PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PERSALINAN PASIEN CHF MR SEVERE
Oleh :
Nurrohman Anindieta
PPDS I Anestesi dan Terapi Intensif
FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
PEMBIMBING MODERATOR
Regurgitasi katup mitral adalah kondisi di mana katup mitral jantung tidak
menutup rapat, sehingga terjadi aliran balik darah di jantung. Jika regurgitasi
katup mitral signifikan, darah tidak dapat mengalir secara efisien melalui jantung
ke seluruh tubuh, dengan gejala rasa lelah atau kehabisan napas. Regurgitasi katup
mitral, biasanya ditoleransi dengan baik pada kehamilan karena peningkatan
volume diimbangi oleh penurunan resistensi vaskular. Di sisi lain, pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri, hipertensi pulmonal moderat atau kelas fungsional NYHA
III-IV berisiko gagal jantung dan aritmia. Mereka mungkin memerlukan diuresis
yang hati-hati dan pembatasan aktivitas fisik selama kehamilan, serta pemantauan
hemodinamik invasif untuk persalinan. Persalinan per vaginam lebih disukai,
sedangkan seksio caesar hanya untuk indikasi obstetri tertentu.
1
I. PENDAHULUAN
2
II. KASUS DAN PEMBAHASAN
Anamnesa:
Kami laporkan pasien Ny.H, no.CM 1662658, konsulan dari TS obgyn 4
Desember 2017, perempuan usia 24 tahun dengan diagnosa IUGR,
sekundigravida nullipara hamil 29 minggu, BDP dengan CHF CF III, MR severe.
Direncanakan terminasi dengan ELA.
Pasien rujukan RSUD Bantul dengan keluhan sesak nafas sejak 26
November 2017, sesak nafas memberat saat aktivitas, METs 4, kebiruan
disangkal. Pasien biasa tidur dengan 3 bantal, jika terlentang sesak nafas. Pasien
juga mengeluh batuk, lendir putih.
Pasien merasa hamil 7 bulan, kenceng2 (-), gerak janin aktif, lendir darah
(-), air ketuban (-). Menikah 1x April 2014, KB (-), hamil I 2016 u.k 4 bulan,
kuretase di RSUP Sardjito, hamil II saat diperiksa.
Pasien merupakan penderita penyakit jantung sejak usia 6 tahun, kontrol
rutin di RSUD Bantul dan RSUP Sardjito dengan terapi ISDN 5mg/8jam, KSR
600mg/hari, furosemid 40mg/hari, simarc 2mg/hari, Ca lactat 500mg/hari, maltose
350mg/hari, concor 2,5mg/hari, cefixime 100mg/12jam.Riwayat darah tinggi,
diabetes melitus, asma, gondok, komorbid lain disangkal.
Pemeriksaan Fisik :
KU cukup, komposmentis. Vital sign: Td: 89/54 mmHg; N: 106x/mnt; Rr:
25x/mnt; t: 36,5oC; SpO2: 97%. Pemeriksaan fisik: Kepala: CA -/-, SI-/-; Jantung:
S1S2 ireguler, bising + 4/6 pansistolik murmur, PM di apex; Paru: SDV +/+, r+/+,
w-/-; Abd: TFU setinggi umbilicus; Extr: oed -/-/-/-
3
Pemeriksaan Penunjang:
Lab 2/12: Hb 12; Ht 36; AL 6,5; AT 201; PPT 15/14; APTT 34/31; INR
1,1; Alb 3,6; OT 26; PT 17; BUN 8; Cr 0,4; Na 135; K 3,2; Cl 97. Rongent thorak
26/11:awal oedem pulmo, cardiomegali. Echo 21/11/17: LA LV RV dilatasi, EF
65%, LVD shape, TAPSE 21, MR severe, MS mild, TR mild, TVG 78 mmHg,
probability PH, AR mild
Kesimpulan:
Status fisik ASA III dengan CHF cf III, MR severe, MS mild
Penatalaksanaan:
Pasien tiba di ICU, dipasang alat monitoring: artery line, EKG, dan
saturasi. Selanjutnya dilakukan pemasangan Epidural Labor Analgesia pada
spasium intervertebra L 4-5, posisi sitting, menggunakan jarum epidural Tuohy
no.18G, dengan agen epidural Levobupivakain 0.125% inj 10cc dilanjutkan
intermitten 10cc/6jam. VAS setelah pemasangan ELA skala 1. Kemudian
dilakukan evaluasi 3 jam setelahnya didapatkan pembukaan 3 cm dengan skala
nyeri VAS 1, dilakukan stimulasi oleh TS Obgyn dengan oksitosin 10 iu dalam
500cc RL 10 tpm mikro. 24 jam kemudian didapatkan pembukaan 5cm, VAS 1,
dilakukan stimulasi oleh TS Obgyn dengan baloon kateter 100cc aquadest. 30 jam
kemudian didapatkan pembukaan 8cm, VAS 3. Dimasukkan epidural intermitten
Levobupivakain 0.125% + fentanyl 0,125mcg 10cc/2jam, VAS 1.34 jam
kemudian didapatkan pembukaan lengkap, VAS 3. Dilakukan SAB di SIV L5-S1
dengan agen bupivacain 0.5% 2,5cc, VAS 1. Dipimpin persalinan bracht oleh TS
Obgyn, lahir bayi perempuan BBL 950 g, PB 32 cm, AS 6/7. Plasenta lahir
spontan 400g, kesan lengkap. Perdarahan 200cc.
4
Pembahasan
5
pelebaran dan robeknya serviks dan perineum. Iskemia yang terjadi pada
miometrium dan serviks akibat terjepitnya pembuluh darah pada uterus yang tetap
berkontraksi juga menambah intensitas nyeri yang terjadi. Jika dilihat dari jenis
nyeri yang terjadi, pada kala I ini terjadi nyeri akut somatik superfisial maupun
dalam yang berasal dari pelvis, vagina dan perineum, juga nyeri akut viseral dari
uterus dan serviks serta hantaran nyeri ke kulit dan otot di dinding abdomen dan
punggung(5,6).
Nyeri Persalinan di awal kala I selama fase laten terjadi di dermatom T11-
12 sedangkan selama fase aktif terjadi di dermatom T10-L1. Pada awal kala II,
kontraksi uterus masih menyebabkan nyeri di T10-L1 sedangkan nyeri yang
berasal dari perineum makin meningkat (dihantarkan oleh. N. Pudendus yang
berasal dari S2-4).Onset nyeri perineal terjadi saat akhir dari tanda kala I yaitu
mulai turunnya fetus dan kala II persalinan. Regangan dan tekanan struktur pelvis
dan perineal mempengaruhi intensitas nyeri. Inervasi sensoris dari perineum
difasilitasi oleh nervus pudendal (S2-4) sehingga nyeri selama kala II persalinan
juga melibatkan dermatom T10– S4. Beberapa studi mengatakan bahwa
penurunan fetus yang lebih cepat pada multipara memberikan intensitas nyeri
yang lebih besar daripada penurunan fetus yang gradual pada nulipara (5,7).
6
Saat kala II, rangsangan nyeri dari serviks yang sudah mengalami dilatasi
maksimal menurun, tetapi bagian terbawah janin sekarang menekan organ di
pelvis dan perineum yang sensitif terhadap rangsang nyeri. Intensitas nyeri juga
bertambah karena fascia dan bagian subkutan vagina teregang dan robek, juga
struktur di sekitarnya seperti uretra, buli-buli dan peritoneum juga mengalami
peregangan(6,7).
Nyeri pada kala III dan IV persalinan terjadi akibat nyeri yang dialami
sebelumnya, saat proses lahirnya janin dan lepasnya plasenta. Keadaan
hiperalgesia primer maupun sekunder makin berkurang seiring dengan resolusi
jaringan. Dapat terjadi hiperalgesia mekanik misalnya akibat episiotomi yang
dapat dirasakan sampai beberapa hari(2,5).
7
pilihan karena depresi miokard minimal yang dihasilkan opioid. Namun,
narkotika yang kuat dapat menghasilkan bradikardia yang signifikan, dan ini akan
merugikan dengan adanya regurgitasi mitral yang berat. Pemeliharaan volume
cairan intravaskular sangat penting untuk mempertahankan volume ventrikel kiri
dan curah jantung. Teknik neuraksial akan menghasilkan pengurangan afterload,
menurunkan volume regurgitasi(8).
Anestesi untuk operasi pada pasien dengan regurgitasi mitral asimtomatik
tidak memerlukan pemantauan invasif. Namun, dengan adanya regurgitasi mitral
yang berat, penggunaan pemantauan invasif sangat membantu untuk mendeteksi
kecukupan cardiac output dan respon hemodinamik terhadap obat anestesi dan
vasodilatasi dan untuk memfasilitasi penggantian cairan intravena. Regurgitasi
mitral menghasilkan gelombang V pada bentuk gelombang oklusi arteri
pulmonalis. Perubahan dalam amplitudo gelombang V dapat membantu
memperkirakan besarnya dan arah perubahan derajat regurgitasi mitral.
Transesophageal echocardiography adalah teknik lain yang berguna untuk
memantau katup mitral dan fungsi ventrikel kiri selama operasi besar(8).
8
sehingga terbatas hanya untuk pasien yang gagal terapi medis maksimal. Pada
pasien dengan regurgitasi berat dan pengurangan fraksi ejeksi ventrikel atau
status fungsional III dan IV, persalinan dan persalinan harus dilakukan dengan
anestesi epidural yang dititrasi dengan hati-hati dan pemantauan hemodinamik
invasif.(9).
Target manajemen anestesi pada pasien dengan regurgitasi mitral adalah:
1) pencegahan peningkatan SVR, 2) pemeliharaan denyut jantung normal hingga
sedikit meningkat, 3) pemeliharaan irama sinus, 4) pengobatan agresif atrium
fibrilasi akut, 5) menghindari kompresi aortocaval, 6) pemeliharaan venous
return, 7) pencegahan peningkatan volume vena sentral, 8) menghindari depresi
miokard, dan 9) pencegahan nyeri, hipoksemia , hiperkarbia, dan asidosis, yang
dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah paru. Persalinan pervaginam lebih
dipilih; pada pasien simtomatik,dianjurkan anestesi epidural dan mempersingkat
kala II(2,8).
Manajemen hemodinamik:
a. LV preload: Peningkatan dan pemeliharaan preload sering membantu untuk
memastikan Forward Stroke Volume (FSV) yang memadai. Namun,
rekomendasi universal untuk peningkatan preload tidak dapat dilakukan
karena, pada beberapa pasien, pelebaran kompartemen atrium kiri dan
ventrikel kiri melebarkan anulus katup mitral dan meningkatkan Regurgitant
Fraction (RF). Keputusan tentang tingkat terbaik peningkatan preload untuk
seorang pasien harus didasarkan pada respons hemodinamik dan klinis pasien
terhadap loading cairan.
b. Denyut jantung: Bradikardi berbahaya pada pasien dengan regurgitasi mitral
karena menyebabkan peningkatan volume LV, penurunan output jantung ke
depan, dan peningkatan RF. Denyut jantung harus dijaga pada kisaran normal
sampai tinggi pada pasien ini. Kontribusi atrium untuk preload penting pada
pasien dengan regurgitasi mitral, walaupun tidak sepenting pada lesi stenotik.
Banyak dari pasien yang mengalami regurgitasi mitral kronis, mengalami
fibrilasi atrium.
9
c. Kontraktilitas: Pemeliharaan FSV tergantung pada fungsi sistolik LV yang
telah mengalami hipertrofi eksentrik. Depresi kontraktilitas miokard dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel kiri. Agen inotropik yang meningkatkan
kontraktilitas memiliki kecenderungan untuk memberikan peningkatan aliran
kedepan dan sebenarnya dapat menurunkan regurgitasi karena penyempitan
anulus mitral.
d. Resistensi pembuluh darah sistemik: Peningkatan afterload menyebabkan
peningkatan RF dan penurunan curah jantung sistemik. Untuk alasan ini,
pengurangan afterload yang cermat biasanya dipilih.
e. PVR: Pasien dengan regurgitasi mitral berat mengalami peningkatan tekanan
paru sekunder akibat peningkatan PVR, serta tekanan atrium kiri yang
meningkat. Jika PVR tinggi hadir, harus hati-hati untuk menghindari
hiperkapnia, hipoksia, nitrous oksida, dan anestesi ringan yang dapat
menyebabkan respons konstriktif paru(10).
10
Manajemen persalinan dan melahirkan untuk wanita dengan penyakit
jantung berisiko tinggi menggunakan instrumen persalinan yang memungkinkan
kepala janin turun pada tahap kedua dengan blok epidural yang adekuat dan
membantu persalinan dengan forceps atau vakum, dengan upaya ekspulsif ibu dan
respon stres minimal. Untuk pasien NYHA kelas 3 atau 4 yang berisiko tinggi,
metode yang disarankan adalah mentitrasi anestesi epidural, karena onset bertahap
blok lebih mudah untuk dikelola(11).
Aktivasi epidural analgesia saat kala I persalinan diawali dengan
pemberian 10 mL campuran anestesi lokal dan opioid. Pemberian dilakukan
dengan cara injeksi 5 mL dulu lalu ditunggu 1-2 menit sebelum dosis 5 mL
berikutnya. Diharapkan level sensorik setinggi T10-L1 dapat tercapai. Sebagai
dosis awal diberikan 0,1-0,2% Ropivacain atau 0,0625-0,125% Levobupivacain
yang dikombinasi dengan 50-100 mcg Fentanyl atau 10-20 mcg Sufentanyl. Saat
kala II persalinan, dermatom yang terlibat meluas sampai S2-4. Setelah 5 menit
gejala dan tanda injeksi intrathekal dan intravaskuler tidak tampak, masukkan 10-
15 mL campuran anestesi lokal dengan opioid dengan kecepatan 5 mL tiap 1-2
menit(2,5).
Artery line digunakan pada mereka yang melahirkan melalui bedah caesar
atau dengan status fungsional yang buruk. Pemantauan tekanan vena sentral dan
kateter arteri pulmonal jarang digunakan. Beberapa pasien perlu masuk ke unit
perawatan intensif, terutama untuk pemantauan yang direncanakan selama
beberapa jam pertama sampai beberapa hari postpartum ketika diperkirakan
terjadi pergeseran besar cairan(11).
11
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
7. Chhetty, Y.K., Naithani, U., Gupta, S., et.al. Epidural Labor Analgesia: A
Comparison of Ropivacaine 0.125% versus 0.2% with Fentanyl. J Obstet Anaesth
Crit Care. 2013;3(1):16.
10. Hensley, F.A., Martin, D.E., Gravlee, G.P.; 2013; A Practical Approach
To Cardiac Anesthesia. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams
& Wilkins; chp.12; pp. 341-6
13