Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PAKAN
“Pengolahan Bahan Pakan Secara Kimia”

Disusun oleh:
Kelas A
Kelompok 10
Syahrir Fajrul Ali 200110170191
Selvy Fitria Nida 200110170192
Zukhrif Aulia Fitri F 200110170196
Syifa Rahma L 200110170207

LABORATORIUM NUTRISI TERNAK UNGGAS, NON RUMINANSIA

DAN INDUSTRI MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’alaa

karena dengan taufik dan hidayah-Nyalah telah selesai laporan akhir praktikum

evaluasi pengolahan kimia bahan pakan. Sholawat dan salam semoga tetap

tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam,

keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti

jejaknya hingga akhir zaman. Aamiin.

Kami sampaikan ucapan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi

kelancaran penyusunan laporan akhir ini, khususnya ucapan terima kasih

disampaikan kepada bapakDr. Ir. Denny Rusmana, S.Pt., M.Si., IPM sebagai

dosen mata kuliah Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Beserta para Asisten Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia Dan

Industri Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Dalam penyusunan laporan ini, kami telah berusaha seoptimal mungkin

sesuai dengan kemampuan kami. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput

dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun tata

bahasa.Demikian, semoga laporan akhir praktikum ini dapat bermanfaat bagi kami

dan para pembaca pada umumnya.

Sumedang, 15 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. vi

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................. 1

1.3 Maksud dan Tujuan .................................................................. 2

1.4 Waktu dan Tempat ................................................................... 2

II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Amoniasi..................................................................................... 3

2.2 Fermentasi Ampas Tahu............................................................. 10

2.3 Ekstraksi..................................................................................... 11

2.3.1 Zat Aktif dan Kadar Air Mengkudu................................. 13

2.3.2 Pelarut Air, Metanol, dan Etanol...................................... 16

III ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Amoniasi Jerami Padi................................................................. 20

3.2 Fermentasi Ampas Tahu............................................................. 21

3.3 Ekstraksi Mengkudu dengan Metode Maserasi.......................... 22

iii
IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan....................................................................... 23

4.2 Pembahasan................................................................................ 25

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ................................................................................ 34

5.2 Saran .......................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Jerami Padi....................................................... ..... 11

Tabel 2. Kandungan bioaktif buah mengkudu beserta manfaatnya......... 14

Tabel 3. Jenis Pelarut Organik Beserta Sifat Fisiknya............................. 16

Tabel 4. Amoniasi Jerami Padi................................................................ 23

Tabel 5. Fermentasi Ampas Tahu............................................................ 24

Tabel 6. Ekstraksi Mengkudu.................................................................. 25

v
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Foto............................................................................... 37

2. Lampiran Pembagian Tugas......................................................... 38

vi
1

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada ternak untuk kelangsungan
hidup, berproduksi, dan berkembang biak. Tillman dkk., (1989) menyatakan
bahwa pakan atau makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan
dapat digunakan oleh ternak. Secara umum bahan makanan ternak adalah bahan
yang dapat dimakan, tetapi tidak semua komponen dalam bahan makanan ternak
tersebut dapat dicerna oleh ternak. Konsentrat adalah bahan makanan yang
konsentrasi gizinya tinggi tetapi kandungan serat kasarnya relatif rendah dan
mudah dicerna.
Berdasarkan uraian diatas muncul suatu teknologi pakan yang bertujuan
untuk mengolah pakan se-efektif dan efisien mungkin sehingga dapat membantu
menyediakan pakan sepanjang tahun untuk mendukung proses produksi ternak,
yang salah satunya ialah dengan menggunakan cara pengolahan pakan secara
kimiawi, yang menggunakan cara dan bahan kimia untuk membantu
mengawetkan serta mengolah pakan bagi ternak. Maka dari itu kami mengangkat
“Pengolahan Pakan Secara Kimiawi” sebagai judul makalah kami untuk
memenuhi tugas mata kuliah teknologi pakan dan juga untuk menjadi sumbangan
bagi kemajuan dunia peternakan Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah

(1) Bagaimana proses amoniasi jerami padi.


(2) Bagaimana proses fermentasi ampas tahu.
(3) Bagaimana proses ekstraksi mengkudu dengan metode maserasi.
2

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Untuk mengetahui proses amoniasi jerami padi.


(2) Untuk mengetahui proses fermentasi ampas tahu.
(3) Untuk mengetahui proses ekstraksi mengkudu dengan metode maserasi.

1.4 Waktu dan Tempat

Hari/Tanggal : 21 Oktober 2019

Waktu : 15.00 – 17.00

Tempat : Laboratorium Print-G

Universitas Padjajaran

Hari/Tanggal : 28 Oktober 2019

Waktu : 15.00 – 17.00

Tempat : Laboratorium Print-G

Universitas Padjajaran

Hari/Tanggal : 4 November 2019


Waktu : 15.00 – 17.00

Tempat : Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia,

dan Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Unpad


3

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amoniasi

Amoniasi adalah salah satu bentuk perlakuan kimiawi (menggunakan

urea) yang telah banyak dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi dan kecernaan

limbah berserat tinggi. Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimia yang

bersifat alkalis dan dapat melarutkan hemiselulosa, lignin dan silika, saponifikasi

asam uronat dan ester asam asetat menetralisasi asam nitrat bebas serta dapat

mengurangi kandungan lignin dinding sel. Turunnya kristalinitas selulosa akan

mernudahkan penetrasi enzim selulosa mikrobia rumen. Prinsip amoniasi menurut

Hanafi (2008) yaitu suatu proses perombakan dari struktur keras menjadi struktur

lunak dengan bantuanbahan kimia sumber amonia atau NH3 agar dapat

meningkatkan daya cerna dankandungan nitrogen (protein) bahan pakan.

Tujuan dari proses amoniasi menurut setyono dkk, (2009) adalah

melarutkan mineral silikat, menghidrolisis ikatan lignoselulosa dan

lignohemiselulosa, meningkatkan kecernaan, meningkatkan kandungan protein

kasar, serta menekanpertumbuhan jamur. DitambahkanolehRahardi (2009),

Manfaat amoniasiyaitu merubah tekstur bahan menjadi lebih lunak dan rapuh,

meningkatkan energibruto tetapi menurunkan kadar BETN dan dinding sel,

meningkatkan bahan organik, energi tercerna, dan konsumsi pakan.

(PRINSIP pH) Hidrolisis urea merupakan reaksi enzimatis yang

memerlukan enzim urease dalam media perlakuan. Urea yang telah terurai

menjadi NH3 akan berikatan dengan air atau H2O dan mengalami hidrolisis

menjadi NH4+ dan OH. NH3 yang berada pada suasana netral atau pH 7 akan
4

lebih banyak terdapat sebagai NH+ sehingga amoniasi akan serupa dengan

perlakuan alkali. Gugus OH dapat memutuskan ikatan hidrogen antar karbon pada

molekulglukosa yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa, dan

lignohemiselulosa. Kedua ikatan tersebut bersifat labil alkali (dapat diputus

dengan perlakuan alkali) sehingga pakan akan lebih mudah memuai dan dicerna

oleh mikroba rumen.

(REAKSI KIMIA) Berikut ditampilkan gambar skema selulosa dan lignin

pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Skema selulosa

Sumber : Isroi (2008)

Menurut Sutardi (1977) dan Banerjee (1978), kerangka karbon dan

hidrogen dari molekul protein dapat diperoleh dari karbohidrat yang mudah

difermentasi. Proses amoniasi harus dilakukan dalam keadaan anaerob (tanpa

oksigen) supaya glukosa bahan dapat diubah dalam reaksi respirasi menjadi

piruvat. Tahapan pertama dalam reaksi respirasi adalah glikolisis. Glikolisis

dimulai dari satu molekul glukosa sampai tahap akhirnya akan dihasilkan 2

molekul piruvat. Tahap ini juga akan menghasilkan 2 ATP dan memberikan dua

elektron dan satu hidrogen pada NAD+ sehingga menjadi NADH (Whiting,

1970). Selain itu, keadaan anaerob akan menyebabkan panas yang berasal dari

reaksi gas amoniak 15 akan termanfaatkan untuk mempercepat waktu proses

amoniasi karena semakin memudahkan proses pemutusan ikatan selulosa.


5

Ciri-ciri amoniasi yang baik yaitu memiliki bau yang khas amonia,

berwarna kecoklat-coklatan seperti bahan asal, tekstur berubah menjadi lebih

lunak dan kering. Hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan jeramia salnya, tidak

berjamur atau menggumpal, tidak berlendir dan pH yang dihasilkan sekitar 8

(Sumarsih, 2003).

Warna jerami padi yang diamoniasi dengan baik akan berubah dari coklat

muda kekuningan menjadi coklat tua dan merata. Tekstur jerami amoniasi

menjadi lebih lembut dan lunak meskipun jerami tersebut sudah dikeringkan.

Amonia dalam proses urea amoniasi dapat mencegah timbulnya jamur, sehingga

tidak terdapat pada jerami padi amoniasi walaupun diperam dalam jangka waktu

yang lama. pH jerami amoniasi 8 (basa) karena sifat penambahan amonia

membuat keadaan menjadi basa (Marjuki,2008).

Menurut Hanafi (2004), pengolahan dengan cara amoniasi mempunyai

beberapa keuntungan, anatara lain:

1. Sederhana cara pengerjaanya dan tidak berbahaya

2. Lebih murah dan mudah dikerjakan dibandingkan dengan NaOH

3. Cukup efektif untuk menghilangkan aflatoksin (Kontaminasi

mikroorganisme)

4. Mingkatkan kandungan protein kasar

5. Tidak menimbulkan polusi dalam tanah

2.1.1 Metode Pembuatan Amoniasi

Menurut Komar (1984),cara amoniasi dibedakan menjadi dua, cara basah

dan cara kering. Perbedaan keduanya hanya terletak pada penggunaan urea yang

dilarutkan atau tidak dilarutkan dalam air.


6

Amoniasi cara basah yaitu proses pembuatan amoniasi dengan

menggunakan urea dan air sebagai sumber amoniak, adapun alat-alatnya dapat

menggunakan plastik, drum,silo, lembaran plastik, kayu, ember dan alat

pengaduk. Sedangkan amoniasi cara kering merupakan proses amoniasi dengan

menggunakan urea sebagai sumber amoniak. Alat-alat yang digunakan dalam

pembuatan amoniasi kering yaitu lembaran plastik, timbangan, dan kayu untuk

mengemas bahanpakan.Cara yang lebih dianjurkan adalah amoniasi basah karena

dengan pelarutan urea dalam air, amonia akan tersebar merata dalam bahan karena

sifat air yang mengalir dan menempati ruang.

A. Cara Basah

Proses pembuatan amoniasi cara basah menurut Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), yaitu dengan memasukkan

bahanpakankedalam plastik atau drum, kemudian menambahkan urea ditambah

dengan air. Setelah itu siram larutan urea tersebut sedikit demi sedikit pada

bahanpakan yang ada di dalam plastik atau drum, kemudian diaduk hingga

merata. Tutup/ ikat plastik pada bagian atas sehingga tidak ada udara yang keluar,

lalu masukkan ke dalam plastik lain kemudian ikat kembali. Tunggu selama 4

minggu untuk dipanen, sebelum diberikan pada ternak diangin-anginkan terlebih

dahulu.

B. Cara Kering

Proses pembuatan amoniasi cara kering menurut Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), yaitu dengan menimbang bahapakan

kering udara, kemudian taburkan urea ke dalam bahanpakan serta diaduk sampai

rata, lalu masukkan ke dalam kantong plastik. Tutup rapat kantong plastik selama

satu bulan dan disimpan dalam tempat teduh setelah itu dapat dipanen. Sebelum
7

diberikan kepada ternak, bahanpakan yang telah diamoniasi diangin-anginkan

terlebih dahulu.

2.1.2 Zat Kimia Umum yang Digunakan

Tiga sumber amonia yang dapat digunakan dalam proses amoniasi adalah

NH3 dalam bentuk gas cair, NH4OH dalam bentuk larutan, dan urea atau

(NH2)2CO dalam bentuk padat. Bahan sumber amonia yang disarankan untuk

digunakan adalah urea karena lebih murah, mudah dalam penggunaannya, dan

sedikit toksik yang ditimbulkan. Kriteria zat kimia untuk pengolahan pakan yaitu

harus efektif dalam meningkatkan daya cerna dan atau konsumsi, murah dan

mudah didapat secara lokal, tidak meninggalkan residu yang beracun pada ternak,

serta feces dan urin yang dikeluarkan tidak mengakibatkan polusi bagi

lingkungan. Bahan tersebut juga harus mudah ditangani dan tidak membahayakan

bagi peternak.Urea yang digunakan adalah urea yang umumnya digunakan untuk

pupuk, berbentuk kristal putih dan higroskopis (Siregar, 1994).

2.1.3 Proses Selama Amoniasi

Perlakuan amoniasi menggunakan bahan sumber amonia berupa urea telah

terbukti dapat meningkatkan kecernaan bahan organik pakan. Hal ini karena

perlakuan urea merupakan hasil dari dua proses yang dilakukan secara simultan,

yaitu hidrolisis urea (ureolysis) dan kerja amonia terhadap dinding sel bahan.

Hidrolisis urea merupakan reaksi enzimatis yang memerlukan enzim urease dalam

media perlakuan. Urea yang telah terurai menjadi NH3 akan berikatan dengan air

atau H2O dan mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH. NH3 yang berada pada
8

suasana netral atau pH 7 akan lebih banyak terdapat sebagai NH + sehingga

amoniasi akan serupa dengan perlakuan alkali.

Gugus OH dapat memutuskan ikatan hidrogen antar karbon pada molekul

glukosa yang terdapat pada ikatan selulosa, lignoselulosa, dan lignohemiselulosa.

Kedua ikatan tersebut bersifat labil alkali (dapat diputus dengan perlakuan alkali)

sehingga pakan akan lebih mudah memuai dan dicerna oleh mikroba

rumen.Perlakuan amoniasi juga akan menyebabkan ammonia terserap dan

berikatan dengan gugus etil dari bahanpakan, kemudian membentuk garam

ammonium asetat yang pada akhirny aterhitung sebagai protein tambahan

(Sutardidkk, 1993). Urea dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa dan

lignohemiselulosa, sehingga lignoselulosa membengkan dan bagian selulosa

kristal berkurangsehingga memudahkan penetrasi enzim yang dihasilkan mikroba

rumen(Hanafi, 2004).Sundstol dan Coxworth (1984),Prinsip utama dari kerja

amonia adalah merusak atau melonggarkan ikatan lignoselulosa dan

meningkatkan daya larut hemiselulosa sehingga mudah dicerna mikroorganisme

rumen.

2.1.4 Perubahan Komposisi Zat Makanan

Dalam penggunaan ammonia untuk amoniasi adalah perbandingan antara

berat nitrogen yang digunakan dibandingkan dengan berat bahan pakan. Ditelitisi

stematiks ejak 1930-an di jerman, penggunaan urea optimum untuk mengolah

limbah lignoselulosa yaitu minimal 1,5% urea dari bahan kering. Penambahan

urea dalam pakan maksimal 6%. Permberian diatas 6% dapat mengakibatkankan

keracunan pada ternak (pathak, 1997).


9

Urea mampu meningkatkan PK ransum karena urea mengandung sekitar

45% N atau equivalen dengan 284% PK. Seperti yang pernah dilaporkan bahwa

penambahan urea sebanyak 0,99% dalam ransum mampu meningkatkan kadar PK

ransum dari 15,99% menjadi 17,85% (Puastuti dan Mathius, 2008) dan

penambahan urea sebanyak 0,4 – 1% dalam ransum meningkatkan kadar PK

ransum dari 15,0% menjadi 17,9 – 18,4% (Puastuti et al., 2008 unpublished).

Penggunaan urea dalam ransum sapi sebanyak 0,88 – 1,96% dari bahan kering

meningkatkan kadar PK dari 8,87% menjadi 11,11 – 14,13% (Shain et al., 1998).

Selain itu contoh penggunaan pada amoniasi jerami padi dapat memacu

perkembangan mikroba dan meningkatkan energy ikatan lignin selulosa dan silika

yang merupakan factor penghambat utama daya cerna pada limbah jerami padi

(Wahyuni dan Bijanti, 2006).

Perlakuan amoniasi jerami padi dengan menggunakan urea 3% dapat

meningkatkan kadar nitrogen bahan yang pada akhirnya akan terhitung sebagai

protein pakan. Penambahan urea sebagai sumber non protein nitrogen (NPN)

akan diurai oleh enzim urease yang berasal dari mikroba rumen menjadi ammonia

dan kabondioksida. Jerami padi  yang telah diamonasi mempunyai kandungan

protein yang lebih tinggi karena terdapat penambahan unsur nitrogen.  Struktur

dinding sel jerami padi menjadi lebih amorf dan mudah dicerna.  Dalam keadaan

tertutup, bahan pakan yang diamoniasi dapat tahan lama.  Berikut ini adalah

perubahan kandungan nutrisi pada jerami padi yang diamoniasi.

Tabel 1. Kandungan Jerami Padi


Jerami Padi
Kandungan Jerami Padi Tanpa Amoniasi
Teramoniasi
Protein Kasar (%) 3,45 6,66
Lemak (%) 1,20 1,21
SeratKasar (%) 33,02 35,19
10

BETN 37,27 31,76


ABU 25,06 25,18
NDF (%) 79,80 75,09
EnergiBruto (Kcal/kg) 3539,48 3927,36

Sumber:  Chuzaemi, S. danSoejono, M. (1987) dalam Rahadi (2008).

2.2 Fermentasi Ampas Tahu

Industri tahu merupakan salah satu industri yang memiliki perkembangan

pesat. Terdapat 84 ribu unit industri tahu di Indonesia dengan kapasitas produksi

mencapai 2,56 juta ton per tahun (Sadzali, 2010). Ampas tahu yang terbentuk

besarannya berkisar antara 25-35% dari produk tahu yang dihasilkan

(Kaswinarni, 2007). Ampas tahu dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber

protein karena mengandung protein kasar cukup tinggi berkisar antara 23-29%

(Mathius & Sinurat, 2001) dan kandungan zat nutrien lain adalah lemak 4,93%

(Nuraini, 2009) dan serat kasar 22,65% (Duldjaman, 2004).

Pada umumnya limbah yang melimpah ini dapat dimanfaatkan langsung

sebagai pakan ternak tetapi asam amino yang rendah dan serat kasar yang tinggi

biasanya menjadi faktor pembatas dalam penggunaannya sebagai pakan.

Penggunaan serat kasar yang tinggi, selain dapat menurunkan komponen yang

mudah dicerna juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemecah zat -zat

makanan, seperti enzim yang membantu pencernaan karbohidrat, protein dan

lemak (Parrakasi, 1991). Untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan nilai

nutrisi pada limbah pertanian dibutuhkan suatu proses yang dapat mencakup

proses fisik, kimiawi, maupun biologis antara lain dengan cara teknologi

fermentasi. Upaya untuk memperbaiki kualitas gizi, mengurangi, atau

menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan

dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga


11

dapat meningkatkan nilai kecernaan (Winarno, 2000), menambah rasa dan aroma,

serta meningkatkan kandungan vitamin dan mineral. Pada proses fermentasi

dihasilkan pula enzim hidrolitik serta membuat mineral lebih mudah untuk

diabsorbsi oleh ternak. Faktor-faktor fermentasi antara lain yaitu pH, waktu,

kandungan oksigen, suhu, dan mikroorganisme. Beragamnya mikroorganisme

menyebabkan pH untuk menumbuhkan mikroorganisme menjadi berbeda dan

waktu fermentasi bervariasi menurut spesies dan kondisi pertumbuhannya. waktu

fermentasi yang semakin lama akan mengakibatkan penurunan kadar air bahan,

penurunan kadar air bahan tersebut menyebabkan kadar serat kasar semakin

terkonsentrasi sehingga kadar serat akan semakin tinggi. Karlina (2008)

menyatakan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka akan menyebabkan

kadar keasaman semakin tinggi sehingga pH akan semakin menurun, dengan pH

yang semakin rendah maka mikroorganisme tidak akn bekerja secara optimal.

Penggunaan pH yang tinggi dapat membuat beberapa mikroorganisme tidak

tumbuh dengan baik karena menurut Tamime dan Robinson (2008) tumbuh

optimal Lactobacillus ssp. adalah pada pH 5,2-5,8 dan menurut Juwita (2012)

Saccharomyces spp. tumbuh pada pH 4,0-4,5. Sejauh ini belum diketahui berapa

kombinsasi pH awal dan lama waktu fermentasi yang berpengaruh dalam

fermentasi ampas tahu sehingga menghasilkan pakan yang bernutrisi tinggi

ditinjau dari kadar protein dan serta kasar pakan.

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu

padatan atau cairan. Proses ekstraksi dimulai dari penggumpalan ekstrak dengan

pelarut kemudian terjadi kontak antara bahan dan pelarut, sehingga pada bidang
12

antar muka bahan ekstraksi dan pelarut terjadi pengendapan massa dengan cara

difusi (Sudjadi, 1998). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam

pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar (Harbone, 1987).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain, yaitu bahan baku,

pemilihan pelarut, waktu proses ekstrasi, dan suhu ekstraksi. Pemilihan pelarut

akan mempengaruhi suhu ekstraksi dan waktu proses ekstraksi. Apabila suhu

tinggi, maka akan menghasilkan sisa pelarut yang tinggi pula (Anam, 2010).

Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang sederhana. Maserasi

merupakan salah satu metode ekstraksi yang dilakukan melalui perendaman

serbuk bahan dalam larutan pengekstrak. Metode ini digunakan untuk

mengekstrak zat aktif yang mudah larut dalam cairan pengekstrak, tidak

mengembang dalam pengekstrak, serta tidak mengandung benzoin (Pratiwi,

2009). Keuntungan metode maserasi adalah peralatannya mudah ditemukan dan

pengerjaannya sederhana (Hargono dkk., 1986). Kelemahan maserasi adalah

prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama (Departemen Kesehatan RI,

2006).

Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk didalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada

temperatur kamar yang terlindung dari cahaya. Pelarut akan masuk ke dalam sel

dari tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena terdapat perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan dengan

konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan digantikan dengan pelarut yang

konsentrasinya lebih rendah atau dikenal dengan proses difusi. Aktivitas tersebut

terjadi secara berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di

luar sel dan di dalam sel (Departemen Kesehatan RI, 2000). Proses maserasi
13

biasanya dilakukan selama 2 – 14 hari dan dilakukan pengadukan atau

pengadukan serta penggantian pelarut setiap harinya (Ansel, 1989). Ekstraksi

secara maserasi dilakukan pada suhu kamar sekitar 27 oC, dilakukan agar tidak

menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan panas (Departemen Kesehatan

RI, 2006).

Rendemen adalah perbandingan jumlah (kuantitas) ekstrak yang

dihasilkan dari ekstraksi tanaman (Departemen Kesehatan RI, 2000). Semakin

tinggi nilai rendemen yang dihasilkan, menandakan nilai ekstrak yang dihasilkan

semakin banyak. Namun, kualitas ekstrak yang dihasilkan biasanya berbanding

terbalik dengan jumlah rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai rendemen

yang dihasilkan, maka semakin rendah mutu yang didapatkan (Irmayanti, 2016).

2.3.1 Mengkudu (Morinda citrifolia L)

Tanaman mengkudu tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian

1500 m dan merupakan tanaman tropis. Tinggi pohon mengkudu mencapai 3 – 8

m, memiliki bunga bongkol berwarna putih. Buah mengkudu merupakan buah


majemuk. Buah mengkudu yang masih muda berwarna hijau mengkilap dan

terdapat bintik-bintik, sedangkan buah mengkudu yang sudah tua berwarna putih

dengan bintik-bintik hitam. Kadar air buah mengkudu berkisar antara 80,26 % -

87,47%. Tinggi rendahnya kadar air buah berkaitan erat dengan proses fermentasi

buah, buah yang memiliki kadar air tinggi cenderung cepat melunak karena proses

fermentasi yang lebih cepat (Djauhariya dkk., 2006). Klasifikasi tanaman

mengkudu adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracehobionta
14

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Morinda

Spesies : Morinda citrifolia L. (Djauhariya, 2003).

Seluruh bagian tanaman mengkudu mengandung berbagai jenis senyawa

kimia. Senyawa-senyawa yang aktif berperan dalam pengobatan tradisional

terdapat pada buahnya. Mengkudu memiliki kandungan senyawa bioaktif

diantaranya alkaloid, flavonoid, dan terpenoid (Pratiwa dkk., 2015). Lebih

jelasnya, kandungan bioaktif buah mengkudu disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Kandungan bioaktif buah mengkudu beserta manfaatnya


Kandungan Bioaktif Manfaat
Alizarin Pemutus hubungan
pembuluh darah ke tumor
Antrakuinn Membunuh
mikroorganisme patogen
Arginin Bahan pembentuk protein,
meningkatkan imunitas,
memproduksi Nitric oxide
(NO).
Dam nacantal Anti kankerdan antibiotik
alami
Lisin Membantu penyerapan
kalsium dan pembentukan
kolagen pada tubuh
Penil alanin Tidak dapat diproduksi
dalam tubuh, sehingga
perlu didapat kan dari luar
Prolin Mengatur sistem kekebalan
15

tubuh, mencegah penyakit


autoimmune
Proxeronin dan Mempercepat penyerapan
proxeronase zat makanan kedalam
sistem pencernaan dan
menyelaraskan kerja sel
dalam tubuh
Skopoletin Mengatur tekanan darah
Selenium Antioksidan
Serotonin Mencegah stress
Sitosterol Menahan pertumbuhan sel
kanker dan mencegah
terjadinya penyakit jantung
Steroid Antiseptik dan desinfektan
Terpenoid Membantu tubuh dalam
proses sintesa organik dan
pemulihan sel-sel tubuh
Vitamin C Antioksidan
Xeronin Mengaktifkan kelenjar
tiroid dan timus
Sumber : Djauhariya dkk. (2006)

Buah mengkudu juga mengandung zat anti bakteri, seperti acubin,

asperuloside, alizarin, dan beberapa zat antraquinon. Zat antibakteri dalam buah

mengkudu dapat mengontrol dua golongan bakteri yang patogen, yaitu

Salmonella dan Shigella (Winarti, 2005). Zat-zat yang terdapat dalam buah

mengkudu telah terbukti menunjukkan kekuatan melawan golongan bakteri

infeksi, seperti Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus

aureus, Bacillus subtilis, dan E. coli (Waha, 2000).

2.3.2 Pelarut Akuades, Metanol, dan Etanol


16

Pelarut organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Konstanta dielektrik

dinyatakan sebagai gaya tolak menolak antara dua partikel yang bermuatan listrik

dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya, maka pelarut

bersifat semakin polar (Sudarmadji dkk.,2007). Kelarutan zat dalam pelarut

dipengaruhi oleh ikatan polar dan non polar. Zat yang polar akan larut dalam

pelarut polar, sedangkan zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar

(Houghton dkk., 1998). Jenis pelarut organik dan sifat fisiknya disajikan dalam

tabel berikut.

Tabel 3. Jenis Pelarut Organik Beserta Sifat Fisiknya


Pelarut Titik Didih Titik Beku Konstant Indeks
...................oC................... a Polaritas
Dielektri
k
Akuades 100 0 80,2 10,2

Metanol 64 98 32,6 5,1

Etanol 78,4 117 24,3 5,2

Kloroform 61,2 64 4,8 4,1

Etilasetat 77,1 6,0 4,4


84
Dietileter 35 116 4,3 2,8

Aseton 56 95 20,7 5,1

Sumber : Sudarmadji dkk. (2007)

Pelarut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi,

sehingga pertimbangan dalam memilih pelarut perlu dilakukan agar proses

ekstraksi berhasil. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam memilih

pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak
17

berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat

melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak

menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik kedua

bahan yang digunakan tidak berdekatan (Guenther, 2006). Pelarut yang biasa

digunakan adalah etanol, metanol, dan aquades (Agoes, 2007).

(1) Aquades

Aquades berasal dari istilah latin aquadestilata yang berarti air suling atau

dapat disebut juga air murni. Aquades adalah air yang diperoleh dari

pengembunan uap air akibat penguapan atau pendidihan air (Ham, 2006).

Aquades memiliki rumus kimia, yaitu H2O yang berarti dalam satu molekul

terdapat dua atom hidrogen kovalen dan atom oksigen tunggal. Aquades bersifat

tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada

tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K (Petrucci, 2008).

Aquades merupakan suatu pelarut yang penting dan memiliki kemampuan

untuk melarutkan banyak zat kimia, seperti garam, gula, asam, beberapa jenis gas

dan banyak macam molekul organik sehingga aquades disebut sebagai pelarut

universal. Aquades berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan

padat di bawah tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, aquades dapat

dideskripsikan sebagai asosiasi (ikatan antara sebuah ion hidrogen dengan sebuah

ion hidroksida) (Suryana, 2013).

Karakteristik aquades adalah mempunyai konstanta dielektrik yang sangat

tinggi, sehingga berpengaruh besar terhadap sifat pelarutnya. Hal tersebut

menyebabkan banyaknya senyawa ionik yang berdisosiasi dalam aquades.

Aquades juga memiliki kapasitas kalor yang cukup tinggi, yaitu sebesar 1 kal g-1

C-1 sehingga menyebabkan kalor yang diperlukan untuk mengubah suhu dari
18

sejumlah massa yang cukup tinggi (Achmad, 2004). Selain itu, aquades memiliki

tegangan permukaan yang tinggi dan dapat menyebabkan aquades memiliki sifat

higher wetting ability. Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan

terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan untuk bergerak dalam pipa kapiler.

Dengan adanya sistem kapiler dan sifat sebagai pelarut yang baik, membuat

aquades dapat membawa nutrien dari dalam tanah ke jaringan tumbuhan (akar,

batang, dan daun) (Effendi, 2003).

(2) Metanol

Metanol adalah senyawa alkohol dengan satu rantai karbon dengan rumus

kimia CH3OH. Metanol memiliki berat molekul sebesar 32, titik didih 64 – 65 oC

(tergantung kemurnian), dan berat jenis 0,792 – 0,793 g/cm3. Secara fisik metanol

memiliki sifat tidak berwarna, bau seperti alkohol, dapat bercampur dengan air,

etanol, dan kloroform, higroskopis, mudah menguap, dan mudah terbakar oleh api

berwarna biru (Spencer, 1988).

Metanol merupakan pelarut protik polar, yaitu senyawa yang

menunjukkan atom hidrogen yang menyerang atom elektronegatif (oksigen) atau

dalam kata lain pelarut protik polar adalah senyawa yang memiliki rumus umum

ROH. Metanol atau biasa disebut metil alkohol merupakan pelarut polar yang baik

karena memiliki nilai konstanta dielektrik terbesar setelah aquades. Metanol juga

merupakan pengekstrak yang baik dalam mengekstrak senyawa antimikroba

(Akroum dkk., 2009).

(3) Etanol

Etanol merupakan senyawa alkohol dengan formula C2H5OH yang

berbentuk cair, tidak berwarna, larut dalam air, eter, kloroform, dan aseton (Basri,

1996). Terdapatnya gugus hidroksil OH pada alkohol memberikan sifat polar,


19

sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus

tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Kurniawan, 2006).

Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang

optimal. Penggunaan etanol juga lebih baik dibandingkan pelarut metanol

yang dapat bersifat toksik (Voight, 1994). Etanol biasanya digunakan dalam

mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan anti

bakteri pada suatu bahan. Pelarut etanol lebih baik daripada air, metanol

maupun pelarut lainnya dalam mengekstraksi senyawa antioksidan ataupun

antibakteri (Hirasawa, 1999).


20

III

ALAT, BAHAN, DAN METODE

3.1 Amoniasi Jerami Padi


3.1.1 Alat

 Cooper

 Silo (Tong, Plastik Beton, Kantung Karung)

 Embrat

 Alat Press jerami

 Tali

 Timbangan

 Ember

3.1.2 Bahan

 Jerami Padi 50 kg

 Urea 1740,66 gram

 Air 4,63 liter

3.1.3 Prosedur

 Disiapkan silo. Silo dapat berasal dari kantung plastk, tong, atau karung

 Disiapkan jerami padi, kemudian ditimbang

 Jerami padi dipress hingga membentuk persegi panjang

 Jerami padi yang sudah dipress ditimbang sebanyak 50 kg

 Jerami hasil penimbangan dimasukkan ke dalam silo

 Larutan amoniak dibuat sebanyak 4% dari bobot jerami, yaitu larutan urea

1740,66 gram dan air 4,63 liter

 Larutan urea disiramkan dengan embrat ke dalam silo berisi jerami

 Silo ditutup rapat sehingga tidak ada kontak dengan udara luar
21

 Setelah satu bulan silo dibuka, kemudian diangin-anginkan selama

beberapa saat

 Jerami padi hasil amoniasi diamati secara fisik dan kimia

3.2 Fermentsi Ampas Tahu

3.2.1 Alat

 Plastik

 Alas plastik lebar

 Ember plastik

 Timbangan

 Baki

3.2.2 Bahan

 Ampas Tahu 2x10 kg

 Asam Sodium Sitrat 5% 100 gram dan Asam Sodum Sitrat 6% 120 gram

3.2.3 Prosedur

 Ampas tahu disiapkan, ditimbang sebanyak 2x10 kg


 Disiapkan asam sodium sitrat 2% untuk 20 kg ampas tahu. Pada
konsentrasi 5% sebanyak 100 gram dan konsentrasi 6 sebanyak 120 gram
 Asam formiat dicampurkan secara merata dengan ampas tahu
 Plastik ditali dengan rapat, kemudian disimpan di atas baki
 Keadaan fisik, bau, dan pH dievaluasi pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-9,
hari ke-12, dan hari ke-14
22

3.3 Ekstarksi Mengkudu Metode Maserasi

3.3.1 Alat

 pH meter

 Blender

 Kertas etiket

 Corong plastik

 Toples ukuran besar

 Toples ukuran kecil

3.3.2 Bahan

 Mengkudu 100 gram

 Aquadest

 Etanol 70%

 Metanol 79%

 Larutan buffer pH meter

3.3.3 Prosedur

 Bahan yang akan dimaserasi disiapkan, dicuci dengan air mengalir untuk

menghilangkan kotoran yang menempel

 Mengkudu ditmbang sebanyak ¼ volume pelarut yang akan digunakan

(air, etanol, metanol) atau sebanyak 100 gram

 Mengkudu dipotong kecil-kecil, kemudian diblender sampai bentuk

luluhan yang homogen

 Luluhan hasil blender dicampurkan dengan pelarut organi yang digunakan

(air, etanol, dan metanol) dengan perbandingan 1:4 (1 bagian luluhan, 4

bagian pelarut)

 Pada hari ke-0 dan hari ke-3 dilakukan pengamatan.


23

IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Amoniasi Jerami Padi

Tabel 4. Amoniasi Jerami Padi

Indikator

Kelas Keadaa Warna Bau pH Tekstur

n Jerami

A Berembun Coklat Tua Amoniak 8,9 Lebih Rapuh

Menyengat

B - Coklat Terang Pesing 8,7 Lembut

Menyengat

C - Coklat Tua Khas Amonia 8,7 Rapuh

D - Coklat Gelap Amonia 8,4 Lebih Lembut

Menyengat

E - Kuning Urea 9 Rapuh

F - Coklat Khas Amonia 8 Rapuh

4.1.2 Fermerntasi Ampas Tahu

Tabel 5. Fermentasi Ampas Tahu


Perlakuan Indikator Hari Hari Hari Hari Hari
Ke-1 Ke-3 Ke-7 Ke-9 Ke-14

Warna Putih Putih Putih Putih Putih


Gading Gading Gading
Tanpa
pH 5,7 5,4 4 4 4,2
Perlakuan
Bau Ampas Asam Basi Basi Basi
Tahu Fermentasi Fermentasi
1% pH 5,2 - 4,1 - 3,9
24

Bau Ampas - Wangi - Wangi Tape


Tahu Tape Matang
pH 4,8 - 4,8 - 4,3
2% Bau Ampas - Bau Asam - Bau Asam
Tahu Segar Segar
Warna Putih Putih Putih
- -
Kuning Kuning Kuning
3% pH 4 - - 4,1 4
Bau Tidak
Tahu - Asam Tahu
Menyengat
Warna - - - -
pH 4,5 - - 4,3 4,5
4% Bau Asam
Tidak
Tahu - Tidak Tahu
Menyengat
Menyengat
Warna Putih Putih Putih Putih Putih
gading Kuning Kuning Kuning Kuning

5% pH 4,8 4,8 3 4 4,1


Bau Berbau Asam Asam Asam Asam
Tahu
asam
Warna Putih Putih Putih Putih Putih
Gading Lebih Lebih Lebih Lebih
Kuning Kuning Kuning Kuning
6% pH 4,6 4,7 3 4 4,1
Bau Berbau Lebih Lebih Lebih Lebih
tahu Asam Asam Asam Asam
asam

4.1.3 Ekstraksi Maserasi

Tabel.6 Ekstraksi Maserasi


Rendeme
Ph Aroma Warna
Kela Perlakua n
s n Har Har Har
Hari 3 Hari 7 Hari 3
i3 i7 Hari 7 Hari 3 i7
Tidak terlalu
Air 5,4 4 Mengkudu menyengat Coklat Coklat 899

A Kuning Coklat muda


Metanol 5,2 6,1 Menyengat Menyengat coklat kekuningan 758 724
Tidak terlalu Tidak Puith Kuning
Etanol 5 5,5 menyengat menyengat keruh kecoklatan 950 918
Air 4,8 4 Mengkudu Mengkudu Coklat Coklat 218 950
Kuning
B
Metanol 7,1 5,3 Mengkudu mengkudu coklat Coklat muda 259 800
Etanol 5,4 5,2 Menyengat Menyengat Keruh abu coklat 246 880
C Air 6 4,4 Mengkudu Tidak terlalu Coklat Coklat 389 379
menyengat
25

Mengkudu Coklat
Metanol 5 5,7 tajam Menyengat jernih Coklat agaktua 331 323
Sedikit Sedikit
Etanol 6,6 5,6 menyengat Menyengat jernih Bening kecoklatan 298 289
Putih
Air 4 4,35 Mengkudu Mengkudu keruh Putih keruh 37 363
D Metanol 5 5,6 Menyengat Menyengat Kuning Kuning 218 787
Tidak terlalu Tidak terlalu Putih
Etanol 4 5,1 menyengat menyengat keruh Putih keruh 223 776
Putih
Air 4 Mengkudu Mengkudu keruh Putih keruh - -
E Metanol 6 Menyengat Menyengat keruh keruh - -
Tidakmenyeng Tidak Hijau
Etanol 5 at menyengat keruh Hijau keruh - -
Mengkudu Kuning
Air 4 4,1 Mengkudu menyengat keruh Coklat keruh 500 382
F Putih Coklat muda
Metanol 6 6 Menyengat Mengkudu keruh jernih 1250 756
Etanol 5 5,2 Menyengat Menyengat abu-abu Coklat keruh 250 926

4.2 Hasil

4.2.1 Amoniasi Jerami Padi

Amoniasi jerami padi adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk

menambah kandungan nutrisi jerami padi dan kecernaannya sehingga lebih

efisien dikonsumsi oleh ternak ruminansia (sapi potong).Amoniasi jerami padi

dengan menggunakan urea (NH2CONH2) dapat meningkatkan kandungan


nitrogen(McDonald et al., 2002), palatabilitas, konsumsi dan kecernaan pakan

(Ahmed et al., 2002). Beberapa bahan yang digunakan untuk membuat jerami

padi amoniasi adalah:

1. Jerami Padi

Jerami adalah hasil samping usaha dalam bidang pertanian berupa tangkai

dan batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijiannya

dipisahkan. Massa jerami kurang lebih setara yaitu dengan massa biji-

bijian yang dipanen.


26

2. Urea

Urea adalah pupuk kimia mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi. Urea

berbentuk butirbutir kristal berwarna putih dengan rumus kimia

NH2CONH2. Urea mudah larut dalam air dan sangat mudah menghisap

air (higroskopis). Urea mengandung unsur hara N sebesar 46% dengan

pengertian setiap 100 kg mengandung 46 Kg Nitrogen, Moisture 0,5%,

Kadar Biuret 1%, ukuran 1-3,35MM 90% Min serta berbentuk Prill

(Pusri,2018). Jumlah Urea yang digunakan adalah 5% dari total berat

jerami padi yang akan diamoniasi.

3. Molases

Molases (tetes tebu) merupakan hasil samping dari pengolahan tebu

menjadi gula yang masih mengandung gula dan asam-asam organic cukup

tinggi. Kandungan sukrosa dalam molases adalah 48-55% (Sebayang,

2006) sehingga sering digunakan peternak untuk sumber makanan

mikrorganisme dalam proses pembuatan pakan fermentasi.

4. Air

Air yang digunakan berfungsi untuk memperbanyak volume dan

melarutkan urea bersama molases sehingga lebih mudah dipercik ke

jerami padi yang akan diamoniasi.

 Proses Pembuatan

Pembuatan jerami padi amoniasi didahului dengan menyiapkan alat dan

bahan yang akan digunakan. Alat yang digunakan antara lain timbangan 50 kg

untuk menimbang jerami padi, timbangan 2 kg untuk menimbang urea dan


27

molases, ember untuk mencampur molases, air dan urea. Langkah-langkah

pembuatan jerami padi amoniasi adalah jerami dihamparkan diatas lantai ruang

untuk proses amoniasi jerami padi yang berukuran 3x3 meter lapis demi

lapis.Setiap lapisan dipadatkan dengan cara diinjak-injak dengan tebal setiap

lapisan ±30 cm. Urea dan air terlebih dahulu dicampur dalam ember hingga larut,

selanjutnya molases ditambahkan kedalam larutan hingga seluruh bahan

tercampur rata di dalam ember. Selanjutnya larutan disiramkan disetiap

permukaan lapisan tumpukan jerami yang telah dipadatkan dengan cara dipercik

sedikit demi sedikit. Tumpukan jerami selanjutnya dibiarkan selama 21 hari

untuk proses fermentasi, dan setelah 3 minggu jerami padi amoniasi dievaluasi

secara fisik (organoleptik) dan kimiawi.

 Evaluasi Kualitas Fisik Dan Kimiawi

Berdasarkan hasil pengamatan kualitas fisik jerami padi amoniasi secara

organoleptik diperoleh:

1. Warna Coklat Muda/Kecoklatan. Perubahan warna jerami padi amoniasi

dari kuning menjadi warna coklat mengindikasikan bahwa proses

fermentasi telah berlangsung. Rekso hadiprodjo (1988) menyatakan

perubahan warna terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase

yang disebabkan oleh perubahan- perubahan yang terjadi dalam tanaman

karena proses respirasi anaerobik yang berlangsung selama persediaan

oksigen masih ada hingga gula tanaman habis. Penurunan oksigen diikuti

dengan peningkatan kadar CO2 sehingga temperatur pemeraman

meningkat Bau amoniak. Timbulnya bau amonia disebabkan suasana basa

selama proses amoniasi mengakibatkan urea yang memiliki rumus

CO(NH2)2 diubah menjadi NH3 (amonia) sehingga terserap oleh jerami


28

padi dan menimbulkan bau amonia yang menyengat. Bau yang kurang

kuat/lemah mengindikasian proses amoniasi jerami padi tidak berlangsung

dengan baik, tidak efisien bahkan gagal. Penyebab bau yang kurang karena

jumlah urea yang digunakan terlalu sedikit,silo tidak tertutup rapat

sehingga sebagian besar amonia yang terbentuk menguap dan tidak terikat

oleh jerami padi, urea belum atau tidak terhidrolisis secara sempurna,

kurangnya jumlah air yang digunakan atau kelembaban dalam silo,

kurangnya bakteri ureolitik atau sumber urease dalam jerami padi yang

digunakan (Marjuki, 2013)

2. Tekstur halus. Tekstur jerami padi amoniasi yang lembut dan halus

disebabkan ikatan lignin, sellulosa, dan silika pada dinding jerami lepas.

Semakin lama proses fermentasi maka tekstur jerami padi amoniasi akan

semakin lembut dan lunak sehingga lebih mudah dicerna oleh mikroba

rumen. Menurut DitJenNak (20110), kriteria amoniasi yang baik adalah

berwarna kecoklat-coklatan, kering,jerami amoniasi lebih lembut

dibandingkan jerami asalnya Ph 7,8, Nilai pH 7,8 yang yang merupakan

pH netral tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Bata(2008) bahwa

jerami padi yang diberi urea dan molases 15% adalah antara 7 – 5,5. Suhu

43,66 oC. Proses hidrolisis urea menjadi ammonia berlangsung dengan

baik pada kisaran suhu 30-60oC.kecepatan hidrolisis tersebut akan berlipat

atau turun dua kali lipat pada setiap peningkatan atau penurunan suhu

sebesar 10 oC (Marjuki, 2013).

4.2.2 Fermentasi Ampas Tahu

Praktikum kali ini yaitu dilakukan fermentasi ampas tahu. Ampas tahu
29

merupakan limbah pembuatan tahu yang jumlahnya berlimpah dan belum

dimaksimalkan pemanfaatannya untuk pertumbuhan ternak. Dengan

dilakukannya teknologi fermentasi maka ke unggulan nilai nutrisi ampas tahu

dapat di maksimalkan. Prinsip tujuan utama fermentasi ini adalah untuk

meningkatkan TDN (Total Digestible Nutrient), mengurangi serat kasar sehingga

nutrisi yang terserab saat absorbsi nutrisi di organ pencernaan berjalan maksimal.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Bidura dkk (2007) yang menyatakan bahwa

fermentasi dapat meningkatkan kecernaan daam bahan pakan oleh enzim-enzim

yang diproduksi oleh mikroba. Fermentasi ampas tahu dilakukan dengan

mencampurkan ampas tahu dengan sodium sitrat. Ampas tahu yang digunakan

yaitu seberat 20kg, dimana dipisah masing-masing 10kg untuk dicampurkan

dengan sodium sitrat 5% dan sodium sitrat 6%. Sodium sitrat adalah asam

organik lemah yang merupakan bahan pengawet yang baik dan alami. Ampas

tahu dan asam sodium sitrat dicampurkan hingga merata, kemudian campuran

asam tahu dengan sodium sitrat tersebut dimasukkan kedalam plastik dan

dibungkus hingga tertutup rapat. Campuran dicampurkan hingga homogen,

kemudian dilakukan evaluasi dari keadaan fisik, bau dan pH dari ampas tahu

tersebut. Evaluasi dilakukan pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-9, hari ke-12, dan

hari ke-14. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil dari

campuran ampas tahu dengan sodium sitrat 5% pada hari ke-1 yaitu berbau tahu

asam, berwarna putih gading dan didapatkan pH 4,8. Untuk ampas tahu kedua

yang di campur dengan sodium sitrat 6% yaitu berbau tahu asam, berwarna putih

gading dan didapatkan pH 4,86. Dari pengamatan yang dilakukan untuk bau dari

ampas tahu tersebut tidak ada perubahan, bau didominasi oleh bau asam,

sedangkan dari pH kedua ampas tahu tersebut mengalami perubahan. Ampas tahu
30

yang dicampurkan dngan sodium sitrat 5% mengalami perubahan pH dari 4,8; 3;

4; 4,1 dan untuk sodium sitrat 6% mengalami perubahan pH 4,7; 3; 4; 4,1. Tidak

ada perbedaan yang begitu signifikan pada pH kedua ampas tahu dengan

konsentrasi asam yang berbeda tersebut, dikarenakan perbedaan konsentrasi asam

yang digunakan tidak begitu jauh. Menurut Karlina (2008) semakin lama waktu

fermentasi maka akan menyebabkan kadar keasaman semakin tinggi sehingga pH

akan semakin menurun, dengan pH yang semakin rendah maka mikroorganisme

tidak akan bekerja secara optimal. Sedangkan adanya inkonsisten pada pH yang

berubah, dari 4 lalu 3 kemudian kembali ke pH 4 mungkin dikarenakan oleh

kesalahan praktikan pada saat pengukuran pH dan kondisi lingkungan yang tidak

sama pada saat pengukuran pH.

4.2.3 Ekstraksi Mengkudu dengan Metode Maserasi

Tanaman obat di samping untuk menyembuhkan penyakit. juga efektif

untuk meningkatkan produktivitas ternak (Satie, 1995; Fenita et al., 2008).

Dinyatakan dalam penelitian terjadi peningkatan bobot badan pada ayam broiler
setelah diberikan ekstrak tannaman yang dijadikan feed additive, dijelaskan

bahwa peningkatan berat badan yang terjadi kemungkinan disebabkan adanya zat

anti microbial tanaman tersebut yang membantu dalam membasmi mikrobia

pengganggu di dalam pencernaan, sehingga penyerapan zat makanan berjalan

dengan sempurna. Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) sebagai tanaman obat

yang memiliki kemampuan ini. Ekstrak buah mengkudu sebelumnya sudah

diketahui memiliki aktivitas dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia

coli dan Salmonella Enteritidis. Perasan segar buah mengkudu juga telah

dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. Buah


31

mengkudu juga dilaporkan mengandung senyawa dari golongan flavonoid yang

diduga memiliki aktivitas sebagai antibiotic. Antibiotika sebagai feed additive

dapat mempertinggi penyerapan berbagai zat makanan menghalangi pertumbuhan

mikrobia vang merusak dan dapat meningkatkan konsumsi ransum (Santoso,

2010). Menurut Bailey & Cantor (2013) feed additive adalah senyawa yang

ditambahkan ke dalam pakan yang bertujuan untuk memperbaiki nutrisi ternak.

Penggunaan feed additive bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi,

meningkatkan kesehatan, dan mengurangi morbiditas. Kekhawatiran akan adanya

toksisitas dan residu pada produk ternak membuat regulasi yang sangat ketat pada

penggunaan feed additive.

Praktikum kali ini adalah melakukan ekstraksi zat aktif dari bahan buah

mengkudu secara maserasi. Maserasi dilakukan dalam waktu 24 jam dengan 2 kali

pengadukan selama 7 hari. Maserat yang diperoleh selanjutnya dievaporasi

dengan rotary evaporator hingga didapat filtrat metanol dan dihitung nilai

rendemennya.Mengkudu memiliki kandungan senyawa bioaktif diantaranya

alkaloid, flavonoid dan terpenoid yang dapat larut dengan pelarut polar

diantaranya adalah etanol, methanol, dan air. Untuk mendapatkan ekstrak dari

buah megkudu ini, maka praktikum ini dilakukan dengan metode maserasi yang

menggunakan pelarut polar yaitu methanol 70% dan aquadest sebagai pelarutnya.

Keuntungan dari metode ini yaitu prosedur dan peralatan yang digunakan

sederhana dan tidak dipanaskan sehingga bahan alam tidak menjadi terurai.

Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa

senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut pada suhu kamar (Puspitasari,

2017). Buah mengkudu yang telah dicacah sebanyak 100 gram dan 250 gram

kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender untuk mempercepat reaksi zat


32

aktif didalamnya. Mengkudu sebanyak 100 gram dan 250 gram yang telah halus

tersebut dimasukkan kedalam toples dan dimaserasi menggunakan pelarut

aquadest dan methanol dengan perbandingan 1:4 b/v yang berarti sebanyak 758

gram pelarut untuk methanol atau 1000 ml, dan 389 grm untuk pelarut aquadest

atau 400 ml. Campuran ini di aduk untuk mempercepat reaksi antara pelarut dan

zat aktif yang terdapat dalam mengkudu tersebut. Pelarut methanol dan aquadest

ini digunakan karena pelarut ini memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, sehingga

cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut

yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen

fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, dan glikosida. Pelarut Semi polar

mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida.

Pelarut nonpolar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lipid, dan minyak

yang mudah menguap. Air dan etanol memiliki kepolaran yang sama, akan tetapi

air memiliki sifat asam dan basa yang tidak stabil sehingga senyawa aktif yang

bersifat sebagai antibakteri tidak dapat menghambat bakteri patogen (Harborne

1987).

Campuran ekstrak mengkudu yang telah dicampurkan dengan pelarut

polar aquadest dan methanol 70% selanjutnya di aduk untuk kemudian ditutup

dan didiamkan selama 1 minggu dengan 2 kali pengecekan organoleptic serta

menyaring ampas yang mengambang.Pengamatan organoleptic pada saat ekstrak

tersebut dibuat memiliki ciri ciri yang sama yaitu, warna dari ekstrak mengkudu

dan pelarut aquadest adalah kuning keruh, sedangkan ektrak mengkudu dan

larutan methanol 70% kuning kecoklatan, dan aroma yang dikeluarkan oleh

campuran mengkudu dan methanol 70% ini lebih menyengat daripada campuran

dengan aquadest. Hal ini terjadi karena metanol memiliki bau yang sangat
33

menyengat dan menusuk hidung apabila tercium dalam jarak yang dekat. pH dari

kedua campuran tersebut berbeda, pH dari campuran methanol 70% yaitu 5,2

lebih tinggi daripada dengan campuran aquadest yang hanya 4,2. Itu menunjukkan

bahwa pH methanol 70% lebih tinggi daripada aquadest.(Fenita, 2010). Hasil

organoleptik menunjukkan bahwa sifat dari ekstrak etanol buah mengkudu

memiliki bentuk ekstrak kental, warna kuning kecoklatan, dan berbau khas buah

mengkudu. Ekstrak metanol buah mengkudu mengandung senyawa

alkaloid,flavonoid, saponin, tanin, steroid dan fenol. (Fenita, 2010). Pada hari

ketiga maserasi, warna mengkudu tidak berubah nyata dan masih berwarna kuning

keruh, namun pH dari larutan tersebut menurun, pH larutan mengkudu dengan

aquadest sebesar 4, dan pH dari larutan mengkudu dan methanol sebesar 5. Bau

dari kedua larutan tersebut berbeda, campuran yang direndam dengan methanol

70% lebih menyengat daripada campuran yang menggunakan aquadest karena

memiliki aroma menyengat khas mengkudu. Pada pengecekan di hari ketiga ini

dihasilkan berat biji mengkudu yang terdapat pada bagian atas seberat masing

masing 29 gram dan 20 gram. Biji mengkudu yang mengapung tersebut

dipisahkan dari larutannya. Selain biji, ampas dari hasil ekstraksi juga di saring,

dan mendapatkan hasil 100 gram atau untuk campuran mengkudu dan aquadest,

kemudian seberat 224 gram untuk campuran mengkudu dan methanol 70%. Untuk

mendapatkan hasil rendemen yang baik, maka larutan harus disaring kembali agar

benar benar bersih dari ampas. Selain itu, maka dihitung pula volumenya dari

kedua campuran tersebut, yaitu sebesar 306 ml untuk campuran mengkudu dan

aquadest, kemudian 900 ml untuk campuran mengkudu dan methanol.

Berkurangnya volume dan berat larutan ini dikarenakan masih adanya air

yang terdapat dalam ampas yang tersaring, sehingga menyebabkan penurunan


34

berat larutan dan volume larutan tersebut. Paha hari ke 7 mengkudu berubah

warna menjadi kuning kecoklatan, dan pH dari masing masing larutan naik

kembali, yaitu sebesar 4,5 (100 gram) dan 6,1 (250 gram methanol 70%), bau

yang dihasilkan juga berbeda, larutan dengan aquadest berbau mengkudu yang

sangat pekat namun sedikit menyengat, dan larutan dengan methanol berbau

sangat menyengat dan bau mengkudu nya pudar. warna jingga yang berarti positif

adanya flavonoid. Magnesium dan asam klorida pada uji ini bereaksi membentuk

gelembung-gelembung yang merupakan gas H2, sedangkan logam Mg dan HCl

pekat berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur

flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi jingga. (Harbone, 1987).

Berat ampas yang tersaring pada kedua larutan ini adalah 0 gram, itu artinya

sudah tidak ada ampas yang tersisa. Dan berat larutan hasil saringan dari

campuran mengkudu dan aquadest seberat 295 gram atau volumenya sebanyak

300 ml. kemudian hasil saringan dari cairan megkudu dan methanol seberat 724

gram atau sekitar 875 ml. volume larutan dari kedua campuran ini harusnya tidak

jauh berbeda dari pengecekan pada hari ke 3 karena pada saat itu tidak terdapat

residu, mungkin terjadi kesalahan dalam perhitungan atau pada saat penimbangan

sehingga menyebabkan volume larutan tersebut berkurang. Seharusnya setelah

maerasi dilakukan selanjutnya larutan mengkudu diaupkan menggunakan ratory

evaporator pada suhu berkisar antara 45-50 derajat C, setelah di ratory evaporator

larutan tersebut diletakkan di water bath untuk menguapkan sisa pelarut yang

masih terdapat di dalam ekstrak. Perhitungan rendemen ekstrak buah Mengkudu

dilakukan dengan cara menimbang simplisia Mengkudu sebelum diekstraksi dan

berat ekstrak simplisia Mengkudu hasil ekstraksi.


35

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa :

5.1.1 Simpulan

Kesimpulan yang diproleh dalam praktikum kali ini yaitu :

1) Didapatkan hasil bahwa amoniasi jerami setelah 1 bulan, jerami berembun

dan berubah menjadi coklat tua serta aroma nya amoniak yang sangat

menyengat, pH nya menjadi 8,9, serta tekstur yang yang menjadi rapuh.

Apabila di bandingkan dengan kelas lain hasilnya tidak jauh berbeda,

mulai dari warna, aroma, dan pH nya hampir sama.

2) Fermentasi ampas tahu didapatkan hasil untuk ampas tahu tanpa perlakuan

pada hari ke 1-14 berwarna tetap yaitu putih gading, pH nya turun dari 5,7

menjadi 4,2, dan aromanya berubah menjadi bau basi khas fermentasi.

Untuk yang 1% pH nya dari 5,2 menjadi 3,9, 2% pH nya dari 4,8 menjadi

4,3, 3% pH nya dari 4 tetap 4, 4% pH nya 4,5 tetap 4,5, 5% dari 4,8

menjadi 4,1, dan untuk yang 6% dari 4,6 menjadi 4,1.

3) Didapatkan hasil dari Ekstraksi maserasi untuk aroma, dan warna tidak

jauh berbeda dari kelas A sampai F yaitu berbau mengkudu yang sedikit

menyengat, dan untuk warna rata-rata berwarna kuning kecoklatan. Hasil

yang berbeda ada pada pH dan rendemen.

5.1.2 Saran
36

Saran yang bisa penulis berikan pada praktikum kali ini adalah lebih harus

diawasi lagi saat praktikum berlangsung supaya data yang diproleh lebih valid dan

bisa mendapatkan hasil yang sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul. 2010. Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale) Kajian Dari
Ukuran Bahan, Pelarut, Waktu dan Suhu. Jurnal Pertanian MAPETA.
Vol. XII. (2) : 72-144.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.

Banerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford & IBM Pub. Co Calcutta

Bidura, I. G. N. G. 2007.Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Denpasar:


UPT PenerbitUniversitasUdayana.

Basri, S. 1996. Kamus Kimia. Rineka Cipta. Jakarta.

Bailey C, Cantor A. 2013. Poultry Science Manual 3ndEdition. Texas (US):


Texas A&M University.
Chuzaemi, s. dan.Soejono. 1987. Pengaruh urea aminiasi terhadap komposisi
kimia da nilai gizi jerami padi untuk sapi peranakan ongole. Dalam: M.
soejono, (eds) limbah pertanian sebagai pakan dan maafaat lainnya:
Proceeding bioconversion project second workshop on crop residues for
feed and other purposes. Grati, 16-17 November 1987. Hal. 68-73

Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012.


Teknologi Pengolahan Pakan Amoniasi. Jakarta

Djauhariya, E. 2003. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) tanaman Obat Potensial.


Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pengembangan Teknologi
TRO 15(1).

Djauhariya, E., Rahardjo, M., dan Ma’mun. 2006. Karakterisasi Morfologi dan
Mutu Buah Mengkudu. Buletin Plasma Nutfah. Vol. 12 (1) : 1-8.
37

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta

Fenita, Y., Hidayat dan M. Sukma. 2008. Pengaruh pemberian air buah
mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap performans dan Berat Organ
dalam Ayam Broiler. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol. 3 (2) Hal. 52-
62.
Fenita, Y. 2010b. Pengaruh Pemberian Tepung Buah Mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dalam Ransum terhadap Persentase Organ dalam Kolesterol
dan Trigliserida Darah Ayam Pedaging. Prosiding Seminar BKS-PTN
Barat tahun 2010. Hal.1060-1065.
Hanafi, N. D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Departemen.
Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Medan.

Hanafi, N.D. 2004. Perlakuan Silase dan Amoniasi Daun Kelapa Sawit Sebagai
Bahan Baku Pakan Domba. Skripsi. Fakultas Pertanian Program Studi
Produksi Ternak Universitas Sumatera Utara. Medan

Harborne JB. 1996. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis


tumbuhan. Edisi 3. Bandung: Penerbit ITB;
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung.

Hargono, D. dkk, 1986. Sediaan Galenik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat


dan Makanan (BPOM). Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.

Irmayanti. 2016. Nilai Rendemen dan Karakteristik Organoleptik Dangke


Berbahan Dasar Susu Segar dan Susu Bubuk Komersial. Skripsi.
Universitas Hasanuddin. Makasar.

Kurniawan A.D. 2006. Pengujian Aktivitas dan Mekanisme Antioksidan Ekstrak


Gingseng Jawa. Universitas Brawijaya. Malang.

Marjuki. 2008. Peningkatan Kualitas Jerami Padi melalui Perlakuan Urea


Amoniasi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Mathius, I. W., &Sinurat, A. P. (2001). Pemanfaatan bahan pakan


inkonvensional untukternak.Wartazoa, 11(2), 20-31
38

Nuraini. 2009. Performa Broiler dengan Ransum Mengandung Campuran Ampas


Sagu dan Ampas Tahu yang Difermentasi dengan Neurospora crassa.
Media Peternakan 32 (3): 196-203

Parakkasi, A. 1991. Ilmu nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas


Indonesia. Jakarta.

Pathak, N. 1997. Textbook of  Feed Processing Technology Manufacturing


Association, Inc. Arlington, Virginia.

Pratiwa, C., Farah Diba, dan Wahdina. 2015. Bioaktivitas Ekstrak Etanol Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap Rayap Tanah (Coptotermes
curvignathus Holmgren). Jurnal Hutan Lestari. Vol. 3 (2) : 227 – 233.

Pratiwi, I. 2009. Uji Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Acalypha indica terhadap
Bakteri Salmonella choleraesuis dan Salmonella typhimurium. Skripsi.
FMIPA UNS. Surakarta.

Puastuti, W. dan I.W. Mathius. 2008. Respon domba jantan muda pada berbagai
tingkat substitusi hidrolisat bulu ayam dalam ransum. JITV 13(2): 95 –
102.

Puspitasari, A. D., Prayogo, L. S. 2017. Perbandingan Metode Ekstraksi


Maserasi dan Sokletasi Terhadap Kadar Fenolik Total Ekstrak Etanol
Daun Kersen (Muntingia calabura). Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta ISSN
2528-5912

Rahardi, S. 2009. Pembuatan Amoniasi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak.


http://ilmuternak.wordpress.com/nutrisi/teknik-pembuatanamoniasi-urea-
jeramipadi-sebagai-pakan-ternak/. Diakses pada minggu, 13 November
2019 pukul 09.17 WIB

Sadzali, Imam. 2010. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas. Jurnal UI Untuk
Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi 1 (12) :62-69

Santoso. 2010. Ilmu Formulasi Ransum Ternak. Cetakan I. badan Penerbitan


Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Santoso, U., Kususuyah and Y. Fenita. 2010. The effect of Souropus Andrgynus
Extract and Lemuru Oil on Fat Deposition and Fatty Acid Composition of
Meat in Broiler Chickens. Journal of Indonesian Tropical Animal
Agriculture 35 (1): 48-54.
39

Satie, D.L. 1995. Memacu produktivitas ayam broiler dengan ramuan tradisional.
Poultry Indonesia. 185. Hal. 8-11.
Setyono, H., Kusriningrum, Mustikoweni, T. Nurhayati, R. Sidik, M. Anam, M.
Lamid, dan W.P. Lokapirnasari. 2009. Teknologi Pakan Hewan. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Setyono, H., R. S. Kusriningrum, Mustikoweni, T. Nurhajati, R. Sidik, A. Al-


Arief, M. Lamid, dan W. P. Lokapirnasari. 2009. Teknologi Pakan Hewan.
Departemen Peternakan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya

Shain, D.H., R.R. Stock, T.J. Klopfenstein and D.W. Herold. 1998. Effect of
degradable intake protein level on finishing cattle performance and
ruminal metabolism. J. Anim. Sci. 76: 242 – 248.

Siregar, S. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudarmadji, S, B. Haryono dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan


Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta

Sudjadi. 1998. Metode Pemisahan. Kanisius. Yogyakarta.

Sumarsih, S Dan B. I. M. Tampoebolon. 2003. Pengaruh Aras Urea dan Lama


Pemeraman yang Berbeda Tehadap Sifat Fisik Eceng Gondok
Teramoniasi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 4: 298-301.

Sundstol, F. and E. Coxworth. 1984. Ammonia Treatment. In : Straw and Other


Fibrous Byproducts as Feeds. Ed. By Sundstol and E. Owen. Elsevier.:
196-247

Suryana, F. 2013. Analisa Kualitas Air Sumur Dangkal di Kecamatan


Birinangkanaya Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Makasar.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. departemen Ilmu Makanan


Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant. O and B Books, Inc
United States of America.

Waha, L.G. 2000. Sehat dengan Mengkudu. MSF Group. Jakarta.


40

Wahyuni, dan R. Bijanti. 2006. Uji Efek Samping Formula Pakan Komplit
Terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Pedet Sapi Friesan Holstein. MKH.
22(3) : 174- 178

Winarno, F. G. 2000. Kimia PangandanGizi. PT GramediaPustakaUtama. Jakarta.

Winarti, C. 2005. Peluang Pengembangan Minuman Fungsional dari Buah


Mengkudu (Morinda citrifolia L.). Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 24 (4) :
149 – 155.

LAMPIRAN
(1) Dokumentasi Saat Praktikum
41

(2) Distribusi Tugas

NAMA NPM TUGAS


SYAHRIR FAJRUL ALI 200110170191 PEMBAHASAN 4.1 +
PRINT
SELVY FITRIA NIDA 200110170192 BAB1 + EDIT +
LAMPIRAN
ZUKHRIF AULIA 200110170196 BAB 3 +
42

FITRI F PEMBAHASAN 4.2 +


HASIL
PENGAMATAN +
TINJAUAN
KEPUSTAKAAN
SYIFA RAHMA L 200110170207 BAB 5 +
PEMBAHASAN 4.3 +
PPT

Anda mungkin juga menyukai