Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia dalam Kehamilan

1. Pengertian Anemia

Anemia merupakan penyakit yang disebabkan karena kekurangan

hemoglobin (Hb). Seseorang dikatakan terkena anemia berat apabila

mempunyai hemoglobin (Hb) kurang dari 6% maka disebut anemia gravis

(Pujiningsih, 2010). Anemia dapat didefinisikan sebagai defisiensi dalam

kualitas atau kuantitas sel darah merah, yang menyebabkan kapasitas

darah untuk membawa oksigen menjadi berkurang (Wylie, 2010).

Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah

atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi

untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO dan pedoman

Kemenkes 1999, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok

umur, maupun golongan individu. Kelompok umur atau golongan

individu tertentu dianggap lebih rentan mengalami anemia dibandingkan

kelompok lainnya (Kemenkes RI, 2015). Anemia merupakan salah satu

keadaan kurang gizi dengan keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam

darah lebih rendah dari keadaan normal (Profil Kesehatan Provinsi Jambi,

2015).

Anemia merupakan suatu keadaan adanya penurunan kadar

hemoglobin, hemotokrit, dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal.

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya

10
11

zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis

tidak cukup yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-

mikrositer, kadar besi serum (serum iron), dan jenuh transferin menurun,

kapasitas besi total meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang

serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali

(Rukiyah, 2013).

2. Etiologi Anemia

Menurut Rahmawati (2012), kekurangan zat besi pada wanita yang

sedang hamil dapat mengakibatkan anemia. Hal ini dapat menyebabkan

kematian janin dalam kandungan pada waktu lahir, prematur, keguguran

(abortus), cacat bawaan dan mengakibatkan proses persalinan

membutuhkan waktu lama yang menyebabkan pendarahan serta syok

akibat dari lemahnya pada saat kontraksi rahim. Anemia pada wanita hamil

memiliki dampak yang buruk, baik terhadap ibu maupun janin. Ibu hamil

yang menderita anemia berat memungkinkan terjadinya partus premature

serta memiliki bayi dengan berat lahir rendah yang dapat mengakibatkan

kematian (Ariyani, 2016).

Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah,

pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma,

kurangnya zat besi dalam darah, kebutuhan zat besi meningkat (Rukiyah,

2013).
12

3. Patofisiologi Anemia

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh

karena perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta

dan pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai

pada trimester II kehamilan dam maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan

meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta

kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan

volume plasma seperti laktogen plasma yang menyebabkan peningkatan

sekresi aldesteron (Rukiyah, 2013).

4. Gejala Klinis Anemia

Masing-masing jenis anemia memiliki gambaran berbeda,

bergantung pada kecepatan terjadinya anemia tetapi terdapat beberapa

tanda dan gejala umum, dan beberapa tanda dan gejala ini, namun bukan

semuanya, dapat ditemukan pada sebagian besar kasus. Ibu mungkin tidak

menyadari bahwa mereka mengalami gejala anemia sampai mereka

ditanya, dan sering sekali mereka menganggap perasaan lelah dan letargi

merupakan dampak dari kehamilan, waktu dalam setahun atau kelelahan

karena tekanan kerja dan keluarga (Wylie, 2010). Manifestasi klinis dari

anemia defisiensi zat besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa

juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol ataupun bisa

ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya

(Rukiyah, 2013).
13

Anemia pada ibu hamil ditandai dengan gejala seperti berikut

(Wibisono, 2008).

a. Pusing

b. Wajah pucat

c. Merasa letih dan lemah

d. Kurang nafsu makan

e. Daya tahan tubuh menurun

f. Kebugaran tubuh menurun

g. Gangguan penyembuhan luka

Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia

ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun 1972 ditetapkan 3

kategori yaitu (Rukiyah, 2013):

Normal : Hb ≥11 gr%

Anemia Ringan : 8-11 gr%

Anemia Berat : <8 gr%

5. Kalsifikasi Anemia

a. Anemia Defisiensi Besi (62,3%)

Penyebab dari anemia defisiensi bei yaitu kurang gizi, kurang

zat besi, kehilangan banyak darah dan juga adanya penyakit kronis

lainnya. Untuk pengobatan maka ibu hamil biasanya diberi zat besi

oleh dokter agar tidak mengalami anemia (Pujiningsih, 2010).


14

b. Anemia Megaloblastik (29,0%)

Penyebabnya adalah kekurangan asam folat. Asam folat

terkandung dalam vitamin B12. Sangat jarang apabila ibu hamil

kekurangan vitamin ini karena penyebab anemia megaloblastik ini

adalah malnutrisi dan infeksi kronik (Pujiningsih, 2010).

c. Anemia Hipoplastik (8,0%)

Anemia ini disebabkan karena tidak berfungsinya dengan baik

organ sumsum tulang belakang untuk membentuk sel darah merah

baru. Penyakit anemia ini memerlukan pemeriksaan diantaranya

pemeriksaan darah tepi lengkap, pemeriksaan fungsi sternal dan

pemeriksaan retikulosit. Pengobatannya dengan terapi obat-obatan

atau tranfusi darah (Sofian, 2012).

d. Anemia hemolitik (0,7%)

Disebabkan karena pemecahan sel darah merah yang lebih cepat

dari pembuatannya. Gejala utamanya adalah anemia dengan kelainan

ambaran darah, kelelahan, kelemahan serta komplikasi alat-alat vital.

Pengobatannya bisa dengan transfusi darah dan terapi obat-obatan

darah (Sofian, 2012).

6. Pengaruh Anemia Defisiensi Zat Besi dalam Kehamilan

Anemia defisiensi zat besi pada wanita hamil merupakan problema

kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara

berkembang (Indonesia). WHO melaporkan bahwa prevalensi wanita

hamil yang mengalami defisiensi sekitar 35-75% serta semakin meningkat


15

seiring dengan bertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian

ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan

kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan

perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi

(Rukiyah, 2013).

Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko menurut penelitian,

tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga

menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak

cukup mendapatkan pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia

meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan.

Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir

rendah dan angka kematian perinatal meningkat. Perdarahan antepartum

dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih

sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat metolerir

kehilangan darah (Rukiyah, 2013).

Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sngat

ringan hingga terjadinya kelangsungan kehamilan (abortus, partus

immatur atau prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia,

partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (sub involusi

uterus, daya tahan terhadap infeksi dan stress, produksi ASI rendah), dan

gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian

perinatal, dll) (Rukiyah, 2013).


16

7. Pencegahan Anemia

Anemia defisiensi zat besi (Fe) dicegah dengan memelihara

kesimbangan antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe.

Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan ini

bervariasi antara satu wanita dengan lainnya, tergantung pada riwayat

reproduksi dan jumlah kehilangan darah selama menstruasi. Peningkatan

konsumsi Fe untuk memenuhi kebutuhan Fe dilakukan melalui

peningkatan konsumsi makanan yang mengandung heme iron, bersifat

mempercepat non-heme iron dan meminimalkan konsumsi makananyang

mengandung faktor penghambat absorpsi Fe. Jika kebutuhan Fe tidak

cukup terpenuhi dari diet makanan, dapat ditambah dengan suplemen Fe

terutama bagi wanita hamil dan masa nifas (Departemen Gizi dan

Kesehatan Masyarakat, 2010).

Suplementasi Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan

intake Fe yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan

konsumsinya. Banyak faktor yang mendukung rendahnya tingkat

kepatuhan tersebut, seperti individu sulit mengingat aturan minum tiap

hari, minimnya dana untuk membeli suplemen secara teratur, dan efek

samping yang tidak nyaman dari Fe contohnya gangguan lambung.

Bentuk strategi lain yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan

mengonsumsi Fe adalah melalui pendidikan tentang pentingnya

suplementasi Fe dan efek samping akibat minum Fe (Departemen Gizi

dan Kesehatan Masyarakat, 2010).


17

8. Penatalaksanaan Anemia

Bagi wanita hamil harus dilakukan screening pada kunjungan ANC

pertama dan rutin pada setiap trimester. Wanita penderita anemia tingkat

ringan harus diberikan Fe dosis 60-120 mg/hari, dosis berikutnya

dikurangi menjadi 30 mg/hari saat konsentrasi hemoglobin atau hematokrit

menjadi normal untuk usia kehamilan. Wanita hamil dengan konsentrasi di

bawah atau sama dengan 9 gr% atau hematokrit kurang dari 27% saat

screening harus dirujuk untuk pengobatan medis (Departemen Gizi dan

Kesehatan Masyarakat, 2010).

Terapi zat besi biasanya diresepkan oleh dokter umum saat hasil

spesimen darah tersedia. Dalam kehamilan, bila tidak terdapat

kontraindikasi, suplemen zat besi oral dapat diberikan, misalnya:

a) Fero sulfat – 200 mg sebanyak 2x/hari

b) Fero glukonat – 600 mg sebanyak 2x/hari

Semua sediaan zat besi memiliki efek samping, misalnya nyeri ulu

hati, mual, muntah atau konstipasi. Ibu yang mengalami efek samping

yang hebat dan sering menghentikan asupan zat besi, harus diberikan

informasi yang adekuat untuk dapat membuat pilihan sesuai dengan

informasi (Wylie, 2010).

B. Zat Besi (Fe)

1. Pengertian Zat Besi (Fe)

Zat besi adalah salah satu mineral mikro yang penting dalam proses

pembentukan sel darah merah. Secara alamiah zat besi diperoleh dari
18

makanan. Kekurangan zat besi dalam menu makanan sehari-hari dapat

menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai

penyakit kurang darah (Citrakesumasari, 2012).

2. Fungsi Zat Besi (Fe)

Besi mempunyai beberapa fungsi esensial didalam tubuh yaitu,

sebagai alat angkut elektron di dalam sel, sebagai alat angkut oksigen dari

paru-paru ke jaringan tubuh, dan sabagai bagian terpadu berbagai reaksi

enzim di dalam tubuh (Almatsir, 2010). Fungsi utama zat besi bagi tubuh

adalah untuk membawa (sebagai carrier) oksigen dan karbondioksida dan

untuk pembentukan darah. Fungsi lainnya antara lain sebagai bagian dari

enzim, produksi antibodi, dan untuk detoksifikasi zat racun dalam hati,

seperti akan diuraikan di bawah ini.

a) Pengangkut (Carrier) O2 dan CO2. Zat besi yang terdapat dalam

hemoglobin dan mioglobin berfungsi untuk mengangkut O2 dan

CO2 sehingga secara tidak langsung zat besi sangat esensial untuk

metabolisme energi.

b) Pembentukan Sel Darah Merah. Hemoglobin (Hb) merupakan

komponen esensial sel-sel darah merah (eritrosit). Eritrosit dibentuk

dalam tulang (bone marrow). Bila jumlah sel darah merah

berkurang, hormon eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal akan

menstimulir pembentukan sel darah merah (Proses pembentukan

eritrosit disebut eritropoiesis). Ertitrosit dibentuk dalam tulang

sebagai sel-sel muda yang disebut eritoblast (masih mengandung inti


19

sel/nukleus). Pada waktu sel menjadi dewasa, disintesis heme

(protein yang mengandung zat besi) dari glisin dan Fe (dibantu oleh

vitamin B12 atau piridoksin). Pada waktu yang sama disintesis juga

protein globin. Heme tersebut digabungkan dengan globin

membentuk hemoglobin yang mengandung sel darah merah muda

(retikulosit). Dalam aliran darah sel-sel muda tersebut akan

melepaskan intinya, sehingga terbentuklah sel-sel darah merah

dewasa yang tidak mengandung inti sel (eritrosit). Karena sel darah

merah tidak mengandung inti (nukleus), maka sel tersebut tidak

dapat mensintesis enzim untuk kelangsungan hidupnya. Kehidupan

sel darah merah hanya sepanjang masih terdapatnya enzim yang

masih berfungsi (untuk membawa O2 dan CO2), dan biasanya hanya

sampai empat bulan.

c) Fungsi lain : Sebagian kecil Fe terdapat dalam enzim jaringan. Bila

terjadi defisiensi zat besi, enzim ini berkurang jumlahnya sebelum

jumlah Hb menurun. Zat besi diperlukan sebagai katalis dalam

konversi beta karoten menjadi vitamin A, dalam reaksi sintesis purin

(sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), dan

dalam reaksi sintesis kolagen). Selain itu, Fe diperlukan dalam

proses penghilangan lipida dari darah, untuk memproduksi antibodi,

serta untuk detoksifikasi zat racun dalam hati (Citrakesumasari,

2012).

Dalam keadaan tereduksi besi kehilangan dua elektron, oleh karena

itu mempunyai dua sisa muatan positif. Besi dalam bentuk dua ion adalah
20

bentuk fero (fe++). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga

elektron, sehingga mempunyai sisi tiga muatan positif yang dinamakan

feri (fe+++). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion, besi berperan

dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang

terlibat di dalam reaksi oksidasi-reduksi (Almatsir, 2010).

3. Metabolisme Zat Besi (Fe)

Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan

hemoglobin. Besi terdapat pada semua sel dan memegang peranan

penting dalam beragam reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim

yang bertanggung jawab untuk pengangkutan elektron (sitokrom) untuk

pengaktifan oksigen dalam hemoglobin dan mioglobin (Citrakesumasari,

2012).

Pada dasarnya ada lima rentetan proses yaitu, a) penyerapan, b)

transportasi, c) pemanfaatan dan pengawetan, d) penyimpanan dan e)

pembuangan (ekskresi). Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada

dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan

ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh

getah lambung (HCl), direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah

diserap oleh sel mukosa usus. Adanya vitamin C juga dapat membantu

proses reduksi tersebut (Citrakesumasari, 2012).

Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemungkinan

bergabung dengan apoferitin membentuk protein yang mengandung besi

yaitu feritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, besi dilepaskan


21

dari feritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferitin yang terbentuk

kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel

mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera

dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang

mengikat besi yaitu transferin (Citrakesumasari, 2012).

Plasma darah di samping menerima besi berasal dari penyerapan

makanan, juga menerima besi dari simpanan, pemecehan hemoglobin dan

sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim besi ke

sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, juga ke sel endotelial

untuk disimpan, dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung

besi. Jumlah besi yang setiap hari diganti (turnover) sebanyak 30-40 mg.

dari jumlah ini hanya sekitar 1 mg yang berasal dari makanan

(Citrakesumasari, 2012).

Banyaknya besi yang dimanfaatkan untuk pembentukan

hemoglobin umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada kondisi di mana

sumsum tulang berfungsi baik, dapat memproduksikan sel darah merah

dan hemoglobin sebesar 6x. Besi yang berlebihan disimpan sebagai

cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin di dalam sel parenkhim

hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang hati dan limfa. Ekskresi

besi dari tubuh sebanyak 0,5 – 1 mg per hati, dikeluarkan bersama-sama

urin, keringat dan feses. Dapat pula besi dalam hemoglobin keluar dari

tubuh melalui pendarahan, menstruasi dan saluran urine (Citrakesumasari,

2012).
22

4. Sumber Zat Besi (Fe)

Di alam ini terdapat dua macam sumber zat besi yaitu zat besi yang

berasal dari makanan dan zat besi eksogen. Zat besi yang berasal dari

makanan dibedakan atas zat besi yang berasal dari hem dan non hem. Zat

besi yang berasal dari hem merupakan penyusun hemoglobin dan

mioglobin. Zat besi hem ini terdapat dalam daging, ikan, dan unggas. Zat

besi dari hem terhitung sebagai fraksi yang relatif kecil dari seluruh

masukan zat besi, biasanya kurang dari 1-2 mg/hari atau sekitar 10-15 %

dalam makanan yang dikonsumsi di negara-negara industri. Untuk zat

besi yang berasal dari non hem juga merupakan zat besi yang sangat

penting yang ditemukan dalam tingkat yang berbeda pada seluruh

makanan yang berasal dari tumbuhan (Citrakesumasari, 2012).

Jenis kedua dari sumber zat besi adalah besi eksogen/cemaran yang

berasal dari tanah, debu, air, dan panic tempat memasak. Jumlah zat besi

cemaran di dalam makanan mungkin mengandung beberapa kali lebih

besar dibandingkan dengan jumlah zat besi dalam makanannya sendiri,

sebagai contoh memasak makanan di dalam panci; di dalam panci besi

bisa meningkatkan kandungan zat besi beberapa kali lipat. Zat besi yang

dilepas selama memasak akan berkaitan dengan kelompok zat besi non

hem dan siap untuk diserap. Bentuk lain dari zat besi eksogen terdapat

dalam makanan seperti gandum, gula, dan garam yang telah

difortifikasi/diperkaya dengan zat besi atau garam besi (Citrakesumasari,

2012).
23

Sejauh ini, sumber yang terbaik untuk besi adalah hati, oysters

(tiram), shelfish (kerang-kerangan), ginjal, jantung, daging kurang

berlemak (lean meat), hasil ternak (poultry), dan ikan sebagai pilihan

kedua. Buncis kering (dried bean) dan sayur-sayuran merupakan sumber

yang baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Susu dan produknya

sangat kurang mengandung besi (Citrakesumasari, 2012).

Sumber baik besi adalah makanan hewani, seperti daging, ayam,

dan ikan. Sumber baik lainnya adalah telur, serelia tumbuk, kacang-

kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah (Almatsir, 2010).

Tabel 2.1
Kandungan besi (Fe) berbagai bahan makanan (mg/100 gram)
No Bahan Makanan Jumlah
1 Tempe Kacang kedelai murni 10,0
2 Kacang kedelai kering 8,0
3 Kacang hijau 6,7
4 Kacang merah 5,0
5 Kelapa tua, daging 2,0
6 Udang segar 8,0
7 Hati sapi 6,6
8 Daging sapi 2,8
9 Telur bebek 2,8
10 Telur ayam 2,7
11 Ikan segar 2,0
12 Ayam 1,5
13 Gula kelapa 2,8
14 Biskuit 2,7
15 Jagung kuning 2,4
16 Roti putih 1,5
17 Beras setengah giling 1,2
18 Kentang 0,7
19 Daun kacang panjang 6,2
20 Bayam 3,9
21 Sawi 2,9
22 Daun katuk 2,7
23 Kangkung 2,5
24 Daun singkong 2,0
25 Pisang ambon 0,5
25 Keju 1,5
24

5. Kebutuhan Zat Besi (Fe) pada Ibu Hamil

Kehadiran janin di dalam rahim menyebabkan produksi sel darah

merah meningkat 2 – 30%. Untuk membentuk sel-sel darah baru, sumsum

tulang belakang membutuhkan 500 mg zat besi. Selain itu, plasenta dan

janin juga membutuhkan 200-300 mg zat besi untuk menjalankan proses

metabolismenya dengan baik. Secara keseluruhan, penggunaan zat besi di

dalam tubuh ibu hamil mengalami peningkatan sebanyak 800 mg. Pada

trimester pertama, tambahan zat besi belum begitu dibutuhkan. Pada

trimester kedua, kebutuhan zat besi menjadi 35 mg per hari per berat

badan. Selanjutnya, pada trimester ketiga meningkat menjadi 39 mg per

hari per berat badan. Memasuki trimester ketiga, banyak wanita hamil

mengalami kekurangan zat besi karena keurang menjaga makanannya.

Pasalnya, janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai

persediaan bulan pertama kelahirannya (Wibisono, 2008).

Aspek penting yang memerlukan pertimbangan dalam menghitung

kebutuhan akan zat besi adalah persentase besi yang diabsorpsi dari

makanan. Walaupun persentase 5 % diasumsikan bagi diet atau pola

makan yang berbahan dasar sereal dan kacang-kacangan, namun

persentase sekitar 10-15 % digunakan bagi pola makan yang mengandung

daging dan produk hewani (Citrakesumasari, 2012).

6. Kekurangan Mengkonsumsi Zat Besi (Fe) pada Ibu Hamil

Kekurangan zat besi adalah kekurangan nutrisi yang paling umum

di Amerika Serikat dan paling umum terjadi pada anak kecil dan kaum
25

perempuan usia subur, terutama perempuan yang hamil. Berkembangnya

volume darah selama kehamilan dan tuntutan dari janin yang sedang

berkembang memosisikan ibu pada risiko lebih tinggi untuk kekurangan

zat besi atau anemia yang meningkatkan risiko untuk melahirkan secara

prematur dan memiliki seorang bayi dengan berat badan rendah.akan

lebih sulit mengatasi kekurangan zat besi yang ada sebelumnya selama

kehamilan karena tubuh membutuhkan zat besi dua kali lipat lebih banyak

saat hamil (Walker, 2007).

Defisiensi besi terutama menyerang golongan rentan seperti anak-

anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan

rendah. Secara klasik defisiensi besi dikaitkan dengan anemia gizi besi.

Namun sejak 25 tahun terakhir banyak bukti menunjukkan bahwa

defisiensi besi berpengaruh luas terhadap kualitas sumberdaya manusia

yaitu terhadap kemampuan belajar dan prokdutivitas kerja (Almatsir,

2010).

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia pada Ibu Hamil

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menstimulasi atau

merangsang terhadap terwujudnya sebuah perilaku kesehatan. Apabila

ibu hamil mengetahui dan memahami akibat anemia dan cara mencegah

anemia maka akan mempunyai perilaku kesehatan yang baik dengan

harapan dapat terhindar dari berbagai akibat atau risiko dari terjadinya

anemia kehamilan. Perilaku kesehatan yang demikian berpengaruh


26

terhadap penurunan kejadian anemia pada ibu hamil (Purbadewi & Ulvie,

2013).

Menurut Purbadewi dan Ulvie (2013) bahwa Pengetahuan yang

kurang tentang anemia mempunyai pengaruh terhadap perilaku kesehatan

khususnya ketika seorang wanita pada saat hamil, akan berakibat pada

kurang optimalnya perilaku kesehatan ibu hamil untuk mencegah

terjadinya anemia kehamilan. Ibu hamil yang mempunyai pengetahuan

kurang tentang anemia dapat berakibat pada kurangnya konsumsi

makanan yang mengandung zat besi selama kehamilan yang dikarenakan

oleh ketidaktahuannya (Purbadewi & Ulvie, 2013).

b. Umur Ibu

Umur ibu adalah lama waktu hidup atau sejak dilahirkan sampai

ibu tersebut hamil. Ada banyak yang menyebabkan terjadinya berbagai

komplikasi pada masa kehamilan. Diantaranya adalah umur ibu pada saat

hamil. Jika umur ibu terlalu muda yaitu usia kurang dari 20 tahun, secara

fisik dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat

mengakibatkan resiko kesakitan dan kematian pada masa kehamilan,

dimana pada usia kurang dari 20 tahun ibu takut terjadi perubahan pada

postur tubuhnya atau takut gemuk. Ibu sering mengurangi makan

sehingga asupan gizi termasuk asupan zat besi kurang yang berakibat

bisa terjadi anemia. Sedangkan pada usia diatas 30 tahun, kondisi

kesehatan ibu mulai menurun, fungsi rahim mulai menurun, serta


27

mengkatkan komplikasi medis pada kehamilan sampai persalinan

(Junianti, 2012).

Menurut Ninawati 2011, bahwa ibu kejadian anemia ternyata

paling beresiko tinggi pada kelompok umur < 20 tahun dan > 35 tahun.

Usia reproduksi yang sehat bagi seorang wanita untuk hamil dan

melahirkan yaitu 20-35 tahun, karena pada usia ini alat-alat reproduksi

sudah cukup matang dan siap untuk proses kehamilan dan persalinan.

Dan pada umur ibu yang kurang dari 20 tahun merupakan resiko tinggi

karena selain alat reproduksi belum siap untuk menerima

hasil konsepsi, secara psikologis belum cukup dewasa untuk

menjadi seorang ibu, sedangkan umur diatas 35 tahun merupakan umur

resiko tinggi karena alat-alat reproduksi telah mengalami kemunduran

fungsi (Junianto, 2012)

c. Paritas

Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi.

Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran

anak yang dapat kelahiran anak yang dapat hidup. Paritas adalah jumlah

persalinan yang pernah di alami oleh ibu baik lahir hidup maupun lahir

mati. Dari paritas 1-3, paritas 1 merupakan yang paling aman ditinjau

dari sudut kematian maternal dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka

kematian lebih tinggi. Resiko pada paritas 1 dapat di kurangi atau di

cegah dengan keluarga berencana, sebagian kehamilan pada paritas tinggi


28

adalah tidak direncanakan (Prawirodharjo, 2009). Paritas dapat

dibedakan menjadi :

1) Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang

cukup besar untuk hidup

2) Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu

kali.

3) Grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak

atau lebih dan biasanya mengalami kematian dan persalinan

(Suparyanto, 2010).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitan Ninawati (2011), yang

mendapatkan hasil bahwa semakin sering ibu melahirkan anak maka

semakin tinggi kejadian anemia hal tersebut dikarena setelah persalinan,

ibu akan kehilangan zat besi 900 mg maka jika telah mengalami persalian

yang berulang-ulang akan beresiko mengalami kejadian anemia pada

kehamilan berikutnya. Faktor yang mempengaruhi Paritas :

1) Pendidikan

Menurut Depkes RI (2009), pendidikan yang dijalani

seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir,

dimana seorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat

mengambil keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka

menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu

yang berpendidikan lebih rendah. Pendidikan berarti bimbingan yang

diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju

ke arah suatu cita-cita tertentu. Jadi makin tinggi tingkat pendidikan


29

seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh menerima

informasi, sehingga kemampuan ibu dalam berpikir lebih rasional,

ibu yang mempunyai pendidikan rasional bahwa jumlah anak yang

ideal adalah 2 orang anak cukup.

2) Pekerjaan

Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat.

Pekerjaan jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memuhui

kebutuhan hidupnya, jadi semakin banyak jumlah anak maka

semakin banyak pula biaya yang di butuhkan. Maka semakin besar

beban kerja ibu untuk memenuhui kebutuhan hidup (Suparyanto,

2010). Menurut penelitian Mayasari zebua (2011), jenis pekerjaan

yang dilakukan ibu hamil akan berpengaruh terhadap kehamilan dan

persalinannya. Karena semakin besar beban kerja ibu hamil maka

semakin besar faktor terjadi anemia pada ibu hamil. Ini disebabkan

ibu hamil kurang memperhatikan pola makannya dan kurang

beristirahat yang berakibat produksi sel darah merah tidak terbentuk

secara maksimal dan dapat mengakibatkan ibu kurang darah atau

disebutkan sebagai anemia.

d. Kepatuhan Konsumsi Tablet Besi (Fe)

Tablet Fe (Zat besi) adalah sebuah nutrien esensial yang diperlukan

oleh setiap sel manusia. Zat besi dibutuhkan selama kehamilan untuk

bayi, plasenta dan peningkatan jumlah sel darah merah pada wanita hamil

untuk menutupi kebutuhan zat besi. Salah satu masalah kebutuhan zat
30

besi pada kehamilan adalah ketidakseimbangan distribusi kebutuhan besi

selama kehamilan (Ani, 2015).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

zat besi selama hamil adalah dengan konsumti tablet Fe (zat besi).

Jumlah suplemen zat besi yang diberikan selama kehamilan ialah

sebanyak 90 tablet (Fe3). Zat besi merupakan mineral yang dibutuhkan

tubuh untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin), berperan sebagai

salah satu komponen dalam membentuk mioglobin (protein yang

membawa oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat pada tulang,

tulang rawan dan jaringan penyambung serta enzim. Zat besi juga

berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh (Kemenkes RI, 2015).

Kepatuhan dalam mengkonsumsi tablet besi adalah ketaatan ibu

hamil melaksanakan anjuran petugas kesehatan untuk mengkonsumsi

tablet zat besi. Tujuan pemberian tablet besi pada anemia defisiensi besi

adalah untuk mengoreksi kurangnya masa hemoglobin dan

mengembalikan cadangan besi tubuh. Efektifitas pengobatan ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk beratnya anemia yang terjadi

dan kemampuan untuk menyerap preparat besi (Ani, LS, 2015).

e. Sosial Ekonomi

Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan

seseorang adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli

keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara

lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan

makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan
31

pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar

akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk

kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Apriadji, 1986 dalam Departemen

Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2011).

Tingkat sosial ekonomi terbukti sangat berpengaruh terhadap

kondisi kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil. Pada ibu hamil dengan

tingkat sosial ibu hamil yang baik otomatis akan mendapatkan

kesejahteraan fisik dan psikologi yang baik pula. Status gizi pun akan

meningkat karena nutrisi yang didapatkan berkualitas, selain itu ibu

tidak akan terbebani secara psikologis mengenai biaya persalinan dan

pemenuhan kebutuhan sehari-hari setelah bayinya lahir. Kurangnya

pendapatan keluarga menyebabkan lokasi dan untuk pembelian makanan

sehari-hari sehingga mengurangi jumlah dan kualitas makanan ibu

perhari yang berdampak pada penurunan status gizi yang umum pada

perempuan adalah anemia, karena secara fisiologis mengalami

menstruasi setiap bulan. Sumber makanan untuk mencegah anemia

umumnya berasal dari sumber protein yang lebih mahal dan sulit

terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Kekurangan

tersebut memperbesar resiko anemia pada remaja dan ibu hamil serta

memperberat kesakitan pada ibu dan pada bayi baru lahir. Anemia

berperan terhadap tingginya angka kematian ibu dan semakin meningkat

seiring dengan pertambahan usia kehamilan (Mariza, Ana, 2016).


32

f. Pola Makan

Pola makan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari kebutuhan wanita

yang tidak hamil, karena digunakan untuk pertumbuhan janin,

mempertahankan kesehatan dan kekuatan ibu sendiri serta mengadakan

cadangan untuk persiapan laktasi. Oleh sebab itu, cara yang dapat

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan tersebut adalah (Pertiwi,

Aldila Septiana, 2013) :

1) Makan teratur 3 kali sehari

2) Hidangan tersusun dari bahan makanan yang bergizi yang terdiri dari

makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan serta susu 1

gelas setiap hari

3) Gunakan aneka ragam makanan

4) Beli macam bahan makanan yang segar (Jannah, N, 2012).

Menurut Almatsier (2001), bahwa penyebab kejadian anemia dapat

disebabkan oleh asupan zat besi yang tidak cukup dan penyerapan tidak

adekuat serta peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan

sel darah merah, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui serta pola

makan yang tidak seimbang. Dengan pola makan yang tidak seimbang

yaitu tidak memenuhi persyaratan pola makan empat sehat lima

sempurna, maka ibu dan bayi akan mengalami kekurangan zat-zat yang

dibutuhkan terutama zat besi yang lebih besar untuk pembentukan sel

darah merah yang sangat berguna bagi pertumbuhan bayi. Dengan pola
33

makan yang tidak seimbang, zat besi tersebut tidak akan dapat terpenuhi

sehingga ibu hamil akan mengalami kejadian anemia (Wahyuningsih, Ida

Sri, 2013).
34

D. Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori

1. Faktor Dasar
o Sosial Ekonomi
o Pengetahuan Ibu hamil
o pendidikan

2. Faktor Tidak Langsung


o Kunjungan ANC Kurang Asupan
Zat Besi
o Umur Ibu

anemia
3. Faktor Langsung
o Kepatuhan
Konsumsi Tablet Fe
o Jarak Kehamilan Dampak anemia
o Paritas o Abortus
o Pola Makan o Partus Prematurus
o Perdarahan o Perdarahan antepartum
o Gangguan Proses
o Penyakit Infeksi Persalinan (partus lama,
atonia uteri, perdarahan
atonis)
o Gangguan pada masa
nifas ( sub involusi
uterus, produksi ASI
rendah
o Gangguan Pada Janin
( BBLR)

Sumber : Modifikasi Teori Citrakesumasari (2012), Rukiyah (2013),


Ani LS (2015), dan Kemenkes RI (2015)

Anda mungkin juga menyukai