Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MASTITIS

Pembimbing:
dr. Lopo Triyanto, Sp.B,Onk

Disusun Oleh:
Tiara Dwivantari G4A016068

BAGIAN SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Refrat yang berjudul:

Mastitis

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik


Di Bagian Ilmu Bedah
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Tiara Dwivantari G4A016068

Disetujui dan disahkan


Tanggal April 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Lopo Triyanto, Sp.B,Onk

2
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan fisiologi

Payudara adalah organ reproduksi wanita dan mengeluarkan air

susu yang mana pada pria kelenjar ini mengalami rudimeter. Dalam bahasa

anatomis payudara lebih dikenal dengan istilah mammae. Mammae

terletak di anterior dinding thoraks yaitu dimulai costae ketiga sampai

ketujuh serta terbentang lebarnya dari linea parasternalis sampai axillaris

anterior dan mediana. Berat dan ukuran mammae berlainan sesuai dengan

pertambahan umur, pada masa pubertas membesar, dan bertambah besar

selama hamil dan sesudah melahirkan, dan menjadi atropi pada usia lanjut.

Bentuk mammae cembung ke depan dengan puting di tengahnya,

yang terdiri atas kulit dan jaringan erektil dan berwarna tua. Puting ini

dilingkari daerah berwarna coklat yang disebut dengan areola. Dekat dasar

puting terdapat kelenjar sebaseus, yaitu kelenjar Montgomery, yang

mengeluarkan zat lemak supaya puting tetap lemas.Mammae terdiri atas

bahan kelenjar susu atau jaringan alveolar, tersusun atas lobus-lobus yang

saling terpisah oleh jaringan ikat dan jaringan lemak (Netter, 2014).

Setiap lobules terdiri atas sekelompok alveolus yang bermuara ke

dalam ductus laktiferus (saluran air susu ) yang bergabung dengan duktus-

duktus lainnya untuk membentuk wadah penampungan air susu, yang

disebut sinus laktiferus; kemudian saluran-saluran itu menyempit lagi dan

menembus puting dan bermuara diatas permukaanya. Terdapat 15 sampai

3
20 kantung panghasil susu pada setiap mammae, yang dihubungkan

dengan saluran susu yang terkumpul dalam puting. Sisa bagian dalam

mammae terdiri dari jaringan lemak dan jaringan berserat yang saling

berhubungan, yangmengikat mammae dan mempengaruhi bentuk dan

ukuran. Terdapat juga pembuluh darah dan kelenjar getah bening pada

mammae (Netter, 2014).

Ukuran mammae berkolerasi dengan pengaruh genetika, diet dan

hormon. Mammae pasca menopause tetap memperlihatkan hilangnya

lemak parenkim dan involusi komponen kelenjar proliferatif berat antara

150-225 gram, sedang mammae laktasi beratnya lebih 500 gram. Pada

wanita perkembangan mammae aktif, pada pria kelenjar dan duktus

mammae tetap rudimeter dan kurang berkembang dengan ductus pendek

dan asinus berkembang tidak sempurna (Guyton & Hall, 2007).

Mammae adalah organ tubuh wanita yang paling peka terhadap

gangguan keseimbangan hormonal. Mammae juga merupakan organ tubuh

yang labil dan sangat sensitif terhadap pengaruh hormonal. Akibatnya

mammae menjadi bagian organ tubuh yang paling sering terpengaruh

berbagai kondisi patologis yang ada hubungannya dengan hormon,

terutama estrogen. Akibat pengaruh hormonal inilah mammae cenderung

untuk mengalami pertumbuhan neoplastik baik yang bersifat jinak

(benigna) maupun yang ganas (maligna). Neoplastik yang ganas banyak

dijumpai pada wanita dalam kurun reproduksi aktif dan jarang ditemui

pada wanita sebelum adolesensi (Guyton & Hall, 2007).

4
Gambar 1.1.Anatomi Payudara Normal

Keterangan Gambar

1.Chest wall (dinding dada) 6.Lactiferus duct

2.Pectoralis muscles (otot pektoralis) 7.Fatty Tissue (jaringan lemak)

3.Lobules 8.Skin (kulit)

4. Nipple surface

5.Areola

Perubahan mammae secara fisiologik dibagi atas tiga fase, yaitu

sebagai berikut :

1. Pertumbuhan dan Involusi Mammae

Buah dada bayi yang baru lahir sering mengeluarkan susu, yang dalam

bahasa Inggris disebut ” Witches milk” pada laki-laki maupun perempuan.

Pada perempuan, perubahan dalam perkembangan terjadi pada masa

pubertas ketika terdapat penambahan jaringan kelenjar. Pada waktu

5
seorang anak gadis mulai mendapat menstruasi pertama terjadi sedikit

pembesaran pada buah dada. Pembesaran ini disebabkan oleh kegiatan

hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh ovarium dan

beberapa hari sebelum masa menstruasi terdapat penambahan persediaan

darah (Guyton & Hall, 2007).

2. Perubahan kelenjar mammae yang berhubungan dengan haid

Pada waktu haid mammae makin membesar, tegang dan pada

beberapa wanita timbul rasa nyeri, perubahan ini ada hubungannya dengan

perubahan vaskuler dan limfogen (Guyton & Hall, 2007).

3. Perubahan Mammae pada waktu hamil dan masa laktasi

Beberapa minggu sesudah konsepsi timbul perubahan-perubahan pada

kelenjar mammae. Mammae jadi penuh, tegang, areolla lebih banyak

mengandung pigmen dan puting sedikit membesar. Awal trimester kedua

mulai timbul system alveolar. Ductus-ductus dan asinus-asinus menjadi

hipertropis di bawah pengaruh estrogen dan progesteron yang kadarnya

meningkat. Alveolus-alveolus mulai terisi cairan yakni kolostrum, dibawah

pengaruh prolaktin. Pada bulan-bulan terakhir kolostrum dapat

dikeluarkan beberapa tetes. Sesudah persalinan kolostrum keluar dalam

jumlah yang besar dan lambat laun diganti dengan air susu, jikalau bayi

disusui dengan teratur. Biasanya sesudah 24 jam mulai dikeluarkan air

susu biasa dan sesudah 3-5 hari produksinya teratur. Pengecilan mammae

sesudah menopause adalah berdasarkan kurangnya produksi estrogen

(Guyton & Hall, 2007).

6
B. Definisi

Mastitis adalah peradangan payudara, yang dapat disertai atau tidak

disertai infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut

juga mastitis laktasional atau mastitis puerperalis. Mastitis laktasi dapat

terjadi ketika bakteri memasuki payudara sementara menyusui. Puting

susu dapat menjadi retak atau sakit akibat menyusui. Hal ini dapat terjadi

bila posisi bayi pada saat menyusui tidak sesuai. Mastitis dapat

mempengaruhi satu atau kedua payudara (Inch & Xylander, 2000).

Mastitis nonlaktasi disebabkan oleh infeksi pada kulit sekitar

areola dan puting. Penanganan mastitis karena infeksi yang tidak adekuat

atau lambat menyebabkan kerusakan jaringan payudara yang lebih luas

atau terjadinya abses. Abses yang luas dapat mempengaruhi laktasi

selanjutnya pada 10% perempuan, bahkan dapat menghasilkan bentuk

payudara yang tidak baik atau kehilangan payudara akibat reseksi

payudara atau mastektomi (Lisa, et al., 2014)

C. Epidemiologi

1. Insiden

Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi, dengan

atau tanpa kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dari

sedikit sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya di bawah 10% (Inch

& Xylander, 2000).

2. Mula Timbul

7
Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga pasca

kelahiran, dengan sebagian besar laporan menunjukkan bahwa 74%

sampai 95% kasus terjadi dalam 12 minggu pertama. Namun, mastitis

dapat terjadi pada setiap tahap laktasi, termasuk pada tahun kedua. Abses

payudara juga paling sering terjadi pada 6 minggu pertama pasca kelahiran

(Inch & Xylander, 2000).

D. Etiologi & Patogenesis

Mastitis memiliki dua etiologi utama, yaitu stasis ASI dan infeksi.

Stasis ASI biasanya merupakan penyebab primer, yang dapat disertai atau

berkembang menuju infeksi. Gunther pada tahun 1958 menyimpulkan dari

pengamatan klinis bahwa mastitis diakibatkan oleh stagnasi ASI di dalam

payudara, dan bahwa pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah

keadaan tersebut. Ia menyatakan bahwa infeksi, bila terjadi, bukan primer,

tetapi diakibatkan oleh stagnasi ASI sebagai media pertumbuhan bakteri.

Berikut ini keterangan mengenai 2 penyebab utama mastitis (Anasari,T &

Sumarni, 2014) :

a. Stasis ASI

Stasis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari

payudara. Hal ini dapat terjadi bila payudara terbendung segera setelah

melahirkan atau saat bayi tidak mengisap ASI, yang dihasilkan oleh

sebagian atau seluruh payudara. Penyebabnya termasuk pengisapan bayi

yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan

frekuensi atau durasi menyusui dan sumbatan pada saluran ASI. Situasi

lain yang mempengaruhi predisposisi terhadap stasis ASI, termasuk suplai

8
ASI yang sangat berlebihan, atau menyusui untuk kembar dua atau lebih.

Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab stasis asi (Anasari,T &

Sumarni, 2014) :

1. Bendungan payudara

Kondisi ini tidak terjadi bila bayi disusui segera setelah lahir,

sehingga stasis ASI terhindarkan. Pentingnya pengeluaran ASI yang

segera pada tahap awal mastitis, atau kongesti, untuk mencegah

perkembangan penyakit dan pernbentukan abses. Isapan bayi adalah

sarana pengeluaran ASI yang efektif.

2. Frekuensi menyusui

Tahun 1952, Illingworth dan Stone secara formal menunjukkan

dalam uji coba dengan kontro1, bahwa insiden stasis asi dapat dikurangi

hingga setengahnya bila bayi disusui tanpa batas. Hubungan antara

pembatasan frekuensi dan durasi menyusui dan mastitis telah diuraikan

oleh beberapa penulis. Banyak wanita menderita mastitis bila mereka

tidak menyusui atau bila bayi mereka, tidak seperti biasanya, tertidur

semalaman dan waktu antar menyusui semakin lama.

3. Pengisapan pada payudara

Pengisapan yang buruk sebagai penyebab pengeluaran ASI yang

tidak efisien, saat ini dianggap sebagai faktor predisposisi utama

mastitis. Nyeri puting dan puting pecah-pecah sering ditemukan

bersama dengan mastitis. Penyebab nyeri dan trauma puting yang

tersering adalah pengisapan yang buruk pada payudara, kedua kondisi

9
ini dapat terjadi bersama-sama. Selain itu, nyeri puting akan

menyebabkan ibu menghindar untuk menyusui pada payudara yang

sakit dan karena itu mencetuskan stasis ASI dan bendungan.

4. Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien

Banyak ibu merasa lebih mudah untuk menyusui bayinya pada satu

sisi payudara dibandingkan dengan payudara yang lain. Selain itu telah

dinyatakan bahwa pengisapan yang tidak tepat, yang menyebabkan

stasis ASI dan mastitis, lebih mungkin terjadi pada sisi payudara yang

lebih sulit untuk menyusui.

5. Faktor mekanis lain

Frenulum yang pendek (tounge tie) pada bayi mengganggu

pengisapan pada payudara dan menyebabkan puting luka dan pecah-

pecah. Hal ini juga mengurangi efisiensi pengeluaran ASI dan

predisposisi untuk mastitis.

b. Infeksi

1. Organisme penyebab infeksi

Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses

payudara adalah organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus

dan Staph. albus, kadang-kadang ditemukan Escherichia coli dan

Streptococcus, dan organisme infeksi streptokokal neonatus ditemukan

pada sedikit kasus. M.tuberculosis adalah penyebab mastitis lain yang

jarang ditemukan. Dalam populasi yang endemik tuberkulosis,

10
M.tuberbulosis dapat ditemukan pada kira-kira 1% dari kasus mastitis

dan berkaitan dengan beberapa kasus tonsillitis tuberkulosis pada bayi (

Arroyo, et al., 2014).

Bakteri sering ditemukan dalam ASI dari payudara yang

asimtomatik di negara-negara industri dan berkembang. Spektrum

bakteri sering serupa dengan yang ditemukan di kulit. Berdasarkan

penelitian, hanya 50% biakan AS1 bersifat steril, sedangkan yang lain

menunjukkan hitungan koloni "normal" dari 0-2.500 koloni per ml.

Oleh karena itu, adanya bakteri dalam ASl tidak selalu menunjukkan

terjadinya infeksi, bahkan bila bakteri bukan kontaminan dari kulit (

Arroyo, et al., 2014).

2. Rute infeksi

Mekanisme pasti mengenai infeksi payudara belum dapat

diketahui. Beberapa dugaan terkait dengan pathway menyebutkan,

infeksi masuk melalui duktus laktiferus ke dalam lobus, dengan

penyebaran hematogen dan melalui fisura puting susu ke dalam sistem

limfatik periduktal. Frekuensi fisura puting susu telah dilaporkan

meningkat dengan adanya mastitis. Mastitis dan puting pecah-pecah

terjadi bersamaan karena keduanya dapat mengakibatkan pengisapan

yang buruk pada payudara, selain itu, seringkali fisura menjadi titik

masuk infeksi ( Arroyo, et al., 2014).

11
E. Klasifikasi

Thomsen dan kawan-kawan pada tahun 1984 menghasilkan bukti

tambahan tentang pentingnya stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan

bakteri dalam ASI dari payudara dengan tanda klinis mastitis dan

mengajukan klasifikasi berikut ini (Lisa, et al., 2014) :

1. Stasis ASI, didapatkan <106 leukosit dan bakteri <103) membaik

hanya dengan terus menyusui atau pengeluaran ASI.

2. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis non infeksiosa), didapatkan

leukosit >106 dan bakteri <103 yang diterapi dengan sesering mungkin

pengeluaran ASI atau dengan tindakan pemerasan ASI setelah

menyusui, tanpa diobati.

3. Mastitis infeksiosa, didapatkan leukosit >106 dan bakteri >103, yang

hanya dapat diobati dengan efektif dengan pemerasan ASI dan

antibiotik sistemik

Keterlambatan terapi menyebabkan pembentukan abses pada 11%

kasus, dan hanya 15% kembali ke laktasi normal. Sering mengosongkan

payudara yang terinfeksi dengan perawatan lanjut mengurangi resiko

pembentukan abses, namun hanya 51% kembali ke laktasi normal. Terapi

antibiotik tambahan meningkatkan kembali laktasi normal pada 97%

dengan resolusi gejala dalam 21 hari. Tanpa pengeluaran ASI yang efektif,

mastitis noninfeksiosa sering berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan

mastitis infeksiosa menjadi pembentukan abses (Inch & Xylander, 2000).

12
F. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis

a. Mastitis akut

Pada peradangan dalam taraf permulaan penderita hanya merasa

nyeri setempat pada salah satu lobus payudara yang diperberat jika

bayi menyusu (Lisa, et al., 2014).

b. Mastitis lanjut

Hampir selalu orang datang sudah dalam tingkat abses.Dari tingkat

radang ke abses berlangsung sangat cepat karena oleh radang duktulus-

duktulus menjadi edematous,air susu terbendung,dan air susu yang

terbendung itu segera bercampur dengan nanah. Gejala nyeri dapat

diikuti gejala lain seperti flu, demam, nyeri otot, sakit kepala,

keputihan (Lisa, et al., 2014).

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ibu dengan mastitis biasanya

mengalami peningkatan suhu badan hingga lebih dari 38oC, Keadaan

payudara pada ibu dengan mastitis biasanya berwarna kemerahan,

bengkak, nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat nanah jika

terjadi abses (Inch & Xylander, 2000)

Pada abses, nyeri bertambah hebat di payudara, kulit diatas abses

mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada payudara

yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa susu disebelah itu bercampur

dengan nanah (Lisa, et al., 2014).

13
Tanda dan gejala lain mastitis meliputi (Lisa, et al., 2014) :

a. Peningkatan suhu yang cepat dari 39,5 - 40

b. Peningkatan kecepatan nadi.

c. Menggigil

d. Malaise umum, sakit kepala.

e. Nyeri hebat, bengkak, inflamasi, area payudara keras.

f. Kemerahan dengan batas jelas

g. Biasanya hanya satu payudara

h. Terjadi antara 3-4 minggu pasca persalinan

i. Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak

menyusu karena ASI terasa asin

j. Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang

diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health Organization (WHO)

menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa

keadaan yaitu bila (Inch & Xylander, 2000) :

a. pengobatan dengan antibiotik tidak — memperlihatkan respons yang

baik dalam 2 hari

b. terjadi mastitis berulang

c. mastitis terjadi di rumah sakit

d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

14
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan

tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril.

Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan

tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang

terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.

Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul

berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas

bakteri. Pada ibu dengan abses payudara dilakukan pemeriksaan

laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Stapylococcus

aureus pada pus (Liu, et al., 2017).

G. Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan mastitis adalah pencegahan terhadap


infeksi dan komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa non medikamentosa
berupa tindakan suportif dan medikamentosa pemberian antibiotik dan
pemberian analgesik.

1. Non medikamentosa

Jika diduga mastitis, intervensi dini berupa tindakan suportif dapat


mencegah perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan
hygienitas dan kenyamanan (Inch & Xylander, 2000) :
a. Bra yang cukup menyangga tetapi tidak ketat
b. Perhatian yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara
c. Kompres hangat pada area yang terkena
d. Masase area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu,
Jangan lakukan pemijatan jika dikhawatirkan justru membuat kuman
tersebar ke seluruh bagian payudara dan menambah risiko infeksi.
e. Peningkatan asupan gizi dan cairan
f. Edukasi

15
2. Medikamentosa
a. Antibiotik

Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak

terdapat perbaikan, terapi antibiotik meliputi ( Arroyo, et al.,

2014) :

1) Penicillin resistan-penisilinase atau sepalosporin.

2) Eritromisin mungkin digunakan jika wanita alergi terhadap

penicillin.

3) Terapi awal yang paling umum adalah ( Arroyo, et al., 2014) :

- Dikloksasilin 500 mg peroral 4 kali sehari untuk 10- 14

hari.

- Amoxicillin-clavulanate 500mg atau 875mg untuk 10-14

hari.

- Clindamycin 300mg untuk 10 – 14 hari.

- Trimethoprim-sulfamethoxazole dosis tunggal untuk 10-

14 hari.

Pada setiap kasus, penting untuk dilakukan tindak lanjut

dalam 72 jam untuk mengevaluasi kemajuan. Jika infeksi tidak

hilang hilang kultur air susu harus dilakukan ( Arroyo, et al.,

2014).

b. Analgesik

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon

oksitosin yang berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik

diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada mastitis. Analgesik

yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi seperti ibuprofen.

16
Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang

berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau

asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak

terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu

menyusui yang mengalami mastitis (Inch & Xylander, 2000).

3. Penanganan abses

Dalam keadaan abses mamae perlu dilakukan insisi agar


nanahnya dapat dikeluarkan untuk mempercepat kesembuhan.
Sesudah itu dipasang pipa ke tengah abses, agar nanah bisa keluar
terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus sayatan
dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus itu. Pengalaman
menunjukkan bahwa drainase ini sesudah 72 jam bertukar sifat
menjadi kebocoran air susu yang tidak sedikit melalui luka insisi.
Dianjurkan memakai perban elastic yang ketat pada payudara, untuk
menghentikan laktasi (Lisa, et al., 2014).

Pada persiapan insisi, kulit di atas abses akan dibersihkan oleh


swabbing lembut dengan larutan antiseptik. Pada tahap rehabilitasi,
sebagian besar sakit di sekitar abses akan lenyap sesudah pembedahan.
Penyembuhan biasanya sangat cepat. Setelah tabung diambil keluar,
antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa hari. Menerapkan panas
dan menjaga wilayah yang terkena dampak ditinggikan dapat
membantu meringankan peradangan (Lisa, et al., 2014).

4. Pemantauan

Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas


respon klinik cepat dan respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak
berkurang dalam beberapa hari dengan terapi yang adekuat termasuk
antibiotik, harus dipertimbangkan diagnosis banding. Pemeriksaan
lebih lanjut mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman

17
yang resisten, adanya abses atau massa padat yang mendasari
terjadinya mastitis seperti karsinoma duktal atau limfoma non
Hodgkin. Berulangnya kejadian mastitis lebih dari dua kali pada
tempat yang sama juga menjadi alasan dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
massa tumor, kista atau galaktokel (Liu, et al., 2017).

H. Komplikasi

1. Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena


pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara
teraba keras , merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita
harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari
kejadian mastitis berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara
diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan
ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai
diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum
secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan
bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI
dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan
sesuai dengan jenis kumannya (Liu, et al., 2017).

18
Gambar 1.2. Abses

2. Mastitis berulang/kronis

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan


terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak
minum, makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada
kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis
rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui (Liu, et
al., 2017).

3. Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh


jamur seperti candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu
mendapat terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan
nyeri berupa rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Di
antara waktu menyusu permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin
tidak nampak kelainan. Ibu dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik

19
adalah mengoles nistatin krem yang juga mengandung kortison ke puting
dan areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin
oral pada saat yang sama (Liu, et al., 2017).

Gambar 1.3. Payudara yang terinfeksi Candida

20
BAB II

KESIMPULAN

1. Mastitis adalah peradangan pada payudara yang dapat disertai infeksi atau

tanpa infeksi, organisme penyebab utama adalah Staphylococcus aureus.

2. Mastitis terjadi akibat adanya stasis ASI dan infeksi

3. Mastitis adalah infeksi pada payudara yang terjadi pada 1-2 % wanita yang

menyusui. Mastitis umum terjadi pada minggu 1-5 setelah melahirkan

terutama pada primipara. Factor resiko lainnya seperti usia 21- 35,Serangan

sebelumnya, Melahirkan dengan komplikasi,, kurang asupan Gizi, Faktor

kekebalan dalam ASI,Stres dan kelelahan dan trauma.

4. Penegakan diagnosis mastitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

bila terdapat abses dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu kultur dan

USG untuk memperkuat atau menyingkirkan diagnosis banding penyebab

mastitis.

5. Secara umum, mastitis ditangani dengan tindakan suportif, dan

medikamentosa berupa antibiotika dan analgesik. jika tidak segera diobati

bisa terjadi abses

6. Penanganan mastitis yang terbaik adalah pencegahan berupa perawatan puting

susu saat proses laktasi

21
DAFTAR PUSTAKA

Anasari,T. & Sumarni, 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian


Mastitis di RSUD Prof. Margono Soekarjo. Jurnal Involusi Kebidanan
4(7) 50-52.
Arroyo, R., Martin, V., & Maldonando, A. 2014. Treatment of Infectious Mastitis
during Lactation: Antibiotics versus Oral Administration of Lactobacilli
Isolated from Breast Milk. Journal CID of Oxfords. 50 (15) 1551-1558.
Guyton, AC. Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11.Jakarta.
EGC
Inch S, Xylander S. 2000. Mastitis : causes and management. Newyork : World
Health Organization.
Lisa, H. A., Suzane, T., & Kvist, L.J., 2014. Diagnosis and Treatment of Mastitis
in Breastfeeding Women. Journal of Human Lactation. 30 (1). 10-13.
Liu, L., Zhou, F., Wang, P., & Yu, L. 2017. Periductal Mastitis: An Inflammatory
Disease Related to Bacterial Infection and Consequent Immune
Responses. Mediator Inflammation Journals.
Netter, Frank H. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014.

22

Anda mungkin juga menyukai