Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tempe
Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang
umumnya berbahan baku kedelai (Glycine max L. Merr) dan
mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada tempe terjadi
karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada
tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi
kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor.
Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan
kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam
fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang yang
terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin,
bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe
mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang
tempe selama proses fermentasi. Fermentasi menggunakan
beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus,
Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan beberapa jenis kapang
Rhizopus lainnya. Pada proses fermentasi akan terjadi hidrolisis
senyawa kompleks menjadi sederhana sehingga baik untuk
dicerna.
Tempe merupakan makanan yang kaya akan serat
pangan, kalsium, vitamin B, dan zat besi. Tempe merupakan
sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi yang tinggi
daripada bahan dasarnya. Tempe memiliki nilai obat seperti
antibiotik untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan untuk
menangkap radikal bebas. Tempe merupakan makanan alami
yang baik untuk kesehatan dan juga dapat menghambat infiltrasi
lemak atau Low Density Lipoprotein (LDL) teroksidasi ke dalam
jaringan pembuluh darah, sehingga dapat mencegah terjadinya
penyempitan pembuluh darah yang memicu timbulnya penyakit
jantung koroner.
Tempe merupakan sumber protein yang baik. Tempe juga
memiliki berbagai sifat unggul seperti mengandung lemak jenuh
rendah, kadar vitamin B yang tinggi, mengandung antibiotik, dan
berpengaruh baik pada pertumbuhan badan. Selain itu asam-
asam amino pada tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh jika
dibandingkan dengan bahan dasarnya, yaitu kacang kedelai.
Vitamin B12 yang terdapat pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri
Klabsiella peumoniae.
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Kedelai dan Tempe per 100 gram Bahan

Komponen Kedelai Tempe Kedelai


Protein (gram) 30,2 18,3

Lemak (gram) 15,6 4,0

Karbohidrat (gram) 30,1 12,7

Air (gram) 20,0 64,0

(Sumber: Santoso, 1993)

2.2. Sejarah dan Perkembangan Tempe


Banyak makanan tradisional berbahan baku kedelai berasal dari China,
seperti tahu, kecap, dan tauco. Namun, tidak seperti makanan tersebut, tempe
tidak berasal dari China. Tempe itu berasal dari Indonesia, tetapi tidak jelas kapan
pertama kali tempe mulai dibuat. Namun demikian, sejak berabad-abad silam
makanan tradisonal ini sudah dikenal oleh masyarakat Jawa, khususnya di
Yogyakarta dan Surakarta. Dalam manuskrip Serat Centhini, ditemukan bahwa
masyarakat Jawa pada abad ke-16 telah mengenal tempe. Kata tempe disebutkan
sebagai hidangan bernama jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan
santan) dan kadhele tempe srundengan. Kata tempe diduga berasal dari bahasa
Jawa Kuno. Pada masyarakat Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat
dari tepung sagu yang disebut tumpi. Makanan bernama tumpi tersebut terlihat
memiliki kesamaan dengan tempe segar yang juga berwarna putih. Hal ini
kemungkinan bahwa tumpi menjadi asal muasal dari mana kata “tempe” berasal.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan
menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai
Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk
produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per
orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg.
Umumnya, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai lauk pendamping
nasi. Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka
makanan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Keripik tempe adalah
salah satu contoh makanan siap saji yang populer dari tempe dan banyak dijual di
pasar.
Penyebaran tempe yang telah meluas menjangkau berbagai kawasan.
Masyarakat Eropa telah cukup lama mengenal tempe. Perkenalan tempe kepada
masyarakat Eropa dilakukan oleh imigran asal Indonesia yang menetap di
Belanda. Melalui Belanda, keberadaan tempe menyebar ke negara Eropa lain
seperti Belgia dan Jerman. Tempe cukup populer di beberapa negara Eropa sejak
tahun 1946. Di Amerika Serikat, tempe populer sejak pertama kali dibuat oleh
Yap Bwee Hwa pada tahun 1958. Yap Bwee Hwa merupakan orang Indonesia
yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe. Di Jepang,
tempe diteliti sejak tahun 1926 dan mulai diproduksi secara komersial sekitar
tahun 1983. Sejak tahun 1984 sudah tercatat terdapat beberapa perusahaan tempe
di Eropa, di Amerika, dan di Jepang. Di beberapa negara, seperti Selandia Baru,
India, Kanada, Australia, Meksiko, dan Afrika Selatan, tempe juga dikenal
sekalipun di kalangan terbatas.

2.3. Kandungan Gizi Tempe


Tempe mempunyai nilai gizi yang tinggi. Sejumlah penelitian yang
diterbitkan pada tahun 1940 sampai dengan 1960 menyimpulkan bahwa banyak
tahanan Perang Dunia II pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia berhasil
terhindar dari disentri dan busung lapar karena tempe. Penelitian terhadap nilai
gizi tempe terus dilakukan dan dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
tempe mengandung elemen yang berguna bagi tubuh, yaitu protein, karbohidrat,
asam lemak, vitamin, mineral, dan antioksidan. Gizi utama yang hendak diambil
dari tempe adalah proteinnya karena besarnya kandungan asam amino. Di dalam
tempe kandungan nilai gizinya lebih baik dibandingkan dengan
kedelai dan produk turunan lainnya. Kandungan tersebut
diantaranya ialah vitamin B2, vitamin B12, niasin, dan juga asam
pantorenat. Hasil analisis gizi tempe menunjukan kandungan
niasin sebesar 1,13 mg per 100 gram berat tempe yang
dimakan. Kandungan ini meningkat dua kali lipat setelah kedelai
difermentasikan menjadi tempe.
Kandungan gizi tempe seperti protein, karbohidrat, dan
lemak tidak banyak berubah. Akan tetapi dikarenakan adanya
kapang tempe, maka kandungan protein, karbohidrat, dan lemak
menjadi lebih mudah untuk dicerna oleh tubuh. Kandungan tempe
baik untuk anak-anak, dewasa muda, maupun para lansia (lanjut usia), sehingga
tempe bisa dikatakan sebagai makanan bagi semua kelompok umur.
2.2.1. Asam Lemak
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdapat tendensi peningkatan
derajat ketidakjenuhan terhadap lemak selama dalam proses
fermentasi tempe. Sehingga asam lemak tidak jenuh majemuk
atau Polyunsaturated Fatty Acids (PUFA) pada tempe jumlahnya akan
meningkat. Akan tetapi, dalam proses ini asam linoleat dan asam
palmitat mengalami degradasi, sedangkan peningkatan juga
terjadi pada asam oleat dan asam linolenat (linolenat tidak
terdapat pada kedelai, hanya pada tempe). Asam lemak tidak
jenuh ini memiliki efek hipokolesterolemik, sehingga mampu
menetralkan efek negatif dari lemak sterol di dalam tubuh .
2.2.2. Vitamin
Kelompok vitamin yang terdapat di dalam tempe terdiri atas dua jenis,
yaitu yang larut di dalam air (vitamin B kompleks) dan yang larut lemak (vitamin
A, D, E, dan K). Tempe memiliki sumber vitamin B yang potensial. Jenis vitamin
tersebut ialah vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam
nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan vitamin B12 (sianokobalamin).
Tempe merupakan satu-satunya sumber nabati yang memiliki kandungan B 12, di
mana kandungan ini hanya dimiliki oleh produk hewani, sehingga tempe memiliki
potensial yang lebih baik dibandingkan produk nabati lainnya.
Selama proses fermentasi dalam pembuatan tempe, terjadi peningkatan
vitamin B12 yang sangat mencolok, yaitu 33 kali lebih banyak dibandingkan
kedelai. Riboflavin (vitamin B2) meningkat 8 hingga 47 kali, piridoksin (vitamin
B6) meningkat 4 hingga 14 kali lebih banyak dibanding kedelai. Niasin meningkat
2 hingga 5 kali, biotin mengalami peningkatan sebesar 2 hingga 3 kali,
asam folat 4 hingga 5 kali, dan asam pantotenat hanya
meningkat 2 kali lipat dibanding dari kandungan kedelai sebelum
difermentasi. Vitamin ini tidak dihasilkan oleh kapang Rhizopus,
melainkan dari kontaminasi Klebsiella pneumoniae, dan Citrobacter freundii.
Kandungan dari vitamin B12 di dalam tempe berkisar dari 1,5
sampai 6,3 mikrogram per 100 gram tempe kering yang kita
konsumsi. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan vitamin B12 seseorang per hari. Kandungan vitamin B12
seorang vegetarian dapat terpenuhi dengan konsumsi tempe
setiap hari.
2.2.3. Mineral
Menurut penelitian LIPI, tempe memiliki kandungan
mineral yang baik. Berupa mineral makro dan mikro dalam
jumlah cukup. Jumlah mineral besi, zink, dan tembaga berturut-
turut adalah 9,39, 8,05, dan 2,87 mg setiap 100 gram tempe
yang dikonsumsi. Kapang yang ada dalam tempe mengandung
enzim fitase yang mampu mnguraikan asam fitat (pengikat
mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam
fitat menjadikan mineral-mineral seperti zink, besi, maupun
tembaga menjadi lebih siap untuk dimanfaatkan oleh tubuh.
2.2.4. Antioksidan
Di dalam tempe ditemukan suatu zat antioksidan berupa isoflavon.
Seperti antioksidan lain, isoflavon diperlukan sebagai penghenti pembentukan
radikal bebas. Isoflavon yang terkandung adalah daidzein, glisitein, dan genistein.
Selain itu, tempe memiliki isoflavon terkuat dibanding isoflavon kedelai, yaitu
antioksidan faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon). Antioksidan tercipta selama
proses fermentasi yang dihasilkan dari fermentasi bakteri Micrococcus luteus dan
Coreyne bacterium.

2.4. Manfaat Tempe


Tempe memiliki kandungan zat besi, flavonoid, yang bersifat
antioksidan sehingga mampu untuk menurunkan tekanan darah.
Kandungan kalsium yang tinggi dalam tempe, mampu untuk
mencegah terjadinya osteoporosis. Tempe dapat menanggulangi
penyakit anemia. Anemia ditandai dengan penurunan kadar
hemoglobin darah yang diakibatkan karena kurangnya zat besi
(Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), protein, asam folat, dan vitamin
B12. Tempe memiliki kandungan antioksidan tinggi, sehingga bisa
menghambat penuaan (aging) atau penuaan dini.
Tempe bersifat hipokolesterolemik, dimana kandungan
asam lemak jenuh ganda pada tempe mampu untuk menurunkan
kadar kolesterol tubuh. Kandungan superoksida dismutase dalam
tempe yang dapat mengendalikan radikal bebas, sehingga baik
bagi penderita kelainan jantung. Tempe mencukupi kebutuhan
gizi seimbang sehari-hari. Kapang tempe Rhizopus sp bersifat
sebagai antibacterial atau antibiotik, sehingga mampu untuk
mengurangi terjadinya infeksi. Lebih lanjut, Universitas Carolina
Utara, Amerika Serikat, menemukan bahwa genestein dan
fitoestrogen pada tempe ternyata dapat mencegah kanker
prostat dan payudara.
2.5. Mutu Tempe
Setiap kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran dan komposisi kimianya.
Perbedaan secara fisik dan kimia tersebut dipengaruhi oleh varietas dan kondisi
dimana kedelai tersebut dibudidayakan. Mutu tempe bergantung pada mutu bahan
baku yang digunakan. Karakteristik dan mutu tempe kedelai selain dipengaruhi
oleh teknologi prosesnya juga ditentukan oleh jenis dan mutu kedelai serta
mikroorganisme yang digunakan. Ketiga faktor tersebut menentukan karakteristik
mutu fisik, organoleptik, dan kimiawi (komposisi dan nilai gizi).

Tabel 2.2. Spesifikasi Standar Mutu Tempe Kedelai Berdasarkan SNI. 01-3144-2009

Kriteria Uji Satuan Persyaratan


Keadaan

Bau - normal. Khas


Warna - normal
Rasa - normal
Kadar air (b/b) % maksimal 1,5
Kadar abu (b/b) % maksimal 1,0
Kadar lemak (b/b) % minimal 10
Kadar protein (b/b) % minimal 16
Kadar serat kasar (b/b) % maksimal 2,5
Cemaran logam
Cadmium (Cd) mg/kg maksimal 0,2
Timbal (Pb) mg/kg maksimal 0,25
Timah (Sn) mg/kg maksimal 40
Merkuri (Hg) mg/kg maksimal 0,03
Arsen (As) mg/kg maksimal 0,25
Cemaran mikrobia
Bakteri coliform APM/g maksimal 10
Salmonella sp - negatif/25 g
(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2009)

Untuk memproduksi tempe, digunakan bahan baku pokok yang sama,


yaitu kedelai. Jenis kedelai terdiri atas 4 macam, yaitu kedelai kuning, kedelai
hitam, kedelai coklat dan kedelai hijau. Para pengrajin tempe biasanya memakai
kedelai kuning sebagai bahan baku utama. Kedelai termasuk berbiji besar bila
bobot 100 bijinya lebih dari 13 gram, kedelai berbiji sedang bila bobot 100 bijinya
antara 11 gram hingga 13 gram, dan kedelai berbiji kecil bila bobot 100 bijinya
antara 7 gram hingga 11 gram. Syarat mutu kedelai untuk memproduksi tempe
tahu kualitas pertama adalah bebas dari sisa tanaman (kulit palang, potongan
batang atau ranting, bau, kerikil, tanah atau biji-bijian), biji kedelai tidak luka atau
bebas serangan hama dan penyakit, biji kedelai tidak memar, serta kulit biji
kedelai tidak keriput.

2.6. Proses Pembuatan Tempe


Proses pembuatan tempe terbagi menjadi sepuluh tahapan. Adapun
tahap-tahap tersebut adalah sortasi, pencucian, perebusan pertama, perendaman,
pengupasan, perebusan kedua, penirisan dan pendinginan, peragian, dan
pengemasan, dan fermentasi. Tahap pertama adalah sortasi. Untuk memperoleh
produk tempe yang berkualitas, sortasi bertujuan untuk memilih biji kedelai yang
bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur kotoran atau biji
yang keriput dan keropos. Sebelum melakukan proses produksi, diperlukan sortasi
bahan baku dengan membuang bji kedelai yang cacat dan muda, membuang
kotoran, serangga, dan bahan leguminosa lainnya (beras dan jagung).
Tahap kedua yaitu pencucian, yang bertujuan untuk menghilangkan
kotoran-kotoran yang melekat maupun tercampur pada biji kedelai. Pada tahap
pencucian diperlukan cukup banyak air dalam proses produksi tempe. Hal ini baik
untuk sanitasi, medium penghantar panas, maupun pada proses pengolahan. Rasio
bahan baku tempe dengan air adalah satu berbandung dau belas. Air yang
digunakan dalam pengolahan harus terbebas dari mikroba patogen maupun
mikroba penyebab kebusukan makanan. Umumnya air yang memenuhi
persyaratan standar air minum, cukup baik dan memenuhi persyaratan untuk
industri.
Organisme yang paling umum digunakan sebagai petunjuk adanya polusi
air adalah Escherchia coli dan kelompok coliform. Coliform merupakan suatu
kelompok bakteri yang kemungkinan terbesar berasal dari kotoran manusia dan
hewan. Adanya bakteri coliform dalam air menunjukkan adanya mikroba patogen
yang berbahaya. Bila lebih dari 40% dari jumlah bakteri koliform yang dinyatakan
oleh indeks Most Probable Number (MPN) ternyata termasuk golongan coliform
yang berasal dari kotoran, air tersebut harus dianggap masuk kategori yang lebih
tinggi lagi sehubungan dengan penanganan yang diperlukan.
Ukuran tingkat kontaminasi atau petunjuk perlunya air tersebut untuk
diolah dan cara pengolahan yang tepat dapat diketahui dari kriteria mutu air. Air
yang berhubungan dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memiliki
setidak-tidaknya standar mutu yang diperlukan untuk air minum. Bagian dari
pengolahan industri pangan perlu mengembangkan syarat mutu air khusus untuk
mencapai hasil-hasil pengolahan air yang memuaskan. Dalam proses pembuatan
tempe, rasio perbandingan bahan baku tempe dengan air adalah 1:12.
Tahap perebusan pertama bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan
memudahkan dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin
inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan pertama ini bertujuan
untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan membunuh
bakteri yang kemungkinan tumbuh. Perebusan dilakukan selama 30 menit atau
ditandai dengan mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan jari
tangan.
Tahap perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah
pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit
biji kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air
terutama oleh bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan
kesempatan kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin
pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan itu tidak mempengaruhi
pertumbuhan kapang, tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah
asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4−5. Perendaman dilakukan selama 12
jam sampai 16 jam pada suhu kamar atau 25˚C sampai 30˚C.
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi sehingga kadar
air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62%
−65%. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri
asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5−5,3.
Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei,
Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini
memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan
pembusuk yang tidak tahan terhadap asam. Selain itu, peningkatan kualitas
organoleptiknya juga terjadi dengan terbentuknya aroma dan juga flavor atau rasa
yang unik.
Tahap pengupasan kulit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara
kering dan cara basah. Pengupasan cara kering yaitu dengan mengeringkan
kedelai terlebih dahulu pada suhu 104oC selama 10 menit atau dengan
pengeringan sinar matahari selama 1 jam sampai dengan 2 jam. Selanjutnya
penghilangan kulit dilakukan dengan alat burr mill. Pengupasan secara basah
dapat dilakukan setelah biji mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau
perendaman. Biji yang telah mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari
bagian kulitnya biasanya dengan meremas-remas biji kedelai hingga kulit dari biji
kedelai menjadi terkelupas.
Tahap perebusan kedua bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri
kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan
senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur. Pada
tahap perebusan kedua ini biji kedelai direbus pada suhu 100oC selama 20 menit
sampai dengan 30 menit supaya menjadi lunak sehingga dapat ditembus oleh
miselia kapang yang menyatukan biji-bijian dan tempe menjadi kompak.
Tahap penirisan dan pendinginan bertujuan untuk mengurangi kandungan air
dalam biji, mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai
dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat menyebabkan
penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi pertumbuhan bakteri-bakteri
kontaminan, sehingga menyebabkan pembusukan. Pendinginan dapat dilakukan dengan
cara membiarkan kedelai hingga dingin atau cukup mencapai suhu kurang lebih
30oC untuk kemudian dilakukan proses yang lebih lanjut lagi.
Tahap inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum ke dalam
bahan yaitu ragi tempe. Inokulasi ragi tempe ke dalam bahan yang telah ada
dibagi menjadi dua cara. Cara pertama adalah penebaran inokulum pada
permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur
merata sebelum pembungkusan. Cara kedua adalah inokulum dapat dicampurkan
langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan.
Inokulum yang ditambahkan ke dalam bahan pembuatan tempe yaitu sebesar
0,2%−0,5%. Tahap kesembilan adalah tahap pengemasan dari tempe yang sudah
dibuat.
Tahap pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi
sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan
perhatian yang lebih besar secara nyata. Pengemasan akan berperan sangat
penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam keadaan bersih dan
higienis. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan misalnya daun
pisang, daun waru, daun jati, dan plastik. Pembungkus harus memungkinkan
udara masuk karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan
pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara
ditusuk-tusuk.
Pembungkusan bahan tempe dengan daun pisang sama halnya dengan
menyimpannya dalam ruang gelap yang mana merupakan salah satu syarat ruang
fermentasi jika dilihat sifat daun yang tidak tembus pandang. Alasan lain yaitu
aerasi atau sirkulasi udara tetap dapat berlangsung malalui celah-celah
pembungkus yang ada. Penelitian dilakukan untuk membandingkan sifat
orgenoleptik tempe yang dibungkus menggunakan kemasan plastik, daun pisang
dan daun jati. Hasilnya menyebutkan bahwa penggunaan jenis pembungkus
plastik, daun pisang dan daun jati pada tempe kedelai berpengaruh terhadap sifat
organoleptik seperti warna, aroma, rasa, tekstur dan kekompakan tetapi perbedaan
tekstur tidak signifikan.
Tahap terakhir adalah tahap inkubasi. Inkubasi biasanya dilakukan pada
suhu 25°C−37°C selama 36 jam hingga 48 jam. Selama inkubasi terjadi proses
fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji
kedelai. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji
kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada suhu
20°C–37°C selama 18 jam hingga 36 jam. Proses fermentasi tempe terdiri atas
tiga fase, yaitu fase pertumbuhan (0 jam hingga 30 jam fermentasi), fase transisi
(30 jam hingga 50 jam fermentasi), dan fase pembusukan atau fermentasi lanjut
(50 jam hingga 90 jam fermentasi). Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk
inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai
dengan pertumbuhan jamur. Oksigen diperlukan dalam pertumbuhan dan
perkembangan kapang tempe.
DAFTAR PUSTAKA

Akmaliyah, N. 2015. Perbedaan Kandungan Gizi Kedelai dan Tempe. (Online):


http://lagizi.com/perbedaan-kandungan-gizi-kedelai-dan-tempe/.
(Diakses pada tanggal 5 Maret 2018).
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3144:2009 Tempe Kedelai. Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.
Kustyawati, M. E. 2009. Kajian Peran Yeast dalam Pembuatan Tempe. Agritech.
29(2): 64-70.
Mujianto. 2013. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Proses Produksi Tempe
Produk UMKM di Kabupaten Sidoarjo. Reka Agroindustri. 1(1): 20-28.
PUSIDO Badan Standardisasi Nasional. 2012. Tempe: Persembahan Indonesia
untuk Dunia. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Salim, R., dkk. 2017. Analisis Jenis Kemasan terhadap Kadar Protein dan Kadar
Air pada Tempe. Jurnal Katalisator. 2(2): 106-111.
Santoso, H. B. 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai: Bahan Makanan
Bergizi Tinggi. Yogyakarta: Kanisius.
Shurtleff, W., dkk. 1979. The Book of Tempeh. New York: Harper and Row.
Winarno, F. G. 2004. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai