Anda di halaman 1dari 26

Pemahaman tentang Hukum Islam dan HAM

Kelompok 5
Zhafirah Fidinina : 17114`11001
Aaron Michelle Duvali : 1711411002
Anisa Raudhatul Husna : 1711411009
Imam Esa Putra : 1711412001
Isra Nabilla : 1711412002
Muhammad Gheza Akbar : 1711412023
Kerin Irawan : 1711412025
Farhan Muhammad Nouve : 1711412029

Tugas Pendidikan Agama Islam


Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Andalas
2018
2

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas kelompok berupa makalah dengan judul “Pemahaman tentang
Hukum Islam dan HAM”. Penulis ucapkan terimakasih kepada dosen  pengajar dan
seluruh komponen yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah. Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam di
fakultas Kedokteran Gigi pada Universitas Andalas.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat menghargai segala kritik maupun
masukan yang nantinya bisa membangun kesempurnaan makalah ini. Penulis
berharap, semoga makalah ini dapat digunakan dan bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkan.

Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Padang, 23 Februari 2018

Penulis
3

DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………...2
Daftar Isi……………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..4
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………….....4
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………....4
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..4
1.4 Manfaat Penulisan…………………………………………………………………4
BAB II
PEMBAHASAN……………............................................................................5
2.1 Pengertian Hukum Islam……………………………..……………………………5
2.2 Perbedaan dan Persamaan antara Hukum, Fikih dan Syariat…………..………...5
2.3 Tiga Sifat Hukum Islam………………………………………..………………….6
2.4 Ruang Lingkup Hukum Islam………………………………………………..……7
2.5 Tujuan Hukum Islam……………………………………………………………....9

2.6 Sumber Hukum Islam yang Disepakati dan yang Diperselisihkan………………..9

2.7 Uraian Ayat Al-Quran tentang Sumber Islam……………………………………19

2.8 Kontribusi Umat Islam dalam Rumusan Hukum Islam di Indonesia……………20

2.9 Kondisi Hukum Islam di Indonesia………………………………………………20

2.10 Pengertian HAM dan Konsepnya Menurut Islam………………………………21

2.11 Perbedaan Prinsip tentang Konsep Islam dan Barat……………………………24

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….….25

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….……25

3.1 Saran……………………………………………………………………….…..…25

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
……..26
4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia
itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.

Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan
hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada
suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya
melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang
membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain. 
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu hukum islam?
b. Bagaimana perbedaan dan persamaan antara hukum, fikih, dan syariat?
c. Apa sifat-sifat hukum islam?
d. Bagaimana ruang lingkup hukum islam?
e. Apa tujuan hukum islam?
f. Apa saja sumber-sumber hukum islam yang disepakati dan yang
dipersilisihkan?
g. Bagaimana uraian ayat Al-Quran tentang sumber-sumber hukum islam?
h. Bagaimana kontribusi umat islam dalam rumusan hukum islam di Indonesia?
i. Bagaimana kondisi hukum islam di Indonesia?
j. Bagaimana pengertian HAM dan konsepnya menurut islam?
k. Apa perbedaan prinsip tentang konsep islam dan barat?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari tugas ini selain memenuhi tugas makalah Pendidikan Agama juga
Untuk mengetahui ruang lingkup hukum Islam, Agar tatanan hukum di Indonesia
bisa didasarkan atas syariat islam, dan Untuk memperjelas dan memberikan
pemahaman pentingnya hukum islam.
1.4 Manfaat Penulisan
1.      Dapat menambah pengetahuan tentang hukum dalam islam
2.      Dapat mengetahui tentang apa saja hukum dalam islam
3.      Dapat mengetahui ruang lingkup hukum islam
4.      Dapat membedakan hukum islam dengan yang lainnya
5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam sejatinya berasal dari terjemahan “Mashadir” yang memiliki arti 
wadah ditemukannya norma-norma hukum. Adapun untuk pengertian hukum
dalam Agama Islam sendiri antara lain sebagai berikut;

Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah suatu bentuk peraturan bedasarkan ketentuan Allah SWT
dan sunah Nabi Muhammad SAW yang bersifat mengikat semua orang yang
beragama Islam tanpa terkecuali, baik remaja, dewasa, ataupun orang tua.

Pengertian Hukum Islam Menurut Para Ahli

Marzuki Menurutnya, pengertian hukum Islam adalah seperangkat atau


serangkaian norma yang bersumber dari Allah SWT dan Rosulloh S.A.W yang
berfungsi untuk mengatur segala bentuk tingkah laku (tata kelakuan) manusia
terutama yang Bergama Islam.

Abu Zahroh Dalam definisnya, Hukum Islam adalah suatu bentuk aturan yang
mampu menjadikan manusia (insan) yang bijaksana di dalam menjalankan
kehidupan sehari-harinya, dalam     menegakkan atau menjalankan hokum Islam
ini tidak pernah ditemukan pembedaan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
hukum dalam islam bersifat universal.

Ahmad Hasan Hukum Islam (Islamic  law) adalah suatu bentuk hukum yang
bersumber dari seluruh ajaran Islam yang berada diantara syariah dan fikih.

Ulama Ushul Hukum islam merupakan tata cara hidup mengenai doktrin syariat
dengan perbuatan yang diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat tersebut
jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama fiqih, yang mengatakan
bahwa hukum Islam merupakan segala perbuatan yang harus dkerjakan menurut
syariat Islam.

Hasby A. S Hukum Islam ialah segala daya upaya yang dilakuakan oleh seoarang
muslim dengan mengikutsertakan sebuah syariat Islam yang ada. Dalam hal ini
Hasby juga menjelaskan bahwasannya hukum Islam akan tetap hidup sesuai
dengan undang-undang yang ada.

2.2 Perbedaan dan Persamaan Antara Hukum, Fikih, dan Syariat

Dalam kajian hukum ini, khususnya di Indonesia kita juga mengenal Istilah
'hukum Islam'. Sehingga perlu juga kiranya kita semua dapat membedakan tiga
istilah : Hukum Islam, Syariat, dan Fikih, sehingga dapat menggunakannya dalam
wilayah yang tepat.
6

Kata fiqh (‫ )الفقه‬secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila


“paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh berarti
paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah al-Thirmizi
meyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada yang
kedalamannya.

Syariat menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia
dan hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan  aturan yang
Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama manusia.
Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu  syari’at tertuju kepada
hukum yang didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang disepakati para
sahabat dari hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari
al-qur’an atau as-sunnah.
Perbedaan Fiqh, Syariat, Dan Hukum Islam
1.    Hukum Islam  sebenarnya tidak lain dari pada fiqh islam atau syariat Islam, yaitu
koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan
kebutuhan  masyarakat yang bersumber kepada al-Qur’an As-Sunnah dan Ijmak para
sahabat dan tabi’in.
2.    Syariat : Bawa syari’at, yang dimaksud adalah  wahyu Allah dan  sabda Rasulullah,
merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib
diikuti  oleh orang islam dasar-dasar hukum ini dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rosul-Nya.
3.    Fiqh artinya faham atau pengertian., dapat juga dirumuskan sebagai ilmu yang
bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam
dalam kitab-kitab hadits, dan berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad  untuk diterapkan pada  perbuatan
manusia  yang  telah dewasa yang sehat akalnya  yang berkewajiban melaksanakan
hukum islam.
Persamaan Fiqh, Syariat, Dan Hukum Islam
Fiqh adalah aturan yang baru diterapkan pada zaman nabi Muhammad dan
setelahnya, dan sebelumnya belum pernah ada istilah fiqh di masa nabi-nabi
sebelumnya. Syariat adalah aturan Allah yang telah diterapkan sejak nabi terdahulu
Adam, As. Hingga sekarang dan berlaku sangat umum. Sedangkan Hukum Islam
adalah istilah dalam bahasa Indonesia dari Syariat dan Fiqh. Hukum Islam lebih
ditekankan kepada analisis suatu peristiwa pada dasar hukum al-Qur’an dan as-
Sunnah.

2.3 Tiga Sifat Hukum Islam


Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam yakni bidimensional, adil, dan
individualistik.
 Bidimensional artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (Ilahi).
Di samping itu sifat bidimensional juga berhubungan dengan ruang lingkupnya
yang luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek saja,
tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.  Sifat dimensional merupakan
sifat pertama yang melekat pada hukum islam dan merupakan sifat asli hukum
Islam.
7

 Adil, dalam hukum Islam keadilan bukan saja merupakan tujuan tetapi merupakan
sifat yang melekat sejak kaidah dalam syariat ditetapkan. Keadilan merupakan
sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat.
 Individualistik dan Kemasyarakatan yang diiikat oleh nilai-nilai transedental
yaitu Wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat
ini, hukum islam memiliki validitas baik bagi perseorangan maupun masyarakat.
Dalam sistem hukum lainnya sifat ini juga ada, hanya asaja nilai-nilai transedental
sudah tidak ada lagi. (Mohammad Tahir Azhary, 1993:48-49)
2.4 Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu: 1)
hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, dan 2) hukum yang berkaitan dengan
persoalan kemasyarakatan. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.

1) Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2) Hukum kemasyarakatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan


sesamanya yang memuat: muamalah, munakahat, dan ukubat.
a. Muamalah mengatur tentang harta benda (hak, obligasi, kontrak, seperti jual
beli, sewa menyewa, pembelian, pinjaman, titipan, pengalihan utang, syarikat
dagang, dan lain-lain).
b. Munakahat, yaitu hukum yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian
serta akibatnya seperti iddah, nasab, nafkah, hak curatele, waris, dan lain-lain.
Hukum dimaksud biasa disebut hukum keluarga dalam bahasa Arab disebut
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah. Cakupan hukum dimaksud biasa disebut hukum
perdata.
c. Ukubat atau Jinayat, yaitu hukum yang mengatur tentang pidana seperti
mencuri, berzina, mabuk, menuduh berzina, pembunuhan serta akibat-
akibatnya. Selain bagian-bagian tersebut, ada bagian lain yaitu (a)
mukhasamat, (b) siyar, (c) ahkam as-sulthaniyah. Hal ini akan dijelaskan
sebagai berikut:

- Mukhasamat, yaiu hukum yang mengatur tentang peradilan: pengaduan dan


pembuktian, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara perdata dan
hukum acara pidana

- Siyar, yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad dan/atau perang,
harta rampasan perang, perdamaian, perhubungan dengan Agama lain, dan
negara lain.

- Ahkam As-Sulthaniyah, yaitu hukum yang membicarakan persoalan


hubungan dengan kepala negara, kementerian, gubernur, tentara, dan pajak.

Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematika hukum eks
Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik seperti
yang diuraikan pada pembagian hukum menurut daya kerjanya, maka susunan
8

hukum muamalah dalam arti luas adalah sebagai berikut:

*Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat (mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya); (2)
wirasah (mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan). Hukum waris ini sering
disebut hukum faraid; (3) muamalah dalam arti khusus mengatur masalah
kebendaan, hak-hak atas`benda, tata hubungan manusia dengan soal jual beli,
sewa menyewa, perserikatan, dan sebagainya.

*Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat (memuat aturan-aturan mengenai


perbuatan yang diancam hukuman pidana); (5) al-ahkam as-sulthaniyah
(membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan, tentara, pajak, dan sebagainya); (6) siyar (mengatur urusan
perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk Agama, dan negara lain);
(7) mukhamasat (mengatur soal peradilan, kehakiman, dan tata hukum acara).

Pada umumnya hukum Islam dibagi atas dua macam oleh para fuqaha:

1. Yang bersifat perintah, larangan, atau pilihan. Golongan ini bernama


Hukum Takliefy yang terbagi atas lima yaitu wajib, sunat, mubah, makruh,
dan haram.

2. Yang bersifat menunjukkan keadaan-keadaan tertentu yang dikualifikasi


sebagai sebab atau syarat atau halangan bagi berlakunya hukum. Golongan ini
bernama Hukum Wadhi’i.

Adapun hukum Wadhi’I terdapat tiga macam:

a. Terdapat sebab, sebab adalah sesuatu yang tampak jelas dan tertentu
menjadi tanda/pangkal adanya hukum, terdiri dari:

- Sebab yang bukan hasil perbuatan manusia, misalnya peristiwa


meninggalnya seseorang yang mengakibatkan harta peninggalnya beralih
kepada ahli warisnya.

- Sebab yang lahir dari perbuatan manusia, misalnya karena adanya akad nikah
menjadi sebab adanya hubungan seks antara seorang pria dengan seorang
wanita.

b. Tentang syarat, syarat adalah sesuatu yang padanya bergantung adanya


sesuatu hukum yang berlaku, terdiri dari:

- Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya jatuh tempo pembayaran


zakat menjadi syarat untuk mengeluarkan zakat atas harta benda yang sudah
mencapai jumlah tertentu untuk dikenakan zakat.
9

- Syarat yang menyempurnakan sebab, misalnya berwudhu dan menghadap


kiblat adalah menyempurnakan hakikat shalat.

c. Halangan (maani), maani adalah sesuatu yang karena adanya menghalangi


berlakunya ketentuan hukum, terdiri dari :

- Maani yang mempengaruhi sebab, misalnya ahli waris membunuh pewaris


sehingga terhalang untuk menerima warisan.

- Maani yang mempengaruhi akibat, misalnya ayah yang membunuh anaknya


sendiri seharusnya dikenakan hukuman qisas, tetapi karena statusnya sebagai
bapak menghalangi dijatuhkannya hukuman qisas.

2.5 Tujuan Hukum Islam


Tujuan diberlakukannya hukum Islam adalah mengatur kehidupan manusia agar
hidup tenang, tenteram, dan bebas dari ancaman orang lain. Menurut Syatibi hukum
Islam mencakup lima hal;
1. Memelihara agama. Kaum muslimin diwajibkan shalat beserta hikmah yang
terkandung didalamnya. Kata Rasul orang yang tidak shalat adalah
pengahancur agamanya ;ash shalatui maduddin.
42. "Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?"
43. Mereka menjawab, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang
melaksanakan shalat, (al-Muddatsir ; 42-43).
2. Memelihara jiwa. Ditegakkannya hukum pidana, seperti jinayat, harapannya
adalah tidak ada lagi korban kekerasan, apalagi pembunuhan.
3. Memelihara akal. Dilarangnya meminum minuman keras adalah untuk
melindungi syaraf otak dan akal agar tetap sehat.
4. Memelihara keturunan. Ditegakkannya keharaman zina antara lain agar
keturunannya terhormat dan bermartabat.
5. Memelihara harta.Ditegakkannya hukum waris umpamanya hak-hak
kepemilikan terhadap suatu benda dilindungi hukum, sehingga orang lain tidak
seenaknya atau tidak boleh merampas dari pemiliknya yang sah.

2.6 Sumber-sumber hukum islam yang disepakati dan yang diperselisihkan

a. Sumber-sumber hukum islam yang disepakati


Adapun sumber hukum Islam ada tiga macam,yaitu :al-Qur’an, as-sunnah, dan Ijtihad.
1. Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantara malaikat Jibril untuk pedoman hidup manusia secara utuh,
termasuk di dalamnya mengenai hukum.
Azas-azas hukum Islam yang tercantum dalam al-Qur’an adalah sbb;
A. Meniadakan yg berat, demikian firman Allah yang menunjukkan
pernyataan ini; Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan
kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu
Ibrahim (al-Hajj ayat 78).
10

B. Menyedikitkan beban. Ayat berikut dipahami bahwa Allah tidak


memperbanyak beban kepada manusia kecuali sekedar apa yang ia
mampu; Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
dikerjakannya dan dia mendapat siksa (darikejahatan) yang diperbuatnya –
(al-Baqarah ayat 286)
C. Berangsur-angsur dalam memberikan hukum sesuai dengan kebutuhan
yang sedang dihadapi oleh umat. Contohnya, ayat yang pertama turunialah
perintah membaca.
Ayat-ayat selanjutnya selama 13 tahun berkisar penegakan tauhid, dan ini umumnya
disebut ayat Makkiyah. Mulai tahun ke 14, masa turunnya al-Qur’an membicarakan
hukum-hukum kemasyarakatan secara komprehensif, yaitu tentang perang, hutang-
piutang, perkawinan, pidanan, perdata, kenegaraan dan ini umumnya disebut ayat
Madaniyah.

Kandungan hukum dalam al-Qur’an. Secara garis besar, kandungan hukum yang
terdapat didalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu;
A. Hukum Ibadah, thaharah, shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, mengurus
jenazah, aqiqah, doa, dzikir, dan nazar.
B. Hukum-hukum mu’amalah, seperti hukuman, jinayat, perdata, pidana, hukum
acara, perundang-undangan, perekonomian, dan kenegaraan.

2. As-Sunnah sebagai Sumber Hukum


Poin-poin yang perlu dijelaskan as-Sunnah sebagai sumber hukum antara lain adalah
sbb;
A. As-Sunnah dapat disamakan dengan Hadist, ialah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan (aqwaliyah),
perbuatan (af’aliyah), maupun ketetapannya (taqririyah). Contoh perkataan
adalah shummu tashihhu (berpuasalah kamu sekalian niscaya kamu sehat).
Contoh perbuatan adalah cara Nabi shalat, makan, minum, dll. Contoh
ketetapan Nabi ialah ketika Khalid Bin Walid merayakan kemenangan dalam
perang Mut’ah, ia memasak daging biawak, Rasul diberi daging tersebut,
beliau menolak, tetapi tidak melarang Khalid dan pasukannya memakannya.
Jadi yang dimaksud taqrir ialah perkataan atau perbuatan sahabat di depan
Nabi atau diketahui Nabi dan beliau tidak melarangnya.
B. Menurut ulama fiqh as-sunnah sebagai sumber hukum hanya yang berkaitan
dengan hukum saja. Karena itulah cara Nabi minum, tidur, batuk, berobat dari
sakit tidak mengandung konsekuensi hukum dan bersifat manusiawi. Akan
tetapi menurut ahli hadist, Rasul adalah sumber suri tauladan. Yang tidak
perlu dicontoh ialah aradh basyariyah (sesuatu yang secara alami menimpa
manusia) seperti batuk, bentuk rambut, postur tubuh, dll.
C. Acuan bahwa as-Sunnah sebagai acuan hukum adalah apa yang diberikan
Rasul kepadamu [25], makaterimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah (al-Hasyrayat 7)
D. Hadist yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum hanya yang shahih dan
hasan saja. Dengan demikian hadist dha’if (lemah) dan hadist maudhu’ (palsu)
tidak boleh digunakan sebagai sumber hukum 5. Fungsi hadist disamping
11

memperjelas apa yang terdapat didalam al-qur’an juga menghasilkan hukum


yang mandiri, contoh cara menghilangkan najis mughaladhah, yaitu apa saja
yang terkena anjing. Dalam hal ini al-Qur’an tidak mengaturnya. Adapun
contoh dalam memperjelas al-Qur’an ialah soal shalat dan zakat.
3. Ijtihad sebagai sumber hukum
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan kekuatan akal dari seorang ulama
atau sekelompok ulama untuk menemukan sesuatu hukum atas sesuatu. Ijtihadhanya
terjadi pada bidang mu’amalah, ibadah ghairmahdhah, dan tidak ditentukan secara
eksplisit dalam al-Quran dan hadist.

Ulama yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal dan
memiliki otoritas dikalangan umat Islam ialah Imam Abu Hanifah (699-767M), Imam
Malik (714-798M), Imam Syafi’I (767-854M), Imam Ahmad Ibn Hambal (780-
855M).
Ada pun hasil keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: ijma’, qiyas.
a. Ijma’ Adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid tentang hukum sesuatu
peristiwa atau hal yang belum ditetapkan hukumnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah.
Contohnya ialah keputusan MUI (terdiri atas sejumlah personil yang tergabung dalam
komisi fatwa) tentang keharaman ajinomoto, kehalalan obat-obatan, dll.
Ulama Nahdlatul Ulama tentang Bahtsul Masail yang menetapkan kebolehan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam NKRI
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan haramnya merokok.
b. qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dan hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
lain yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah karena ada kesamaan
illat. Qiyas merupakan istinbath hukum produk Imam Syafi’i.
Misalnya; dalam teks disebutkan keharaman Khamr. Diluar teks ada minuman
vodka. Ketetapan hukum minuman vodka adalah haram karena disamakan dengan
khamr dalam hal memabukkan.

b. Sumber-sumber hukum islam yang diperselisihkan


Sumber hukum/ dalil yang tidak disepakati atau terjadi Ikhtilaf ada 7 secara umum
yaitu Istihsan,Istishab,Maslahah al mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man
Qablana,Qaul Sahabi.
A.    Istihsan
1.Pengertian
Pengertian istihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada
yang baik, menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas) kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli
kepadahukum istinai’
Menurut Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
a.       Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jalli karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan qiasi
b.      Hukum pengecualian dari kaidah kaidah yang berlaku umum karna ad petunjuk
untuk hal tersebut. Disebut istihsan Istinai’1[1]

1
12

2. Macam- Macam Istihsan


Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
a.       Istihsan bi al-Nash/‫( اإلستحسان بالنص‬Istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
b.       Istihsan bi al-Ijma'/‫( اإلستحسان باإلجماع‬istihsan yang didasarkan kepada ijma’).

c.       Istihsan bi al-qiyas al-khafiy/‫( اإلستحسان بالقياس الخفى‬istihsan berdasarkan qiyas


yang tersembunyi).
d.       Istihsan bi al-Mashlahah/‫(اإلستحسان بالمصلحة‬istihsan berdasarkan kemaslahatan).
e.      Istihsan bi al-‘Urf/‫(اإلستحسان بالعرف‬istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum).
f.      Istihsan bi al-dharurah/‫(اإلستحسان بالضرورية‬istihsan berdasarkan keadaan
darurat).
3. Kehujahan Istihsan
          Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam menetapkan istihsan
sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.2[2]
            Menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah,
istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang
mereka kemukakan adalah:
a.      Ayat-ayat yang mengacu kepada pengangkatan kesulitan dan kesempitan dari
umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-baqarah, 2: 185:

….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu…
b.      Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
‫َما َرآهُ الـْ ُمسْلـ ِ ُموْ نَ َح َسنـًا فـَه َُو ِعنـْ َد هللاِ َح َس ٌن‬
  “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di hadapan Allah
adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak
menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan
mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
a.      Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau
Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash
dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti
ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan
tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan dengan firman Allah
dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
  “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban).”
Menurut wahbah az Zuhaili menyebutkan bahwa adanya perbedaan tersebut
disebabkan perbedaan dalam mengartikan Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan
dengan menggunakan hawa nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan
yang dipakai oleh penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi mentarjih
(menganggap kuat)salah satu dua dalil yang bertentangan.

B.     Istishab

2
13

1.     Pengertian Istishab


Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((
‫ استصحب‬dalam shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau kata ‫الصحبة‬
diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”,
maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu
menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang
pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
2.      Syarat-syarat Istishab 3[3]
a.       Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-
hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya
terdahulu.

b. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak


saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk
menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

3. Macam- Macam Istishab


 Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
a. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai
berikut : seperti tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia,
sehingga ada dalil yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,.
Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa
nash menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga
ada dalil yang menghilangkan hukum tersebut.
3. Istishhab al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma
yaitu boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang
mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
4. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti
tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia
telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang
merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
4.     Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak
ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:4[4]

1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang

4
14

berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk


menetapkan suatu hukum yang baru.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil,
karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa
istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang
sudah ada, selama belum ada yang adil mengubahnya.

C.    Maslahah al Murslah

Menurut abdul wahab khalaf; sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak
ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan tidak pula ada dalil yang mendukung
maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn Maslahah al mursalah ( maslahah
yang lepasdari dalil secara khusus).
Para ulama’ belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah
dapat dijadikan sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk sumber
hukum Islam yg masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan Hanafy tidak
menganggap maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan
memasukkannya dalam katagori bab Qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak
didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan dalam Qiyas maka maslahah tersebut
di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam malik dan Imam Hanbaly mengatakan
bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber hukum apabila memenuhi
syarat.5[5]
Adapun syaratnya yaitu:
1.      Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg
berdiri sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2.      Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3.       Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang
terjadi ( raf’u haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78, yg artinya “dan
Dia tidak sekali kali menjdikan untuk kamu suatu kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh
As Syatibi juz 3, hal 307

D.    ‘URF ( Adat istiadat)

1.Pengertian
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
akal sehat”. Sedang secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “ sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Oleh karna itu Ulama Mazhab Maliky dan Hanafy bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan
berdasarkandalil syari’iy.
Adapun pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam
1.      ‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang
bertentangan dengan Nash Qath’i

5
15

2.      ‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan baik yang tidak bertentangan
dengan syariat.

2. Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf
tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam.
Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya: 6
[6]

1)      Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk
menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat
al A’rof ayat 199:
َ ‫َن ْا‬
. َ‫لجا ِهلِيْن‬ ِ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأ ُم ْر بِاْل ُع ْر‬
ْ ‫ف َواَ ْع ِر‬
ِ ‫ضع‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang
sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan
perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.
2)      Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai
hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya
istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum
dan tidak menggunakannya sebagai dalil.7[7] Maka dengan hal itu, secara otomatis
golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam.
Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat
hukum”.
E.     Saddudz dzarî’ah
1. Pengertian
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah
berarti “Wasilah atau jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah
“menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan”8[8]
Yang dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah
“mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan
yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau
dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)   Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya,
2)   Perbuatan yang jarang , berakibat kerusakan /bahaya,

8
16

3)   Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;


4)   Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai
tujuan kuat timbulnya kerusakan itu.
2. Kehujahan
tentang kehujjahan Saddu Dzari’ah ada beberapa pendapat:
1)      Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam
yang memakai saddu dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa
saddu dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu
mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik di dalam
mempergunakan saddu dzari’ah sama dengan mempergunakan masalih mursalah dan
Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung
dibidang ushul dari mazhab Maliki.
2)      Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan saddu dzari’ah merupakan
satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di dalam saddu
dzari’ah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).
3)      Ulama Hanafiyyah, syafi’iyah, dan syi’ah menerima saddu dzari’ah sebagai
dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam
Asy-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan musafir,
untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Zhuhur.

F. Syar’u man Qablana

1.     Pengertian Syar’u Man Qoblana


Secara etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan
oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara  nabi Muhammad
SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.9[9]
2.     Hukum Syar’u Man Qoblana
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut
diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan
lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk
diikuti, seperti Firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 183 berikut.
‫ياايها الذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم‬.... 
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu”(Al-baqarah :183) 
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa
hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa a.s bahwa
seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan
membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.10[10]
3.     Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qoblana

9
17

Jumhur ulama’ Hanafiah, sebagian ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah


berpendapat bahwa Syar’u Man Qablana disyariatkan juga pada kita dan kita
berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan
kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya. Alasannya mereka
menganggap bahwa hal itu termasuk daripada hukum-hukum Tuhan yang telah
disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang
mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah mengambil dalil bahwa
yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang
dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau perempuan berdasarkan
kemutlakan firman Allah SWT :
‫النفس بالنفس‬  (Jiwa dibalas dengan jiwa)
Sebagian ulama mengatakan bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus
syari’at terdahulu, kecuali apabila dalam syari’at terdapat sesuatu yang
menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena
syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at
kita saja
4.    Macam-macam Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua,
setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan
sunnah.
Berikut adalah gambaran Syar’u Man Qoblana11[11]
1.      Ada yang telah dihapuskan oleh syariat Islam
2.      Ada yang tidak dihapus oleh syariat Islam :
a.       Yang ditetapkan oleh syariat Islam dengan tegas
b.      Yang tidak ditetapkan syariat Islam dengan tegas :
Ø  Yang diceritakan kepada kita baik melalui Alqur’an atau Hadis.
Ø  Yang tidak disebut-sebut sama sekali di dalam Alqur’an atau Hadis.
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa syar’u man qoblana tidak berdiri
sendiri, melainkan baru dapat berlaku jika dikukuhkan dengan dalil-dalil Alqur’an
dan hadis yang sahih, sekaligus tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ia telah
mansukh.

G.     Qaul Shahabi

Secara bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi


diartikan sahabat nabi, yaitu orang mukmin yang pernah bertemu langsung dengan
nabi serta bergaul lama dengan beliau.
Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-
masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah.

10

11
18

Pengertian lain dari qaul shahabi adalah pendapat para sahabat Rasulullah
SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak
menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah
seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya serta hidup
bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.
Jadi, qaul al-shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang
ketentuannya tidak terdapat pada nash.12[12]
Pada dasarnya sahabat sama dengan umat Islam lainnya, tetapi disisi lain
mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan
Rasulullah SAW. Misalnya ada sahabat yang menonjol dalam hal perbendaharaan
hadits, ada juga sahabat yang terkenal sebagai mufti yang alim dan ahli ber-istinbath,
ada juga yang dikenal sebagai panglima perang, selain itu juga ada yang menonjol
sebagai tokoh pemimpin masyarakat. Dalam semua hal itu mereka sangat mengenal
bahasa Al-Quran. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial
yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan
tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan
Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini membuat mereka lebih mampu
memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, berkat pergaulannya
dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat
mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak mendapat tantangan dari sahabat yang lain
menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah
pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta
pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah
menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan
kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a.
perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam
harta peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang
membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama
Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh
sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum
muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada
perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.

2.7 Uraian Ayat Al-Quran tentang Sumber-Sumber Hukum Islam


Dalam hukum Islam, Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan
utama, tidak boleh ada satu aturan pun yang bertentangan dengan Al-Quran,

12
19

sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa [4] ayat 105 berikut.

Berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat harus
diselesaikandengan berpedoman pada Al Quran.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa [4] ayat 59 sebagai berikut.

QS Al Isra ayat 9

Artiya :
"Sungguh Al qur'an ini petunjuk ke jalan yang paling lurus memberi kabar gembira
kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapatkan pahala yang besar ".
Sebagai sumber hukum Islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al Quran.
Allah berfirman dalam Surah Al Hasyr [59] ayat 7

2.8 Kontribusi Umat Islam dalam Rumusan Hukum Islam di Indonesia


Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
nampak jelas setelah Indonesia merdeka. Walaupun demikian, bukan berarti pada fase
awal sebelum proklamasi kemerdekaan umat Islam tidak memiliki kontribusi terhadap
negara Indonesia. Banyak hal yang telah dilakukan oleh umat Islam di Indonesia
termasuk salah satunya adalah lahirnya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
juga merupakan hasil perjuangan umat Islam dengan beberapa komponen bangsa
yang lainnya.
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum
20

Islam telah menjadi bagian dan kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum semakin nampak
jelas dengan ditandai lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan Hukum Islam. Beberapa regulasi perundangan tersebut
sebagai berikut:
. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
· Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
· Undang-Undang Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
· Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
· Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Penegakan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang
harus melalui proses, yaitu proses cultural dan dakwah. Apabila Islam telah
memasyarakat (dipahami secara baik), sebagai keonsekuensinya hukum Islam harus
ditegakkan melalui perjuangan legilasi. Di dalam negara yang penduduknya mayoritas
muslim, kebebasan mengeluarkan pendapat / berpikir harus ada. Hal ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji baik dari segi
pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang telah
ditetapkan Allah. Persolannya, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum
Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas memerlukan
proses dan waktu untuk merealisasikannya.
2.9 Kondisi Hukum Islam di Indonesia
hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam,
dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku
terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum
Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.

Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang
dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam
sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga
masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa
sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di
Indonesia.

Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi


perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat
pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan
adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan hukum
21

Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam
menyelesaikan masalah – masalah perdata.

b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3 Tahun 2006).
Peradilan Agama bertugas untuk menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang –
orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta waqaf dan sadaqah (pasal 49 ayat (1)).
Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri yang sederajat dengan Peradilan
Umum, Militer, dan TUN.[10] Sebelum undang – undang ini dikeluarkan, Peradilan
Agama sebenarnya telah ada bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Hanya saja kewenangan dan kedudukannya masih belum jelas. dengan
dikeluarkannya undang – undang ini, maka jelaslah kewenangan dan hukum acara
Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Adanya peraturan ini juga akan lebih
memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam penyusuan dan pembinaan hukum
nasional.

c. UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah, menetapkan bahwa perbankan


syariah di Indonesia menganut dual banking system

2.10 Pengertian HAM dan Konsepnya menurut islam


Pengertian HAM
HAM saat ini telah menjadi salah satu isu global kontemporer (the
contemporary global issu) yang sangat mempengaruhi hubungan Internasional,
bahkan saat ini HAM telah menjadi semacam “agama baru” yang dijadikan ukuran
baik-buruknya suatu perbuatan /tingkah laku manusia.
Dalam pasal 1 (1) UU No. 39 Tahun 1999 (UU HAM) dirumuskan sbb:
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerinth dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan rumusan-rumusan HAM yang pernah ada, maka dapat
ditegaskan bahwa HAM
setidaknya mengandung empat unsur penting sbb:
1. Hak dasar (basic rights); berarti HAM berkaitan dengan hak pokok dan
sangat penting bagi kesempurnaan eksistensi manusia ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Dimiliki setiap manusia; berati nilai dasar HAM bersifat universal,
kendatipun dalam implementasinya diakui adanya nilai partikular atau nilai
relatif kultural.
22

3. Dibawa sejak lahir; berarti HAM bersifat kodrati yang mengandung


konsekuensi bahwa perlindungannya merupakan kewajiban setiap pemerintah
yang berkuasa dimana saja dan kapan saja.
4. Anugrah Tuhan; yang mengandung konsekuensinya bahwa penggunaannya
harus disesuaikan dengan keinginan (aturan) Tuhan si pemberi HAM tsb.
Menurut kalangan islam, terdapat dua konsep tentang han dalam islam: hak
manusia (haq al-insan) dan hak Allah. Satu dan lainnya saling terkait dan saling
melandasi. Misal, dalam pelaksanaan hak Allah berupa ibadah sholat, seorang
Muslim yang taat memiliki kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah
sholat dalam kehidupan sosialnya.

Sedangkan hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak


untuk mengelola harta yang dimilikinya. Meskipun seseorang berhak
memanfaatkan hartanya, tetapi ia tidak boleh menggunakan harta kekayaannya
untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran/kehendak Allah swt.

Terdapat 3 (tiga) bentuk HAM dalam islam. Pertama, hak dasar (hak daruri),
sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat
manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat
kemanusiaannya. Contoh sederhana hak ini di antaranya adalah hak untuk hidup,
hak atas keamanan, dan hak memiliki harta benda. Kedua, hak sekunder, yakni
hak-hak \yang apabila tidak dipenuhi akah berakibat pada untuk memperoleh
sandang pangan yang layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup. Ketiga,
hak tersier, yaitu hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan
sekunder.

HAM Menurut Konsep Islam

Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang
umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu
yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan
Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini,
melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
23

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi


setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan
non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan
berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:

"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi,


niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua
urusan." (QS. Al-Hajj 22: 4)

Jaminan Hak Pribadi

Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah


dijelaskan Al-Qur’an:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang


bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya...
dst." (QS. An-Nuur 24: 27-28)

Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad


Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah pintu atau
melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah
melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman
apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.

Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula
kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau
individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan
di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-
Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada
masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."

Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah


Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa
mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran,
menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama
menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari
kesalahan yang dilarang agama.
24

Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah


berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah
berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran.
Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-
buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang
tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya
pengungkapan ini termasuk tajassus  yang dilarang agama.

2.11 Perbedan Prinsip tentang Konsep Islam dan Barat


Ada perbedaan prinsip antara hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang
barat dan islam. Menurut pemikiran barat, hak asasi manusia semta-mata bersifat
antroposentris yaitu segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan demikian,
manusia yang sangat dipentingkan. Sebaliknya, dilihat dari sudut pandang Islam, hak-
hak asasi manusia bersifat teosentris. Yaitu segala sesuatu berpusat kepada Tuhan.
Dengan demikian Tuhan yang sangat dipentingkan. A.K. Brohi mengatakan: “berbeda
dengan pendekatan barat, strategi islam sangat mementingkan penghargaan kepada
hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kwalitas dari
kesadaran keagamaan yang terpatri didalam hati, pikiran dan jiwa para penganutnya.
Perspektif islam sungguh-sunggguh bersifat teosentris.
Pemikiran barat menempatkan manusia pada posisis sebagai tolak ukur segala
sesuatu, didalm Islam melalui firman-Nya Allah yang menjadi tolak ukur segala
sesuatu, sedangkan manusia hanyalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Disinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut
pemikiran barat dengan menurut pola ajaran Islam. Makna dari teosentris bagi
masyarakat Islam adalah manusia harus meyakaini ajaran pokok Islam yang
dirumuskan pada dua kalimat syahadat. Yakni pengakuan bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Setelah itu manusia baru melakukan
perbuatan- perbuatan baik menurut keyakinan tersebut.
Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban telah disampaikan pada umat
manusia dari manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama ke dunia mengindikasikan
Allah telah memberi petunjuk kepada umat manusia. Lalu ketika umat manusia lupa
dengan petunjuk tersebut, Allah mengutus Nabi dan rasul-Nya agar dapat
mengingatkan mereka tentang keberadaan-Nya. Nabi Muhammad diutus untuk umat
manusia sebagai nabi terakhir agar menyampaikan dan memberi teladan kehidupan
yang sempurna kepada seluruh umat manusia sesuai dengan jalan Allah. Hal ini
menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil dari
pemikiran manusia, tetapi merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang diturunkan melalui
para nabi dan rasul sejak permulaan umat manusia di atas bumi.
Apabila prinsip Universal Declaration of Human Rights dibandingkan dengan
Hak asasi manusia menurut islam, maka dalam Alqur’an dan sunah rasul akan
dijumpai berikut ini,
a.       Martabat Manusia. Dalam Alqur’an disebutkan bahwa manusia mempunyai
kedudukan dan martabat yang tinggi (Q.S 17:70, 17:33, 5:32, dll)
b.      Prinsip persamaan. Bahwa sebenarnya semua manusia itu sama yang
membedakan hanyalah imannya (Q.S 49:13)
c.       Prinsip kebebasan berpendapat. Islam memberikan kesempatan untuk bebas
berpendapat asalkan tidak bertentangan dengan prinsip islam.
25

d.      Prinsip kebebasan beragama. Al qur’an menyatakan tidak boleh ada paksaan


dalam beragama dan menjunjung tinggi kebebasan beragama (Q.S 2:256, 50:45,
88:22)
e.       Hak atas Jaminan Sosial. Di dalam Alqur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang
menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi masyarakat (QS 51:19, 70:24,
104:2, 2:273, 9:60, dll)

f.       Hak atas harta benda. Dalam islam hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Islam adalah suatu bentuk peraturan bedasarkan ketentuan Allah SWT
dan sunah Nabi Muhammad SAW yang bersifat mengikat semua orang yang
beragama Islam tanpa terkecuali, baik remaja, dewasa, ataupun orang tua.

Tujuan diberlakukannya hukum Islam adalah mengatur kehidupan manusia


agar hidup tenang, tenteram, dan bebas dari ancaman orang lain. Menurut
Syatibi hukum Islam mencakup lima hal; Memelihara agama, Memelihara
jiwa, Memelihara akal, Memelihara keturunan, dan Memelihara harta.

Hukum islam yang disepakati terdiri dari: Al-quran, As-Sunnah, dan Ijtihad.
Sedangkan hukum islam yang diperselisihkan Istihsan,Istishab,Maslahah al
mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi.
Ada perbedaan prinsip antara hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang
barat dan islam. Menurut pemikiran barat, hak asasi manusia semta-mata
bersifat antroposentris yaitu segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan
demikian, manusia yang sangat dipentingkan. Sebaliknya, dilihat dari sudut
pandang Islam, hak-hak asasi manusia bersifat teosentris. Yaitu segala sesuatu
berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan yang sangat dipentingkan

3.2 Saran
1.         Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena
hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai kemaslahatan.
2.         Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena
hak ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3.         Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum,
hak dan kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya
berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
A.Qodri A.Azizy, Transformasi Fiqh dalam Hukum Nasional, membedah Peradilan Agama,
Semarang: PPHIM Jawa Tengah, 2001.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011.
26

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasby ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Maksun Faiz, Konstitusionaisasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, membedah
Peradilan Agama, Semarang: PPHIM Jawa Tengah, 2001.
https://studihukum.wordpress.com/2013/07/22/pengertian-hukum-islam/
Mohamad Daud Ali, 2017, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT. Rajagrafindo, Jakarta, hlm.21
M. Arifin Hamid, 2008, Hukum Islam Prespektif Keindonesiaan: Sebuah Pengantar dalam
Memahami Realitas Hukum Islam di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
hlm.13
Zainuddin Ali, 2006, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm 6-7
Mohamad Daud Ali, op.cit,hlm 57-58
Nasruddin Razak,2001, Dienul Islam, Cetakan ke-20, Bandung, PT. Alma’arif,hlm.311

Anda mungkin juga menyukai