Pemahaman Tentang Hukum Islam Dan HAM
Pemahaman Tentang Hukum Islam Dan HAM
Kelompok 5
Zhafirah Fidinina : 17114`11001
Aaron Michelle Duvali : 1711411002
Anisa Raudhatul Husna : 1711411009
Imam Esa Putra : 1711412001
Isra Nabilla : 1711412002
Muhammad Gheza Akbar : 1711412023
Kerin Irawan : 1711412025
Farhan Muhammad Nouve : 1711412029
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Penulis
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………...2
Daftar Isi……………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..4
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………….....4
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………....4
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..4
1.4 Manfaat Penulisan…………………………………………………………………4
BAB II
PEMBAHASAN……………............................................................................5
2.1 Pengertian Hukum Islam……………………………..……………………………5
2.2 Perbedaan dan Persamaan antara Hukum, Fikih dan Syariat…………..………...5
2.3 Tiga Sifat Hukum Islam………………………………………..………………….6
2.4 Ruang Lingkup Hukum Islam………………………………………………..……7
2.5 Tujuan Hukum Islam……………………………………………………………....9
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….……25
3.1 Saran……………………………………………………………………….…..…25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
……..26
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia
itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan
hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada
suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya
melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang
membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu hukum islam?
b. Bagaimana perbedaan dan persamaan antara hukum, fikih, dan syariat?
c. Apa sifat-sifat hukum islam?
d. Bagaimana ruang lingkup hukum islam?
e. Apa tujuan hukum islam?
f. Apa saja sumber-sumber hukum islam yang disepakati dan yang
dipersilisihkan?
g. Bagaimana uraian ayat Al-Quran tentang sumber-sumber hukum islam?
h. Bagaimana kontribusi umat islam dalam rumusan hukum islam di Indonesia?
i. Bagaimana kondisi hukum islam di Indonesia?
j. Bagaimana pengertian HAM dan konsepnya menurut islam?
k. Apa perbedaan prinsip tentang konsep islam dan barat?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari tugas ini selain memenuhi tugas makalah Pendidikan Agama juga
Untuk mengetahui ruang lingkup hukum Islam, Agar tatanan hukum di Indonesia
bisa didasarkan atas syariat islam, dan Untuk memperjelas dan memberikan
pemahaman pentingnya hukum islam.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat menambah pengetahuan tentang hukum dalam islam
2. Dapat mengetahui tentang apa saja hukum dalam islam
3. Dapat mengetahui ruang lingkup hukum islam
4. Dapat membedakan hukum islam dengan yang lainnya
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam sejatinya berasal dari terjemahan “Mashadir” yang memiliki arti
wadah ditemukannya norma-norma hukum. Adapun untuk pengertian hukum
dalam Agama Islam sendiri antara lain sebagai berikut;
Hukum Islam adalah suatu bentuk peraturan bedasarkan ketentuan Allah SWT
dan sunah Nabi Muhammad SAW yang bersifat mengikat semua orang yang
beragama Islam tanpa terkecuali, baik remaja, dewasa, ataupun orang tua.
Abu Zahroh Dalam definisnya, Hukum Islam adalah suatu bentuk aturan yang
mampu menjadikan manusia (insan) yang bijaksana di dalam menjalankan
kehidupan sehari-harinya, dalam menegakkan atau menjalankan hokum Islam
ini tidak pernah ditemukan pembedaan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
hukum dalam islam bersifat universal.
Ahmad Hasan Hukum Islam (Islamic law) adalah suatu bentuk hukum yang
bersumber dari seluruh ajaran Islam yang berada diantara syariah dan fikih.
Ulama Ushul Hukum islam merupakan tata cara hidup mengenai doktrin syariat
dengan perbuatan yang diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat tersebut
jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama fiqih, yang mengatakan
bahwa hukum Islam merupakan segala perbuatan yang harus dkerjakan menurut
syariat Islam.
Hasby A. S Hukum Islam ialah segala daya upaya yang dilakuakan oleh seoarang
muslim dengan mengikutsertakan sebuah syariat Islam yang ada. Dalam hal ini
Hasby juga menjelaskan bahwasannya hukum Islam akan tetap hidup sesuai
dengan undang-undang yang ada.
Dalam kajian hukum ini, khususnya di Indonesia kita juga mengenal Istilah
'hukum Islam'. Sehingga perlu juga kiranya kita semua dapat membedakan tiga
istilah : Hukum Islam, Syariat, dan Fikih, sehingga dapat menggunakannya dalam
wilayah yang tepat.
6
Syariat menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia
dan hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan aturan yang
Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama manusia.
Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syari’at tertuju kepada
hukum yang didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang disepakati para
sahabat dari hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari
al-qur’an atau as-sunnah.
Perbedaan Fiqh, Syariat, Dan Hukum Islam
1. Hukum Islam sebenarnya tidak lain dari pada fiqh islam atau syariat Islam, yaitu
koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang bersumber kepada al-Qur’an As-Sunnah dan Ijmak para
sahabat dan tabi’in.
2. Syariat : Bawa syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah,
merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib
diikuti oleh orang islam dasar-dasar hukum ini dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rosul-Nya.
3. Fiqh artinya faham atau pengertian., dapat juga dirumuskan sebagai ilmu yang
bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam
dalam kitab-kitab hadits, dan berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan
manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan
hukum islam.
Persamaan Fiqh, Syariat, Dan Hukum Islam
Fiqh adalah aturan yang baru diterapkan pada zaman nabi Muhammad dan
setelahnya, dan sebelumnya belum pernah ada istilah fiqh di masa nabi-nabi
sebelumnya. Syariat adalah aturan Allah yang telah diterapkan sejak nabi terdahulu
Adam, As. Hingga sekarang dan berlaku sangat umum. Sedangkan Hukum Islam
adalah istilah dalam bahasa Indonesia dari Syariat dan Fiqh. Hukum Islam lebih
ditekankan kepada analisis suatu peristiwa pada dasar hukum al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Adil, dalam hukum Islam keadilan bukan saja merupakan tujuan tetapi merupakan
sifat yang melekat sejak kaidah dalam syariat ditetapkan. Keadilan merupakan
sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat.
Individualistik dan Kemasyarakatan yang diiikat oleh nilai-nilai transedental
yaitu Wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat
ini, hukum islam memiliki validitas baik bagi perseorangan maupun masyarakat.
Dalam sistem hukum lainnya sifat ini juga ada, hanya asaja nilai-nilai transedental
sudah tidak ada lagi. (Mohammad Tahir Azhary, 1993:48-49)
2.4 Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Islam diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu: 1)
hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, dan 2) hukum yang berkaitan dengan
persoalan kemasyarakatan. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
1) Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
yaitu iman, shalat, zakat, puasa, dan haji.
- Siyar, yaitu hukum yang mengatur mengenai urusan jihad dan/atau perang,
harta rampasan perang, perdamaian, perhubungan dengan Agama lain, dan
negara lain.
Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematika hukum eks
Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik seperti
yang diuraikan pada pembagian hukum menurut daya kerjanya, maka susunan
8
*Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat (mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya); (2)
wirasah (mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli
waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan). Hukum waris ini sering
disebut hukum faraid; (3) muamalah dalam arti khusus mengatur masalah
kebendaan, hak-hak atas`benda, tata hubungan manusia dengan soal jual beli,
sewa menyewa, perserikatan, dan sebagainya.
Pada umumnya hukum Islam dibagi atas dua macam oleh para fuqaha:
a. Terdapat sebab, sebab adalah sesuatu yang tampak jelas dan tertentu
menjadi tanda/pangkal adanya hukum, terdiri dari:
- Sebab yang lahir dari perbuatan manusia, misalnya karena adanya akad nikah
menjadi sebab adanya hubungan seks antara seorang pria dengan seorang
wanita.
Kandungan hukum dalam al-Qur’an. Secara garis besar, kandungan hukum yang
terdapat didalam al-Qur’an ada dua macam, yaitu;
A. Hukum Ibadah, thaharah, shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, mengurus
jenazah, aqiqah, doa, dzikir, dan nazar.
B. Hukum-hukum mu’amalah, seperti hukuman, jinayat, perdata, pidana, hukum
acara, perundang-undangan, perekonomian, dan kenegaraan.
Ulama yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal dan
memiliki otoritas dikalangan umat Islam ialah Imam Abu Hanifah (699-767M), Imam
Malik (714-798M), Imam Syafi’I (767-854M), Imam Ahmad Ibn Hambal (780-
855M).
Ada pun hasil keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: ijma’, qiyas.
a. Ijma’ Adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid tentang hukum sesuatu
peristiwa atau hal yang belum ditetapkan hukumnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah.
Contohnya ialah keputusan MUI (terdiri atas sejumlah personil yang tergabung dalam
komisi fatwa) tentang keharaman ajinomoto, kehalalan obat-obatan, dll.
Ulama Nahdlatul Ulama tentang Bahtsul Masail yang menetapkan kebolehan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam NKRI
Ulama Tarjih Muhammadiyah menetapkan haramnya merokok.
b. qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dan hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
lain yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah karena ada kesamaan
illat. Qiyas merupakan istinbath hukum produk Imam Syafi’i.
Misalnya; dalam teks disebutkan keharaman Khamr. Diluar teks ada minuman
vodka. Ketetapan hukum minuman vodka adalah haram karena disamakan dengan
khamr dalam hal memabukkan.
1
12
….Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu…
b. Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
َما َرآهُ الـْ ُمسْلـ ِ ُموْ نَ َح َسنـًا فـَه َُو ِعنـْ َد هللاِ َح َس ٌن
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga di hadapan Allah
adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
Adapun Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah tidak
menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan
mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah:
a. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan atau
Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melaui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash
dan bukan pula qiyas. Jika istihsan berada di luar nash dan qiyas, maka hal itu berarti
ada hukum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup oleh nash dan
tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal ini tidak sejalan dengan firman Allah
dalam surat al-Qiyamah, 75:36:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban).”
Menurut wahbah az Zuhaili menyebutkan bahwa adanya perbedaan tersebut
disebabkan perbedaan dalam mengartikan Istihsan, Imam Syafii membantah istihsan
dengan menggunakan hawa nafsu tanpa menggunakan dalil syara’, sedang istihsan
yang dipakai oleh penganutnya bukan berdasarkan hawa nafsu tetapi mentarjih
(menganggap kuat)salah satu dua dalil yang bertentangan.
B. Istishab
2
13
1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang
4
14
Menurut abdul wahab khalaf; sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak
ada ketegasn hukum untuk merealisasikanya dan tidak pula ada dalil yang mendukung
maupun yang menolaknya,sehingga ia dikatakn Maslahah al mursalah ( maslahah
yang lepasdari dalil secara khusus).
Para ulama’ belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah
dapat dijadikan sumberhukum islam artinanya maslahah al mursalah termasuk sumber
hukum Islam yg masih di pertentangkan, golongan mazhab Syafii dan Hanafy tidak
menganggap maslahah al mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan
memasukkannya dalam katagori bab Qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak
didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan dalam Qiyas maka maslahah tersebut
di anggap batal/ tidak diterima. Sedang Imam malik dan Imam Hanbaly mengatakan
bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber hukum apabila memenuhi
syarat.5[5]
Adapun syaratnya yaitu:
1. Adanya persesuian antara maslahah yg dipandang sebagai sumber dalil yg
berdiri sendiri dengan tujuan tujuan syariat ( maqashid as syari’ah).
2. Maslahah harus masuk akal ( rationable).
3. Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang
terjadi ( raf’u haraj lazim), seperti firman Allah surah al hajj ayat 78, yg artinya “dan
Dia tidak sekali kali menjdikan untuk kamu suatu kesempitan.”( lihat al I’tisham oleh
As Syatibi juz 3, hal 307
1.Pengertian
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
akal sehat”. Sedang secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “ sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Oleh karna itu Ulama Mazhab Maliky dan Hanafy bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan
berdasarkandalil syari’iy.
Adapun pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam
1. ‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang
bertentangan dengan Nash Qath’i
5
15
2. ‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan baik yang tidak bertentangan
dengan syariat.
2. Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf
tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam.
Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya: 6
[6]
1) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk
menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat
al A’rof ayat 199:
َ َن ْا
. َلجا ِهلِيْن ِ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأ ُم ْر بِاْل ُع ْر
ْ ف َواَ ْع ِر
ِ ضع
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang
sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan
perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.
2) Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai
hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya
istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum
dan tidak menggunakannya sebagai dalil.7[7] Maka dengan hal itu, secara otomatis
golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam.
Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat
hukum”.
E. Saddudz dzarî’ah
1. Pengertian
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah
berarti “Wasilah atau jalan”. Jadi artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah
“menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan”8[8]
Yang dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah
“mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat jalan
yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau
dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1) Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya,
2) Perbuatan yang jarang , berakibat kerusakan /bahaya,
8
16
9
17
10
11
18
Pengertian lain dari qaul shahabi adalah pendapat para sahabat Rasulullah
SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak
menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama ushul fiqh adalah
seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya serta hidup
bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.
Jadi, qaul al-shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang
ketentuannya tidak terdapat pada nash.12[12]
Pada dasarnya sahabat sama dengan umat Islam lainnya, tetapi disisi lain
mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan
Rasulullah SAW. Misalnya ada sahabat yang menonjol dalam hal perbendaharaan
hadits, ada juga sahabat yang terkenal sebagai mufti yang alim dan ahli ber-istinbath,
ada juga yang dikenal sebagai panglima perang, selain itu juga ada yang menonjol
sebagai tokoh pemimpin masyarakat. Dalam semua hal itu mereka sangat mengenal
bahasa Al-Quran. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial
yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan
tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan
Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini membuat mereka lebih mampu
memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, berkat pergaulannya
dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat
mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak mendapat tantangan dari sahabat yang lain
menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah
pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta
pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah
menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan
kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a.
perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam
harta peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang
membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama
Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh
sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum
muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada
perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.
12
19
sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa [4] ayat 105 berikut.
Berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat harus
diselesaikandengan berpedoman pada Al Quran.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa [4] ayat 59 sebagai berikut.
QS Al Isra ayat 9
Artiya :
"Sungguh Al qur'an ini petunjuk ke jalan yang paling lurus memberi kabar gembira
kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapatkan pahala yang besar ".
Sebagai sumber hukum Islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al Quran.
Allah berfirman dalam Surah Al Hasyr [59] ayat 7
Islam telah menjadi bagian dan kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum semakin nampak
jelas dengan ditandai lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan Hukum Islam. Beberapa regulasi perundangan tersebut
sebagai berikut:
. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
· Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
· Undang-Undang Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
· Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
· Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Penegakan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang
harus melalui proses, yaitu proses cultural dan dakwah. Apabila Islam telah
memasyarakat (dipahami secara baik), sebagai keonsekuensinya hukum Islam harus
ditegakkan melalui perjuangan legilasi. Di dalam negara yang penduduknya mayoritas
muslim, kebebasan mengeluarkan pendapat / berpikir harus ada. Hal ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji baik dari segi
pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan
bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang telah
ditetapkan Allah. Persolannya, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum
Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas memerlukan
proses dan waktu untuk merealisasikannya.
2.9 Kondisi Hukum Islam di Indonesia
hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam,
dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku
terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum
Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang
dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam
sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga
masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa
sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di
Indonesia.
Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam
menyelesaikan masalah – masalah perdata.
b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3 Tahun 2006).
Peradilan Agama bertugas untuk menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang –
orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta waqaf dan sadaqah (pasal 49 ayat (1)).
Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri yang sederajat dengan Peradilan
Umum, Militer, dan TUN.[10] Sebelum undang – undang ini dikeluarkan, Peradilan
Agama sebenarnya telah ada bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Hanya saja kewenangan dan kedudukannya masih belum jelas. dengan
dikeluarkannya undang – undang ini, maka jelaslah kewenangan dan hukum acara
Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Adanya peraturan ini juga akan lebih
memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam penyusuan dan pembinaan hukum
nasional.
Terdapat 3 (tiga) bentuk HAM dalam islam. Pertama, hak dasar (hak daruri),
sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat
manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat
kemanusiaannya. Contoh sederhana hak ini di antaranya adalah hak untuk hidup,
hak atas keamanan, dan hak memiliki harta benda. Kedua, hak sekunder, yakni
hak-hak \yang apabila tidak dipenuhi akah berakibat pada untuk memperoleh
sandang pangan yang layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup. Ketiga,
hak tersier, yaitu hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan
sekunder.
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang
umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu
yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan
Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini,
melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
23
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan
berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula
kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau
individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan
di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-
Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada
masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."
f. Hak atas harta benda. Dalam islam hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam adalah suatu bentuk peraturan bedasarkan ketentuan Allah SWT
dan sunah Nabi Muhammad SAW yang bersifat mengikat semua orang yang
beragama Islam tanpa terkecuali, baik remaja, dewasa, ataupun orang tua.
Hukum islam yang disepakati terdiri dari: Al-quran, As-Sunnah, dan Ijtihad.
Sedangkan hukum islam yang diperselisihkan Istihsan,Istishab,Maslahah al
mursalah,Urf,Saddudz dzarî’ah,Syar’u man Qablana,Qaul Sahabi.
Ada perbedaan prinsip antara hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang
barat dan islam. Menurut pemikiran barat, hak asasi manusia semta-mata
bersifat antroposentris yaitu segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan
demikian, manusia yang sangat dipentingkan. Sebaliknya, dilihat dari sudut
pandang Islam, hak-hak asasi manusia bersifat teosentris. Yaitu segala sesuatu
berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan yang sangat dipentingkan
3.2 Saran
1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena
hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena
hak ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum,
hak dan kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya
berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A.Qodri A.Azizy, Transformasi Fiqh dalam Hukum Nasional, membedah Peradilan Agama,
Semarang: PPHIM Jawa Tengah, 2001.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011.
26
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasby ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Maksun Faiz, Konstitusionaisasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, membedah
Peradilan Agama, Semarang: PPHIM Jawa Tengah, 2001.
https://studihukum.wordpress.com/2013/07/22/pengertian-hukum-islam/
Mohamad Daud Ali, 2017, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT. Rajagrafindo, Jakarta, hlm.21
M. Arifin Hamid, 2008, Hukum Islam Prespektif Keindonesiaan: Sebuah Pengantar dalam
Memahami Realitas Hukum Islam di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
hlm.13
Zainuddin Ali, 2006, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm 6-7
Mohamad Daud Ali, op.cit,hlm 57-58
Nasruddin Razak,2001, Dienul Islam, Cetakan ke-20, Bandung, PT. Alma’arif,hlm.311