Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat
peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat
luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis
untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek
yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak.
Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa
merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak,
maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak,
keadaan ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi
ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut
jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa
menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang
mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat
pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II.2 Epidemiologi
Insidensi cedera kepala ringan adalah sekitar 131 kasus per 100.000 orang, cedera
kepala sedang adalah 15 kasus per 100.000 orang dan cedera kepala berat hanya
14 kasus per 100.000 orang. Kematian inklusi pre rumah sakit berdasarkan data
epidemiologi terakhir adalah sebesar 21 kasus per 100.000 orang.

II.3 Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena
cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki
lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa,
padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan lapisan membran
dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang bila robek, sukar
mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan kehilangan darah
bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung
vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
sampai ke dalam tengkorak.

Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.

Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan
tertimbun dalam ruang epidural. Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke
dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat,
semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.

Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3)


membentuk periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a.
Meningea media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna.
Arakhnoid adalah membran fibrosa halus dan elastis, membran ini tidak melakat
dengan dura mater, ruangan antara kedua membran disebut ruang subdural. Vena-
vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan
penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala.
Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan
mendalam pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pia mater adalah membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah
halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan membungkus semua girus.

II.4 Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di
sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung
atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V
biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga
merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI
jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila
trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.
Gambar : Patofisiologi cedera kepala.

II.5 Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya

Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat
Berdasarkan
morfologi

Fraktura
Kulit Lesi Intrakranial
tengkorak

Vulnus Kalvaria Basilar Fokal Diffuse

Linear atau Kontusio


Laserasi Konkusi ringan
stelata serebri

Hematom Depressed atau Hematom


Konkusi klasik
subkutan, nondepressed epidural

Hematom Hematom Cedera aksonal


subgaleal subdural difusa

Perdarahan
subarakhnoid

Perdarahan
intraserebral

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans
atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan
titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya
fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk
kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan
kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih
sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak.
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak
battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat
dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan
perdarahan.

Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.

2. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan
PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan
laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma
kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari
tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan
benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang
menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi
(pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada
saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama
terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan,
peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan
yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di
tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena
gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan
otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak
pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup,
akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan
dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita
kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.

A. Komusio serebri ( Gegar otak )


Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari
10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan
linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap,
setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik
yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi
setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan
kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar
penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-
gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak
diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala
yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera
mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang
bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya
cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah,
sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak
terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap
orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya
untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

B. Kontusio serebri (Memar otak )


Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan
yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang
berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan
subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan
terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami
kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari
pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan
interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan
mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.
Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah
yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan
hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan
vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin
hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama.
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi
pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya
gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma
pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.

C. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak
sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar
dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas
biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam
atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma
yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak
mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan
kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga
terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi
bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada
CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak gambaran
massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula
yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak
di bagian temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin
dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan
darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah dan
didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit,
atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut
dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Berdasarkan Beratnya
A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan
pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
B. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.
C. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai
SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan
otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.

Berdasarkan Morfologi
Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat,
nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal
dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk
kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang
menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang
cair.

Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres
atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan.
Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa
melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi
pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang
membentuknya. Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut
bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini
menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang
bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit. Akibatnya
cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan, yang
nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian
distal akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung
distal
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik
mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang
kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata

Pemeriksaan penunjang
a) Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis,Gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto
kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya
fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique. 
b)CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal
terjadi shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
- MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
- Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
- Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
- X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
- BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
- PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
- CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
- ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
- Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
- Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan
- Kesadaran

Penanganan Cedera Kepala


I. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15.
Terdiri atas :
a. Simple head injury
 Tidak ada penurunan kesadaran
 Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
 Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
 Amnesia retrograde
 Pusing, sakit kepala, muntah
 Tidak ada defisit neurologis
Manajemen
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
 Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan
suction, pasang NGT
 Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.
 Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi
sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
 Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan
tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan
yang dilakukan adalah tracheostomi.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan
kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada
luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.
Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi

Kriteria rawat :
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang
setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :
 Mengantuk dan sukar dibangunkan
 Mual dan muntah hebat
 Kejang
 Nyeri kepala bertambah hebat
 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
 Gelisah
8. Terapi simtomatik
Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah
sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat
memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien
cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya
sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila
kondisi membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan
perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien
harus dirawat untuk di observasi.

Cedera kepala berat


Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana karena
adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
 Pingsan > 10 menit
 Kegelisahan motorik
 Sakit kepala, muntah
 Kejang
 Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
 Amnesia anterogard
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup.
Penangan kasus ini mencakup :
 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada
cedera kepala ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya
pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s
eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
- Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
- Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
- Tanda fokal neurologis semakin berat
- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang

II.6 Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area.
Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Kerusakan area bahasa pada
masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang menetap. Beberapa
fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan
oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya
menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa
diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat
kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum
dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada
minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.

BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa


mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Terjadinya cedera kepala,
kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan
akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan
menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala,
beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma
maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan
merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan
menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,
sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus
bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan
otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian


Rakyat. Jakarta : 2009

2. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit
BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005

3. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com.


Accessed on : 22 Juny 2013
4. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:
http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on :
22 Juni 2013

5. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:


http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 22 Juni 2013

6. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala (Trauma Capitis).


Available at : http://asepscience.wordpress.com/2009/06/14/asuhan-
keperawatan-cedera-kepala-trauma-capitis/. Accessed on : 22 Juni 2013
7. Hati-hati Jika Cedera Kepala. Available at :
http://www.tanyadokteranda.com/featured/2010/11/hati-hati-jika-cedera-
kepala. Accessed on : 22 Juni 2013

Anda mungkin juga menyukai

  • Soal TIU
    Soal TIU
    Dokumen16 halaman
    Soal TIU
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Borang
    Borang
    Dokumen21 halaman
    Borang
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Referat Mata Keratitis
    Referat Mata Keratitis
    Dokumen30 halaman
    Referat Mata Keratitis
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Miopati
    Miopati
    Dokumen28 halaman
    Miopati
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Referat Mastitis
    Referat Mastitis
    Dokumen22 halaman
    Referat Mastitis
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Evapro Kasus TB
    Evapro Kasus TB
    Dokumen16 halaman
    Evapro Kasus TB
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis B
    Hepatitis B
    Dokumen17 halaman
    Hepatitis B
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • PAD
    PAD
    Dokumen41 halaman
    PAD
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat
  • Miopi
    Miopi
    Dokumen5 halaman
    Miopi
    Naila Syifa
    Belum ada peringkat