengakibatkan degenerasi.
c. Free radical dapat dinetralisasi oleh antioksidan dan vitamin E. Teori “A
Cross-link”.
Ahli biokimia mengatakan terjadi pengikatan bersilang asam nukleat dan molekul
protein sehingga mengganggu fungsi.

Perubahan lensa pada usia lanjut menurut Ilyas (2005):


1. Kapsul
15

- Menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak)


- Mulai presbiopia
- Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
- Terlihat bahan granular
2. Epitel → makin tipis
- Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat
- Bengakak dan fakuolisasi mitokondria yang nyata
3. Serat lensa:
- Lebih iregular
- Pada korteks jelas kerusakan serat sel
- Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama kelamaan merubah protein
nukleus (histidin, triptofan, metionin, sistein dan tirosin) lensa, sedang warna
coklet protein lensa nukleus mengandung histidin dan triptofan dibanding normal.
- Korteks tidak berwarna karena:
· Kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi fotooksidasi.
· Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda.
Kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat usia lanjut biasanya mulai
terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.
Manifestasi Klinis
Gejala katarak senilis biasanya berupa keluhan penurunan tajam penglihatan
secara progresif (seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Penglihatan
seakan-akan melihat asap/kabut dan pupil mata tampak berwarna keputihan.
Apabila katarak telah mencapai stadium matur lensa akan keruh secara
menyeluruh sehingga pupil akan benar-benar tampak putih. Gejala umum
gangguan katarak menurut GOI (2009) dan Medicastore (2009) meliputi:
1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
2. Peka terhadap sinar atau cahaya.
3. Dapat terjadi penglihatan ganda pada satu mata.
4. Memerlukan pencahayaan yang baik untuk dapat membaca.
5. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
16

Gejala Katarak

Klasifikasi Katarak Senil


Katarak senilis secara klinik dikenal dalam empat stadium yaitu insipien,
intumesen, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2005).
INSIPIEN IMMATUR MATUR HIPER
MATUR
Kekeruhan Ringan Sebagian Penuh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Termulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopods
Penyulit - glaukoma - Uveitis dan
glaukoma

1. Katarak Insipien
Pada katarak stadium insipien terjadi kekeruhan mulai dari tepi ekuator menuju
korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam
korteks. Pada katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior
17

subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degeneratif (benda Morgagni) pada katarak isnipien (Ilyas, 2005).
Kekeruhan ini dapat menimbulkan polipia oleh karena indeks refraksi yang tidak
sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu
yang lama.
2. Katarak Intumesen.
Pada katarak intumesen terjadi kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa
akibat lensa yang degeneratif menyerap air.
Masuknya air ke dalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan
besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding
dengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit
glaukoma.
Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan
mengakibatkan mipopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks
hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang
memberikan miopisasi.
Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak
lamel serat lensa.
3. Katarak Imatur
Pada katarak senilis stadium imatur sebagian lensa keruh atau katarak yang belum
mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume
lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif.
Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil,
sehingga terjadi glaukoma sekunder (Ilyas, 2005).
4. Katarak Matur
Pada katarak senilis stadium matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak
imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga
lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa
yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akan
18

berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa
yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif (Ilyas, 2005).
5. Katarak Hipermatur
Pada katarak stadium hipermatur terjadi proses degenerasi lanjut, dapat menjadi
keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi kelur dari kapsul
lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada
pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang
pengkerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi
kendor.
Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks
yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan
memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus yang
terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut sebagai
katarak Morgagni (Ilyas, 2005).
Selain klasifikasi di atas terdapat pengelompokan katarak lain yaitu:
1.      Katarak komplikata (katarak yang terbentuk sebagai efek langsung penyakit
intraokular seperti uveitis posterior parah, glaukoma, retinitis pigmentosa, dan
pelepasan lensa)
2.      Katarak traumatik (katarak yang paling sering disebabkan oleh cedera benda
asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata)
3.      Katarak akibat penyakit sistemik (diabetes mellitus, hipotiroidisme, distrofi
miotonik, dermatitis atopik, galaktosemia, dan sindrom Lowe, Werner, dan
Down)
4.      Katarak toksik (akibat substansi toksik yang mengenai mata baik sistemik
maupun lokal, misalnya kortikosteroid yang digunakan dalam waktu lama)
5.      Katarak-ikutan/sekunder (akibat katarak traumatik yang terserap sebagian
atau setelah terjadinya ekstraksi katarak ekstrakapsular)

Diagnosis
Diagnosis katarak senilis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya
19

penyakit-penyakit yang menyertai (contoh: diabetes melitus, hipertensi, cardiac


anomalies). Penyakit seperti diabetes militus dapat menyebabkan perdarahan
perioperatif sehingga perlu dideteksi secara dini sehingga bisa dikontrol sebelum
operasi (Ocampo, 2009).
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui
kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subkapsuler posterior
dapat membaik dengan dilatasi pupil.
Pada pemeriksaan slit lamp biasanya dijumpai keadaan palpebra, konjungtiva, dan
kornea dalam keadaan normal. Iris, pupil, dan COA terlihat normal. Pada lensa
pasien katarak, didapatkan lensa keruh. Lalu, dilakukan pemeriksaan shadow test
untuk menentukan stadium pada penyakit katarak senilis. Ada juga pemeriksaan-
pemeriksaan lainnya seperti biomikroskopi, stereoscopic fundus examination,
pemeriksaan lapang pandang dan pengukuran TIO.

Tujuan terapi medikamentosa antara lain:


1.      Untuk memperlambat kecepatan progresifitas kekeruhan (mencegah rusaknya
protein dan lemak penyusun lensa, misalnya dengan menstabilkan molekul protein
dari denaturasi) sehingga pasien dapat lebih lama menikmati tajam penglihatan
sebelum proses opasitas memburuk. Contoh: obat iodine yang memiliki efek
antioksidan seperti potassium iodine, natrium iodine, dll 
2.      Untuk menjaga kondisi elemen mata misalnya pembuluh darah dan
persyarafan mata. Contoh:
-          suplemen vitamin A (berfungsi penting dalam penjagaan kondisi retina),
contoh: vitamin A 6000 IU, beta carotene (pro-vitamin A) 12.000 IU,
suplemen vitamin B (berfungsi penting dalam penjagaan kondisi syaraf), contoh -
- vitamin B-2 (riboflavin) 20 mg, vitamin B-6 (pyridoxine hydrochloride) 11 mg, -
- vitamin B complex, dll
- Vitamin C (berfungsi penting dalam penjagaan kondisi pembuluh darah), contoh
ascorbic acid 600 mg
- Vitamin E.
3.      Untuk menjaga kondisi imunitas tubuh, contoh: suplemen vitamin.
20

Pembedahan Katarak (James et. al., 2006)


Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian
lensa dengan implan plastik. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan
dengan anestesi lokal daripada anestesi umum. Anestesi lokal diinfiltrasikan di
sekitar bola mata dan kelopak mata atau diberikan secara topikal. Jika keadaan
sosial memungkinkan, pasien dapat dirawat swbagai kasus perawatan sehari dan
tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
Operasi ini dapat dilakukan dengan:
- Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak
ekstrakapsular (extra-capsular cataract extraction, ECCE). Insisi harus dijahit.
- Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui
insisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya
tidak dibutuhkan penjahitan. Sekarang metode ini merupakan metode pilihan di
negara barat.
Kekuatan implan lensa intraokular yang akan digunakan dalam operasi dihitung
sebelumnya dengan mengukur panjang maata secara ultrasonik dan kelengkungan
kornea (maka juga kekuatan optik) secara optik. Kekuatan lensa umumnya
dihitung sehingga pasien tidak akan membutuhkan kacamata untuk penglihatan
jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi oleh refraksi mata kontralateral dan apakah
terdapat terdapat katarak pada mata tersebut yang membutuhkan operasi. Jangan
biarkan pasien mengalami perbedaan refraktif pada kedua mata.

Gambar 1. Pembedahan katarak (Harvard Health Publications, 2007).


21

Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular

Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka pendek.
Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas insisi
telah sembuh. Rehabilitasi visual dan peresepan kacamata baru dapat dilakukan
lebih cepat dengan metode fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat
berakomodasi maka pasien membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak dekat
meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa
intraokular multifokal, lensa intraokular yang dapat berakomodasi sedang dalam
tahap pengembangan.

Komplikasi Pembedahan Katarak (James et. al., 2006)


a. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi
maka gel vitreousnya dapat masuk ke dalam bilik mata depan yang merupakan
resiko terjadinya glaukoma atau traksi pada retina.
b. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protus melalui insisi bedah pada periode
paska operasi dini. Pupil mengalami distorsi.
c. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang
terjadi (<0,3%), pasien datang dengan mata merah yang terasa nyeri, penurunan
tajam penglihatan, pengumpulan sel darah putih di bilik mata depan (hipopion).
22

d. Astigmatisma pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea


untuk mengurangi astigmatisma kornea. Ini dilakukan sebelum melakukan
pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh dan tetes mata
steroid dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapat terjadi pada garis
jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan biasanya menyelesaikan
masalah ini dan bisa dilakukan dengan mudah di klinik dengan anastesi lokal,
dengan pasien duduk di depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat
untuk mencegah infeksi namun mungkin diperlukan jahitan kembali jika
penyembuhan lokasi insisi tidak sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui
insisi yang kecil menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka
memungkinkan koreksi astigmatisma yang telah ada sebelumnya.
e. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama
bila disertai dengan hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring berjalannya waktu,
namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat.
f. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan
dengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila
terdapat kehilangan vitreous.
g. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul
posterior berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel
residu bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur dan
mungkin didapatkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan
laser (neodymium yttrum (ndYAG) laser) sebagai prosedur klinis rawat jalan.
Terdapat risiko kecil edema makular sistoid atau terlepasnya retina setelah
kapsulotomi YAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi ini
menunjukkan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi
lensa, dan tumpang tindih lensa intraokular dengan sebagian kecil cincin kapsul
anterior penting dalam mencegah opasifikasi kapsul posterior.

Komplikasi
Apabila dibiarkan katarak akan menimbulkan gangguan penglihatan dan
komplikasi seperti glaukoma, uveitis dan kerusakan retina (GOI, 2009).
23

Prognosis
Apabila pada proses pematangan katarak dilakukan penanganan yang tepat
sehingga tidak menimbulkan komplikasi serta dilakukan tindakan pembedahan
pada saat yang tepat maka prognosis pada katarak senilis umumnya baik.

Pencegahan
Katarak senilis tidak dapat dicegah karena penyebab terjadinya katarak senilis
ialah oleh karena faktor usia, namun dapat dilakukan pencegahan terhadap hal-hal
yang memperberat seperti mengontrol penyakit metabolik, mencegah paparan
langsung terhatap sinar ultraviolet dengan menggunakan kaca mata gelap dan
sebagainya. Pemberian intake antioksidan (seperti asam vitamin A, C dan E)
secara teori bermanfaat (Wikipedia, 2010).

3. Trakoma
24

Trachoma merupakan infeksi konjungtiva karena infeksi dari Clamydia


trachomatis serotipe A, B, Ba, dan C.

Epidemiologi

 Merupakan salah satu penyakit paling tua di dunia, ditemukan sejak abad
ke-27 SM dan mengenai semua  bangsa.
 Merupakan penyakit menahun paling banyak dijumpai dengan 300-600
juta.
 Paling banyak terdapat di daerah Afrika, suku Aborigin, dan sebagian
Asia.

Etiologi

 Clamydia Trachomatis
 Predisposisi dan penyebaran : kontak langsung, lalat atau nyamuk, higiene
perorangan, cuaca, lingkungan.

Patofisiologi
Agen infeksi => masa inkubasi rata-rata 7 hari (atau 5-14 hari). Timbulkan infeksi
dan dapat juga mengakibatkan keratitis epitel superior, keratitis subepitel, pannus,
folikel limbus superior, dan akhirnya sisa sikatrik patognomonik pada folikel ini
dikenal sebagai Sumur-Sumur Herbert (depresi kecil dalam jaringan ikat di
batas limbus, ditutupi epitel).
25

Sumur Herbert

Sikatrik konjungtiva dapat mengakibatkan penarikan dan akhirnya terjadi trikiasis


(pembalikan bulu mata ke arah dalam). Lama-kelamaan, bulu mata akan terus
menggesek kornea dan mengakibatkan gangguan pada film air mata.

Gejala Klinis

 Terdaoat folikuler dan parut konjungtiva.


 Sumur-sumur Herbert
 Kasus yang berat dapat terjadi trikiasis.
 Keratitis
 Panus = infiltrasi neovaskularisasi di limbus. Combs appearance = seperti
sisir.

Panus (neovaskularisasi)

 Pada bayi dan anak-anak timbul diam-diam, dapat sembuh dengan sedikit
atau tanpa komplikasi.
 Pada orang dewasa, timbul akut atau subakut dan komplikasi sangat cepat
berkembang. 
 Pada saat timbul, gejalanya mirip dengan konjungtivitis bakterial seperti
mata berair, fotofobia, aksudasi, kemosis, hiperemis, folikel tarsal dan
limbal, nodus preaurikuler kecil dengan nyeri tekan.

Untuk menentukan trachoma sudah endemik di suatu keluarga atau masyarakat


adalah sekurang-kurangnya menunjukkan dua tanda dari :

 Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal pada palpebra superior.
 Parut konjungtiva khas (seperti bintang dengan garis-garis = Arlt's line) di
konjungtiva tarsal superior
 Folikel limbus atau sekuelenya (sumur Herbert)
 Pembuluh darah ke atas kornea, paling jelas di limbus atas. (panus=
infiltrat neovaskularisasi)

WHO mengembangkan cara sederhana memeriksa penyakit tersebut :

 TF => Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal superior


26

 TI => Infiltrasi difus dan hipertrofi papiler konjungtiva atas sekurang-


kurangnya menutupi 50%  pembuluh profunda normal.
 TS => Parut konjungtiva trachomatosa
 TT => Trikiasis atau entropion
 CO => Kekeruahan kornea.

Keterangan :

1. Bila ada TF dan TI => menunjukkan trachoma infeksi aktif yang harus
diobati
2. TS => bukti cedera karena penyakit ini
3. TT => berpotensi menyebabkan kebutaan dan indikasi dari koreksi bedah
palpebra.
4. CO => lesi terakhir yang membutakan dari trachoma

Diagnosis

 Anamnesis dan pemeriksaan fisik => tanda dan gejala klinis


 Pemeriksaan Lab
o Pulasan giemsa => terdapat inklusi klamidia (tidak selalu ada)

Pulasan antibody fluorescein dan tes imuno assay => tampak agen
trachoma mirip dengan agen konjungtivitis inklusi namun dapat dibedakan
dengan mikrofluorescens.

Tatalaksana, pilih salah satu pengobatan :

 Dewasa
o Tetracyclin 1-1,5 g/hari per os dalam empat dosis selama 3-4
minggu
Jangan digunakan pada anak dibawah 7 thn dan wanita hamil
karena tetrasiklin mengikat kalsium pada gigi yang berkembang
dan tulang yang tumbuh serta berakibat gigi permanen menjadi
kekuningan dan kelainan rangka.
o Doxycyclin 100 mg per os dua kali sehari selama 3 minggu
o Azithromycin 1 gr single dose 3 minggu
 Anak
o Azythromycin oral 20 mg/kgBB single dose selama 3 minggu
o Erytromicyn oral 40 mg/kgBB/hari3 minggu
 Salep atau tetes topikal (preparat sulfonamid, tetracyclin,  erythromicyn,
empat kali selama 6 minggu sama efektifnya).
27

Komplikasi

 Parut konjungtiva
 Kerusakan duktus kelenjar lakrimal
 Trikiasis
 Entropion
 Ulserasi kornea

Trachoma with Ulcer

Prognosis

 Bila ditangani dengan cepat dan dapat menghindarkan komplikasi, maka


prognosisnya akan baik.
 Hati-hati penularan !

4. Strabismus

Strabismus adalah sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa mata tidak


bisa melihat dengan baik. Bola mata bisa melihat ke arah kanan atau kiri sehingga
menyebabkan pandangan mata yang sebenarnya lurus tapi tidak bisa terjadi
dengan baik. Penyakit ini bisa terjadi pada semua orang dan termasuk untuk anak-
anak maupun orang dewasa.Penyebabnyaialah :
28

 Otak tidak bisa mengatur keseimbangan mata saat melihat pada sebuah
objek.
 Kelainan mata yang menyebabkan satu mata mengalami rabun jauh atau
rabun dekat dengan beberapa ukuran dan selisih yang sangat jauh.
 Saraf yang bekerja untuk mengatur otot mata tidak bisa berfungsi dengan
baik atau justru tidak normal.

Gejala Strabismus

 Anak-anak akan sering memiringkan salah satu bagian mata atau menutup
satu mata untuk bisa melihat objek dengan benar.
 Mata menjadi tidak fokus saat melihat dan sering terlihat oleh orang lain

Pemeriksaan yang biasa dilakukan:

1. Pemeriksaan mata standar


2. Ketajaman penglihatan
3. Pemeriksaan retina
4. Pemeriksaan neurologis (saraf).

5. Graves

Penyakit Graves merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai


dalam praktek sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah
dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis
(hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta
-meskipun jarang- disertai dermopati. Selain penyakit Graves, yang merupakan
penyebab paling sering, penyebab lain tirotoksikosis ialah struma multinodosa
toksik, adenoma toksik, tiroiditis, dan pemberian obat-obatan.

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara


pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme -yang belum diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita
29

penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves


dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor
Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.

Pengobatan penyakit Graves idealnya ditujukan langsung pada


penyebabnya. Tetapi, mengingat dasar penyakit Graves adalah penyakit autoimun
yang belum diketahui pasti penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves
dilakukan melalui berbagai pendekatan, yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar
tiroid, menghambat produksi dan pengeluaran hormon tiroid serta mengeliminasi
efek hormon tiroid di perifer, sekaligus menekan proses autoimun.

Diagnosis

Penyakit Graves mulai dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid


difus disertai tanda dan gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan
diagnosis, diperlukan pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah. Pemeriksaan
TSH sangat berguna untuk skrining hipertiroidisme, karena dengan peningkatan
sekresi hormon tiroid yang sedikit saja, sudah akan menekan sekresi TSH. Pada
stadium awal penyakit Graves, kadang-kadang TSH sudah tertekan tetapi kadar T-
4 bebas masih normal. Pada keadaan demikian, pemeriksaan T-3bebas diperlukan
untuk memastikan diagnosis T-3 toksikosis. Apabila dengan pemeriksaan fisis dan
laboratorium belum juga dapat menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat
dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan tes supresi tiroksin.

Manifestasi Klinis

Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma


difus, disertai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai
oftalmopati (terutama eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati.
Manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol
dan merupakan karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis.

Gejala tirotoksikosis yang sering ditemukan:

1. Hiperaktivitas, iritabilitas
2. Palpitasi
3. Tidak tahan panas dan keringat berlebih
4. Mudah lelah
5. Berat badan turun meskipun makan banyak
6. Buang air besar lebih sering
7. Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang

Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:

a. Takikardi, fibrilasi atrial


30

b. Tremor halus, refleks meningkat


c. Kulit hangat dan basah
d. Rambut rontok

Pada pasien dengan usia yang lebih tua, sering tanda dan gejala khas tersebut
tidak muncul akibat respons tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun.
Gejala yang dominan pada usia tua adalah penurunan berat badan, fibrilasi atrial,
dan gagal jantung kongestif.(4)

Oftalmopati pada penyakit Graves ditandai dengan adanya edema dan inflamasi
otot-otot ekstraokular dan meningkatnya jaringan ikat dan lemak orbita.
Peningkatan volume jaringan retrobulber memberikan kontribusi besar terhadap
manifestasi klinis oftalmopati Graves.

Mekanisme kelainan mata pada penyakit Graves sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Tetapi mengingat hubungan yang erat antara penyakit Graves dengan
oftalmopati, diduga keduanya berasal dari respons autoimun terhadap satu atau
lebih antigen di kelenjar tiroid atau orbita. Sebagian peneliti melaporkan bahwa
reseptor TSH-lah yang menjadi antigen dari respons autoimun keduanya. Tetapi
sebagian yang lain melaporkan adanya antigen lain di orbita yang berperan dalam
mekanisme terjadinya oftalmopati, sehingga dikatakan bahwa penyakit Graves
dan oftalmopati Graves merupakan penyakit autoimun yang masing-masing
berdiri sendiri. Oleh karena itu kelainan mata pada penyakit Graves dapat timbul
mendahului, atau bersamaan, atau bahkan kemudian setelah penyakit Graves-nya
membaik.

Pemeriksaan Laboratorium

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan


hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada
hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan
normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin
(T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone
(TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan
sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus
menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang
tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH
menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH
generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap
hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat
mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi
diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).
31

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid
pada tes supresi tiroksin.

Pengelolaan Penyakit Graves

Terdapat 3 modalitas pengobatan pada penyakit Graves, yaitu obat antitiroid,


operasi dan Iodium-131 (131I). Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal,
antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain
yang menyertainya.

I. Obat-obatan

1. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol.(4) Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

Mekanisme Kerja

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3
dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU
lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera
hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosis tunggal.

Dosis

Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis
PTU dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan
20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis
32

dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila
respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU
50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas
normal.4 Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum
obat, aktivitas fisis dan psikis.

Efek Samping

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,


yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang
lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam
beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis
yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves


adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya.
Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang
digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-
hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap
rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan
eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan,
nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.

2. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat


untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state)
seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga
dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
33

terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80


mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi
kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol
dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa
dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis,
dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase.

3. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,


potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.

II. Operasi

Pilihan operasi jenis tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves diindikasikan bila
struma besar atau dengan struma retrosternal hingga menyebabkan pendesakan,
respons terhadap obat antitiroid kurang memadai, atau terdapat efek samping
obat.3
Sebelum tindakan operasi dilaksanakan, keadaan hipertiroidismenya harus diobati
terlebih dulu hingga tercapai eutiroidisme baik klinis maupun biokimia. Iodida
inorganik biasanya diberikan selama 7-10 hari sebelum operasi dengan tujuan
mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid dan mempermudah prosedur operasi. Di
senter yang berpengalaman, angka hipertiroidisme yang teratasi mencapai 98%
dengan sedikit komplikasi operasi. Komplikasi hipotiroidisme yang terjadi,
terutama disebabkan sedikitnya sisa tiroid yang tertinggal dan adanya antibodi
antitiroid.
Angka kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak 5-15%, sebagian besar
dialami kelompok pasien dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi dan dengan
keterlibatan mata yang serius. Pada kelompok seperti ini sebaiknya dilakukan
tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal. Pada kelompok yang mengalami
kekambuhan pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya ialah terapi Iodium
radioaktif.

III. Iodium Radioaktif


34

Terapi iodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami
kekambuhan setelah terapi obat antitiroid jangka panjang dengan problem
kardiak, atau pasien Graves yang berat karena kelompok tersebut diperkirakan
akan sulit mencapai remisi dengan obat antitiroid. Indikasi lain terapi ini ialah bila
terdapat efek samping serius terhadap obat antitiroid, juga pada sebagian besar
pasien multinodular-uninodular toksik. Terapi iodium radioaktif
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan sedang menyusui.(3,4)

Evaluasi pasien dilakukan dengan interval 4-6 minggu selama 3 bulan pertama,
dan selanjutnya sesuai dengan keadaan klinis dan biokimia. Bila ingin hamil,
sebaiknya ditunda hingga 4 bulan pascaterapi.2 Hipotiroidisme, yang sering
merupakan komplikasi terapi iodium radioaktiv, dapat muncul pada 6-12 bulan
pertama setelah terapi, tetapi dapat juga muncul setiap saat. Bila hipotiroidisme
terjadi, dapat diberikan L-tiroksin dosis titrasi, dengan target kadar FT-4 dan TSH
normal. Bila telah tercapai eutiroid yang stabil, evaluasi dapat dilakukan setahun
sekali.

6. ABLASI RETINA (Ablatio Retina, Retinal Detachment)

PENDAHULUAN
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang
retina dengan dari sel epitel pigmen retina Pada keadaan ini sel epitel pigmen
retina masih melekat erat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel
kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktur dengan
koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk
lepas secara embriologis.1
35

Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen
akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina pembuluh darah yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan.2
  INSIDENS
Istilah “Ablasi retina”(retinal detachment) menandakan pemisahan retina
sensorik, yaitu fotoreseptor dan lapisan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen
retina dibawahnya. Terdapat tiga jenis utama ablasi retina yaitu : ablasi retina
regmategenosa, ablasi retina traksi (tarikan) dan ablasi retina eksudatif.3,4
Ablasi retina regmatogenosa merupakan penyebab tersering dari kedua
bentuk ablasi retina yang lain. Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan
mengalami ablasi retina regmatogenosa. Kemungkinan ini akan meningkat jika
pada pasien yang; memiliki miopa yang tinggi, telah menjalani operasi katarak,
terutama jika operasi ini mengalami komplikasi kehilangan vitreous, pernah
mengalami ablasi retina pada mata kontralateral dan baru mengalami trauma mata
berat.

ANATOMI

Gambar anatomi mata dikutip dari kepustakaan 3


 Retina adalah selembaran tipis jaringan saraf yang semitransparan dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir ditepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serata berkisar 6,5mm
36

dibelakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm dibelakang garis pada
sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, khoroid dan
sclera. Disebagian besar tempat retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah
hingga membentuk suatu ruangan subretina, seperti yang terjadi pada ablasio
retina. Tetapi pada discus optikus dan ora serrata, retina dengan epithelium
pigmen retina saling melekat kuat, sehinggga membatasi perluasan cairan
subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang
terbentuk antara khoroid dan sclera, yang meluas ketaji sclera. Dengan demikian
ablasi khoroid meluas melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata.
Lapisan-lapisan epitel permukaan dalam korpus ciliaris dan permukaan posterior
iris merupakan perluasan ke anterior retina dan epithelium pigmen retina.
Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.3
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut :

1. Membran limitas interna


2. Lapisan serat saraf
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiformis dalam
5. Lapisan inti dalam
6. Lapisan pleksiformis luar
7. Lapisan inti luar
8. Membrane limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitelium pigmen retina.
37

Gambar lapisan retina dikutip dari kepustakaan 2

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada katub
posterior. Di tengah-tengah retina terdapat macula. Secara klinis macula dapat
didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuungan yang disebabkan oleh pigmen
luteal (xantofil), yang berdiameter 1,5mm. Ditengah macula, sekitar 3,5 mm
disebelah lateral discus optikus terdapat fovea, yang secara klinis jelas-jelas
merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan
oftalmoskopi.3
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada
tepat diluar membrane Brunh, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari arteri sentralis retina, yang mendarahi dua pertiga
sebelah dalam.3

PATOGENESIS
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optic embrionik. Kedua jaringan ini melekat longgar pada mata
yang matur dapat berpisah.1,2,3
1)      Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio
retina regmatogenosa)
38

2)      Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina (misal
seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina
traksional)).
3)      Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang subretina akibat
proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio
retina eksudatif).

GAMBARAN KLINIK
Dikenal ada tiga bentuk umum ablasi retina yaitu :
1. Ablasi retina regmatogenosa
Pada ablasi retina regmatogenosa akan memberikan gejala terdapat
gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat seperti tabir yang menutup.
Terdapat riwayat adanya pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan.Ablasi
yang berlokalisasi di daerah supratemporal sangat berbahaya Karena dapat
mengagkat macula. Penglihatan akan turun secara akut pada ablasi retina bila
dilepasnya mengenai macula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat
retina yang terangkat berwarana pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan
terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan
terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang-kadang terdapat pigmen di
dalam badan kaca. Pada pupil terlihat adanya defek aferen pupil akibat
penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meningkat bila telah
terjadi neovaskularisasi glaucoma pada ablasi yang telah lama.1
2. Abrasi retina traksi atau tarikan
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut
pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina dan penglihatan turun
tanpa rasa sakit.1
3. Ablasi retina eksudasi
Ablasi retina eksudai, ablasi yang terjadi akibat tertimbunnya eksudasi
dibawah retina dan mengangkat retina. Pada ablasi tipe ini penglihatan dapat
berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap
bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang.1
39

DIAGNOSIS
Diagnosis Ablasi retina ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan mata meliputi :
1)      Visus
2)      Lapangan pandang
3)      Funduskopi
4)      USG

PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada ablasi retina adalah pembedahan dan non pembedahan.
Pada pembedahan terdapat dua teknik bedah utama untuk memperbaiki ablasi
retina :
1)      Pendekatan konvensional (eksternal). Pada pendekatan eksternal, robekan ditutup
dengan menekan sclera menggunakan pita plomb silicon yang diletakkan
eksternal. Ini menghilangkan traksi vitreous pada lubang retina dan mendekatkan
epitel pigmen retina pada retina. Mungkin sebelumnya diperlukan drainase
akumulasi cairan subretina yang sangat banyak dengan membuang lubang kecil
pada sclera dan koroid menggunakan jarum (sklerostomi).
2)      Pembedahan Vitreoretina (internal). Pada pendekatan internal, vitreous diangkat
dengan pemotong bedah mikro khusus yang dimasukkan ke dalam rongga vitreus
melalui pars plana, tindakan ini menghilangkan traksi vitreous pada robekan
retina.

Pada non pembedahan dilakukan pada jenis ablasio retina eksudasi,


dimana terapinya sesuai kausa penyebab ablasio retina.

KOMPLIKASI
Komplikasi pembedahan pada ablasi retina akan menimbulkan perubahan
fibrotik pada vitreous (vitreoretinopati proliferatif, PVR), PVR dapat
menyebabkan traksi pada retina dan ablasi retina lebih lanjut.
40

PROGNOSIS
Terapi yang cepat prognosis lebih baik. Perbaikan anatomis kadang tidak
sejalan dengan perbaikan fungsi. Jika macula melekat dan pembedahan berhasil
melekatkan kembali retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika
macula lepas lebih dari 24 jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan
sebelumnya mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.

7. Skleritis

DEFINISI
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai olehdestruksi
kolagen, bukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis .. Skleritis
adalah peradangan sklera pada mana pembuluh darah cenderung tampak bewarna purple.

ETIOLOGI
      Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi
yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai
penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada
sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal,misalnya
bedah katarak.Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:
41

a)              Penyakit Autoimun Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa,


Polikondritis berulang,Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus sistemik, Pioderma
gangrenosum, Kolitisulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatic
b)             Penyakit Granulomatosa Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada
c)              Gangguan metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif Infeksi
Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster, Herpes Simpleks, Infeksi
olehPseudomonas,Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus
d)             Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau basa), Mekanis
(cederatembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak Tidak diketahui.

PENGKLASIFIKASIAN SKLERITIS
Skleritis diklasifikasikan menjadi 3 antara lain:
1. Episkleritis
a. Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang       berpotensi
mengalami rekurensi3.Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman pada mata, disertai
berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus
maupunsegmental. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia decade
40 an.
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple scleritis.
Sekitar30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik, 5%
dihubungkan dengan penyakit  kolagen vaskular seperti artritis rematoid, 7% dihubungkan
dengan herpeszoster oftalmikus dan 3% dihubungkan dengan gout.
2. Skleritis Anterior
          Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe
dari skleritis anterior adalah:
a) Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
42

b) Nodular anterior scleritis.Ditandai dengan adanya satu atau lebih


nodulradang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera
anterior.Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.
c) Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan
d) kerusakan padasklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi
kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
e) Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada
pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai
3. Skleritis Posterior
                             Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis
anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat, Dari pemeriksaan  objektif  didapatkan adanya perubahan fundus7, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid,   massa di retina,
udem nervus optikus dan eodem makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat   
menyebabkan ruang okuli anteriordangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan
retraksi kelopak mata bawah.
a) Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi
danproptosis.
b) Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.Skleritis
posterior         dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
c) Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatankoroid, dan
perdarahan atau ablasio retina.

PATOFISIOLOGI
Penyakit tersering yang menyebabkan skleritiis antara lain adalah
rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa,
Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout  dan sifilis. Karena sklera terdiri dari
jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama dari gangguan
vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien
43

yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis.


Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau
trauma.Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang
mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) atau pun respon
granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).
Hipersensitivitas tipe III  dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi
local (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan
menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer
IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat
rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari
pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan
tipe I, secara  umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih
menyeluruh. 
Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang
mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam
sirkulasi. Patologiutama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh    
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel
mast melalui Fc gamma RIII.
Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi
granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membrane
basement  sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam-macam
lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas
tipe III adalah komplikasi post –infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas
Yang disebabkan oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut
juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel
jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan
pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian
mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada   dalam jaringan.
44

Aktivasi dari sel T tersebut,membuatnya memproduksi sitokin seperti


kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,dan juga kepada netrofil. Konsekuensi
dari hal ini adalah adanya   infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan
makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48– 72
jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh
yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari
pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu
deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis
dapat menyebar pada bagian anterior atau   bagian posterior mata.

TANDA DAN GEJALA


Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan
ketajaman penglihatan.Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling
sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi
langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis
yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun
sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan
obat  analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen

KOMPLIKASI
Penyulit skleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina
eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan
alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini
sering disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut
terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat  steroid.Skleritis biasanya disertai dengan
peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat
terjadinya nekrosis sclera atau skleromalasia maka dapat  terjadi perforasi pada sklera. Penyulit
pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan,dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
45

peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang  terletak dekat
skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan  serat  kolagen stroma.
Pada keadaan  ini tidak  pernah  terjadi  neovaskularisasi6 kedalam stroma kornea. Proses
penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yangdimulai dari bagian sentral.
Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.

PEMERIKASAAN FISIK
a) Daylight,Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus.
b) Pemeriksaan Slit Lamp, Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam
episklera   dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera.
c) Pemeriksaan Red-free Light ,Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area
yang mempunyai kongesti vaskularyang maksimum, area dengan tampilan vaskular
yang baru dan juga area yang avaskular total.Selain itu perlu pemeriksaan secara umum
pada mata meliputi otot  ekstra okular, kornea, uvea,lensa, tekanan intraokular dan
fundus.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasaan Lab
a. Hitung darah lengkap dan laju endap
b. Kadar komplemen serum (C3)
c. Antibody antinukleus serum
d. Imunologi E
e. Kadar asam urat serum

PENATALAKSANAAN
                             Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat
antiinflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau
ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat  mereda diikuti oleh
pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah
tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid
ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat
46

dalam 2minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang
berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat - obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid sangat bermanfaat apabila
terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi
dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya
infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan
oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu responhipersensitif
atau efek dari invasi langsung mikroba.Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk
memperbaiki perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila
terjadi kerusakan hebat akibat invasilangsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau
poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.Penipisan sklera pada skleritis yang
semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat
galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi.
                                      Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis,
tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian
kemoterapi. Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi
diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala,
sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.

8. Konjungtivitis
47

Definisi

Konjungtivitis -atau yang dikenal juga dengan istilah pink eye, atau ‘belekan’-
dapat dipahami sebagai peradangan pada selaput mata (konjungtiva) yang
melapisi permukaan bola mata dan lapisan dalam kelopak mata. Penyebabnya bisa
karena infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), iritasi, atau reaksi alergi.

Data menunjukkan bahwa kasusnya yang paling banyak terjadi diakibatkan oleh
infeksi bakteri dan virus. Pada konjungtivitis jenis tadi, terjadi respon vaskular
berupa peningkatan permeabilitas pembuluh darah, respon seluler berupa
pembentukan eksudat yang dihasilkan dari sel-sel inflamasi, respon jaringan pada
epitel superfisial yang beregenerasi sehingga akan terdeskuamasi, dan terjadi
proliferasi pada lapisan basal epitel yang akan meningkatkan sekresi musin
(minyak) sel goblet. Inilah yang menjadi pemicu keluarnya cairan kuning kental
dan lengket pada mata (belek).

Meskipun mayoritas kasus penyakit ini tidak berbahaya dan dapat sembuh dengan
sendirinya, namun penanganan medis yang ditunda-tunda tetap saja dapat memicu
infeksi yang semakin parah sehingga mengancam penglihatan pasien.

Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, penyakit ini dibagi menjadi 2 jenis -yaitu konjungtivits


infeksi dan non-infeksi. Jika konjungtivitis infeksi disebabkan oleh paparan
bakteri, virus, parasit, dan jamur; maka, konjungtivitis non-infeksi disebabkan
oleh iritasi atau paparan persisten suatu agen (alergi, mata yang terlalu kering,
gangguan refraksi atau tajam penglihatan yang tidak dikoreksi, toksik, atau
komplikasi dari penyakit tertentu).

Penyakit ini juga dapat dibagi berdasarkan awitannya (onset), yaitu konjungtivitis
akut dan kronis. Konjungtivitis akut dapat digolongkan lebih lanjut menjadi
acute serous (gejala paling ringan), acute haemorrhagic (akibat enterovirus tipe70
dan coxsackievirus A24), dan acute folicular (terbentuk folikel kecil berwarna abu
dengan diameter 1-2 mm, yang dihubungkan dengan keratitis, virus herpes).
Lantas, bagaimana dengan konjungtivitis kronis? Seseorang dikatakan menderita
jenis ini jika penyakit ini menetap lebih dari 4 minggu (umumnya disebabkan oleh
infkesi bakteri Staphylococcus aureus atau Moraxella lacunata).

Faktor Resiko

Berikut beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan terkena:

a. Daya tahan tubuh yang menurun


b. Adanya riwayat atopi / alergi
c. Kontak dengan penderita konjungtivitis
d. Penggunaan kontak lensadengan perawatan yang tidak baik
e. Personal hygieneyang buruk.
48

Gejala

Berikut beberapa gejala umumnya:

a. Mata merah
b. Timbulnya sensasi seperti ada benda asing, rasa gatal atau terbakar, dan
fotofobia (silau).
c. Di pagi hari, kelopak mata sering menempel karena peningkatan sekresi
kotoran mata.
d. Pseudoptosis (kelopak mata turun) dapat terjadi karena pembengkakan
kelopak mata.
e. Nyeri pada mata dan blefarospasme (kelopak mata bengkak) biasanya
terjadi ketika kornea ikut terinfeksi.

Untuk lebih lengkapnya, berikut gejala yang muncul pada masing-masing


klasifikasinya:

1. Konjungtivitis bakterial; ditandai dengan konjungtiva merah serta


munculnya lendir kuning kental dan lengket. Padabayi baru lahir,
konjungtivitis pada kedua mata yang disertai dnegan produksi lendir
kuning kental berlebih umumnya menyirikan konjungtivitis gonore.
2. Konjungtivitis viral; ditandai dengan konjungtiva merah, munculnya lendir
bening berair, serta (umumnya)  pembesaran kelenjar getah bening
disekitar telinga.
3. Konjungtivitis alergi; ditandai dengan konjungtiva merah,produksi lendir
bening berair, serta mata yang terasa gatal.

Diagnosis

Untuk mendiagnosa kondisi pasien, dokter umumnya cukup melakukan


wawancara medis dan pemeriksaan fisik saja. Berikut beragam bentuk
pemeriksaan fisik yang dimaksud:

a. Pemeriksaan tajam penglihatan


b. Inspeksi konjungtiva tarsal dan penilaian eksudat yang didapatkan.

Khusus untuk kasus konjungtivitis kronis, dokter akan menyarankan pemeriksaan


penunjang, seperti pemeriksaan lendir dibawah mikroskop. Tujuannya tidak lain
adalah untuk menentukan dengan pasti penyebabnya.

Tatalaksana

Sejatinya, penanganannya sangat bergantung pada penyebabnya. Pada infeksi


bakteri, dokter akan meresepkan obat tetes atau salep antibiotic, seperti
Kloramfenikol. Pada kasus yang diakibatkan oleh alergi, dokter
akanmemberikan obat tetes mata anti-alergi, seperti Flumetolon. Terakhir, untuk
49

kasus yang disebabkan oleh virus, dokter biasanya hanya meresepkan  anti-radang


atau salep Acyclovir. Yang perlu diperhatikan adalah penyakit ini mudah menular.
Karena itu, penderita diharuskan mencuci tangannya dengan bersih sebelum dan
sesudah membersihkan atau mengoleskan obat. Selain itu, pasien juga disarankan
untuk tidak menggunakan handuk atau lap bersama-sama dengan penghuni rumah
lainnya.

9. Keratitis

Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut


lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

Etiologi dan faktor pencetus


50

Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat


menyebabkan keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1.
Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya
yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang
terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain,
kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik (Mansjoer,
2001).

Tanda dan Gejala Umum

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat


dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan
keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan
leukoma. Adapun gejala umum adalah :

a. Keluar air mata yang berlebihan


b. Nyeri
c. Penurunan tajam penglihatan
d. Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
e. Mata merah
f. Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).

Klasifikasi

Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena : yaitu


keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.

Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):

1. Keratitis punctata superfisialis


Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan
oleh sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat
topical, sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.

2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyerang kornea.

3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar
lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva.

4. Keratitis lepra
51

Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut
juga keratitis neuroparalitik.

5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani. Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda
antara lain adalah :

1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital


2. Keratitis sklerotikans.

Patofisiologi Gejala

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka 
badan  kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus
kornea (Vaughan, 2009).

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra
superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif,
regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang
terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan
dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada keba-
nyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi
pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun
berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak
ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009).

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau
letaknya di pusat (Vaughan, 2009).

Diagnosa

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan


adanya riwayat trauma—kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua
lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat.
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi
52

kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat
dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh
pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan
predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes
simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik,
seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi
khusus(Vaughan, 2009).

Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih


mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat
memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak
dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea
dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan
terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya
di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan
cara ini(Vaughan, 2009).

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi


empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering
membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang
terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau
vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba
endophthalmitis.

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya


cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu
sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak
bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang
tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon
klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam
pemulihan patogen dapat terjadi.

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan


menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari
daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran
klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat
diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan
jaringan atasnya tidak terlibat.

Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp
atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk
53

memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan
yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke
laboratorium secara tepat waktu.

Keratitis Bakterialis

Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus


keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa
terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah
karakteristik dari penyakit ini.

Patogen

Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah


Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella,
Enterobacter, Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20
kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.

Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan
bakteri oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang
menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan
superficial (Vaughan, 2009).

Patofisiologi

Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan
terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan
invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi.
Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur
non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,
epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel
inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma.

Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,


menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya
hypopyon. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin
protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat
menyebabkan destruksi substansi kornea.

Temuan Klinis
54

a. Keratitis Pneumokokus

Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas
tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat
infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan
infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini
menimbulkan istilah “ulkus serpiginosa akut”.) Lapis superfisial kornea adalah
yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus
sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea
pneumokokus mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif (Vaughan,
2009).

b. Keratitis Pseudomonas

Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat
epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini
cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang
dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat
mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung
membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik
untuk infeksi P aeruginosa.

Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa
kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan
organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan.
Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa
kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang
terkontaminasi (Vaughan, 2009).

c. Keratitis Streptokokus

Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous).
Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang
menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea,
karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.

Terapi

1. Terapi antibiotika

Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep
pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna
55

sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada


keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.

Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari
keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek
yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading
setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit
sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen
terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat
digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri
pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan
bilik anterior mata.

Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya


ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi
kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan
mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan
prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin
meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone)
telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif
dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan
keratitis bakteri.

Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang
tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen
mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos.
Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-
kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya
(misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi
sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

b. Terapi kortikosteroid

Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati


beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk
timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis
kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli
percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang
sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis
bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
56

Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal


kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan
pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur,
penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up.
Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering
dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi
kortikosteroid topikal dimulai.

Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea,
dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan
hilangnya penglihatan.

Prognosis

Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini,
dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.

a. Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis


b. Luas dan lokasi ulkus kornea
10. Tukak (ulkus) kornea

DEFINISI     
        Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai
defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari
epitel sampai stroma.

PATOFISIOLOGI
57

Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea dapat menimbulkan


gangguan visus yang hebat apalagi bila letaknya di daerah sekitar pupil. Lha
kornea avaskuler terus siapa yang bertugas sebagai tentara pertahanan/
makrofag? Badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam
stroma kornea alih profesi sementara sebagai makrofag, kemudian disusul tuh
sama respon dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus maka terlihat sebagai
injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel
plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya
infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas
tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan
timbullah ulkus kornea.
            Lesi yang ada dikornea itu baik yang ada superfisial maupun profunda
(yang lebih dalam) dapat menimbulkan rasa sakit/fotofobia. Tambah lagi bro
sakitnya kalau gesekan palpebra pada kornea. Kontraksi iris sangat progresif,
regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia. Ulkus dapat menyebar
kedua arah alias melebar dan mendalam sob. Maka sering ada istilah superficial
yaitu ulkus yang dapat cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih
kembali, tapi kalau lesi sampai ke membran Bowman dan stroma maka akan
terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya jaringan sikatrik.

ETIOLOGI

a. Infeksi

a. Infeksi Bakteri
P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella merupakan
penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala klinis
yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen
yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
b. Infeksi Jamur
disebabkan  oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan
spesies mikosis fungoides.
58

c. Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila
pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk
disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya
varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
d. Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas  yang terdapat didalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi
juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air
atau tanah yang tercemar.

b. Noninfeksi

a. Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH. Bahan asam yang
dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan organik
anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak
bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja.
Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung
kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran
kolagen kornea.
b. Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
c. Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca
yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan
palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
59

kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada
kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
d. Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
e. Obat-obatan 
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
f. Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
g. Pajanan (exposure)
h. Neurotropik

c.       Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)


§  Granulomatosa wagener
§  Rheumathoid arthritis

KLASIFIKASI
            Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea , yaitu:
1.  Ulkus kornea sentral
a.       Ulkus kornea bakterialis
b.      Ulkus kornea fungi
c.       Ulkus kornea virus
d.      Ulkus kornea acanthamoeba
2.      Ulkus kornea perifer
a.       Ulkus marginal
b.      Ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden)
c.       Ulkus cincin (ring ulcer)

TANDA DAN GEJALA


60

Gejala

 Eritema
 Sekret mukopurulen
 Merasa ada benda asing di mata
 Pandangan kabur
 Mata berair
 Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
 Silau
 Nyeri

Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.

Gejala Objektif

 Injeksi siliar
 Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
 Hipopion

DIAGNOSIS
            Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang
bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering
kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi,
virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.
61

            Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi
siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus
berat  dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.

Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :

a. Ketajaman penglihatan
b. Tes refraksi
c. Tes air mata
d. Pemeriksaan slit-lamp
e. Keratometri (pengukuran kornea)
f. Respon reflek pupil
g. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.
h. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)

PENATALAKSANAAN

             Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan
pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang
mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi
peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien
tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat
sistemik.

a. Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah


1.      Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya
2.      Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang
3.      Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih
4.      Berikan analgetik jika nyeri

b. Penatalaksanaan medis
      1.         Pengobatan konstitusi
62

      Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan umum yang
kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus diperbaiki dengan makanan
yang bergizi, udara yang baik, lingkungan yang sehat, pemberian roboransia yang
mengandung vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus
yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh dengan pengobatan
biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc susu steril yang disuntikkan
intravena dan hasilnya cukup baik. Dengan penyuntikan ini suhu badan akan naik,
tetapi jangan sampai melebihi 39,5°C. Akibat kenaikan suhu tubuh ini diharapkan
bertambahnya antibodi dalam badan dan menjadi lekas sembuh.

2.   Pengobatan lokal

      Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan. Lesi
kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-baiknya.
Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada
hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.

Infeksi pada mata harus diberikan :

Sulfas atropine sebagai salap atau larutan, Kebanyakan dipakai sulfas atropine
karena bekerja lama 1-2 minggu.

Efek kerja sulfas atropine :


a. Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
b. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
c. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.

Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga


mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi
midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru
·         Skopolamin sebagai midriatika.
63

·         Analgetik.
     Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain
tetapi jangan sering-sering.
·         Antibiotik
     Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum
luas diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan
ulkus sebaiknya tidak diberikan salap mata karena dapat memperlambat
penyembuhan dan juga dapat menimbulkan erosi kornea kembali.
·         Anti jamur
     Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi
:
a. Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal
amphotericin B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin > 10
mg/ml, golongan Imidazole
b. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal, Natamicin,
Imidazol
c. Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol
d. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis
anti biotik

Anti Viral
            Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid
lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk infeksi
sekunder analgetik bila terdapat indikasi.
            Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-A, PAA,
interferon inducer.
            Perban tidak seharusnya dilakukan pada  lesi infeksi supuratif karena dapat
menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang baik
terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang diperlukan
pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi rangsangan.
64

      Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :


1.      Kauterisasi
a)      Dengan zat kimia : Iodine, larutan murni asam karbolik, larutan murni
trikloralasetat
b)      Dengan panas (heat cauterisasion) : memakai elektrokauter atau termophore.
Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung panas disentuhkan
pada pinggir ulkus sampai berwarna keputih-putihan.
2.      Pengerokan epitel yang sakit
            Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat tidak
menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti cairan coa yang lama dengan
yang baru yang banyak mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh.
Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan konjungtiva dari
sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi
perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau
sudah sembuh flap konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
      Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi spontan berikan
sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat. Segera berbaring dan jangan
melakukan gerakan-gerakan. Bila perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya
baru saja, maka dapat dilakukan :
§  Iridektomi dari iris yang prolaps
§  Iris reposisi
§  Kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva
§  Beri sulfas atripin, antibiotic dan balut yang kuat
      Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah berlangsung lama, kita
obati seperti ulkus biasa tetapi prolas irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya
sembuh menjadi leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.

3. Keratoplasti
             Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu
65

penglihatan, kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam


penglihatan, serta memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1.      Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
2.      Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
3.      Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

PENCEGAHAN
            Pencegahan terhadap ulkus dapat dilakukan dengan segera berkonsultasi
kepada ahli mata setiap ada keluhan pada mata. Sering kali luka yang tampak
kecil pada kornea dapat mengawali timbulnya ulkus dan mempunyai efek yang
sangat buruk bagi mata.

-          Lindungi mata dari segala benda yang mungkin bisa masuk kedalam mata

-          Jika mata sering  kering, atau pada keadaan kelopak mata tidak bisa menutup
sempurna, gunakan tetes mata agar mata selalu dalam keadaan basah

-          Jika memakai lensa kontak harus sangat diperhatikan cara memakai dan
merawat lensa tersebut.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering timbul berupa:

1. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat


2. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
3. Prolaps iris
4. Sikatrik kornea
5. Katarak
6. Glaukoma sekunder

PROGNOSIS

             Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada
66

tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu
penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin
tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama
mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak
ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat
menimbulkan resistensi.

            Ulkus kornea harus membaik setiap harinya dan harus disembuhkan
dengan pemberian terapi yang tepat. Ulkus kornea dapat sembuh dengan dua
metode; migrasi sekeliling sel epitel yang dilanjutkan dengan mitosis sel dan
pembentukan pembuluh darah dari konjungtiva. Ulkus superfisial yang kecil dapat
sembuh dengan cepat melalui metode yang pertama, tetapi pada ulkus yang besar,
perlu adanya suplai darah agar leukosit dan fibroblas dapat membentuk jaringan
granulasi dan kemudian sikatrik.

Anda mungkin juga menyukai