Anda di halaman 1dari 2

2.

5 Agama dan Politik


Pencampur adukan antara dua variable yaitu agama dan politik bila dibiarkan secara
terus menerus akan memicu konflik yang berujung pada perpecahan antar golongan.
Sehingga, pemerintah harus bersikap tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan hak
setiap warga negaranya dalam berpolitik. Berlatar belakang dari ketakutan timbulnya
perpecahan di masyarakat maka munculah apa yang disebut dengan “sekularisme”. Istilah
Sekularisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846.
Sekularisme sebagai paham atau prinsip yang memisahkan antara urusan politik dengan
urusan agama. Sekularisme pertama kali muncul di Eropa untuk memisahkan doktrin gereja
dan ilmu pengetahuan. Sekularisme mulai diperhitungkan bersamaan dengan lahirnya
revolusi Perancis. Di sejumlah negara, terdapat perpaduan antara agama dan politik sebagai
bentuk simbiosis mutualisme dimana politik memberi jaminan proteksi keamanan masyarakat
agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis” untuk melanggengkan kekuasaan
politik. Secara teori, hubungan agama dan politik berdiri secara sejajar (koordinat), bukan
saling mendominasi atau menguasai tetapi saling melengkapi dan menguntungkan satu sama
lain. Namun dalam realitasnya, agama dan politik memiliki dinamikanya tersendiri.
Perdebatan ideologis dalam Konstituante tentang dasar negara merupakan titik puncak
dinamika hubungan agama dan politik di Indonesia. Tokoh agama seringkali diperalat
sebagai penyambung lidah penguasa dengan masyarakat. Karena terdapat keyakinan bahwa
tokoh agama memiliki peranan yang sangat besar dalam menarik perhatian masyarakat dalam
berpolitik. Sehingga terlintas agama seperti tak berdaya berhadapan dengan politik. Masalah
agama bila dikaitkan dengan politik karena memiliki sifat yang sensitive dan emosional
sehingga akan sangat mudah untuk diperalat demi mencapai tujuan tertentu. Diktum-diktum
keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dan lain sebagainya) yang sangat lentur dan
fleksibel selalu diminati karena mudah untuk diseret ke dalam suatu permasalahan sesuai
dengan kepentingan pemeluknya
2.6 Dampak Politisasi Agama
Buya Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa agama yang benar adalah agama yang
membela kemanusiaan, keadilan dan sanggup merayakan perbedaan. Agama bukanlah alat
untuk menyebar kebencian (hate speech). Senada dengan pendapat Buya, Sumanto Al-
Qurtuby dosen di King Fahd University of Petroleum Arab Saudi menganggap bahwa praktik
politisasi agama hanya merendahkan martabat agama bahkan menghina Tuhan
Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan, oleh PBB dalam
“Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on
Religion or Belief”, diartikan sebagai setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau
pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya atau akibatnya
meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara. Sikap hipertensi dalam beragama
sangat berbahaya bila terus berkembang
Pada saat agama semata-mata dijadikan alat politik, maka yang terjadi adalah
pengabaian pada nilai-nilai luhurnya. Sebagai contoh, agama melarang dengan tegas transaksi
suap menyuap, korupsi, dan perbuatan-perbuatan lain yang merugikan rakyat. Tapi karena
agama hanya dijadikan alat politik, tindakan-tindakan buruk ini pun tidak sedikit yang
melakukannya. Agama hanya sebatas lips service, hanya sebatas jargon politik yang tidak
mewujud dalam tingkah laku politik sehari-hari. Bahaya lain yang tidak bisa dianggap enteng
adalah kemungkinan terkoyaknya keutuhan republik. Benar bahwa republik ini lahir dengan
dilandasi semangat keagamaan yang kuat. Tapi, yang harus disadari, republik ini juga lahir
karena kuatnya semangat kebersamaan dari berbagai unsur yang ada di nusantara, yakni
unsur agama, suku, ras, dan ragam budaya. Penonjolan salah satu aspek saja dari beragam
unsur ini akan menumbuhkan kecemburuan dan sentimen yang negatif. Jika sentiment
negative ini terus dibiarkan bisa mengarah pada perpecahan.
Pada intinya, politisasi agama tidak dapat menyudutkan salah satu agama yang ada di
Indonesia, melainkan kepada semua praktik-praktik hitam yang mengatas namakan agama
dalam ruang lingkup politiknya. Politisasi agama yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh kekuasaan justru bisa mereduksi nilai dari agama itu sendiri. Karena agama
merupakan sesuatu yang bersifat emosional dan lahir dari sikap batin seseorang

Daftar pustaka
Faridah Siti, Mathias Jerico. 2018. Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa dalam
Pemilu. [daring].
https://journal.unnes.ac.id › sju › index.php › snh › article › download

Uswah. 2007. Agama dan Politik. [daring].


http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7568/1/USWAH-FUF.pdf

Geovanie Jefri. 2018. Bahaya Politisasi Agama. [daring].


https://geotimes.co.id/kolom/bahaya-politisasi-agama/

Anda mungkin juga menyukai