Pencampur adukan antara dua variable yaitu agama dan politik bila dibiarkan secara terus menerus akan memicu konflik yang berujung pada perpecahan antar golongan. Sehingga, pemerintah harus bersikap tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan hak setiap warga negaranya dalam berpolitik. Berlatar belakang dari ketakutan timbulnya perpecahan di masyarakat maka munculah apa yang disebut dengan “sekularisme”. Istilah Sekularisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Sekularisme sebagai paham atau prinsip yang memisahkan antara urusan politik dengan urusan agama. Sekularisme pertama kali muncul di Eropa untuk memisahkan doktrin gereja dan ilmu pengetahuan. Sekularisme mulai diperhitungkan bersamaan dengan lahirnya revolusi Perancis. Di sejumlah negara, terdapat perpaduan antara agama dan politik sebagai bentuk simbiosis mutualisme dimana politik memberi jaminan proteksi keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan politik. Secara teori, hubungan agama dan politik berdiri secara sejajar (koordinat), bukan saling mendominasi atau menguasai tetapi saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Namun dalam realitasnya, agama dan politik memiliki dinamikanya tersendiri. Perdebatan ideologis dalam Konstituante tentang dasar negara merupakan titik puncak dinamika hubungan agama dan politik di Indonesia. Tokoh agama seringkali diperalat sebagai penyambung lidah penguasa dengan masyarakat. Karena terdapat keyakinan bahwa tokoh agama memiliki peranan yang sangat besar dalam menarik perhatian masyarakat dalam berpolitik. Sehingga terlintas agama seperti tak berdaya berhadapan dengan politik. Masalah agama bila dikaitkan dengan politik karena memiliki sifat yang sensitive dan emosional sehingga akan sangat mudah untuk diperalat demi mencapai tujuan tertentu. Diktum-diktum keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dan lain sebagainya) yang sangat lentur dan fleksibel selalu diminati karena mudah untuk diseret ke dalam suatu permasalahan sesuai dengan kepentingan pemeluknya 2.6 Dampak Politisasi Agama Buya Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa agama yang benar adalah agama yang membela kemanusiaan, keadilan dan sanggup merayakan perbedaan. Agama bukanlah alat untuk menyebar kebencian (hate speech). Senada dengan pendapat Buya, Sumanto Al- Qurtuby dosen di King Fahd University of Petroleum Arab Saudi menganggap bahwa praktik politisasi agama hanya merendahkan martabat agama bahkan menghina Tuhan Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan, oleh PBB dalam “Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief”, diartikan sebagai setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara. Sikap hipertensi dalam beragama sangat berbahaya bila terus berkembang Pada saat agama semata-mata dijadikan alat politik, maka yang terjadi adalah pengabaian pada nilai-nilai luhurnya. Sebagai contoh, agama melarang dengan tegas transaksi suap menyuap, korupsi, dan perbuatan-perbuatan lain yang merugikan rakyat. Tapi karena agama hanya dijadikan alat politik, tindakan-tindakan buruk ini pun tidak sedikit yang melakukannya. Agama hanya sebatas lips service, hanya sebatas jargon politik yang tidak mewujud dalam tingkah laku politik sehari-hari. Bahaya lain yang tidak bisa dianggap enteng adalah kemungkinan terkoyaknya keutuhan republik. Benar bahwa republik ini lahir dengan dilandasi semangat keagamaan yang kuat. Tapi, yang harus disadari, republik ini juga lahir karena kuatnya semangat kebersamaan dari berbagai unsur yang ada di nusantara, yakni unsur agama, suku, ras, dan ragam budaya. Penonjolan salah satu aspek saja dari beragam unsur ini akan menumbuhkan kecemburuan dan sentimen yang negatif. Jika sentiment negative ini terus dibiarkan bisa mengarah pada perpecahan. Pada intinya, politisasi agama tidak dapat menyudutkan salah satu agama yang ada di Indonesia, melainkan kepada semua praktik-praktik hitam yang mengatas namakan agama dalam ruang lingkup politiknya. Politisasi agama yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan justru bisa mereduksi nilai dari agama itu sendiri. Karena agama merupakan sesuatu yang bersifat emosional dan lahir dari sikap batin seseorang
Daftar pustaka Faridah Siti, Mathias Jerico. 2018. Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa dalam Pemilu. [daring]. https://journal.unnes.ac.id › sju › index.php › snh › article › download