Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No.

4 (2017): 459-476
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM MENUMBUHKAN BUDAYA


ANTI KORUPSI DI INDONESIA

Putra Perdana Ahmad Saifulloh*

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya


Korespondensi: putrappas@gmail.com
Naskah dikirim: 20 Maret 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Juni 2017

Abstract
Post – reform, anti – corruption agenda into a central theme of law
enforcement in Indonesia. Corruption is crime that has personality and
characteristic as an extraordinary crime. To eradicate corruption, Parliament
and Government have made regulation of legislation and formed corruption
eradication institution. The institution that is still trusted by public for doing
corruption eradication is Corruption Eradication Commission (KPK). KPK
formed because the corruption eradication is done by police and prosecutor
have not optimal. The effort which has been done by KPK, Prosecutor and
Police is action effort that requires a big budget. Corruption eradication will
never succeed and optimal in case country just depends on law enforcement
institution. Actually the lowest cost of corruption eradication effort is
prevention. This college has a central role in corruption prevention thing,
especially in growing anti - corruption culture, increasing awareness of law
and internalizing integrity values toward college student. The college student
are candidate of nation leader in the future who need to protected in order to
get off from corruption behavior or corruption crime. Therefore maximize of
Tri Dharma in college increasing effort anti - corruption culture for college
student and society.
Keywords: The college, Culture, Anti – Corruption.

Abstrak
Pasca Reformasi, agenda pemberantasan korupsi menjadi tema sentral
penegakan hukum di Indonesia. Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki
sifat, dan karakter sebagai extra ordinary crime. Untuk memberantas korupsi,
DPR, dan Pemerintah sudah membuat peraturan perundang-undangan dan
membentuk lembaga pemberantas korupsi. Lembaga yang sampai saat ini
masih dipercaya masyarakat dalam melakukan pemberantasan korupsi adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK dibentuk karena pemberantasan korupsi
yang dilakukan oleh kepolisian, dan kejaksaan belum optimal. Upaya yang
dilakukan KPK, Jaksa, dan Polisi selama ini adalah upaya penindakan yang
membutuhkan anggaran besar. Pemberantasan Korupsi tidak akan pernah

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol47.no4.1591
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 460

berhasil, dan optimal jika negara hanya mengandalkan penindakan yang


dilakukan lembaga penegak hukum. Sebenarnya upaya memberantas korupsi
yang paling murah adalah dengan upaya pencegahan. Perguruan Tinggi disini
memiliki peran yang sentral dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi,
terutama dalam menumbuhkan budaya anti korupsi, peningkatan kesadaran
hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas kepada Mahasiswa. Mahasiswa
yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan perlu dibentengi agar
terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak tindak korupsi. Untuk itu
optimalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah upaya untuk menumbuhkan
budaya anti korupsi bagi Mahasiswa, dan Masyarakat.
Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Budaya, Anti Korupsi.

I. Latar Belakang
Salah satu warisan masalah yang diberikan oleh Orde Baru adalah
persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi merupakan pemicu kuat
rubuhnya Pemerintahan Orde Baru yang kemudian melangkah ke reformasi. Di
era Orde Baru sejalan dengan gaya pemerintahannya yang otoriter, korupsi
tersentralisasi, dan menumpuk pada keluarga Presiden Soeharto, dan kroni-
kroninya. Akibatnya korupsi menjadi budaya pemerintahan orde baru, dan
dijadikan budaya oleh pejabat publik, baik di tingkat eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.1
Pasca Reformasi, agenda pemberantasan korupsi menjadi tema sentral
penegakan hukum di Indonesia. Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan
perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara
umum tindak pidana ini tidak hanya mengakibatkan kerugian keuangan negara,
tetapi dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial,
ekonomi, keamanan, politik, dan budaya. Korupsi juga merupakan tindak
pidana yang dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas suatu bangsa.
Bahkan, korupsi selain menyengsarakan rakyat, juga melanggar hak-hak
ekonomi dan sosial rakyat.2
Korupsi dalam sudut pandang hukum pidana merupakan merupakan
kejahatan internasional yang memiliki sifat, dan karakter sebagai extra
ordinary crime. Menurut Edward O.S. Hiariej, ada empat alasan mengatakan
korupsi sebagai extra ordinary crime. Yang pertama, korupsi merupakan
kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis; yang kedua, korupsi
dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk
membuktikannya; yang ketiga, korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan;
yang keempat, korupsi adalah kejahatan yang berhubungan dengan nasib orang

1
Zainal Arifin Mochtar, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan,
dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers:
Jakarta, 2016), hlm. 81-82.
2
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press,
2015), hlm. 267-342.
461 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

banyak karena keuangan Negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk
kesejahteraan rakyat.3
Menurut Indah Harlina korupsi bukan hanya tergolong sebagai extra
ordinary crime, akan tetapi lebih dari itu korupsi juga bertentangan dengan
Asas Negara Hukum, bahkan dapat merusak cita-cita Negara hukum yang
dianut Indonesia.4 Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.5 Karakteristik utama konsep negara hukum adalah
prinsip hukum yang wajib dihormati oleh siapapun, termasuk oleh pembuat
undang-undang sebagai pembentuk hukum juga terikat padanya.6 Menurut
Julius Stahl ada empat ciri yang harus dimiliki dan menjadi ciri negara hukum
(rechsstaat), yaitu: perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, pemerintahan
berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.7 Menurut A.V.
Dicey, unsur-unsur rule of law, antara lain: supremasi hukum (supremacy of
the law), persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law), dan
due process of law.8 Dalam negara hukum, ada tiga hal yang harus diperhatikan
dalam penegakan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan
hukum.9 Indah Harlina mengemukakan alasan mengapa korupsi bertentangan
dengan Asas Negara Hukum yang dianut Indonesia. Pertama, korupsi
merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua, korupsi merusak tatanan
sistem hukum akibatnya penegakan hukum tidak berjalan sehingga kepastian
hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmanssigkeit), dan keadilan
(Gerechtigkeit) tidak dapat diwujudkan. Ketiga, korupsi memiliki dampak luas.
Rusaknya tatanan negara hukum karena korupsi juga mengakibatkan dampak
yang merugikan masyarakat luas.10
Brutalnya korupsi itu menjadi inisiatif munculnya pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).11 KPK dibentuk dengan misi utama melakukan
penegakan hukum, yakni dalam hal pemberantasan korupsi. Dibentuknya
lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa lembaga penegak hukum
konvensional, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu

3
Edward O.S. Hiariej, “Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset Kejahatan
Korupsi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Tanggal 30 Januari 2012, hlm. 1-2.
4
Indah Harlina, “Kedudukan, dan Kewenangan Komisi Pemberntasan Korupsi dalam
Penegakan Hukum”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2008, hlm. 70.
5
PadmoWahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indah, 1986), hlm. 1.
6
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
hlm. 15.
7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 141.
8
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 10.
9
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty,
2003), hlm. 160.
10
Indah Harlina, Op.Cit., hlm 70.
11
Zainal Arifin Mochtar, Op.Cit., hlm. 83.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 462

memberantas korupsi.12 Oleh karena itu perlu dibentuk lembaga khusus yang
mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan mana
pun. Selain itu, dengan semakin canggihnya cara orang melakukan korupsi,
badan penegak hukum konvensional semakin tidak mampu mengungkapkan
dan membawa kasus korupsi besar ke pengadilan.13 Dari KPK berdiri sampai
sekarang, KPK masih menjadi lembaga primadona dalam pemberantasan
korupsi, walaupun ada gerakan yang oleh Denny Indrayana disebut sebagai
corruptor fight back yang ingin mempelemah KPK.14 Akan tetapi, Penulis
menilai ada kelemahan dari apa yang dilakukan KPK, Jaksa, dan Polisi selama
ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mengingat cara yang
digunakan kebanyakan adalah penindakan yang membutuhkan anggaran
besar.15
Secara umum penegakan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu:
pencegahan,16 dan penindakan.17 Penulis menilai tidak akan pernah berhasil,

12
Teten Masduki dan J. Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, dalam Jurnal
Jentera, Edisi 8, Tahun III, Maret, 2005, hlm. 41.
13
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas Nasional),
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 177.
14
Menurut Bambang Widjojanto ada empat modus corruptor fight back yang
dilakukan kepada KPK, diantaranya: (1). Melakukan uji materi yang tujuannya mengamputasi
kewenangan-kewenangan strategis KPK, sudah 12 kali UU KPK diuji materikan ke Mahkamah
Konstitusi: (2). Usaha untuk merevisi UU KPK yang tujuannya memperlemah KPK yang
paling gencar dengan cara upaya menghilangkan senjata pamungkas KPK yaitu penyadapan,
dan menghilangkan penuntutan dari kewenangan KPK; (3). Melakukan kriminalisasi kepada
Pimpinan KPK, Tahun 2009, setelah Antasari Azhar diberhentikan tetap karena menjadi
terdakwa pembunuhan berencana, dua Wakil Ketua KPK: Bibit Samad Rianto, dan Chandra
M. Hamzah dijadikan tersangka oleh Polisi yang dikenal sebagai Cicak VS Buaya Jilid 1, tidak
berhenti sampai disitu Tahun 2015 adalah masa gelapnya KPK dimana Ketua KPK, Abraham
Samad, Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, dan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan
dijadikan tersangka oleh Polisi atas kasus yang terkesan “dicari-cari”. Oleh Publik kejadian ini
dijuluki Cicak VS Buaya Jilid 2. (4). Modus baru yang terakhir adalah dengan cara menaruh
orang-orang tidak kredibel di internal KPK yang menjadikan KPK kehilangan kepercayaan
publik. Penulis sarikan dari komentar Mantan Wakil Ketua KPK, Dr. Bambang Widjojanto,
S.H., L.L.M., M.H di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, di Puri Imperium Office Plaza
(UG) floor unit 15, Jl. Kuningan Madya Kav 5-6, Jakarta Selatan, Pukul 12.30 WIB saat
peluncuran buku, diskusi, dan bedah buku “Jangan Bunuh KPK” karya Prof. Denny Indrayana,
S.H., L.L.M., Ph.D.
15
Terbukti APBN untuk KPK Tahun 2015: 0,9 Triliun, dan Tahun 2016 naik menjadi
1,1 Triliun; APBN untuk Polri di Tahun 2015: 57,1 Triliun, dan Tahun 2016 naik menjadi 73
Triliun; APBN untuk Mahkamah Agung mengalami kenaikan dari 8,6 Triliyun di Tahun 2015,
menjadi 9 Triliyun di Tahun 2016; APBN untuk Kejaksaan Tahun 2016 pun terhitung besar:
4,5 Triliyun. Bayangkan jika APBN-APBN ini digunakan untuk sektor-sektor lain, seperti
kesehatan, dan program-program kesejahteraan rakyat lainnya. Lihat Kementrian Keuangan RI,
Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Untuk Memperkuat Pondasi
Pembangunan yang Berkualitas, (Jakarta: Kementrian Keuangan RI, 2016), hlm. 25.
16
Dalam konsep penegakan hukum, pencegahan berarti melakukan upaya-upaya agar
tidak terjadi pelanggaran hukum. Didik Supriyanto, et.al, Penguatan Bawaslu: Optimalisasi
Posisi, Organisasi dan Fungsi dalam Pemilu 2014, (Jakarta: Perkumpulan Untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), 2012), hlm. 61.
17
Dalam konsep penegakan hukum pidana, penindakan itu meliputi menetapkan
seseorang sebagai tersangka untuk diproses hukum, mendudukkan seseorang sebagai terdakwa
463 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

dan optimal jika negara hanya mengandalkan penindakan yang dilakukan


lembaga penegak hukum. Sebenarnya upaya memberantas korupsi yang paling
murah adalah dengan upaya pencegahan agar korupsi tidak terulang di masa
yang akan datang. Penulis menilai Perguruan Tinggi disini memiliki peran
yang sentral dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi, terutama dalam
menumbuhkan budaya anti korupsi, peningkatan kesadaran hukum, dan
penanaman nilai-nilai integritas kepada Mahasiswa. Mahasiswa yang
merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan perlu dibentengi agar
terhindar dari perilaku koruptif maupun tindak tindak korupsi.
Perguruan Tinggi sebagai lingkungan kedua bagi mahasiswa, dapat
menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Perguruan Tinggi dapat
memberikan nuansa yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai-
nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk di dalamnya perilaku
antikorupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk penanaman pola pikir, sikap
dan perilaku antikorupsi yaitu melalui kuliah, karena kuliah adalah proses
pembudayaan.18
Perguruan Tinggi di Indonesia mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan nilai-nilai anti korupsi. Karena manusia yang lahir melalui
sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas
serta dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di saat institusi
lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi
pendidikan dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai
antikorupsi. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual
dan moral peserta mahasiswa. Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling
depan untuk mencegah korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang
bersih dan baik (clean and good governance) untuk masa yang akan datang.
Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada tiga hal yang bisa
dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi: (1). Di bidang pendidikan, dan
pengajaran; (2). Dalam bidang penelitian; (3). Untuk bidang pengabdian
kepada masyarakat. Dengan dioptimalkannya Tri Dharma Perguruan Tinggi,
Penulis optimis budaya anti korupsi, dan kesadaran hukum bagi Mahasiswa,
dan Masyarakat dapat tumbuh di Indonesia. Dalam paper ini, Penulis akan
menggambarkan, dan menjelaskan tentang hal-hal apa saja yang harus
dilakukan Perguruan Tinggi untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di
Indonesia.

II. Metode Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang Penulis teliti, penelitian ini adalah
penelitian hukum (legal research). Menurut F. Sugeng Istanto, penelitian

untuk disidang pengadilan, dan menjatuhkan vonis terpidana untuk mendapatkan hukuman.
Lihat Luhut M.P. Pangaribuan, et.al, Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan
Adversarial: Butir-Butir Pikiran PERADI Untuk Draft RUU-KUHAP, (Jakarta: Papan Sinar
Sinanti dengan PERADI, 2010), hlm. 11-24.
18
Fuad Hassan, Pendidikan Adalah Pembudayaan; dalam Pendidikan Manusia
Indonesia. (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 9.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 464

hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada ilmu
hukum.19 Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di depan,
metode penelitian yang tepat untuk maksud tersebut ialah metode penelitian
hukum Socio-legal studies. Socio legal studies adalah nama lain untuk istilah
law and societies studies. Socio-legal studies adalah istilah generik untuk
menyebutkan semua ilmu-ilmu sosial yang mempelajari hukum. Socio legal
studies berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah sebuah gejala sosial yang
terletak dalam ruang sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks
sosial. Hukum bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan bukan
merupakan bagian dari elemen sosial yang lain. Hukum tidak akan mungkin
bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri sekalipun ia dilengkapi
dengan perangkat asas, norma dan institusi.20
Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan paper ini
adalah pendekatan behaviorial jurisprudence, dan pendekatan konseptual.
Pendekatan behaviorial jurisprudence adalah pendekatan tentang bagaimana
seseorang atau komunitas berperilaku,21 yang penulis teliti adalah bagaimana
peran perguruan tinggi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Sedangkan
pendekatan konseptual, yaitu: pendekatan yang berangkat dari perkembangan
ilmu hukum dalam menguraikan gagasan atas permasalahan relevan yang
tengah dihadapi.22
Data atau informasi dalam penelitian ini diperoleh secara kualitatif dan
disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis, yaitu dasar hukum, data dan
fakta-fakta yang ada dideskripsikan dan kemudian dianalisis berdasarkan teori
yang Penulis gunakan.23 Analisis ini ditujukan untuk memecahkan masalah
(problem solving)24 yang ada dalam paper ini.

III. Pembahasan
Dalam beberapa dekade bisa dikatakan upaya pemberantasan korupsi di
berbagai tempat dilakukan dengan lebih mengandalkan upaya hukum represif
(penindakan). Bahkan sebagian Negara telah menghalalkan hukuman mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi. Untuk di Indonesia terbukti terjadi kesenjangan
yang cukup besar antara upaya hukum represif (penindakan) dengan upaya
hukum preventif (pencegahan). Upaya hukum preventif (pencegahan) kurang
mendapat perhatian dari banyak pihak, karena fokus masyarakat, dan media
massa lebih pada aksi-aksi penindakan. Tetapi semakin banyak kasus korupsi

19
F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta: CV Ganda, 2007), hlm. 29.
20
Rikardo Simarmata, Socio Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum,
Makalah Tanpa Tahun, dan Tanpa Penerbit, hlm. 8-9.
21
Antonius Sudirman, Hakim, dan Putusan Hakim: Suatu Studi Perilaku Hukum
Hakim Bismar Siregar, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 1999,
hlm. 20-22.
22
Pieter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005),
hlm. 95.
23
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm.
129.
24
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2009), hlm. 32.
465 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

terkuak, masyarakat akan mencari benang merah berbagai faktor yang


membuat korupsi begitu mudah dilakukan oleh para koruptor. Longgarnya
sistem administrasi anggaran, lemahnya hukum, dan faktor-faktor terkait
sistem lainnya menyodorkan peluang terjadinya korupsi. Muncul kecemasan
ketika gagapnya moral, etika, dan nlai individu ditemukan sebagai faktor yang
melandasi perilaku korupsi tersebut. Upaya hukum represif (penindakan)
merupakan salah satu pendekatan yang penting, tetapi hanya akan berhasil bila
dikombinasikan dengan berbagai pendekatan lain.
Menurut Penulis pendekatan preventif berperan sangat strategis dalam
pemberantasan korupsi karena upaya preventif akan mempunyai jangkauan
yang lebih luas dengan efek jangka panjang menuju lingkungan yang bebas
dari korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir mulai menguat perhatian banyak
pihak terhadap perlunya upaya preventif yang lebih menyentuh masyarakat
akar rumput sekaligus melahirkan generasi bersih korupsi. Salah satunya
melalui jalur pendidikan. Pendidikan Penulis pilih dalam melakukan
pemberantasan korupsi karena pendidikan dipandang akan selalu eksis
sepanjang kehidupan manusia, dan secara simultan memperbaiki kualitas
kemanusiaan manusia, melalui perbaikan akal budi, dan moral.
Menurut Penulis, upaya perbaikan moral melalui pendidikan merupakan
faktor kunci yang bertujuan memberikan pemahaman mengenai korupsi, dan
ruang lingkupnya kepada masyarakat luas, diharapkan akan membuka
wawasan bagi masyarakat, khususnya bagi peserta didik untuk menganggap
korupsi sebagai musuh bersama yang harus diperangi.
Pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan perbaikan sistem hukum,
kelembagaan, dan budaya masyarakat. Selain perbaikan sistem hukum dan
kelembagaan, perlu pula dilakukan perbaikan manusianya atau budaya
masyarakat.25 Dalam sudut pandang ilmu hukum, peran Perguruan Tinggi
sangat sentral dalam menumbuhkan budaya anti korupsi untuk Mahasiswa, dan
masyarakat Indonesia ketika memandang hukum sebagai sebuah sistem.
Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa budaya hukum merupakan suasana
pemikiran sosial, dan kekuatan sosial, yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum masyarakat.26 Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik, dan dapat merubah
pola pikir masyarakat mengenai hukum.27 Pemberantasan korupsi sangat
bergantung dari indikator-indikator budaya hukum yang dianut oleh setiap
institusi, dan penegak hukum. Budaya anti korupsi harus dimobilisasi melalui
gerakan hukum, dan gerakan sosial politik secara simultan. Gerakan ini harus

25
Saptono, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII, (Jakarta: Phibeta,
2007, hlm. 108-109.
26
Lawrence M. Friedmann, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh
Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2007), hlm. 7.
27
Menurut Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum adalah kesadaran tentang apa
yang seyogyanya manusia lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak manusia lakukan
atau perbuat. Lihat Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
(Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 3.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 466

dimotori oleh budaya integritas moral masyarakat, dan aparat penegak hukum
sehingga masyarakat sadar dalam budaya anti korupsi dalam semua lapisan.28
Untuk itu Penulis berpendapat Perguruan Tinggilah yang memilki tanggung
jawab moral untuk mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang bermoral di
masa depan. Untuk menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia, Penulis
berpendapat Perguruan Tinggi dapat mengoptimalkan Doktrin Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang Penulis akan jabarkan secara jelas dalam bab ini.

1. Dalam bidang Pendidikan, dan Pengajaran


Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-
individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita
masyarakat. Suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi
mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakatnya.29 Sedangkan di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan secara umum selalu dicirikan oleh dua kepedulian yaitu
budaya dan masyarakat, yaitu pemindahan keterampilan-keterampilan teknis
yang perlu untuk menjalankan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup, serta
pemindahan nilai-nilai agama, filosofis, budaya dan sosial dari masing-masing
masyarakat dan penduduk tersebut ke generasi muda. Pendidikan secara luas
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan,
pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses
pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang bermoral.30
Manusia dijuluki sebagai animal educandum sekaligus animal
educandus, yaitu makhluk yang dididik sekaligus makhluk yang mendidik.
Maka pengertian pendidikan jelas lebih luas daripada sekedar perkuliahan.
Pendidikan dipahami sebagai ikhtiar pembudayaan. Pendidikan tidak hanya
merupakan prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi
juga nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial.31

28
Saldi Isra, et.al, Obstruction Of Justice: Tindak Pidana Menghalangi Proses
Hukum dalam Upaya Pemeberantasan Korupsi, (Jakarta: Themis Book, 2015), hlm. 127.
29
Hasil Wawancara Penulis dengan Yuhaeni, S.Pd (Kepala Sekolah SDN Petukangan
Utara 02, Jakarta), Tanggal 6 Desember 2016, di SDN Petukangan Utara 02, Jl. Darul Falah,
RT.004/RW.003 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Pukul 08.00-09.00 WIB.
30
Ibid.
31
Fuad Hassan, Op.Cit., hlm. 5.
467 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan


pendidikan yang sering disebut taxonomy Bloom. Pertama, ranah kognitif yang
menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah
dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan
ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi,
sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih
keterampilan seperti menulis dan teknik mengajar. Dari ketiga ranah
pendidikan tersebut harus selaras dan saling melengkapi.32
Keterlibatan pendidikan dalam upaya pencegahan korupsi memiliki
kedudukan strategis antisipatif. Korupsi oleh sebagian negara telah dianggap
sebagai kejahatan transnasional. Sehingga memunculkan banyak ide terhadap
cara pencegahan korupsi tersebut. Salah satu ide yang dicanangkan adalah
melalui pendidikan. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang
tinggi telah menumbuhkan budaya anti korupsi melalui berbagai upaya. Tidak
terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya untuk
menumbuhkan budaya anti korupsi. Hal tersebut didasari pada kepekaan
terhadap problematika bangsa yang harus dicegah mata rantainya mulai dari
generasi bangsa pada sektor pendidikan.
Menumbuhkan budaya anti korupsi secara umum dikatakan sebagai
pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir
dan nilai-nilai baru kepada peserta didik. Kejujuran merupakan prinsip dasar
dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Menumbuhkan budaya anti korupsi
yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi, menjadi tugas dan tanggung jawab
para pendidik. Untuk mewujudkan, dan menumbuhkan budaya anti korupsi,
pendidikan di Perguruan Tinggi harus diorientasikan pada tataran moral action,
agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja,
tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam
mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.33
Dalam pendidikan karakter, menyatakan bahwa untuk mendidik moral
mahasiswa sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan
yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga
moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.
Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara
optimal, baik aspek pada kecerdasan intelektual, emosional maupun spritual.34
Menumbuhkan budaya anti korupsi dapat diberikan pada setiap
pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral antikorupsi di sekolah,
sehingga Mahasiswa dapat memiliki pandangan dan sikap yang permissive
terhadap segala bentuk praktik korupsi. Menumbuhkan budaya anti korupsi
yang diberikan di Perguruan Tinggi diharapkan dapat menyelamatkan
Mahasiswa agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi

32
Muslihati, Belajar dan Pembelajaran, (Malang: LP3 Universitas Negeri Malang,
2005), hlm. 12.
33
M. Nasih, Materi Presentasi Yang Disampaikan di Indonesia Anti Corruption
Forum V, Tanggal 29 November 2016, di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
34
Ibid.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 468

sebelumnya. Langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan


akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia.
Dalam bidang Pendidikan, dan Pengajaran. Penulis rasa tidak cukup
dengan memasukkan mata kuliah Pendidikan anti korupsi, Character Building,
dan Civic Education di kurikulum Perguruan Tinggi. Penulis memandang tiga
mata kuliah ini adalah mata kuliah yang penting, akan tetapi di tengah-tengah
peradaban zaman sekarang Penulis kira sangat instant apabila mengaharapkan
dengan diajarkannya tiga mata kuliah itu kepada Mahasiswa, budaya anti
korupsi akan tercipta di Indonesia. Mengingat banyak juga insan akademik
yang merupakan Dosen, dan Guru Besar di Perguruan Tinggi ketika diberi
amanah menduduki jabatan-jabatan strategis tertentu bukannya memajukan
Negara, malah ikut merusak sendi-sendi kehidupan bernegara.35
Di dalam konteks menumbuhkan budaya anti korupsi, yang terpenting
adalah tujuan pendidikan nilai. Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara
filosofis merupakan internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman
praktik korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan
(aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi. Dengan demikian, internalisasi
nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan
generasi bangsa dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk
menentang korupsi.36 Membangun budaya anti korupsi tidak semudah
membalikan telapak tangan. Yang sekarang wajib Perguruan Tinggi lakukan
adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan riil yang bisa dilihat Mahasiswa.
Semua harus sadar bahwa membangun manusia tidak seperti menanam
jagung yang beberapa bulan dapat dipanen hasilnya. Dalam konteks
membangun manusia sangat mungkin seseorang tidak berkesempatan melihat
hasil dari apa yang diusahakan. Demikian halnya dengan membangunn pribadi
antikorupsi, harus dilakukan secara terus menerus. Disinilah sebuah visi jangka
panjang bangsa yang bisa memakan waktu yang sangat lama mengingat masa
depan milik generasi hari ini, tetapi milik generasi yang akan datang.
Contohnya yang paling terpenting, bisa dilihat, dan dirasakan
Mahasiswa adalah yang pertama, contoh ketauladanan Pejabat di Perguruan
Tinggi, dan para Dosennya untuk bersikap jujur, tegas, dan disiplin kepada
mahasiswanya. Ketauladanan Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para dosen

35
Sebagai contoh pada Tahun 2005, Ketua KPU, Prof. Dr. Nazarudin Syamsudin,
M.A, divonnis tujuh Tahun Penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Drs. Mulyana W.
Kusumah juga divonnis 15 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas kasus
korupsi Dana Taktis KPU (Keduanya merupakan Dosen di FISIP UI); Tahun 2006, Menteri
Agama 2001-2004, Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A (Dosen di Fakultas
Dakwah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) divonnis lima Tahun penjara atas kasus korupsi di
penyelenggaraan ibadah haji, dan dana abadi umat Departemen Agama Tahun 2002-2004 oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; Pada Tahun 2009, Dirjen AHU Departemen Kehakiman, dan
HAM 2000-2002, yang juga Guru Besar Hukum Pidana FH UNPAD divonnis dua tahun
penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, walaupun bebas di tingkat kasasi; yang
terakhir Kepala SKK Migas 2013, yang juga Guru Besar Teknik Perminyakan ITB, Prof. Dr.
Ir. Rudi Rubiandini divonnis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis sarikan dari berbagai sumber berita.
36
M. Nasih, Op.cit.
469 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

memiliki peranan penting dalam menumbuhkan budaya anti korupsi. Dosen


dapat memberikan contoh kepada mahasiswa mengenai pembelajaran yang
baik termasuk jam kehadiran mengajar, tata cara berpakaian yang baik, dan
kedisiplinan berkaitan dengan maksimal kehadiran dalam mengikuti
perkuliahan. Dengan ketauladan ini adalah pelajaran yang berharga kepada
mahasiswa, dan mahasiswi untuk mencontoh sikap para dosennya tersebut, dan
menghilangkan sikap koruptif untuk mahasiswa-mahasiswinya.
Yang kedua, Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya untuk
berani mengikis budaya diberi amplop oleh Mahasiswa karena ini yang Penulis
anggap akar-akar sikap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pejabat di Perguruan
Tinggi, dan para Dosennya harus memiliki sikap yang qanaah (sikap merasa
cukup dengan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya). Pejabat di Perguruan
Tinggi, dan para Dosennya harus menyadari bahwa rezeki itu datangnya dari
Tuhan dari arah yang tidak diduga-duga. Sikap merasa cukup dengan take
home pay yang dibawanya setiap bulan, dan honor yang didapat saat
membimbing, dan menguji skripsi, tesis, dan disertasi adalah sikap untuk
mengikis budaya diberi amplop, dan diberi sesuatu oleh Mahasiswa, dan
Mahasiswi. Penulis yakin dengan keteladanan dari Pejabat di Perguruan
Tinggi, dan para Dosennya adalah sikap untuk menanamkan budaya anti
korupsi bagi generasi muda di masa depan, mengingat pendapat Suradi
mengatakan faktor terjadinya korupsi itu karena adanya peluang atau
kesempatan untuk melakukan korupsi.37
Yang ketiga, Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya demi
integritas ilmiah, dan menyelamatkan dunia akademik harus berani tegas
dengan memberi punishment untuk tidak meluluskan Mahasiswa yang
mencontek pada saat ujian, serta melakukan drop out bagi Mahasiswa yang
plagiat dalam penyususnan skripsi, tesis, dan disertasi. Begitu juga sebaliknya
untuk Mahasiswa yang berprestasi, dan jujur harus diberi reward oleh
Perguruan Tinggi untuk pemicu untuk mahasiswa, dan mahasiswi yang lain
berlomba-lomba dalam meningkatkan prestasi, dan kejujuran.
Yang keempat, pepatah tidak mungkin menyapu dengan sapu yang kotor
mungkin masih relevan dengan dunia pendidikan tinggi. Untuk mendidik
mahasiswa, dan mahasiswi menjadi insan yang anti korupsi, Pejabat di
Perguruan Tinggi, dan para Dosennya juga harus jujur, bermoral, dan pintar.
Menurut Moh. Mahfud MD, Dosen wajib memilki sikap jujur, bermoral, dan
pintar secara kumulatif karena dewasa ini banyak dosen yang tidak memiliki
sikap integritas kecendiakawanan. Banyak dosen yang menggunakan ghost
writer untuk menulis disertasi, dan menulis kolom-kolom di Koran. Untuk naik
pangkat, tidak jarang dosen yang mencuri karya temannya, dan bahkan ada
yang menulis data, dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya yang
kemudian diakui sebagai karyanya sendiri. Pejabat di Perguruan Tinggi, dan
para Dosennya harus pintar, dan bermoral sebab jika hanya pintar sekarang
banyak dijumpai dosen yang menjadi “ilmuwan tukang” yang dapat

37
Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai Pengertian
Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya, (Yogyakarta: Gava Media, 2006), hlm. 11-16.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 470

memberikan pandangan-pandangan yang seolah-olah ilmiah berdasarkan


pesanan, kepentingan politik, dan kepentingan perkawanan. Miris kalau
dijumpai ada Guru Besar, dan Dosen Hukum memberikan keterangan ahli di
Pengadilan dengan bayaran tinggi untuk menyelematkan koruptor, misalnya
membelokkan masalah yang tadinya hukum pidana menjadi hukum perdata
atau hukum administrasi. Apa kita bisa berharap dengan dosen-dosen yang
hanya pintar, tetapi tidak bermoral, dan jujur dalam mendidik generasi muda di
masa depan. Itulah sebabnya mengapa bangsa ini dilanda krisis multidimensi,
salah satu penyebabnya karena dosen-dosennyapun sudah tidak memilki
integritas kecendiakawanan, dan konsep pendidikan tinggi di Indonesia suadah
melupakan ruh etika, dan moral dalam penyelenggaraan pendidikannya.38
Menurut Baharudin Lopa, jika Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para
Dosennya mampu menjadi tauladan dari perilaku anti korupsi, sikap koruptif,
dan tindak pidana korupsi, hal itu akan sangat membantu. Kalau golongan atas,
sudah bersih diharapkan Mahasiswa yang melihat perilaku baik Pejabat di
Perguruan Tinggi, dan para Dosennya diharapkan akan mencontoh sikap baik
dari Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya. Dalam hubungan
ketauladanan ini perlu kiranya kita ingat salah satu Hadits Rasulullah SAW
yang intinya akan memperoleh terus amal seseorang yang mampu memberi
teladan yang positif bagi sesamanya, dan sebaliknya akan diganjar dosa diikuti
dengan siksaan yang pedih bagi seseorang yang memberi contoh perbuatan
tidak terpuji bagi sesamanya. Tidak diragukan, peringatan Rasulullah SAW ini
termasuk ditujukan kepada para pejabat/pemimpin yang menyalahgunakan
kekuasaannya, dan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang diikuti
bawahannya.39
Secara umum tujuan menumbuhkan budaya anti korupsi adalah: (1)
pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan
aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3)
pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan
korupsi. Sedangkan manfaat dalam jangka panjangnya adalah menyumbang
pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program anti korupsi serta
mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri mahasiswa yang kelak akan
menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan.40 Dalam Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat. Atas dasar ini, upaya menumbuhkan budaya anti korupsi lewat jalur
pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk
membudayakan antikorupsi di Indonesia.
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial
mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan

38
Moh. Mahfud MD, Konstitusi, dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hlm. 104-106.
39
Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi, dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hlm. 88.
40
M. Nasih, Op.Cit.
471 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

dan tradisi tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Generasi berikutnya


terkondisikan menerima kebenaran tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan
standar perilaku. Dalam konteks menumbuhkan budaya anti korupsi
dibutuhkan pencarian dan pengembangan kearifan-kearifan lokal (Local
Wisdoms) seperti menghargai pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan
integritas.41
Dilihat dari tujuannya, menumbuhkan budaya anti korupsi di Perguruan
Tinggi merupakan gagasan yang sangat cerdas. Karena mahasiswa merupakan
kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya.42
Menumbuhkan budaya anti korupsi di Perguruan Tinggi merupakan suatu
langkah untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi
menjadi budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah harus bisa
memberikan contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya
keteladanan dari pendidik itu sendiri.

2. Dalam Bidang Penelitian


Dalam bidang penelitian, Perguruan Tinggi diharapkan aktif dalam
melakukan penelitian, dan mengadakan seminar tentang pemberantasan
korupsi yang hasilnya nanti dapat disampaikan ke DPR, dan Pemerintah untuk
merumuskan Hukum Positif yang tepat dalam pemberantasan korupsi, terutama
dalam bidang pencegahan. Idealnya Perguruan Tinggilah yang harusnya
menjadi comprehensive anticorrption legislation reform, akan tetapi yang
ternyata banyak mengadakan seminar, dan penelitian pemberantasan korupsi
adalah Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Indonesian Corruption Watch,
Perkumpulan untuk Pemilu, dan Demokrasi, dan LSM-LSM lain. Akademisi-
Akademisi juga susah untuk meneliti tentang korupsi apabila biayanya tidak
didukung oleh Pemerintah, mengingat penelelitian yang selama ini dibiayai
Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Riset, dan Pendidikan Tinggi mayoritas
didominasi oleh penelitian terapan untuk ilmu-ilmu sains, dan eksakta. Untuk
penelitian hukum yang nantinya dapat memberikan konsep pembernatasan
korupsi, terutama pencegahan belum terlalu dianggap urgen oleh Pemerintah.
Jika banyak seminar, dan penelitian tentang pemberantasan korupsi, terutama
di bidang pencegahan dapat menjadi bahan masukan untuk lembaga penegak
hukum untuk sebagai informasi, dan masukan ketika menangani tindak pidana
korupsi.

3. Untuk Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat


Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis falsafah
dalam pendidikan nilai, moral dan agama. Pendidikan dapat dimaknai dan
dimanfaatkan sebagai instrumen, selain mampu mentransformasikan nilai-nilai
moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering (pemecahan
masalah sosial). M. Nasih memberikan pendapatnya sebagai berikut:43

41
Ibid.
42
Fuad Hassan, Op.Cit., hlm. 8.
43
M. Nasih, Op.Cit.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 472

Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui tindakan preventif adalah
dengan menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan korupsi,
dan sekaligus juga mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai
etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menumbuhkan budaya anti korupsi bisa dilakukan dengan kampanye publik.
Dengan upaya ini diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang
bersih dan menjadi generasi muda yang dapat menjadi contoh bagi generasi
sesudahnya dan sebelumnya.

Untuk bidang pengabdian kepada masyarakat, Perguruan Tinggi wajib


melakukan pembekalan kepada mahasiswa, dan masyarakat umum dengan cara
melalui kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan tentang
bahaya, dan dampak korupsi bagi bangsa, dan Negara. Perguruan Tinggi wajib
mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang antikorupsi sangat
penting. Karena dengan adanya sosialisasi, mahasiswa, dan masyarakat
menjadi mengetahui bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari korupsi.
Selain itu, mahasiswa, dan masyarakat juga mengetahui sanksi-sanksi yang
akan diterima apabila melakukan tindakan korupsi. Dengan demikian
diharapkan, setiap mahasiswa, dan anggota masyarakat, mempunyai kesadaran
hukum yang tinggi. Memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah.
Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan dukungan dari semua pihak
untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung
hingga sekarang ini. Upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi yang
efektif dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan riil berupa
Pengawasan oleh mahasiswa, dan warga masyarakat.
Penegak hukum juga merupakan bagian yang harus Perguruan Tinggi
bekali, sosialisasi, dan arahkan pada pembangunan kesadaran dalam penegakan
hukum. Mental aparat penegak hukum harus kuat, dan penuh integritas. Sebab,
jika mental aparat penegak hukum rusak, penegakan hukum juga rusak.
Dengan Perguruan Tinggi banyak melakukan MOU dengan Lembaga Penegak
Hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Lembaga
Permasyarakatan, dan Perhimpunan Advokat, dan melakukan pengabdian
kepada masyarakat ke lembaga-lembaga tersebut diharapkan reformasi budaya
hukum, dapat menyentuh bukan hanya pelaksanaan hukum berdasarkan
kesadaran, tetapi juga menyentuh proses pembuatan, dan penegakan hukum
oleh Negara.44 Dengan dioptimalkannya Tri Dharma oleh Perguruan Tinggi
dapat menumbuhkan budaya anti korupsi, dan kesadaran hukum bagi
Mahasiswa, dan Masyarakat Umum di Indonesia.

44
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 218-219.
473 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

IV. Penutup

1. Kesimpulan
Upaya memberantas korupsi yang paling murah adalah dengan upaya
pencegahan. Perguruan Tinggi disini memiliki peran yang sentral dalam hal
pencegahan tindak pidana korupsi, terutama dalam menumbuhkan budaya anti
korupsi, peningkatan kesadaran hukum, dan penanaman nilai-nilai integritas
kepada Mahasiswa. Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa di
masa depan perlu dibentengi agar terhindar dari perilaku koruptif maupun
tindak tindak korupsi. Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada
tiga hal yang bisa dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi.

2. Saran
Dengan berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi ada tiga hal yang
bisa dilakukan, dan dioptimalisasi Perguruan Tinggi, yaitu:
1) Di bidang pendidikan, dan pengajaran: Penulis rasa yang paling
terpenting, bisa dilihat, dan dirasakan Mahasiswa adalah contoh
ketauladanan Pejabat di Perguruan Tinggi, dan para Dosennya untuk
bersikap jujur, tegas, dan disiplin kepada mahasiswanya, berani
mengikis budaya diberi amplop oleh Mahasiswa, berani tegas dengan
memberi punishment untuk Mahasiswa yang mencontek pada saat
ujian, serta melakukan drop out bagi Mahasiswa yang plagiat dalam
penyususnan skripsi, dan begitu juga sebaliknya untuk Mahasiswa yang
berprestasi, dan jujur harus diberi reward oleh Perguruan Tinggi.
2) Dalam bidang penelitian, Perguruan Tinggi diharapkan aktif dalam
melakukan penelitian, dan mengadakan seminar tentang pemberantasan
korupsi yang hasilnya nanti dapat disampaikan ke DPR, dan Pemerintah
untuk merumuskan Hukum Positif yang tepat dalam pemberantasan
korupsi, terutama dalam bidang pencegahan, dan untuk lembaga
penegak hukum untuk sebagai informasi, dan masukan ketika
menangani tindak pidana korupsi.
3) Untuk bidang pengabdian kepada masyarakat, Perguruan Tinggi wajib
melakukan pembekalan kepada mahasiswa, masyarakat umum, dan
aparat penegak hukum dengan cara melalui kegiatan sosialisasi,
kampanye, seminar atau perkuliahan tentang bahaya, dan dampak
korupsi bagi bangsa, dan Negara.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 474

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit,
2009.
Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH
UII Press, 2015.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,
Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Friedman, Lawrence M. 2001. Hukum Amerika: Sebuah Pengantar,
diterjemahkan oleh Wishnu Basuki. Jakarta: Tatanusa.
Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Hassan, Fuad, Pendidikan Adalah Pembudayaan dalam Pendidikan
Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas, 2004.
Indonesia, Kementrian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat
Pembangunan Infrastruktur Untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang
Berkualitas. Jakarta: Kementrian Keuangan, 2016.
Isra, Saldi, et.al, Obstruction of Justice: Tindak Pidana Menghalangi
Proses Hukum dalam Upaya Pemeberantasan Korupsi, Jakarta: Themis Book,
2015.
Istanto, F. Sugeng, Penelitian Hukum. Yogyakarta: CV Ganda, 2007.
Lopa, Baharudin, Kejahatan Korupsi, dan Penegakan Hukum, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002.
Mahfud MD, Moh, Konstitusi, dan Hukum dalam Kontroversi Isu,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
________________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Marzuki, Pieter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media
Group, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
Yogyakarta: Liberty, 1981.
____________________, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Yogyakarta: Liberty, 2003.
____________________, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar,
Yogyakarta: Liberty, 2009.
Mochtar, Zainal Arifin, Lembaga Negara Independen: Dinamika
Perkembangan, dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen sistem Intergritas
Nasional), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Saptono, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII, Jakarta:
Phibeta, 2007.
475 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.4 Oktober-Desember 2017

Supriyanto, Didik, et.al, Penguatan Bawaslu: Optimalisasi Posisi,


Organisasi dan Fungsi dalam Pemilu 2014. Jakarta: Perkumpulan Untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem), 2012.
Suradi, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta Mengurai
Pengertian Korupsi, Pendeteksian, Pencegahannya, Yogyakarta: Gava Media,
2006.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta:
Ghalia Indah, 1986.
Zoelva, Hamdan, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.

II. Disertasi / Jurnal / Makalah / Pidato / Tesis


Harlina, Indah, Kedudukan, dan Kewenangan Komisi Pemberntasan
Korupsi dalam Penegakan Hukum, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. 2002.
Hiariej, Edward O.S, Pembuktian Terbalik dalam Pengembalian Aset
Kejahatan Korupsi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Terbuka
Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tanggal 30 Januari
2012.
Masduki, Teten, dan Widoyoko, J. Danang, Menunggu Gebrakan KPK,
dalam Jurnal Jentera. Edisi 8. Tahun III. Maret. 2005.
Nasih, M, Materi Presentasi Yang Disampaikan di Indonesia Anti
Corruption Forum V, Tanggal 29 November 2016, di Universitas Bina
Nusantara, Jakarta.
Simarmata, Rikardo, Socio Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan
Hukum, Makalah Tanpa Tahun dan Tanpa Penerbit.
Sudirman, Antonius, Hakim, dan Putusan Hakim: Suatu Studi Perilaku
Hukum Hakim Bismar Siregar, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1999.

III. Peraturan Perundang-Undangan


Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
____________, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
3874.
____________, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 4150.
____________, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4250.
Peran Perguruan Tinggi, Putra Perdana Ahmad Saifulloh 476

____________, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4301.
____________, Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2012 Nomor 158,
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5336.

IV. Hasil Wawancara


Hasil Wawancara Penulis dengan Yuhaeni, S.Pd (Kepala Sekolah SDN
Petukangan Utara 02, Jakarta), Tanggal 6 Desember 2016, di SDN
Petukangan Utara 02, Jl. Darul Falah, RT.004/RW.003 Petukangan
Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Pukul 08.00-09.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai