Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Pemilihan Umum atau pemilu telah diakui sebagai sarana dalam

menyalurkan kedaulatan rakyat melalui partisipasi politik dalam menggunakan hak

pilihnya. Dalam teori demokrasi minimalis menurut Joseph Shumpeter, pemilihan

umum adalah sebuah panggung yang menghadirkan kompetisi antara aktor-aktor

politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan

serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara.1 Sedangkan menurut A. S.

S. Tambunan pemilu adalah sarana atas pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pada

dasarnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat

dan merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya

yang terpilih untuk menjalankan roda pemerintahan.2

Indonesia sebagai salah satu negara yang demokratis, artinya pemilu

merupakan hajatan yang harus dilaksanakan oleh Indonesia, masyarakat

mempergunakan haknya untuk memilih wakil rakyat maupun presiden dan wakil

presiden. Diselenggarakannya pemilihan umum akan berguna bagi aspirasi rakyat

dan menjalankan roda pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Begitu pula halnya pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung yang

dilakukan di masing-masing daerah di Indonesia baik di tingkat Propinsi maupun

1
P. Antonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 177.
2
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 331.

1
Kabupaten/Kota. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu

agenda penting penyelenggaraan pemerintahan sejak diselenggarakan pertama kali

tahun 2005 setelah adanya sistem otonomi daerah di Indonesia.3

Pada tahun 2017, Indonesia mengadakan pilkada serentak kedua setelah

pilkada serentak pertama tahun 2015 dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU)

menetapkan pelaksanaan Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 yang diikuti

sebanyak 101 daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Pilkada tersebut

terdiri atas 7 Provinsi, 76 Kabupaten, dan 18 Kota. Ketujuh Provinsi tersebut yaitu

Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan

Papua Barat.4Dari daerah-daerah tersebut, yang menarik adalah Pilkada di DKI

Jakarta dengan menyorot Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berpasangan

dengan Djarot Syaiful Hidayat sebagai pasangan petahana, namun kalah dalam

kontestasi.

Pilkada DKI Jakarta menghadirkan atmosfer yang berbeda dibanding

pemilihan kepala daerah di daerah-daerah lainnya. Nyatanya Pilkada DKI Jakarta

mampu menarik perhatian dalam lingkup nasional, bahkan internasional karena

tidak sedikit pula media asing yang ikut memberitakan Pilkada DKI Jakarta.

Dengan majunya pasangan petahana Ahok-Djarot, disusul kemudian pasangan

Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-

Sylviana Murni menjadi kontestasi yang menarik.

3
Thahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: PT Mizan Republika, 2015),
hlm.76.
4
http://pilkada.liputan6.com/read/2436435/ini-101-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-
2017 diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 pukul 16.01 WIB

2
Beberapa kelompok masyarakat di Jakarta menginginkan calon yang sudah

terlihat kinerjanya dan sudah dikenal lama oleh masyarakat jakarta. Namun,

sebagian lain menginginkan suasana baru dan mendambakan sosok gubernur

dengan harapan lebih santun dan pro terhadap rakyat kecil. Dinamika yang tercipta

diikuti dengan keterlibatan beragam media membuat situasi dalam Pilkada menjadi

semakin menarik. Hal ini dikarenakan calon yang akan terpilih selanjutnya menjadi

penentu nasib mereka dan kebijakan yang dikeluarkan akan berpengaruh terhadap

kehidupan masyarakat jakarta.5

Bagi pasangan petahana yakni pasangan Ahok-Djarot, dalam sebuah

kontestasi Pilkada, memiliki peluang yang lebih besar untuk memenangkan

kontestasi tersebut. Figur dan dukungan partai serta kinerja selama memimpin

merupakan hal yang tidak dimiliki oleh pasangan lain yang mencalonkan diri,

sehingga melawan pasangan petahana dianggap lebih sulit.6

Dari peta kekuatan masing-masing pasangan, pasangan Ahok-Djarot

diusung oleh empat parpol, yaitu PDIP (28 kursi DPRD DKI), Nasdem (5 kursi),

Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi). Total kekuatan kursi Ahok-Djarot di DPRD

DKI Jakarta berjumlah 52 kursi.7 Selain diusung empat parpol tersebut, Ahok-

5
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/10/22/offn854-dinamika-
pilkada-dki diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 pukul 16.15 WIB
6
http://perludem.org/2015/12/23/siaran -pers-sepak-terjang-petahana-di-pilkada-serentak-
2015 diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 19.14 WIB
7
http://pilkada.liputan6.com/read/2608896/koalisi-non-ahok-pecah-berapa-kekuatan-
penantang-ahok-djarot diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 19.32

3
Djarot juga didukung oleh Relawan Teman Ahok yang mengklaim telah berhasil

mengumpukan satu juta KTP dukungan untuk Ahok.8

Berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

menjelang pencoblosan putaran pertama dan hasil survei diumumkan 5 hari

sebelum pencoblosan dengan mengukur eletabilitas para calon, pasangan Ahok-

Djarot yang diterpa banyak isu, elektabilitasnya mencapai 30,7 %, di bawah

pasangan Agus-Sylvi dengan 30,9 % dan berada di atas Anies-Sandi dengan 29,9

%.9 Sedangkan elektabilitas Ahok-Djarot berdasarkan survei yang dilakukan pada

tanggal 3-9 Februari 2017 oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),

unggul di atas pasangan lainnya dengan memperoleh angka 39,1 %, disusul

pasangan Anies-Sandi 33,5 %, dan terakhir pasangan Agus-Sylvi dengan 19,9 %.10

Dengan banyaknya dukungan dari berbagai partai dan elektabilitas

pasangan Ahok-Djarot yang tidak begitu mengecewakan meskipun diterpa banyak

isu, pasangan petahana ini berhasil meraih suara terbanyak pada Pilkada putaran

pertama, seperti yang terlihat pada tabel berikut:

8
https://news.detik.com/berita/3305675/peta-kekuatan-ahok-agus-dan-anies diakses pada
tanggal 19 Oktober 2017 pukul 19.55 WIB
9
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/13/14583181/survei.lsi.denny.ja.dukungan
.untuk.ahok-djarot.42.7.persen.anies-sandi.51.4.persen. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017
pukul 21.36 WIB
10
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/02/10/20471111/survei.smrc.elektabilitas.ah
ok-djarot.39.1.anies-sandi.33.5.agus-sylvi.19.9. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 22.06
WIB

4
Tabel I.A.1
Perolehan suara putaran pertama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017
No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni 937.955 (17,05 %)
2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.364.577 (42,99 %)
3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 2.197.333 (39,95 %)
Sumber: kpujakarta.go.id

Sebagai pasangan petahana sekaligus yang diunggulkan, Ahok-Djarot

membuktikan diri dengan memperoleh suara terbanyak di antara pasangan lain.

Walaupun memperoleh suara terbanyak, selisih suara dengan pasangan lain

khususnya pasangan Anies-Sandi terbilang tidak terlalu jauh. Ini mengejutkan jika

dililhat dari peta kekuatan politik anies-sandi yang hanya didukung oleh dua partai,

yaitu Gerindra dan PKS.

Pada Pilkada putaran pertama memang memunculkan peroleh suara

terbanyak dari ketiga pasangan calon yaitu pasangan Ahok-Djarot, meskipun

mendapat suara terbanyak Ahok-Djarot belum bisa dinyatakan menang dalam

pertarungan, karena peroleh suara Ahok-Djarot belum mencapai 50 persen dari

syarat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Berdasarkan aturan Undang-undang

No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia serta PKPU No. 6/2016 tentang Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah

Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat yang menyatakan bahwa Cagub

5
dan Cawagub DKI harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk menjadi

pemenang.11

Menjelang dilakukannya putaran kedua, suasana pilkada semakin panas

dengan berbagai macam model kampanye yang dilakukan, ditambah perang media

antara kedua pasang calon yang akan bertarung di putaran kedua. Banyaknya

pemberitaan media tentang figur calon, khususnya pasangan Ahok-Djarot, dengan

menampilkan isu-isu seperti isu SARA ditambah Ahok ditetapkan sebagai

tersangka kasus penistaan agama atas pernyataannya terkait Surat Al-Maidah ayat

51. Berikut ucapan Ahok yang dianggap telah merendahkan dan menghina Ayat

suci Al-Qur`an.

"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak
bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu.
Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih,
karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa,"12

Hal ini menjadi bumerang tersendiri bagi kubu Ahok-Djarot. Sontak

pernyataan tersebut banyak menimbulkan tanggapan dan sentimen negatif dari

banyak pihak, terutama kalangan umat Muslim di indonesia. Puncak dari isu panas

ini adalah banyaknya demonstrasi-demonstrasi di ibukota yang dilakukan oleh

umat Muslim dari berbagai daerah seperti aksi pada tanggal 4 November atau yang

dikenal dengan aksi 411 dan aksi pada tanggal 2 Desember atau yang dikenal aksi

11
https://kpujakarta.go.id/view_berita/kpu_launching_pilkada_dki_putaran_kedua
diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 12.21 WIB
12
https://news.detik.com/berita/d-3496149/hakim-ahok-merendahkan-surat-al-maidah-51
diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 13.24 WIB

6
212. Demonstrasi ini menuntut agar Ahok di pidanakan karena telah dianggap

menghina umat Islam terutama.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada 12-14 April 2017 oleh lembaga

Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa eletabilitas pasangan Ahok-Djarot

yang banyak diterpa isu ditambah ditetapkannya Ahok sebagai tersangka kalah tipis

dengan berada pada angka 47,4 %, dibanding pasangan Anies-Sandi dengan angka

48,2 %.13 Dengan demikian, artinya ada perubahan perilaku warga jakarta dalam

menilai pasangan Ahok-Djarot meskipun elektabilitas ini mengalami peningkatan.

Pertarungan kedua pasangan ini mengahsilkan kekalahan yang harus diterima oleh

pasangan Ahok-Djarot. Berikut hasil perolehan suara pada pilkada putaran kedua.

Tabel I.A.2
Perolehan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.350.366 (42,04 %)
2 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 3.240.987 (57,96 %)
Sumber: kpujakarta.go.id

Kekalahan Ahok-Djarot dengan selisih suara sebesar 15,92 % menandakan

bahwa pertarungan Pilkada di DKI Jakarta bukan ditentukan oleh partai pendukung,

namun diyakini figur calon menjadi faktor penentu calon Gubernur serta kinerja

seorang Ahok-Djarot sebagai petahana sangat diperhitungkan. Selain itu isu-isu

tentang pasangan ini juga mempengaruhi perilaku memilih warga jakarta.

Kekalahan Ahok juga tidak terlepas dari sosoknya yang dinilai publik memiliki

13
https://news.detik.com/berita/d-3475273/survei-indikator-elektabilitas-anies-sandi-482-
ahok-djarot-474 diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 14.03

7
gaya komunikasi yang tidak ramah dan kurang santun, seperti survei yang

dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia, yang menghasilkan bahwa Ahok

sangat rendah dalam citra ramah dan santun.14

Berdasarkan penjelasan diatas dinamika politik Pilkada Jakarta

menghadirkan atmosfer yang beragam, salah satunya kekalahan Ahok-Djarot yang

notabene sebagai pasangan petahana dan diunggulkan ditambah dengan banyaknya

dukungan dari partai-partai namun kenyataannya justru Ahok-Djarot mengalami

kekalahan dalam kontestasi di Pilkada. Atas dasar inilah penulis ingin meneliti

kasus kekalahan Ahok-Djarat dalam penelitian yang diberi judul: "Analisis

Kekalahan Petahana (Studi Kasus: Faktor Kekalahan Ahok-Djarot Pada Pilkada

DKI Jakarta Tahun 2017).

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena yang ada di Pilkada DKI Jakarta dengan melihat

kekalahan Ahok-Djarot maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Mengapa Ahok-Djarot Kalah Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab kekalahan

Ahok-Djarot pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Tahun 2017. Adapun

manfaat penelitian ini adalah:

14
https://news.okezone.com/read/2016/11/24/338/1550336/survei-indikator-politik-ahok-
dinilai-sosok-yang-kurang-santun diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 pukul 14.30 WIB

8
1. Secara teoritis, memberikan kontribusi terhadap ilmu politik khususnya kajian

tentang politik lokal, sekaligus menjadi tambahan literatur penelitian Program

Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Secara praktis, dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang

membuat Ahok-Djarot kalah dalam pilkada DKI Jakarta serta penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan masukan bagi kandidat petahana pada umumnya

agar menjadi bahan evaluasi terhadap pencalonan kepala daerah.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis menghadirkan beberapa literatur-literatur

yang bisa dijadikan bahan perbandingan ataupun memberikan keragaman

persepktif dalam melakukan penelitian tentang kekalahan Ahok-Djarot ini,

diantaranya:

Pertama, Skripsi Bakti Saputra15 yang menjelaskan bahwa dukungan dari

berbagai kalangan dan punya posisi strategis nyatanya belum mampu membuat

pasangan Tobroni Harun-Komarudin menang dalam pilkada di Lampung dengan

kekalahan presentase yang sangat jauh, hanya mendapat suara sebesar 11,34%

dibanding lawannya yaitu pasangan Herman HN-Yusuf Kohar yang unggul sangat

jauh dengan perolehan suara sebesar 86,66%.

Berdasarkan pendekatan perilaku pemilih, ditemukan beberapa faktor yang

membuat Tobroni Harun-Komarunizar kalah. Tobroni Harun-Komarunizar belum

15
Bakti Saputra, “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan Kepala
Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, Program Sarjana, Universitas Lampung(2016).

9
mampu dianggap sebagai figur yang ditokohkan oleh pemilih di Bandar Lampung

dan ditemukan fakta bahwa informasi mengenai visi misi dan sosok Tobroni Harun

informasinya belum sampai ke masyarakat. Faktor lain yang ditemukan adalah

adanya konflik internal Partai Amanat Nasional sebagai pengusung mempengaruhi

dukungan dan huga kinerja tim sukses kepada pasangan Tobroni Harun-

Komarunizar. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode

kualitatif deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan mendalam.

Perbedaan penelitian yang penulis buat dengan penelitian tersebut

diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula

yaitu Tobroni Harun dan Komarunizar dan kekalahannya di Kota Bandar

Lampung. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya

yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

Kedua, Skripsi Reza Muhammad16 yang menggambarkan bahwa figur dan

kinerja calon dari petahana sangat mempengaruhi perilaku seorang pemilih. Hal ini

terlihat dari kekalahan Arifin Junaidi dalam pilkada di Luwu Utara yang

dikalahkan oleh mantan wakilnya di pemerintahan sebelumnya. Kekalahan Arifin

Junaidi juga tidak terlepas dari sikap kepemimpinannya yang cenderung otoriter

dan berorientasi politik dinasti. Ditambah juga kepercayaan masyarakat Luwu

Utara terhadap mantan wakilnya yang dinilai lebih baik darinya. Penelitian tersebut

dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.

16
Reza Muhammad, “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu Utara”,
Program Sarjana, Universitas Hasanuddin Makassar(2017).

10
Perbedaan yang ditemukan dari penelitian yang penulis buat dengan

penelitian tersebut diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian

yang berbeda pula yaitu sosok Arifin Junaidi dan kekalahannya di Kabupaten

Luwu Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian

sebelumnya yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

Ketiga, Skripsi Monicha Angraini17 yang menggambarkan kekalahan

petahana dalam pemilukada di Kabupaten Lampung Utara. Berdasarkan penelitian

tersebut, dengan pendekatan perilaku pemilih rasional, pemilih menjatuhkan suara

penghukuman (punishment vote) sebagai bentuk kekecewaan terhadap pasangan

Zainal Abidin dan Anshori Djausal atas kinerjanya sebelumnya. Pemilih memilih

pasangan calon lain dengan harapan adanya perubahan dari seorang pemimpin

baru. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemilih semakin rasional. Penelitian

tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.

Perbedaan penelitian yang penulis buat dengan penelitian tersebut

diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula

yaitu Zainal Abidin dan Anshori Djausal dan kekalahannya di Kabupaten Lampung

Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya

yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.

17
Monicha Angraini, “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin (Incumbent)
Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”,
Program Sarjana, Universitas Lampung Bandar Lampung(2015).

11
Keempat, Skripsi Muhamad Khafidhin18 yang menggambarkan

pemberitaan Media Kompas dalam framing dugaan kasus penistaan agama yang

dilakukan Ahok. Pada penilitian tersebut menunjukkan bahwa Media Kompas

lebih menonjolkan sesuatu yang mendukung Ahok. Penelitian tersebut

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan objek penelitiannya adalah

framing pemberitaan dan subjek penelitian adalah harian kompas.

Walaupun terdapat persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian

sebelumnya yaitu subjek yang sama, namun terdapat pula perbedaan penelitian

yang penulis buat dengan penelitian tersebut yaitu sudut pandang yang berbeda

dimana penelitian sebelumnya membahas tentang framing terhadap Ahok,

sedangkan penelitian penulis membahas kekalahan Ahok pada pilkada DKI

Jakarta. Dari beberapa literatur yang diperoleh tentang tentang Ahok dan Djarot,

penulis belum menemukan studi kasus atau penelitian yang sama dengan penulis.

Dengan demikian penelitian tentang “faktor penyebab kekalahan Ahok-Djarot

dalam pilkada DKI Jakarta” akan menjadi tambahan khazanah keilmuan, sekaligus

menjadi pembeda dengan jurnal, riset, skripsi yang lainnya.

E. Metode Penelitian

a. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif karena data yang digunakan untuk menjelaskan dan

18
Muhamad Khafidhin, “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis
Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, Program Sarjana, Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta(2017).

12
menggambarkan fenomena sosial yang diteliti adalah data-data yang bersifat

kualitatif yang berbentuk kata dan perilaku, kalimat dan skema. Creswell

mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan atau penulusuran

untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk

mengetahuinya, peneliti mewancarai peserta penelitian atau partisipan dengan

mengajukan pertanyaan yang umum dan luas.19

Sementara itu, tipe pendekatan kualitatif pada penelitian ini dengan cara

deskriptif. Menurut Nazir penelitian deskriptif merupakan metode dalam

meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem

pemikiran, suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan membuat

deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang

diselidiki.20

b. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

penulis mencakup wawancara dan dokumentasi. Wawancara adalah pertemuan

periset dan responden di mana jawaban responden akan menjadi data mentah.

Secara khusus, wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik

riset.21 Dalam wawancara, pengumpulan datanya diambil dari responden yang

penulis anggap mampu menjawab fenomena kekalahan Ahok-Djarot pada

19
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya),
(Jakarta: GRASINDO, 2010), hal. 7
20
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 63.
21
Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: KENCANA, 2009), hal. 104.

13
Pilkada DKI Jakarta. Sedangkan dokumentasi, menurut Hamidi ialah informasi

yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun dari

perorangan. Sumber datanya baik dari media cetak maupun elektronik, seperti

jurnal, buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan sumber-sumber media

elektronik lainnya.22

c. Sumber dan Jenis Data

Adapun sumber data diperoleh peneliti dari hasil observasi dan

wawancara yang dialakukan oleh peneliti serta dari dokumen-dokumen yang

peneliti peroleh. Selanjutnya, sebelum masuk pada proses analisis, terlebih

dahulu data dikelompokan sesuai jenis dan karakteristiknya. Dalam hal ini,

penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder:

1. Data Primer

Adalah data yang berupa teks hasil wawancara dan diperoleh

melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sampel dalam

penelitiannya. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data

yang riil dalam berbagai bentuk.23 Adapun data primer diambil dari

beberapa kalangan seperti: Tim Sukses Ahok-Djarot (Rian Ernest),

Pengamat Politik (Veri Muhlis) dan beberapa warga Kelurahan Ciracas

sesuai dengan pertimbangan tabel berikut:

22
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan
Laporan penelitian, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 72.
23
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006, hal. 209.

14
Tabel I.E.3
Selisih suara Ahok-Djarot dari putaran pertama sampai putaran kedua di
Kelurahan Ciracas

kecamatan jaktim putaran 1 putaran 2 selisih


cakung 91925 93873 1948
cipayung 54384 52694 -1690
ciracas 66192 63952 -2240
duren sawit 89433 88659 -774
jatinegara 64291 63774 -517
kramat jati 56896 55584 -1312
makasar 46921 46219 -702
matraman 37868 37654 -214
pasar rebo 43848 43685 -163
pulo gadung 67122 66536 -586
jumlah 618880 612630 -6250

Pada tabel diatas menjelaskan suara Ahok-Djarot yang mengalami

penurunan paling drastis di Kecamatan Jakarta Timur adalah Kelurahan

Ciracas dengan penurunan 2240 suara dari putaran pertama ke putaran

kedua. Sebelumnya penulis memilih kecamatan Jakarta Timur dengan pola

yang sama yakni Jakarta Timur mengalami penurunan suara Ahok-Djarot

terbanyak dibanding Kecamatan lain di DKI Jakarta yaitu sebanyak 6787

suara. Penulis mewawancarai empat orang warga Ciracas dengan

berdasarkan perbedaan gender, dua orang laki-laki dan dua orang

perempuan.

2. Data Sekunder

Adalah data-data yang sudah tersedia dan diperoleh dari sumber

data yang sudah ada, diantaranya informasi yang diambil secara langsung

15
dari dokumen, data, statistik yang dalam hal ini adalah hasil penelitian

sebelumnya, serta buku-buku yang menunjang penelitian.24 Data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah data yang benar dan

valid yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait hasil

Pilkada DKI Jakarta 2017 yang didukung dengan buku-buku terkait, jurnal,

artikel dan beberapa sumber pustaka, dokumentasi dan lainnya yang

berkaitan dengan kajian penelitian.

d. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian paling penting dalam penelitian.

Dengan menganalisa data maka penulis akan mendapat jawaban atas fenomena

yang sedang diteliti. Dalam proses analsis data, peneliti menggunakan model

Miles dan Huberman yang terbagi menjadi tiga tahap, yaitu:

1. Reduksi data (data reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya.25 Proses

analisis data dengan menelaah data dari berbagai sumber yang telah di dapat

dari pengamatan seperti wawancara dan dokumen.

2. Penyajian data (data display)

Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah

mendisplaykan data. Pada tahap ini juga dilakukan proses pengelompokan

24
Lisa Horison, Metode Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 125.
25
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,2012),
hlm 277.

16
data berdasarkan dari informan, sehingga akan diketahui informasi yang

sesuai dengan pokok masalah. Penyajian bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, dan hubungan antar kategori. Penggunaan gambar,

bagan dan tabel bisa memperkuat data deskriptif dan mempermudah

pembaca dalam memahami isi penelitian.26

3. Verifikasi data (conclusion drawing)

Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan

berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada

pengumpulan data berikutnya.27 Pada tahap ini dilakukan proses

pengulangan dan peninjauan kembali data yang sudah disajikan dengan

tujuan untuk memantapkan data agar dapat diperoleh benang merah dari

fenomena yang sedang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

Agar skripsi ini menjadi lebih sistematis, dalam penulisan skripsi ini penulis

membagi lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I, merupakan pendahuluan yang berisi tentang penjelasan

permasalahan yang melatar belakangi pembahasan dan perumusan masalah serta

manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II, berupa landasan teori, dimana penulis menjelaskan teori-teori yang

digunakan dalam skripsi ini sehingga mampu menjelaskan faktor-faktor kekalahan

26
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D,hal 71.
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D, hal 28.

17
Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta. Ada dua teori yang diuganakan pada

skripsi ini yaitu teori perilaku politik dan pemilu.

BAB III, penulis memaparkan profil dari pasangan Basuki Tjahaja Purnama

dan Djarot Syaiful Hidayat seperti perjalanan politik kedua pasangan ini sehingga

sampai ikut berkontestasi di pemilukada DKI Jakarta tahun 2017.

BAB IV, merupakan inti dari penelitian penulis dari skrispi ini. Pada bab

ini penulis memaparkan hasil temuan-temuan pokok penelitian yang menjelaskan

tentang fenomena kekalahan Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta dengan

menggunakan teori perilaku politik dan pemilu sebagai pisau analisis dalam

menjelaskannya.

BAB V, merupakan bagian kesimpulan sekaligus penutup dari skripsi ini.

Pada bab ini penulis memaparkan garis besar dari inti penelitian yang penulis teliti

tentang faktor kekalahan Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta tahun 2017.

18
BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai kajian teori yang

digunakan untuk melihat faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta

dengan menggunakan teori perilaku politik sebagai teori utama dalam penelitian

ini. Disamping teori utama, akan dijelaskan juga teori pendukung penelitian ini

yaitu kampanye politik dan pemilihan umum kepala daerah.

A. Kampanye Politik

Hasil pemilu tanpa didahului oleh kampanye akan berefek pada menang dan

kalah, karena kampanye politik sangat menentukan apakah calon pemimpin akan

menang atau justru kalah. Kampanye politik adalah suatu usaha yang terkelola,

terorganisir utnuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali

dalam suatu jabatan resmi. Sedangkan kampanye politik modern menurut Arnold

Steinberg adalah cara yang digunakan warga negara dalam demokrasi untuk

menentukan siapa yang akan memerintah mereka.

Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat. Tugas

itu pada abad 19 pada hakikatnya sama yakni membujuk sejumlah pemberi suara

yang sudah terdaftar untuk mendukung calon. Kampanye yang berorientasi pada

hubungan masyarakat, berusaha merangsang perhatian orang kepada sang calon.28

Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu

28
Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-teori Politik: Dari
Sistem Politik sampai Korupsi, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2013), hal. 186.

19
terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku

(behavioral).

Terdapat jenis kampanye menurut Charles U. Larson yang dibagi dalam tiga

kategori:29

1. Product-Oriented Campaign (Commercial Campaign atau Corporate

Campaign), yaitu kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi

dilingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh

keuntungan financial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan

produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang

diharapakan.

2. Candidat-Oriented Campaign atau yang disebut juga kampanye politik, yaitu

kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat

untuk meraih kekuasaan politik. Tujuannya antara lain adalah untuk

memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan

partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan

lewat proses pemilihan umum.

3. Ideologically or Cause Oriented Campaign, yaitu jenis kampanye yang

berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi

perubahan sosial.

Sementara itu, terdapat dua jenis kampanye yang bersifat menyerang

(attacking campaign), yaitu kampanye negatif dan kampanye hitam (black

campaign). Kampanye negatif adalah kampanye yang menyerang pihak lain

29
Toni, Mengenal Teori-teori Politik, hal. 187.

20
melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan.

Sedangkan kampanye negatif (black campaign) adalah kampanye yang berisi buruk

atau jahat dengan cara menjatuhkan lawan politik untuk mendapat keuntungan.30

Salah satu bentuk kampanye negative adalah menggelari orang dengan nama-nama

julukan (name calling) yang jelek, hal ini membuat citra diri aslinya sirna dan

digantikan citra baru negatif yang diberikan orang lain.31

B. Perilaku Politik

Sebagai sebuah pendekatan dalam menganilisis perilaku seseorang dalam

politik, perilaku politik (political behavioural) memperoleh posisi penting dalam

ilmu sosial tahun 1950-an dan 1960-an. Asal-usul filosofisnya adalah dalam tulisan

Auguste Comte di abad ke-19, dan berdasarkan positivisme logis `Vienna Circle`

tahun 1920-an.32 Perilaku politik dapat dianggap berkembang melalui tiga tahap.

Pertama, yang mendahului pecahnya Perang Dunia II, terdapat peningkatan

pemanfaatan metode-metode empiris dan kuantitatif.33

Interaksi antara pemerintah dan masyarakat atau adanya hak untuk memilih

dan menentukan pilihannya adalah bentuk dari perilaku politik (political

behavioral). Adapun perilaku politik sendiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti faktor internal dan faktor eksternal. Berbagai studi memperlihatkan bahwa

kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan Erbe

30
Denis McQuali, Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan Aminuddin
Ram (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 242.
31
Hafied Canggara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi,(Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hal. 366.
32
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik,(Bandung: Nusa
Media, 2010), hal. 54.
33
S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 88.

21
(1964), Hansen (1975), Kim, Petrocik, dan Enokson (1975) menyimpulkan bahwa

semakin tinggi kelas sosial maka semakin cenderung sang individu mendaftarkan

diri sebagai pemilih, memberikan suara, tertarik pada politik, membahas soal-soal

politik, menjadi anggota organisasi yang mempunyai arti penting, secara politis,

dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain.34

Menurut Soedjatmoko perilaku politik adalah sebuah tindakan manusia

dalam menghadapi situasi politik tertentu. Situasi politik yang dimaksud adalah

seperti pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah.35 Sedangkan menurut

Ramlan Surbakti perilaku politik dikemukakannya sebagai sebuah kegiatan yang

berkaitan dengan proses dalam pembuatan dan pelaksanaan atas keputusan politik.

Keputusan politik yang dimaksud Ramlan adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah selaku aktor politik dan bermanfaat bagi masyarakat sebagai

pelaksana kebijakan. Tetapi kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh satu pihak,

hubungan pemerintah dan masyarakat harus saling terjalin demi berjalannya

pemerintahan yang baik dan tahu akan fungsi masing-masing, yakni fungsi-fungsi

pemerintahan dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik dipegang oleh

masyarakat.36

Oleh karena itu, perilaku politik pada dasarnya kegiatan yang dilakukan

pemerintah dan masyarakat yang bertujuan demi kepentingan bersama. Dalam

kegiatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat akan ada yang namanya

34
J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta:
PrenadaMedia Group, 2004), hal. 190.
35
Soedjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan,(Jakarta: LP3ES, 1995), hal 57.
36
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Poliik, (Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010),
hal.167.

22
perilaku pemilih (voter behavior) yang ditujukan kepada perilaku seseorang dalam

proses pemilihan umum. Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah akivitas

pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan

keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu

pemilihan umum. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters

akan memilih/mendukung kandidat tertentu.37

Di indonesia sendiri perilaku politik sekurang-kurangnya terdapat dua

aspek. Pertama, berkaitan dengan berpartisipasi dalam pemilu atau pemilihan

presiden (voter turnout). Kedua, berkaitan dengan pilihan warga terhadap partai

politik atau calon anggota DPR/DPRD, DPD atau calon Presiden.38

Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan

serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak

memilih dalam pemilihan umum? Kalau memutuskan memilih, apakah memilih

partai atau kandidat X ataukah partai Y atau kandidat Y? Lalu kemudian muncul

berbagai pertanyaan, mengapa pemilih memilih kontestan tertentu dan bukan

kontestan lain?39

37
Suryana Aminudin, Jurnal Aspirasi, “Perilaku Politik di Indonesia”, Vol.1/No.2/Februari
2011, FISIP UNWIR Indramayu, hal. 5. Di unduh dari http://ejournal.unwir.ac.id/ pada17 november
2017.
38
Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis Tentang
Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan
Publika, 2011), hal. 20.
39
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 185-186.

23
Oleh karena itu, dalam memahami perilaku politik, ada beberapa

pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan unuk mengkaji perilaku politik atas

faktor kekalahan Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta, diantaranya:

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan Sosiologis (Mazhab Columbia) cenderung menempatkan

kegiatan dalam kaitan dengan konteks sosial.40 Pendekatan sosiologis

menjelaskan perilaku pemilih bahwa masyarakat dalam menentukan

pilihannya saat pemilu Legislatif banyak dipengaruhi oleh faktor prinsip-

prinsip kesamaan karakter sosiologis. Faktor kesamaan sosiologis mazhab

columbia yang digagas oleh Paul F. Lezarsfeild dan Bernard Berelson

menyebutkan ada beberapa hal, yang pertama yaitu berkaitan dengan latar

belakang sosiologis seperti agama, jenis kelamin, umur, dan yang kedua adalah

berdasarkan pengelompokkan sosial seperti ikatan profesi, kelompok

pertemanan, sedangkan yang ketiga adalah berkaitan dengan predisposisi sosial

ekonomi yaitu kecendrungan lingkungan sosial ekonomi pemilih dan keluarga

yang ada disekitarnya dan yang terakhir yaitu dipengaruhi oleh kelas sosial

yaitu tingkat pendidikan, tingkat pekerjaan.41

40
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186.
41
Radityo Rizki Hutomo, Jurnal Politik Muda, “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam
Pemilu Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye, Identifikasi Partai
dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan Partai Politik dalam Pemilu Legislatif
2014)”, Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 53. Di unduh dari
http://journal.unair.ac.id/ pada 18 November 2017.

24
2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan Psikologis (Mazhab Michigan), hadir atas ketidakpuasan

terhadap pendekatan sosiologis, model ini dikenalkan Angus Campbel. Dalam

model psikologis, yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih

pada pemilihan umumberupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada

persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih

terhadap partai. Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat

dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh

faktor-faktor lain.42

Pendekatan psikologis menjelaskan keputusan suara individu

didasarkan dalam suatu sikap, yaitu Partisanship (keberpihakan), pendapat

terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada

keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat

terhadap perilaku memilih.43

Menurut Campbel, psikologi dapat menjelaskan mengapa seseorang

memiliki pilihan tertentu yang dapat dijelaskan oleh tiga fungsi sikap. Fungsi

sikap pertama adalah fungsi kepentingan, dimana tiap pilihan yang dipilih oleh

setiap orang didasarkan untuk pemenuhan kepentingannya secara pribadi.

Fungsi sikap kedua adalah fungsi adaptasi, bahwa dalam setiap pilihan yang ia

ambil adalah bentuk dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

42
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 187.
Haryanto, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, “Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku
43

Memilih Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, Universitas Gajah Mada
Yogyakarta, hal. 293-294. Di unduh dari https://jurnal.ugm.ac.id/ pada 18 November 2017.

25
sekitarnya misalnya seseorang terpaksa untuk memilih calon tertentu karena

berada dibawah tekanan preman atau yang selainnya maka mau tidak mau ia

harus memilih orang tersebut. Fungsi sikap ketiga adalah fungsi

mempertahankan diri dan externalisasi diri dimana setiap pilihan yang akan ia

pilih terlebih dahuli ia proyeksikan kedepan terlebih dahulu apakah

memeberikan ancaman atau tidak terhadap pribadinya.44

3. Pendekatan Pilihan Rasional

Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach) atau nama

lainnya seperti Public Choice dan Collective Choice45 yang dibawa oleh

penganut mazhab Virginia, merupakan sebuah pendekatan perilaku politik yang

hadir sebagai kritik atas dua model pendekatan yang sudah ada sebelumnya.

Pilihan rasional muncul sebagai bagian revolusi behavioural dalam ilmu politik

Amerika tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya berusaha meneliti

bagaimana individu berperilaku dengan menggunakan metode empiris.46

Meskipun pada masa perkembangannya menemui pertentangan termasuk dari

para penganut structural-functionalism karena dianggap tidak memperhatikan

kenyataan bahwa manusia dalam perilaku politiknya sering tidak rasional, tetapi

bagaimanapun juga pendekatan Rational Choice sangat berjasa untuk

mendorong usaha kuantifikasi dalam ilmu politik dan mengembangkan sifat

44
Hutomo,“Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014”,
Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, hal. 53-54.
45
Miriam budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal. 92.
46
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 76.

26
empiris yang dapat dibuktikan kebenarannya. Ia merupakan studi empiris,

ketimbang abstrak dan spekulatif.47

Anthony Down adalah pelopor dalam penerapan teori pilihan rasional

bagi perilaku pemilihan umum dan persaingan partai, dan karyanya merevolusi

studi pemilihan umum. Pendekatan pilihan rasional menunjukkan bahwa

individu yang mempunyai kepentingan pribadi tidak akan selalu ambil bagian

dalam tindakan kolektif untuk memperjuangkan tujuan bersama.48

Latar belakang teoritis untuk menjelaskan pendekatan ini berangkat dari

teori ekonomi. Model ini merupakan upaya untuk menjelaskan perilaku pemilih

yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Pendekatan rasional ini

didasarkan bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih bersifat

rasional, yakni berdasarkan kepentingan pribadi dan diberlakukan sesuai

dengan prinsip memaksimalisasi manfaat. Pilihan politik pemilih yang rasional

senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau kandidat

tertentu dalam politik. Perilaku rasional terhadap kandidat dapat diorientasikan

berdasarkan pada kedudukan informasi, pencapaian pribadi, dan popularitas

seorang kandidat di mata masyarakat.49

Ketiga pendekatan diatas merupakan tolak ukur perilaku politik

seseorang dalam menentukan pilihannya ataupun kenapa seseorang

berpartisipasi dalam pemilu sedangkan orang lain tidak, ketiga model diatas

47
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 94-95.
48
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 77.
49
Hariyanto, “Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal Di
Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, hal. 294.

27
selalu hadir untuk menjelaskan perilaku seseorang dalam menentukan

pilihannya.

C. Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Matori Abdul Djalil, pemilihan umum adalah memberikan

kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of leader and

power) secara konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang legitimatif.

Pemilihan umum adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat (sovereignty)

secara mendasar di negara demokrasi dan pemilihan umum juga dimaksudkan

sebagai wahana formal untuk membentuk tatanan negara dan masyarakat (state and

social formation) menuju tatanan yang lebih baik.

Pentingnya dilaksanakan pemilihan umum pada dasarnya adalah untuk

melaksanakan kedaulatan rakyat, memilih wakil-wakil rakyat, meyakinkan atau

setidaknya memperbaharui kesepakatan pihak warga negara, mempengaruhi

perilaku warga negara, dan mendidik penguasa untuk semakin mengandalkan

kesepakatan (consent).50

Sementara itu pilkada, sebagai instrumen atas terselenggaranya demokrasi

di daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945. Dalam sejarahnya,

pelaksanaan pilkada di Indonesia telah mengalami pergeseran sebelum dan sesudah

reformasi. Di masa Orde Baru, calon-calon kepala daerah, tingkat satu dan dua,

dipilih oleh anggota DPR kemudian diajukan untuk mendapatkan restu dari

50
Marulak Pardede, Jurnal Rechts Vinding BPHN, “Implikasi Sistem Pemilihan Umum
Indonesia”, Vol. 3/No. 1/April 2014, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 86. Di unduh dari http://rechtsvinding.bphn.go.id/
pada 18 November 2017

28
presiden. Sedangkan di masa reformasi, proses pemilihan yang sentralistik

kemudian bergeser kepada pilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD).51

Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005.

Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan

pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004.

Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di dalam UndangUndang (UU) No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil revisi atas

UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama.52

Pilkada secara langsung sebenarnya dimulai setelah keluarnya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan dapat dikatakan sebagai bagian dari rezim

pemilu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum, Pasal 1 angka 4 yang menentukan bahwa “Pemilihan Umum

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945”.

Namun, setelah adanya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 2014, Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPR. Setelah terjadi

51
Pheni Khalid, dkk, ed., Pilkada Langsung:Demokratisasi Daerah dan Mitos Good
Governance, (Jakarta: PT Mardi Mulyo, 2005), hal. 1.
52
Ridho Imawan Hanafi, Jurnal Penilitan Politik, “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di
Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Vol. 11/No. 2/Desember 2014, FISIP
Universitas Indonesia, hal. 2. Di unduh dari http://ejournal.politik.lipi.go.id pada 20 November
2017.

29
perdebatan politik hingga muncul penolakan publik, maka pemerintah akhirnya

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi

Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka Kepala Daerah dipilih secara

langsung oleh rakyat.53

Lalu lahirlah UU No. 1 Tahun 2015 peraturan yang berasal dari Perppu No

1/2014 yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat.

UU No. 1 Tahun 2015 ini memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal,

(2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5)

pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil

pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak.54

Pemilihan kepala daerah yang dikenal saat ini yaitu pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota

53
Cucu Sutrisno, Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, “Partisipasi Warga Negara
Dalam Pilkada”, Vol. 2/No. 2/Juli 2017, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, hal. 38. Di unduh
dari http://journal.umpo.ac.id pada 20 Desember 2017.
54
Tim Revisi Undang-Undang Pilkada, Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021: Substansi
dan Strategi Perubahan UU No 1/2015, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2015), hal. 1.

30
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta

Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.55 Seperti yang telah

dikemukakan bahwa tiap-tiap provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Provinsi dan

kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah tersendiri. Pemerintahan Daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan

perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Rebuplik Indonesia Tahun 1945.56

55
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota
56
Pasal 1 ayat (22) UU nomor 8 tahun 2015

31
BAB III

BIOGRAFI BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN DJAROT SAIFUL

HIDAYAT

DKI Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia merupakan kota terbesar

di Indonesia. Hal ini menjadikan jakarta juga sebagai pusat perekonomian

Indonesia, maka tak sedikit pula yang berhijrah dari luar berbagai daerah pergi ke

jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, persaingan politik di Ibukota juga turut

mengundang perhatian dari masyarakat dari berbagai daerah dan para tokoh-tokoh

yang ingin maju sebagai gubernur DKI Jakarta, seperti halnya Basuki Tjhaja

purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang sudah pernah memimpin di DKI Jakarta

namun tergiur untuk memimpin kembali DKI Jakarta. Perjalanan politik kedua

tokoh ini juga akan dibahas pada bab ini.

Pada bab ini, diawal peneliti memaparkan tentang biografi kedua pasangan

petahana yang maju pada pilkada DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama dan

Djarot Saiful Hidayat disertai dengan pemamparan tentang perjalanan politik

kedua tokoh ini.

A. Profil Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat

1. Basuki Tjahaja Purnama

Tabel III.A.457
Data Pribadi Basuki Tjahaja Purnama
NamaLengkap Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM

57
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 05 Januari 2018 pukul 20.03 WIB

32
Tempat/TanggalLahir Manggar, 29 Juni 1966
NIK 3172012906660005
Usia 50 Tahun
Pantai Mutiara Blok J No. 39, RT/RW. 006/016,
AlamatTempatTinggal Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta
Utara
Email ahokbtp@gmail.com
JenisKelamin Laki-laki
Status Perkawinan Kawin
Agama Kristen
NPWP 06.520.857.1-305.000
Hobi Olahraga
Mati adalah keuntungan dan hidup untuk wujudkan
Moto Hidup
keadilan social

Tabel III.A.558
Riwayat Pendidikan Basuki Tjahaja Purnama
SD SDN No. 03, Gantung, Belitung Timur 1971-1977
SMP SMP Negeri 1, Gantung, Belitung Timur 1978-1981
SMA SMA Swasta III PSKD, Jakarta 1981-1984
Universitas Trisakti, Teknik Geologi,
S-1 1990
Jakarta
Sekolah Tinggi Prasetiya Mulya, Magister
S-2 1994
Manajamen, Jakarta

Tabel III.A.659
Pengalaman Pekerjaan Basuki Tjahaja Purnama
Center Of Democracy and
Direktur Eksekutif 2007-2009
Transparency (CDT 3.1)
Direktur PT. NurindraEkapersada 1992-2005
Staf Direksi
Bidang Analisa PT. Simaxsindo Primadaya 1994-1995
Biaya & Keuangan
Anggota DPRD
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
Kab. Belitung 2004-2005
(PIB)
Timur

58
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 05 Januari 2018 pukul 20.03 WIB
59
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 05 Januari 2018 pukul 20.03 WIB

33
Bupati Kabupaten Belitung Timur 2005-2006
Anggota DPR RI Partai GolonganKarya (Golkar) 2009-2012
2012-19 Nov
WakilGubernur Provinsi DKI Jakarta
2014
19 Nov 2014-
Gubernur Provinsi DKI Jakarta
2017

Basuki lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966 sebagai

keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka. Beliau tercatat sebagai putra

pertama Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti Ningsih

(Boen Nen Tjauw). Anak kedua yaitu Basuri lahir pada tahun berikutnya,

diikuti oleh kelahiran Fifi, Harry, dan Frans yang meninggal karena kecelakaan

saat remaja. Ketika lahir nama Ahok sesungguhnya hanya Basuki saja dan

bahkan yang tercantum di rapor SMA-nya pun hanya Basuki. Pria yang

menikah dengan Veronica Tan ini lantas dikenal luas dengan nama panggilan

“Ahok”.60

Masa kecil lebih banyak dihabiskan di sekitar Manggar, tepatnya di

Desa Gantung. Sayangnya, komitmen Ahok untuk berbisnis diciderai oleh

sistem pemerintahan Belitung Timur yang korup dan feodal. Tahun 1995,

pabriknya ditutup karena Ahok melawan kesewenang-wenangan pejabat

setempat yang membuatnya sampai berkeinginan untuk hijrah ke Kanada,

namun keinginan itu ditolak oleh Ayahnya. Sang Ayah pernah mengatakan

bahwa suatu hari nanti rakyat akan memilih Ahok untuk memperjuangkan

nasib mereka.

60
Meicky Shoreamanis Panggabean, AHOK, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2016), hal. 3.

34
Bermodalkan keyakinan bahwa orang miskin jangan melawan orang

kaya dan orang kaya jangan melawan pejabat, berlandaskan keinginan untuk

membantu rakyat kecil di kampungnya, dan didorong oleh rasa frustasi

terhadap kesemena-menaan pejabat yang dialaminya sendiri, Ahok

memutuskan untuk masuk ke politik pada tahun 2003. Ahok bergabung dengan

Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr.

Sjahrir. Pada pemilu 2004 Ahok mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Dengan keungan sangat terbatas dan dengan model kampanye yang lain dari

yang lain, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat, Ahok terpilih

menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009.61

Selama di DPRD ia berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak ikut

dalam praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi

dikenal masyarakat karena ia satu-satunya anggota DPRD yang berani secara

langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk mendengar keluhan

mereka sementara anggota DPRD lain lebih sering “mangkir”.62

Ahok dalam mengarungi debut politiknya di tanah air sering kali digoda

dan diperhadapkan pada perilaku-perilaku tidak terpuji, seperti diminta untuk

membayar sejumlah uang untuk sebuah jabatan, memberi jatah proyek kepada

para tim sukses, dan banyak lagi. Tapi semua itu ditolaknya dengan alasan tidak

sesuai dengan kebenaran yang dipegang dan diyakininya. Bagi Ahok apalah

61
Panggabean, AHOK, hal. 4.
62
http://ahok.org/tentang-ahok/siapa-ahok/ diakses pada tanggal 06 Januari 2018 pukul
14.02

35
artinya memperoleh kehormatan, kekuasaan dan kekayaan di dunia ini tapi

kehilangan kemuliaan di depan penciptanya.63

Setelah tujuh bulan menjadi anggota DPRD, muncul banyak dukungan

dari rakyat kepada Ahok untuk menjadi bupati. Maju sebagai calon Bupati

Belitung Timur pada 2005, Ahok secara mengejutkan berhasil mengantongi

suara 37,13 persen dan menjadi Bupati Belitung Timur periode 2005-2010.

Padahal Belitung Timur dikenal sebagai basis Masyumi, yang juga adalah

kampung dari Yusril Ihza Mahendra.

Bermodalkan pengalamannya sebagai pengusaha dan juga anggota

DPRD yang mengerti betul sistem keuangan dan budaya birokrasi yang ada

dalam waktu singkat sebagai bupati, Ahok mampu melaksanakan pelayanan

kesehatan gratis, sekolah gratis sampai tingkat SMA, pengaspalan jalan sampai

ke pelosok-pelosok daerah, dan perbaikan pelayanan publik lainnya.

Prinsipnya sederhana: Jika kepala lurus, bawahannya tidak berani tidak lurus.

Selama menjadi bupati, Ahok dikenal sebagai sosok yang anti sogokan baik di

kalangan lawan politik, pengusaha, maupun rakyat kecil. Ahok memotong

semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen.

Dengan demikian, Ahok memiliki banyak kelebihan anggaran untuk

memperbaiki kesejahteraan rakyat.64

63
Piter Randan Bua, The Ahok Way, (Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014), hal.
31.
64
Panggabean, AHOK, hal. 5.

36
Cerita menarik lainnya sewaktu kampanye pemilu, Ahok harus memilih

melakukan pendidikan politik atau melakukan azas saling membutuhkan

dengan rakyat pemilih. Dengan segala yang telah diberikan, dan jika diteruskan

dengan melakukan “bantuan uang”, tentulah akan menuai banyak suara. Tetapi,

Ahok berkeyakinan, jika menjadi anggota DPRD terpilih dan konstituen yang

memilih disebabkan karena memperoleh sesuatu, pastilah kelak konstituen itu

akan terus meminta atau mereka akan mengatakan bahwa mereka akan

dilupakan pasca pemilu. Bahkan, lebih buruk lagi mereka bias merasa tidak ada

harapan, memilih siapapun sama saja.

Setelah melihat fenomena tersebut, Ahok mengambil satu keputusan

yaitu dalam berpolitik harus berdasarkan prophetical voice, bukan political

voice. Artinya, melakukan fungsi “kenabian” yang menyuarakan kebenaran

dan keadilan, sekalipun dengan resiko ditolak dan dicampakkan. Sedangkan

political voice artinya tidak peduli halal atau haram, yang menang dalam

pemilu, karena hanya ada prinsip menang dan kalah, tidak istilah halal dan

haram.65

Di Belitung, apa yang dilakukan Ahok termasuk langka. Oleh karena

itulah sepak terjang Ahok sampai terdengar ke seluruh Bangka Belitung.

Kemudian, mulailah muncul suara-suara utnuk mendorong Ahok maju sebagai

Gubernur pada 2007. Kesuksesannya di Belitung Timur tercermin dalam

pemilihan Gubernur Babel ketika 63 persen pemilih di Belitung Timur memilih

65
Jani Ginting, dkk, ed,. Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja Purnama,
(Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008), hal. 28.

37
Ahok. Sayang, karena banyaknya manipulasi dalam proses pemungutan dan

penghitungan suara, dia gagal menjadi Gubernur Babel.

Dalam pemilu legislatif 2009 dia maju sebagai caleg dari Golkar, meski

awalnya ditempatkan pada nomor urut keempat dalam daftar caleg, dia berhasil

mendapatkan suara terbanyak dan memperoleh kursi DPR berkat perubahan

sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak. Selama di

DPR, dia duduk di komisi II. Dia dikenal oleh kawan dan lawan sebagai figure

yang apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak. Lewat

kiprahnya di DPR, dia menciptakan standar baru yaitu, anggota-anggota DPR

semestinyalah bersikap bersih, transparan, dan professional (BTP). Dia bisa

dikatakan sebagai pionir dalam pelaporan aktivitas kerja DPR dan semua

laporan bisa diakses melalui website-nya. Sementara itu, staf ahlinya bukan

hanya sekedar bekerja menyediakan materi undang-undang, tetapi juga secara

aktif mengumpulkan informasi dan mengadvokasi kebutuhan masyarakat.

Pada tahun 2006, Ahok dinobatkan oleh Majalah TEMPO sebagai salah

satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Pada tahun 2007 dia donobatkan

sebagai tokoh Anti-Korupsi dari penyelenggara Negara oleh Gerakan Tiga

Pilar Kemitraan yang terdiri dari KADIN, kementerian Penyalahgunaan

Aparatur Negara, dan masyarakat Transparansi Indonesia.

Nama Ahok kian mencuat pada tahun 2012 karena dipilih Joko Widodo

(Jokowi) sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PDIP dan Gerindra.

Setelah melalui dua tahap pemilihan, akhirnya Jokowi-Ahok ditetapkan

38
sebagai pemenang dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI

Jakarta periode 2012-2017 pada 15 Oktober 2012. Namun karena Jokowi

mencalonkan diri menjadi Presiden dan menang, Ahok pun secara otomatis

naik menjadi gubernur.66

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah Gubernur pertama dari

komunitas Tionghoa yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan ibukota.

Sekalipun mendapat tantangan, terutama dari Partai Gerindra dan Front

Pembela Islam (FPI), DPRD DKI Jakarta dalam sidang paripurna pada tanggal

04 November 2015 memutuskan menetapkan Ahok sebagai gubernur.67

Pada saat menjadi Gubernur, gaya kepemimpinan Gubernur DKI

Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikenal tegas68 dan juga dikenal

ceplas-ceplos. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Ahok selama

memimpin DKI Jakarta juga mendapat respon yang positif dan negatif.

Sehingga gaya kepemimpinan Ahok menuai pro dan kontra dikalangan

masyarakat, di mana posisi kontra masyarakat ada pada gaya komunikasinya

yang sering mengeluarkan kata-kata kasar. Terakhir, dengan dilaksanakannya

pilkada serentak tahun 2017, Ahok kembali mencalonkan diri lagi menjadi

66
Panggabean, AHOK, hal. 7.
67
M. Husein Maruapey, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, “Penegakan Hukum dan
Perlindungan Negara (Analisis Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur
DKI Jakarta), Vol. VII/No. 1/Juni 2017, Administrasi Publik S3 Unpad, hal. 22. Di unduh dari
http://jipsi.fisip.unikom.ac.id pada 06 Januari 2018
68
M. Husein Maruapey, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara”, Vol. VII/No.
1/Juni 2017, hal. 26.

39
cagub dengan status sebagai petahana bersama wakilnya di pemerintahan

sebelumnya yaitu Djarot Saiful Hidayat.

2. Djarot Saiful Hidayat

Tabel III.A.769
Data Pribadi Djarot Saiful Hidayat
NamaLengkap Drs. Djarot Saiful Hidayat
Tempat/TanggalLahir Magelang, 06 Juli 1962
NIK 0357203060762002
Usia 54 Tahun
Jl. Mega Kuningan Barat III / Blok E 35 No. 11,
AlamatTempatTinggal RT/RW. 004/005, Kelurahan Kuningan Timur,
Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan
Email wagubdjarot@gmail.com
JenisKelamin Laki-laki
Status Perkawinan Kawin
Agama Islam
NPWP 09.768.563.0-653.000
Hobi Membaca, Olahraga, Berorganisasi
Isi Hidupmu Dengan Mengabdi Kepada Semua,
Moto Hidup
Bangsa dan Negara

Tabel III.A.870
Riwayat Pendidikan Djarot Saiful Hidayat
SD Raden Saleh Surabaya 1971-1977
SMP SMPN Surabaya 1978-1981
SMA SMA TNH-Mojokerto 1981-1984
S-1 Universitas Brawijaya 1986
S-2 Universitas Gajah Mada 1991

69
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 19.18 WIB
70
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 19.18 WIB

40
Tabel III.A.971
Pengalaman Pekerjaan Djarot Saiful Hidayat
Universitas 17 Agutsus 1945
Dosen 1986
Surabaya
Universitas 17 Agutsus 1945
Pembantu Dekan I 1989-1991
Surabaya
Universitas 17 Agutsus 1945
Dekan FIA 1991-1997
Surabaya
Pembantu Rektor Universitas 17 Agutsus 1945
1997-1999
I Surabaya
Ketua Komisi DPRD Provinsi Jawa Timur 1999-2000
Wali Kota Kota Blitar 2000-2010
1 Oktober 2014
Anggota DPR RI DPR RI s/d 12
Desember 2014
17 Desember
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta
2014 s/d

Djarot Saiful Hidayat, pria kelahiran Magelang 06 Juli 1962 ini adalah

anak keempat dari keluarga M. Toyib, seorang pendiunan militer dari

detasemen perhubungan. Djarot menikah dengan Happy Farida, dan dikaruniai

tiga orang anak, yaitu Farida Prameswari, Karunia Dwi Haspa Paramasari, dan

Meisa Rizki. Pemilik nama lengkap Djarot Saiful Hidayat ini biasa dipamggil

Djarot, dan nama panggilan tersebut sebetulnya bukan nama aslinya, saat lahir

ia diberi nama Saiful Hidayat. Nama Djarot sendiri berawal dari panggilan

seorang tukang tempe langganan sang ibu, dan kebetulan ketika kecil dirinya

sering diasuh oleh penjual tempe langganan ibunya. Saat diasuh tukang tempe

71
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf diakses
pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 19.18 WIB

41
langganan ibunya, dia suka dipanggil Djarot kemudian nama itu melekat pada

dirinya.

Sejak saat itu, orang tuanya menambahkan nama Djarot sehingga

namanya sekarang menjadi Djarot Saiful Hidayat. Karena ada pengubahan

nama tersebut, Djarot pun harus mengurus akta kelahiran ke kelurahan lantaran

akta sebelumnya tercantum nama Saiful Hidayat. Djarot memberikan alasan

kepada kelurahan karena ketika kecil dia sering sakit-sakitan, maka perlu

ditambah nama Djarot.

Pada awal reformasi tahun 1998, Djarot mencoba karir barunya di dunia

politik. Pada tahun 1999 dia bergabung dengan PDIP utnuk maju sebagai calon

legislatif daerah dan dia terpilih sebagai anggota DPRD Jawa Timur periode

1999-2004. Baru setahun menjadi anggota legislatif, Djarot pilih haluan untuk

berkarir ke dunia eksekutif. Pada tahun 2000, dia bertarung maju untuk menjadi

Walikota Blitar, dan dalam kontestasinya tersebut, Djarot terpilih sebagai

walikota periode 2000-2005. Pada pilkada berikutnya, Djarot sukses kembali

menjadi Walikota Blitar untuk yang kedua kalinya.

Setelah menjabat sebagai Walikota Blitar selama dua periode, Djarot

kembali aktif di PDIP tingkat provinsi Jawa Timur hingga kemudian

mencalonkan diri sebagai caleg DPR pusat, di mana dia terpilih untuk periode

2014-2019. Lagi-lagi, belum lama menjalankan tugas dewan, dia diajukan PDIP

pusat untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kosong. Dia

menggantikan posisi Ahok yang naik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi

42
yang terpilih menjadi Presiden. Ia pun resmi mendampingi Ahok untuk periode

2014-2017. Jelang masa baktinya berakhir, Djarot kembali diminta PDIP

berpasangan dengan Ahok untuk bertarung di pilkada DKI Jakarta 2017.72

B. Partai Pengusung dan Tim Pemenangan Ahok-Djarot

Pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, pasangan Ahok-Djarot sendiri dalam

proses pencalonannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur diusung oleh

koalisi dari berbagai partai, yaitu koalisi partai PDI Perjuangan, partai Nasdem, dan

partai Hanura.

Dalam proses pemenangannya sebagai calon Gubernur dan wakil Gubernur

DKI Jakarta, terdapat tim pemenangan dalam mengawal pasangan Ahok-Djarot

yang terdiri dari orang-orang yang berada dalam barisan koalisi partai pengusung

Ahok-Djarot. Adapun struktur tim pemenangan Ahok-Djarot sebagai berikut:

Tabel III.B.1073
Struktur Tim Pemenangan
Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat

No Jabatan Nama Pekerjaan


1 Ahmad Basarah Anggota DPR RI
2 Eriko Sotarduga Anggota DPR RI
3 Jefri Darmadi Karyawan Swasta
4 Dewan Pengarah Effendy Choirie (Gus Anggota DPR RI
Choy)
5 Dadang Rusdiana Anggota DPR RI
6 Agun Gunanjar Sudarsa Anggota DPR RI
7 Fayakhun Andriadi Anggota DPR RI
72
https://www.viva.co.id/siapa/read/124-djarot-saiful-hidayat diakses pada tanggal 07
januari 2018 pukul 21.01 WIB
73
https://kpujakarta.go.id/file_data/16112510134725112016%20tim%20kampanye%20
ahok%20djarot%20lengkap.pdf diakses pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 20.03 WIB

43
8 Gatot Sudariyanto Wiraswasta

9 Ketua Prasetyo Edi Marsudi Ketua DPRD


Anggota DPRD Prov.
10 Mohammad Sangaji DKI Jakarta
11 Wakil Ketua Basri Baco Wiraswasta
12 Wibi Andrino Pengacara
Staf Kepala BNP2TKI
13 Yovita Octaviani (non PNS)

14 Wakil Sekjen DPP


Sekretaris TB Ace Hasan Syadzily Partai Golkar
15 Yuke Yurike Anggota DPRD
16 Wakil Ketua DPD
Wakil Sekretaris Abdul Canter Hanura DKI Jakarta
17 Virgie Baker Swasta
18 Andre J.O Sumual Wiraswasta

19 Bendahara Charles Honoris Anggota DPR RI


20 Nadya Pratiwi Purba Swasta
21 Baskara Sukarya Wiraswasta
22 Bendahara PDP Hanura
Wakil Bendahara Anies Hasan DKI Jakarta
23 Joice Triatman Wiraswasta
24 Anggota Fraksi PDI
Manuhara Siahaan Perjuangan DPRD DKI
Jakarta

25 Bidang Sumber
Daya dan Kreatif Aria Bima Anggota DPR RI
26 Bidang Data dan
Informasi Eva Sundari Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
27 Bidang
Perlengkapan dan Mahmudin Muslim Senior Peneliti
Rumah Tangga
28 Bidang Kampanye
dan Sosialisasi Merry Hotma Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
29 Bidang
Penggalangan Arif Wibowo Anggota DPR RI
Massa
30 Bidang Media Martin Manurung Wiraswasta
31 Bidang Saksi Faiz Dwi Hazrian Karyawan Swasta

44
32 Bidang Hukum dan
Advokasi Pantas Nainggolan Pengacara
33 Bidang Khusus Masinton Pasaribu Anggota DPR RI
34 Juru Bicara Ahmad Basarah Anggota DPR RI
35 Bidang Keamanan Audi Tambunan Swasta

36 Bidang Koorda
Jakarta Timur Taufik Azhar Anggota DPRD
37 Bidang Koorda
Jakarta Pusat Farida Listuti Wakil Ketua DPD DKI
Jakarta Partai Hanura
38 Bidang Koorda
Jakarta Barat Darmadi Durianto Anggota DPR RI
39 Bidang Koorda
Jakarta Utara dan Jonny Simanjuntak Anggota DPRD Prov.
Kep. Seribu DKI Jakarta
40
Bidang Koorda Gembong Warsono Anggota DPRD Prov.
Jakarta Selatan DKI Jakarta

Selain daripada tim pemenangan yang ada dalam barisan pencalonan Ahok-

Djarot sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat juga tim relawan yang

mengalawan pencalonannya. Sebut saja salah satunya Teman Ahok yang menarik

banyak perhatian dengan gerakannya mengumpulkan KTP warga Jakarta sebanyak

1 juta KTP sebagai syarat dan upaya pencalonan Ahok melalui jalur independen,

meskipun pada akhirnya Ahok berbelok arah dengan maju melalui jalur partai

politik. Selain Teman Ahok, masih banyak relawan lainnya yang ikut serta aktif

dalam mengawal pencalonan Ahok-Djarot di pilkada DKI Jakarta 2017 di mana

tercatat di KPU berjumlah 95 organ relawan termasuk Teman Ahok.

C. Visi dan Misi Ahok-Djarot

Adapun dalam pencalonannya sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur

DKI Jakarta, kedua pasangan ini mempunyai visi dan misi sebagai berikut:

45
Tabel III.C.1274
Visi dan Misi Ahok-Djarot
Visi
Jakarta sebagai etalase kota Indonesia yang modern, tertata rapi, manusiawi
dan fokus pada pembangunan manusia seutuhnya dengan kepemimpinan yang
bersih, transparan, dan professional
Misi
1. Mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), terbuka, dan melayani warga.
2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga, jaminan kesehatan, jaminan
pendidikan, hunian yang layak, bahan pangan yang terjangkau, transportasi
public yang ekonomis, dan lapangan pekerjaan serta usaha agar seluruh
warga berkesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga
indeks kebahagiaan kota Jakarta menjadi salah satu yang tertinggi diantara
kota-kota di dunia.
3. Menciptakan menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, lahir dan
batin, kompeten, dan berdaya saing global dengan indeks pembangunan
manusia yang setara dengan kota-kota maju di dunia.
4. Menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung kemajuan ekonomi,
keberlangsungan lingkungan, dan kehidupan social budaya warga.
5. Membangun kehidupan kota yang berbasis teknologi dan berinfrastruktur
kelas dunia dengan warga yang berketuhanan, berbudaya, bergotong royong,
berwawasan, toleran, partisipatif, dan inovatif.

74
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/VISI%20MISI%20BASUKI%20-
%20DJAROT.pdf diakses pada tanggal

46
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Fenomena kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017

memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan, apalagi pasangan

Ahok-Djarot yang notabene adalah pasangan petahana yang sudah lama dikenal

oleh masyarakat dan sudah terbukti kinerjanya namun justru kalah dalam

kontestasinya di Pilkada DKI Jakarta. Pada bab ini, penulis akan menganalisis

faktor apa yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

A. Faktor Kekalahan Ahok-Djarot

Situasi politik yang begitu panas di Pilkada DKI Jakarta 2017 menghadirkan

animo masyarakat yang begitu banyak untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam

agenda politik di ibukota. Tingkat partisipasi warga dalam menggunakan hak

pilihnya di kontestasi politik merupakan intisari dari perilaku politik.75 Dari data

yang dihimpun berdasarkan hasil real count KPU DKI Jakarta melalui Sistem

Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU RI, tingkat partisipasi pemilih

mencapai 77.1 persen pada putaran pertama dan diputaran kedua mencapai 78

persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).76

75
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 8.
76
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/20/22240361/tingkat.partisipasi.pemilih.
pada.putaran.kedua.pilkada.dki.78.persen diakses pada tanggal 20 November 2018

47
Tabel IV.A.12
Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Pertama
Jumlah Jumlah Pemilih
No. Kabupaten/Kota TPS L P Total
1 Jakarta Barat 2.934 834.448 817.603 1.652.051
2 Jakarta Pusat 1.237 374.307 372.845 747.152
3 Jakarta Selatan 2.973 796.540 797.160 1.593.700
4 Jakarta Timur 3.690 999.941 1.006.456 2.006.397
5 Jakarta Utara 2.150 547.668 544.206 1.091.874
6 Kepulauan Seribu 39 8.786 8.629 17.415
Total 13.023 7.108.589
Sumber: KPUD DKI Jakarta
Tabel IV.A.13
Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Kedua
Jumlah Jumlah Pemilih
No. Kota TPS L P Total
1 DKI Jakarta 13.034 3.610.079 3.608.201 7.218.280
Sumber: KPUD DKI Jakarta
Kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017

memunculkan beragam faktor yang menyebabkan pasangan petahana ini

mengalami kekalahan. Sebagai pasangan petahana, Ahok-Djarot tentu diunggulkan

layaknya seperti calon kandidat lain dengan status petahana. Bermodalkan kinerja

yang sudah terbukti hasilnya dan sosoknya yang sudah banyak dikenal masyarakat,

Ahok-Djarot nyatanya gagal dalam mempertahankan kekuasaannya di ibukota

meskipun mendapat dukungan dari beberapa partai besar.

Pada prakteknya, pasangan petahana memiliki keistimewaan tersendiri

dibanding kandidat lain karena petahana bisa memanfaatkan posisinya dengan

melakukan kampanye lebih lama bahkan saat masih menjabat dengan membuat

kebijakan-kebijakan yang berdampak pada citra positifnya dihadapan masyarakat

atau berkomunikasi dengan masyarakat langsung saat sosialisasi program kerjanya.

48
Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI, pasangan ini tidak

mampu memanfaatkan posisinya sebagai calon dari petahana. Ahok-Djarot hanya

mampu meraih kemenangan pada putaran pertama saja, diputaran kedua justru

mengalami kekalahan akibat dari beberapa faktor yang menyebabkan citranya yang

semakin buruk menjelang masa pencoblosan. Dalam hal ini, penulis telah

menemukan faktor-faktor yang menyebabkan pasangan petahana mengalami

kekalahan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, diantaranya:

1. Timses Gagal Mengkampanyekan Ahok-Djarot

Dalam sebuah kontestasi politik, menang atau kalahnya seorang

kandidat juga dipengaruhi oleh kemampuan timses dalam mengkampanyekan

kandidatnya. Timses dalam hal ini harus mampu membuat strategi kampanye

yang efektif agar kandidatnya mendapat tempat di hati masyarakat. Kesuksesan

seorang kandidat dapat dilihat dari efektifitas kampanye yang dilakukan timses

seperti yang dikatakan oleh pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman,

“Dalam pemilu, kampanye yang sukses itu kampanye yang mampu

memenangkan kandidatnya. Semahal apapun kampanye kalau kandidatnya

kalah ya timses gagal mengkampanyekan kandidatnya.”77

Kegiatan kampanye merupakan momentum yang harus dijalankan

sebaikmungkin agar dapat menarik suara pemilih sebanyak-banyaknya. Dalam

prosesnya, timses harus punya strategi yang matang sehingga mampu mengajak

warga untuk memilih kandidat yang diusungnya, bukan malah membuat citra

77
Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 14 Agustus 2018

49
kandidatnya menjadi buruk dihadapan pemilihnya. Meskipun Ahok-Djarot

menang di putaran pertama namun pada putaran berikutnya mereka gagal, hal

ini seperti yang sampaikan Rian Ernest selaku timses Ahok-Djarot,

“kemenangan diputaran pertama karena masyarakat mampu menerima pesan

yang kita sampaikan. Pola yang kita gunakan selama kampanye terbukti efektif

meskipun keinginan kita untuk menang satu putaran tidak tercapai.”78 Selain

itu, perolehan suara Ahok-Djarot di putaran pertama tidak sesuai dengan

ekspektasi timses sedari awal, meski unggul atas Anies-Sandi.

Oleh karena itu, penulis bahkan berpandangan timses Ahok bukan

hanya gagal di putaran kedua tetapi juga telah gagal pada putaran pertama

karena hanya unggul tipis dari pesaing terdekatnya yaitu pasangan Anies-Sandi.

Hasil perolehan suara diputaran pertama menunjukkan pasangan Ahok-Djarot

memperoleh suara sebesar 42.99 persen, unggul atas Agus Sylvi yang

memperoleh suara sebesar 17.05 persen dan Anies Sandi dengan perolehan

suara sebesar 39.95 persen. Dengan hasil ini pasangan Ahok-Djarot belum

resmi memenangkan pilkada karena berdasarkan UU No 29 Tahun 2007 pasal

11 bahwa keterpilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta harus

menghasilkan perolehan suara setidaknya lebih dari 50 persen. Jika tidak ada

maka akan dilanjutkan dengan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon

dengan suara terbanyak pertama dan kedua.79

78
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018
79
https://kpujakarta.go.id/viewberita/kpu_provinsi_dki_selesaikan_rekapitulasi_penghitun
gan_suara_hari_ini di akses pada tanggal 21 Oktober 2018

50
Melihat kandidat yang maju adalah petahana, hal ini menjadi tantangan

tersendiri karena bagaimanapun timses harus mampu mempertahankan suara

pendukung Ahok-Djarot bukan justru meremehkan bahwa pendukung Ahok-

Djarot tidak akan pindah ke lain hati, apalagi Ahok sendiri adalah seorang

minoritas yang akan merebut suara mayoritas dan sudah barang tentu Ahok

menjadi pusat perhatian masyarakat khususnya pemilih muslim. Maka timses

semestinya punya persiapan dan strategi khusus karena sudah tahu apa yang

akan dihadapi ketika memasang Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Dalam urusan strategi kampanye, timses Ahok-Djarot memiliki

strategi tersendiri untuk menarik perhatian pemilih. Salah satu strategi yang

digunakan selama kampanye adalah kampanye rakyat. Hal ini juga dijelaskan

oleh Rian Ernest,

“kampanye rakyat yang kami galakkan ini merupakan program


penggalangan dana kampanye yang berbasis partisipasi rakyat. Jadi
kami ingin menunjukkan kepada publik sistem pendanaan kampanye
kita terbuka dan transparan. Selama ini kampanye itu sarat akan politik
uang makanya kami menggunakan metode ini. Penggalangan dana ini
juga bisa dilakukan secara online dengan mengunjungi website kami
www.ahokdjarot.id.”80
Rian Ernest juga menambahkan soal strategi lainnya yang digunakan

selama kampanye berlangsung ia mengatakan, yakni “strategi door to door atau

masuk ke rumah-rumah warga mensosialisaikan program, dan tidak lupa

menyampaikan prestasi-presatsi apa saja yang sudah dicapai oleh pak Ahok-

80
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018

51
Djarot. Selain itu kita juga fokus ke daerah-daerah yang punya problem sosial

yang tinggi, dan ini merupakan inisiatif dari pak Ahok sendiri.”81

Dari keterangan timses menunjukkan bahwa fokus kampanye Ahok-

Djarot yaitu lebih banyak menyampaikan perihal kinerjanya saat memimpin

Jakarta pada pemerintahan sebelumnya sekaligus menyampaikan program

kerjanya di mana hal ini hal ini relevan dengan status Ahok-Djarot sebagai

petahana, namun faktanya hal itu tidaklah cukup mengingat munculnya kasus

penistaan agama yang dilakukan Ahok di kepulauan seribu. Konsekuensinya,

isu ini secara cepat di masyarakat membuat kepercayaan publik semakin

berkurang terutama dikarenakan timses tidak mampu memberikan pembuktian

atau meyakinkan kepada masyarakat secara masif bahwa Ahok tidak bersalah,

padahal isu penistaan agama tersebut semakin panas diputaran kedua. Hal ini

juga diakui oleh Rian Ernest yang mengatakan,

“dalam setiap kegiatan kampanye baik diputaran pertama maupun kedua


kami menghidari kampanye yang berbau SARA, kami fokus soal
kinerja, prestasi dan program kerja. Soal adanya isu SARA, kami
kampanyekan Ahok-Djarot sebagai pasangan yang pro-Islam melalui
beberapa kegiatan seperti tablig akbar dan pengajian.”82
Selain itu, efektifitas kampanye yang dilakukan timses juga tidak

maksimal di media sosial seperti yang diungkapkan oleh Veri Muhlis,

“Jadi apakah kampanye Ahok-Djarot itu efektif menurut saya tidak


efektif karena semuanya jadi jenderal, disosial media itu jadi jenderal

81
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018
82
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018

52
semua mengklaim jadi panglima akhirnya isunya tidak terkomando
karena semua orang ingin terlibat dan banyak sekali orang yang
mengeluarkan dana pribadi hanya untuk memenuhi keterpanggilan
jiwanya hanya karena kesamaannya sebagai minoritas.”83

Kekalahan Ahok-Djarot telah membuktikan bahwa tujuan kampanye

tidak berhasil dicapai karena kandidat politik mengalami kekalahan meskipun

menang diputaran pertama namun pembuktian sesungguhnya ada diputaran

kedua. Timses tidak mampu meyakinkan masyarakat bahwa Ahok tidak

bersalah dan ini dibuktikan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran

Survei Indoneisa (LSI) Denny JA di mana 89% responden mengetahui kasus

penistaan agama oleh Ahok. Dari angka tersebut, 73.20% responden

menyatakan setuju bahwa Ahok melakukan penistaan agama.84

Ketika Ahok sudah sulit diterima oleh masyarakat muslim dan di saat

masyarakat butuh kepercayaan, timses justru melakukan blunder politik di masa

tenang Pilkada yaitu pada 16-18 April 2017 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

DKI Jakarta menemukan paket sembako beserta spanduk relawan Badja yang

ditemukan dibeberapa wilayah seperti Tanah Abang, Ciracas, Cakung Timur,

Klender, Tanjung Priuk, Kalibata dan Kalideres. Di Kepulauan Seribu Bawaslu

juga menemukan paket sembako disertai 23 ekor Sapi yang diketahui milik

DPC PDIP Kepulauan Seribu.85

83
Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018
84
https://metro.sindonews.com/read/1154556/170/73-warga-yakin-ahok-menistakan-
agama-1478838244 diakses pada tanggal 22 Oktober 2018
85
https://news.detik.com/berita/d-3477951/ini-lokasi-penemuan-sembako-hingga-sapi-
diduga-politik-uang diakses pada tanggal 22 Oktober 2018

53
Kasus bagi-bagi sembako yang dilakukan oleh timses Ahok-Djarot

tersebut diduga mempengaruhi pilihan politik warga. Cara kampanye seperti ini

jelas membuat warga semakin kecewa karena dianggap merusak demokrasi dan

juga tidak sesuai dengan apa yang selalu di galakkan oleh pasangan Ahok-

Djarot yaitu bersih dan transparan. Sebagai mana yang diungkapkan salah satu

warga ciracas Hendi Sunardi, “Terus juga ada berita kalo timses Ahok itu bagi-

bagi sembako itu kan gak boleh sebenarnya, menurut saya itu kan politik kotor

ya, gak bagus cara-cara seperti buat dicontoh.”

Dalam hal ini kegagalan timses terlihat jelas, alih-alih meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap pasangan Ahok-Djarot justru malah

meruntuhkan kepercayaan masyarakat dengan munculnya kasus bagi-bagi

sembako di masa tenang Pilkada, ditambah timses juga tidak mampu

melakukan pembuktian dan meyakinan masyarakat bahwa Ahok tidak bersalah.

2. Faktor Turunnya Citra Ahok

Dalam kontestasi politik citra seorang kandidat sangat mempengaruhi

pilihan politik seorang warga karena berkaitan dengan suka atau tidaknya warga

terhadap kandidat yang akan dipilih. Kandidat yang memiliki citra positif dari

pada negatif akan lebih disukai oleh warga. Citra positif dianggap sebagai

bagian terpenting dalam menciptakan preferensi-preferensi calon pemilih

terhadap kandidat.86

86
Pawito, Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, (Yogyakarta &
Bandung: Jalasutra, 2009), hal. 263.

54
Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017,

citra pasangan petahana ini mengalami penurunan yang sangat drastis, selain

sebagai satu-satunya kandidat dari minoritas, Ahok juga dikenal ceplas-ceplos,

ditambah kasus yang menimpa dirinya yaitu kasus penistaan agama. Efeknya

terutama pada umat muslim menyebabkan penurunan elektabilitas pasangan

Ahok-Djarot, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga survei Polmark

Research Center. Lihat tabel berikut:

Tabel IV.A.14
Survei Elektabilitas Pasangan Ahok-Djarot
Elektabilitas Ahok-Djarot

43.0%
40.5% 41.1%
37.8%

31.9

27.1%

20.4%

FEBRUARI 2016 JULI 2016 OKTOBER 2016 JANUARI 2017 FEBRUARI 2017 15 FEBRUARI 2017 MARET 2017

Series 1

Source: Polmark Research Centre87

Tabel IV.A.3 menunjukan naik turunnya elektabilitas Ahok-Djarot,

pada bulan Februari 2016 tingkat elektabilitas pasangan Ahok-Djarot

memperoleh angka 37.80%, namun terhitung dari bulan Juli 2016 sampai bulan

Januari 2017 elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mengalami penurunan yang

sangat drastis (40.50%, 31.50% dan 20.40%). Penurunan tingkat elektabilitas

87
Pertanyaan elektabilitas pada survei Februari dan Juli 2016 ditujukan untuk bakal calon
secara perseorangan, bukan sebagai pasangan. Sementara data survei Oktober 2016, Januari 2017,
Februari 2017 dan Maret 2017 ditujukan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

55
ini tidak terlepas dari pengaruh isu penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok

di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016.

Sedangkan pada bulan Januari hingga Februari 2017 elektabilitas Ahok-

Djarot kembali mengalami penaikan yang disebabkan karena masifnya

sosialisasi tentang prestasi Ahok-Djarot selama menjadi gubernur.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rian Ernest, “selama kampanye kami

sangat fokus pada program kerja dan mensosialisasikan prestasi pak Ahok-

Djarot secara masif.”88 Disisi lain penyebab naiknya elektabilitas Ahok karena

gaya komunikasinya yang berubah tidak sekasar dulu dan permintaan maafnya

atas kasus penistaan agama mendapat simpati dari masyarakat.89

Setelah elektabilitasnya naik, bulan Maret 2017 elektabilitas Ahok-

Djarot kembali turun dengan memeperoleh angka 41.10% yang disebabkan

karena menguatnya isu SARA menjelang putaran kedua.90 Menutur Rian Ernest

penurunan itu disebabkan, “karena isu SARA tadi ya, isunya semakin panas

baik itu di media sosial ataupun beberapa tempat yang memang banyak

bertebaran spanduk-spanduk anti Ahok dan itu memang menyulitkan bagi kami

sebagai timses, isunya semakin sulit untuk kami bendung.”91

88
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018
89
https://pilkada.tempo.co/read/839320/elektabilitas-ahok-merangkak-naik-ini-
penyebabnya diakses pada tanggal 26 Oktober 2018
90
http://m.metrotvnews.com/read/2017/03/15/671921/timses-akui-elektabilitas-ahok-
djarot-turun-karena-isu- diakses pada tanggal 26 Oktober 2018
91
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018

56
Dari data tersebut diketahui bahwa dukungan terhadap pasangan Ahok-

Djarot menunjukkan perolehan polling yang relatif tidak stabil bahkan

memperlihatkan situasi yang sulit menjelang pelaksanaan Pilkada putaran

kedua. Memanasnya isu SARA menjelang putaran kedua berdampak pada

melemahnya kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap Ahok-Djarot dan

berimbas pada bertambahnya dukungan publik kepada kubu lawan. Hal ini juga

berdampak pada berubahnya pilihan warga terhadap Ahok-Djarot seperti yang

diungkapkan oleh warga bernama Rusdi Diantoro, “Saya sempet kemaren itu

milih Ahok dan belum terlalu yakin ahok menistakan agama, tapi nyatanya

Ahok gak bisa buktikan kalo dia gak salah berarti kan Ahok bener dong

menistakan agama. Ya udah akhirnya saya ga jadi milih dia lagi.”

Dalam periode putaran pertama terdapat banyak aksi besar-besaran atau

yang disebut dengan “Aksi Bela Islam” ini digelar menuntut hukuman atas

pelanggaran yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Aksi pertama digelar

pada tanggal 14 Oktober 2016 yang berlangsung di depan balai kota DKI

Jakarta, dikomandoi oleh Front Pembela Islam (FPI) aksi ini menuntut segera

dilakukannya penyelidikan atas kasus penistaan agama oleh Ahok. Sebelum

aksi ini dibubarkan, Habib Rizieq Shihab selaku pimpinan FPI mengecam akan

melakukan aksi lanjutan yang lebih besar jika dalam tempo tiga minggu tidak

ada perkembangan penyelidikan atas kasus yang dilakukan oleh Ahok.92

92
https://www.suara.com/news/2016/10/14/172957/demo-ormas-islam-bubar-sebelum-
pergi-rizieq-keluarkan-ancaman diakses pada tanggal 26 Oktober 2018

57
Gambar IV.A.1
Ribuan Massa Aksi Bela Islam I

Karena dianggap lamban dalam proses penyelidikan kasus penistaan

agama, pada tanggal 4 November 2016 akhirnya digelar kembali aksi lanjutan

yang dihadiri massa dari luar daerah guna menuntut segera di tentukannya

status hukum Ahok. Aksi yang dikenal juga dengan aksi damai 411 ini berpusat

di depan Istana Negara dan disertai kericuhan. Buntut dari aksi ini mendapat

respon dari pemerintah dan Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus

penistaan agama pada tanggal 16 November 2016.

Setelah hadirnya dua aksi bela Islam, mendekati masa pencoblosan

hadir pula aksi lanjutan yang berlangsung pada tanggal 2 Desember dan 11

Februari 2016. Aksi ini berlangsung damai yang disertai dengan zikir dan do`a

bersama. Terhitung diputaran pertama telah terjadi empat aksi belas Islam yang

membuat elektabilitas Ahok-Djarot semakin turun sangat jauh.

Menjelang putaran kedua yang berlangsung pada tanggal 19 April 2017,

situasi politik ibukota semakin memanas. Penyebabnya masih sama yaitu

karena isu penistaan agama yang terus bergejolak sampai digelarnya aksi besar-

58
besaran yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2017 atau disebut juga dengan

Aksi Bela Islam 212 sebagai aksi lanjutan atas beberapa aksi yang terjadi

diputaran pertama. Aksi tersebut berlangsung di depan gedung Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan dihadiri oleh ribuan massa yang terdiri dari

simpatisan Forum Umat Islam (FUI) dan Mahasiswa yang menuntut agar Ahok

dipenjarakan. Bersamaan dengan aksi tersebut, Ahok menjalani sidang ke-11

kasus dugaan penistaan agama di auditorium gedung Kementrian Pertanian,

Jakarta Selatan.93

Mendekati masa pencoblosan diputaran kedua, kembali lagi digelar aksi

lanjutan yang berlangsung pada tanggal 31 Maret 2017. Aksi ini bertujuan

meminta Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan Ahok dari

jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Awalnya aksi ini akan berpusat di

Istana Merdeka namun tidak di izinkan dan hanya boleh melakukan long march

sampai dengan Kawasan patung kuda.94

Selain hadirnya beberapa aksi besar-besaran demi menuntut Ahok

diadili, dampak kasus penistaan agama ternyata sangat dirasakan oleh pasangan

Ahok-Djarot selama kampanye yang berujung pada aksi penolakan yang

dilakukan sekelompok warga untuk mencegah Ahok-Djarot berkampanye. Aksi

93
https://www.merdeka.com/peristiwa/21-februari-fui-gelar-aksi-bela-islam-di-dpr-tuntut-
ahok-dicopot.html dikses pada tanggal 29 Oktober 2018
94
https://www.liputan6.com/news/read/2904995/massa-aksi-31-maret-longmarch-dari-
istiqlal-ke-istana-merdeka dikses pada tanggal 29 Oktober 2018

59
penolakan kampanye ini terjadi di beberapa daerah seperti di Jatipadang,

Cilincing, Rawa Belong, Ciracas dan Pasar Minggu.

Meskipun sudah diatur dalam pasal 187 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang pelarangan bagi setiap orang untuk mengacaukan,

menghalangi, atau menggganggu jalannya kampanye dan akan terancam

hukuman pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 6 juta,

tetapi tak menyurutkan aksi penolakan ini. Pada akhirnya Ahok-Djarot pun

memilih untuk menghindar karena ditakutkan agenda sosialiasi ke warga akan

berjalan tidak kondusif.95 Hal ini yang kemudian menyebabkan tidak efektifnya

sosialisasi program yang dilakukan oleh pasangan Ahok-Djarot kepada warga

akibat aksi ini.

Disisi lain juga terdapat banyak sekali spanduk-spanduk provokatif

yang berbau SARA yang dipasang di masjid-masjid dibeberapa wilayah di DKI

Jakarta seperti di kawasan Setiabudi dan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.

Spanduk yang banyak bertebaran ini salah satunya bertuliskan “masjid ini tidak

mensholatkan jenazah pendukung dan pembela penista agama, mari kita

dukung gubernur muslim”.96

95
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/01/03/09570671/kampanye.ahok.yang.berg
ejolak.di.penghujung.dan.awal.tahun diakses pada tanggal 26 Oktober 2018
96
http://wartakota.tribunnews.com/2017/03/12/marak-penolakan-menyalatkan-jenazah-
pendukung-ahok-ini-sikap-dewan-masjid-indonesia diakses pada tanggal 26 Oktober 2018

60
Gambar IV.A.2
Spanduk Provokatif di Masjid Kawasan Pondok Pinang

Adanya aksi besar-besaran dan spanduk provokatif ini mempengaruhi

citra Ahok di mata masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini merupakan

faktor yang sangat berpengaruh terhadap kekalahan yang dialami oleh pasangan

Ahok-Djarot diputaran kedua seperti yang disampaikan oleh Rian Ernest, ia

mengatakan:97

“putaran kedua sudah kami prediksi isunya akan semakin panas, seperti yang
saya jelaskan sebelumnya. Adanya aksi dan spanduk anti Ahok membuat kami
harus bekerja keras memebendung isu penistaan agama ini baik di media sosial
maupun bertatap muka langsung dengan warga melalui kampanye senyap yang
kami lakukan di putaran kedua dan memang faktor ini sangat mempengaruhi
kekalahan Pak Ahok diputaran kedua.”

Imbas dari kasus penistaan agama membuat warga enggan memilih

Ahok seperti yang diungkapkan oleh seorang warga perempuan bernama Siti

Mahfuzoh seperti yang disampaikannya, “ya kan orang udah terbukti jadi

tersangka ngelakuin penistaan agama kok mau dipilih, enggak lah. Warga

97
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018

61
muslim mana yang ga marah kalo Ayat suci Al-Qur`an di lecehin apalagi sama

orang non-muslim. Makanya mending pilih calon lain aja yang lebih santun.”98

Hal senada juga diungkapkan oleh seorang warga bernama Rusdi

Diantoro yang menentukan pilihannya setelah Ahok menjadi tersangka seperti

yang ia sampaikan, ia mengatakan, “Saya sempet kemaren itu milih Ahok dan

belum terlalu yakin ahok menistakan agama, tapi nyatanya Ahok gak bisa

buktikan kalo dia gak salah berarti kan Ahok bener dong menistakan agama. Ya

udah akhirnya saya ga jadi milih dia lagi.”99

Menariknya, meskipun berubah pilihan, Rusdi punya penilaian lain

terhadap pasangan Ahok-Djarot. Bahkan Rusdi juga setuju dan mengapresiasi

kinerja Ahok selama memimpin Jakarta salah satunya soal penggusuran

wilayah kalijodo, seperti yang disampaikannya,“Sebenarnya Ahok itu kerjanya

bagus ya, saya senang juga waktu yang kalijodo di gusur, itu kan tempat

prostitusi, jadi saya setuju kalo tempat kaya gitu digusur..”100

Dari penuturan para warga DKI Jakarta yang tidak memilih Ahok-

Djarot, hal ini juga didukung dari hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran

Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang digelar pada tanggal 5-11 januari 2017

dalam melihat penyebab warga tidak memilih Ahok-Djarot. Menurut peneliti

LSI Denny JA Ardian Sofa menyatakan hasil survei yang menunjukkan bahwa

98
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Siti Mahfuzoh di Ciracas Jakarta Timur,
05 Agustus 2018
99
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Rusdi Diantoro di Ciracas Jakarta Timur,
05 Agustus 2018
100
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Rusdi Diantoro di Ciracas Jakarta
Timur, 05 Agustus 2018

62
ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap menistakan agama,

merupakan faktor utama penyebab warga tidak memilih Ahok di mana tingkat

ketidaksukaan warga mencapai 47,2 persen.101

Selain karena kasus penistaan agama, pertimbangan lain pemilih dalam

menentukan pilihannya alasan lainnya adalah murni karena faktor latar

belakang agama yang dianut oleh kandidat. Ahok mencalonkan diri kembali

menjadi calon gubernur dengan status minoritas yang artinya tantangannya

harus mampu meraup suara dari kalangan mayoritas yaitu pemilih dari warga

muslim. Pada studi perilaku politik, keinginan warga dalam memilih kandidat

karena faktor agama termasuk dalam pendekatan sosiologis.

Pendekatan sosiologis dapat dilihat melalui beberapa indikator,

diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku dan gender.102 Dalam

fenomena kekalahan Ahok-Djarot masyarakat lebih menyoroti sosok Ahok

ketimbang Djarot. Ahok dinilai selain kepribadian dan kinerjannya juga dinilai

dari latar belakang keagamaannya yang non-muslim, seperti yang disampaikan

oleh salah satu warga Kecamatan Ciracas Hendi Sunardi, “saya kurang suka

pasangan ini ya, apalagi ahok itu kan non-muslim, kalo saya pribadi mending

milih yang seagama aja.”103

101
https://pilkada.jpnn.com/news/ini-penyebab-warga-ogah-pilih-ahok-versi-survei-lsi
diakses pada tanggal 16 November 2018 pukul 20.03 WIB
102
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186.
103
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Hendi Sunardi di Ciracas Jakarta Timur,
05 Agustus 2018

63
Hal senada juga disampaikan oleh perempuan 40 tahun, Nur Jannah,

“saya sih kalo bisa seagama lah kalo buat pemimpin, kalo bukan seagama

jangan deh. Itu aja sih kalo saya.” Yang menarik adalah setelah Nur Jannah

tidak memilih Ahok-Djarot, dia justru menentukan kandidat antara Anis-Sandi

dan Agus-Silvy berdasarkan debat kandidat. Dalam hal ini penulis melihat

bahwa indikator pendekatan sosiologis menjadi sangat kuat di masyarakat

seperti yang disampaikan Nur Jannah, ia mengatakan, “ya setelah tau Ahok

maju lagi dia kan non-muslim ya saya ga akan milih dia. Terus kan ada dua

calon lagi yang seagamalah gitu, jadi saya lihat dua calon yang lain, saya juga

sempat lihat pas debat kandidat kan ada berapa tahap tuh, ya mungkin saya

mulai menentukan pilihannya dari situ.”104

Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa indikator yang ada

pada pendekatan sosiologis khususnya mengenai sentimen agama juga

mempengaruhi perilaku pemilih warga DKI Jakarta dan terlebih sosok Ahok

yang nampaknya menjadi bahan pertimbangan bagi para warga dalam memilih

pasangan ini. Ahok masih menjadi magnet perhatian terbesar warga karena

sosoknya yang nyentrik dan minoritas sedangkan Djarot mendapat mendapat

perhatian sedikit dari warga. Hal ini juga diungkapkan oleh Veri Muhlis yang

mengatakan, “Jadi kenapa elektabilitas pasangan Ahok-Djarot turun ya karena

faktor Ahoklah yang menurunkan elektabilitas pasangan ini dan kenapa

104
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Nur Jannah di Ciracas Jakarta Timur, 05
Agustus 2018

64
petahana ini bisa kalah juga karena Ahok, Ahok lebih banyak masalahnya

sehingga warga lebih banyak melihat sosok Ahok dibanding Djarot”.

Pada tahap ini menunjukkan bahwa pasangan Ahok-Djarot tak mampu

mendapat kepercayaan dari masyarakat terbukti dengan menurunnya kembali

elektabilitas Ahok-Djarot menjelang putaran kedua seperti pada tabel Tabel

IV.A.3 dan disisi lain elektabilitas Anies-Sandi masih berada diatas Ahok-

Djarot. Isu penistaan agama membuat dilema bagi warga muslim yang ingin

mendukung Ahok karena warga menjadi terintimidasi oleh banyaknya spanduk-

spanduk anti Ahok dan adanya mobilisasi massa besar-besaran oleh umat

muslim menuntut Ahok di hukum juga telah mengubah pilihan warga untuk

tidak memilih Ahok.

3. Faktor Gaya Komunikasi Ahok

Sebagai seorang petahana, Ahok dinilai memiliki karakter yang tegas

dan gaya komunikasinya yang kasar bahkan sampai memaki-maki. Hal ini

terlihat dari gaya kepemimpinannya pada saat dirinya masih menjabat sebagai

gubernur. Ketidaksukaan warga dengan gaya kepemimpinannya ini menjadi

salah satu faktor kekalahannya ditambah isu penistaan agama yang memanas

menjelang masa pemilihan hingga mempengaruhi perilaku warga dalam

memilih kandidat. Dalam studi perilaku politik, pertimbangan warga untuk

memilih kandidat atas hal tersebut termasuk pada pendekatan psikologis.

Pendekatan psikologis menekankan perilaku politik warga pada tataran

identifikasi partai, artinya kedekatan pemilih dengan partai dapat

65
mempengaruhi pilihan politik seorang pemilih. Dalam hal ini pemilih melewati

proses sosialisasi yang panjang, seperti adanya pengaruh orang tua ataupun

lingkungan keluarga hingga memiliki ikatan emosional dengan partai. Namun

bagi pemilih yang tidak mempunyai ikatan emosional dengan partai, maka figur

calon menentukkan perilaku politik seorang pemilih.105

Dalam fenomena kekalahan Ahok-Djarot pengamat politik Veri Muhlis

melihat faktor kepribadian atau figur calon sebagai penyebab dari

ketidaksukaan warga pada pasangan calon. Dalam hal ini kepribadian Ahok

dinilai tidak dapat diterima oleh kultur masyarakat, seperti yang dia

sampaikan:106

“kalo ditanya penyebab kekalahan ahok itu banyak sebabnya, tapi dari sudut
pandang perilaku politik di Indonesia ini faktor kepribadian seorang kandidat
itu diperhatikan oleh pemilih. Siapapun orang kalo dia mau dipilih oleh rakyat,
apalagi kulturnya masih kultur tradisional modern tapi nusantara begini, maka
dia harus punya sikap yang baik, dia harus mampu menjaga perkataannya
dengan baik. Kalo kita bandingkan dari sisi para pemimpin bangsa, seperti
soekarno itu punya daya pikat yang luar biasa karena dia selalu tampil di depan
publik dalam keadaan berwibawa, lihat cara dia berpakaian, lihat cara dia
berbicara, nyaris tidak ada celah. Nah tokoh-tokoh yang tidak bisa menjaga
lisan, yang tidak bisa menjaga perilakunya atau kredibilitasnya buruk itu akan
mendapatkan akibatnya yaitu warga menjadi tidak suka. Suka dan tidak suka
itu kan sesuatu yang dinamis, tingkat kesukaannya bisa naik turun makanya di
ukur lewat survei kan tingkat kesukaan, nah kondisi inilah yang terjadi pada
pasangan ahok-djarot dimana tingkat kesukaan warga Jakarta yang relatif naik
turun.”

Pendapat ini juga didukung dari hasil survei yang diselenggarakan oleh

Litbang Kompas pada 7-15 Desember 2017 yang menunjukkan tingkat

kesukaan warga DKI Jakarta terhadap pasangan Ahok-Djarot memiliki

105
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 187.
106
Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018

66
presentase paling rendah dibanding dua pasangan lainnya. Survei membuktikan

kesukaan warga terhadap Ahok mencapai 70,6 persen responden, sedangkan

kesukaan terhadap Djarot mencapai 73,3 persen responden. Kemudian hasil

survei juga memperlihatkan 51,5 persen responden mengaku tidak akan

memilih pasangan Ahok-Djarot disebabkan karena faktor gaya komunikasi

Ahok.107

Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa indikator pendekatan

psikologis nampak menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Ahok-Djarot

pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam pendekatan sosiologis telah dijelaskan

bahwa sentimen agama menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilih

sehingga tidak memilih pasangan Ahok-Djarot.

B. Pembahasan

Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu yang menunjukkan bahwa calon

petahana tidak menjamin kemenangan dalam kontestasi, meski demikian

potensinya masih besar. Sebagai seorang petahana, Ahok-Djarot semestinya

diunggulkan untuk bisa meraih kembali tampuk kekuasaan di ibukota, seperti

halnya petahana-petahana lainnya yang mempunyai modal khusus sehingga

bisa memenangkan pertarungan.

107
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/21/09195611/survei.litbang.kompas.me
ski.popularitas.paling.tinggi.tingkat.kesukaan.terhadap.ahok-djarot.paling.rendah diakses pada
tanggal 10 November 2018

67
Proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini

diwarnai dengan kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Sebagai calon

Gubernur hal ini sangat menyulitkan bagi kubu Ahok dalam mendulang suara

khususnya warga muslim bahkan menghadirkan aksi massa yang menuntut

dirinya di penjara. Kasus ini juga berdampak pada turunnya elektabilitas

pasangan Ahok-Djarot meskipun di putaran pertama Ahok-Djarot menang

tetapi diputaran kedua isu penistaan agama semakin menguat ditambah timses

melakukan blunder politik di masa tenang Pilkada sehingga kepercayaan

masyarakat menurun dan berakibat pada kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada

DKI Jakarta.

Kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta 2017 jelas menjadi

pukulan telak bagi pasangan petahana. Kekalahan itu tidak lain bermula dari

blunder petahana sendiri dimana Ahok sebagai seorang minoritas dengan berani

menyentuh persoalan yang sangat sensitif bagi kultur masyarakat di Indonesia

sehingga mengundang reaksi yang beragam yang berujung pada penurunan

elektabilitas yang drastis. Faktor lain seperti yang telah disinggung diatas justru

karena ketidakberhasilan timses dalam merespon isu-isu yang menerpa

petahana bahkan bukan membalikkan citra menjadi positif justru adanya

pembagian sembako semakin menunjukan ketidakmampuan timses dalam

memenangkan pasangan Ahok-Djarot. Oleh karena itu tanpa menafikan adanya

usaha-usaha yang dilakukan timses Anies-Sandi dengan efektif, penulis justru

mencari sudut pandang berbeda yakni melihat faktor utama kekalahan Ahok-

Djarot justru berasal dari internal timnya bahkan kandidat petahana sendiri.

68
BAB V

PENUTUP

Berdasarkan analisis penilitian pada bab sebelumnya, pada bab ini penulis

akan menguraikan secara singkat hasil penelitian yang penulis peroleh tentang

faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Selain berisi

uraian singkat dari hasil penelitian, pada bab ini penulis juga memberikan saran-

saran berupa masukan yang sifatnya membangun.

A. Kesimpulan

Dari hasil penilitian yang penulis peroleh, terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan pasangan Ahok-Djarot kalah dalam pertarungan di Pilkada DKI

Jakarta tahun 2017, diantaranya sebagai berikut:

1. Timses gagal dalam meyakinkan warga untuk memilih Ahok-Djarot di mana

strategi timses meng counter isu tidak berjalan maksimal, hanya memberikan

informasi tentang kinerja dan prestasi pada pemerintahan sebelumnya tanpa

melakukan pembuktian secara masif. Efektifitas kampanye yang dilakukan

timses di media sosial juga tidak maksimal karena semua mengklaim sebagai

jenderal sehingga isunya tidak terkomando. Disisi lain adanya isu pembagian

sembako menjadi blunder fatal yang dilakukan timses di masa tenang Pilkada

sehingga meruntuhkan kepercayaan masyarakat.

2. Pada pendekatan psikologis dalam melihat perilaku politik warga untuk

memilih kandidat yang dipilihnya berdasarkan isu dan faktor figur kandidat.

Indikator pendekatan psikologis menjadi yang paling kuat dalam

69
mempengaruhi kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Hal

ini disebabkan oleh adanya isu penistaan agama yang mengundang reaksi warga

secara beragam, serta gaya komunikasi Ahok yang kasar membuat warga tidak

menjadi tidak suka.

3. Pada pendekatan sosiologis dalam melihat perilaku politik warga untuk

memilih kandidat yang dipilihnya berdasarkan latar belakang calon. Faktor latar

belakang agama yang dianut oleh Ahok menjadi bahan pertimbangan pemilih

dari suara mayoritas yaitu warga muslim sehingga enggan memilih Ahok.

B. Saran

Adapun penulis memberikan saran-saran yang relevan dengan hasil

penelitian diantaranya sebagai berikut:

1. Sebaiknya dalam mengahadapi kontestasi politik setelah mengetahui calon

yang diusung adalah seorang minoritas, hendaknya dipersiapkan strategi khusus

untuk mengkampanyekan kandidatnya sekaligus strategi dalam meng counter

isu yang bersifat SARA.

2. Sebagai seorang kandidat dari minoritas, baiknya menghindari kampanye yang

berbau SARA. Hal ini juga berlaku bagi kandidat dari kalangan mana saja sebab

persoalan SARA sangat riskan untuk dikampanyekan karena dapat

mengundang ketidaksukaan dari suatu golongan.

3. Dari sudut pandang perilaku politik pemilih di Indonesia, faktor kepribadian

seorang kandidat sangat diperhatikan oleh pemilih. Melihat kultur di Indonesia,

siapapun kandidatnya baiknya ia harus mampu menjaga lisannya dan berprilaku

sopan santun dihadapan masyarakat.

70
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bua, Piter Randan. The Ahok Way, Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama, 2008.

Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Canggara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta:


Rajawali Pers, 2009.

David Marsh dan Gerry Stoker. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, Bandung:
Nusa Media, 2010.

Ginting, Jani. dkk, ed,. Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja Purnama,
Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008.

Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan


Laporan penelitian, Malang: UMM Press, 2004.

Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik, Jakarta: KENCANA, 2009.

J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan,
Jakarta: Prenada Media Group, 2004.

Kumolo, Thahjo. Politik Hukum Pilkada Serentak, Jakarta: PT Mizan Republika,


2015.

McQuali, Denis. Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan


Aminuddin Ram, Jakarta: Erlangga, 1983.

Mujani, Saiful. Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan
Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan Publika, 2011.

Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

71
Panggabean, Meicky Shoreamanis. AHOK, Jakarta: PT Mizan Publika, 2016.

Pawito. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta


& Bandung: Jalasutra, 2009.

Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan


Keunggulannya), Jakarta: GRASINDO, 2010.

Ramlan Subakti. Memahami Ilmu Poliik, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010.

Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu,


2006.

Sitepu, P. Antonius. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Soedjatmoko. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1995.

Sugiyono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif , kualitatif dan R&D, Bandung:


Alfabeta, 2012.

Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah. Mengenal Teori-teori Politik: Dari
Sistem Politik sampai Korupsi, Bandung: Nuansa Cendikia, 2013.

Triwulan, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen


UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

PENELITIAN

Angraini, Monicha. “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin


(Incumbent) Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2015.
Khafidhin, Muhamad. “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis
Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, Program Sarjana,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017.

72
Muhammad, Reza. “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu
Utara”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanuddin Makassar, 2017.
Saputra, Bakti. “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan Kepala
Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016.
JURNAL
Aminudin, Suryana, “Perilaku Politik di Indonesia”, Jurnal Aspirasi, Vol.1/No.2.
(Februari 2011).

Hanafi, Ridho Imawan. “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di Indonesia:


Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Jurnal Penilitan Politik, Vol.
11/No. 2. (Desember 2014).
Hutomo, Radityo Rizki. “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu
Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye,
Identifikasi Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan
Partai Politik dalam Pemilu Legislatif 2014)”, Jurnal Politik Muda,
Vol.4/No.1. (Januari-Maret 2015).

Maruapey, M. Husein.“Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara (Analisis


Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur DKI
Jakarta), Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. VII/No. 1. (Juni 2017).

Sutrisno, Cucu. “Partisipasi Warga Negara Dalam Pilkada”, Jurnal Pancasila Dan
Kewarganegaraan, Vol. 2/No. 2. (Juli 2017).
PERUNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan


Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

DOKUMEN ELEKTRONIK

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta. Di unduh dari


http://rechtsvinding.bphn.go.id/

73
INTERNET

Ahok.org. diakses pada tanggal 06 Januari 2018 dari http://ahok.org/tentang-


ahok/siapa-ahok/

Detik.com. diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 dari


https://news.detik.com/berita/d-3496149/hakim-ahok-merendahkan-surat-
al-maidah-51
Detik.com. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 dari
https://news.detik.com/berita/3305675/peta-kekuatan-ahok-agus-dan-anies
Detik.com. diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 dari
https://news.detik.com/berita/d-3475273/survei-indikator-elektabilitas-
anies-sandi-482-ahok-djarot-474

Detik.com. diakses pada tanggal 22 Oktober 2018 dari


https://news.detik.com/berita/d-3477951/ini-lokasi-penemuan-sembako-
hingga-sapi-diduga-politik-uang
Jpnn.com. diakses pada tanggal 03 Desember 2018 dari
https://pilkada.jpnn.com/news/ini-penyebab-warga-ogah-pilih-ahok-versi-
survei-lsi

Kompas.com. diakses pada tanggal 02 Desember 2018 dari


https://megapolitan.kompas.com/read/2017/01/03/09570671/kampanye.ah
ok.yang.bergejolak.di.penghujung.dan.awal.tahun

Kompas.com. diakses pada tanggal 10 Desember 2018 dari


https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/21/09195611/survei.litbang
.kompas.meski.popularitas.paling.tinggi.tingkat.kesukaan.terhadap.ahok-
djarot.paling.rendah

Kompas.com. diakses pada tanggal 20 November 2018 dari


https://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/20/22240361/tingkat.partisi
pasi.pemilih.pada.putaran.kedua.pilkada.dki.78.persen

74
Kpujakarta.com. diakses pada tanggal 20 November 2018 dari
https://kpujakarta.go.id/viewberita/kpu_provinsi_dki_selesaikan_rekapitul
asi_penghitungan_suara_hari_ini

Kpujakarta.go.id diakses pada tanggal 07 Januari 2018 dari


https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-
%20DJAROT.pdf
Kpujakarta.go.id. diakses pada tanggal 20 Oktober dari
https://kpujakarta.go.id/view_berita/kpu_launching_pilkada_dki_putaran_
kedua
Kpujakarta.go.id. diakses pada tanggal 28 Februari 2018 dari
https://kpujakarta.go.id/file_data/16112510134725112016%20tim%20ka
mpanye%20ahok%20djarot%20lengkap.pdf
Kpujakarta.go.id. diakses pada tanggal 28 Juni 2018 dari
https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/VISI%20MISI%20BASUKI%20-
%20DJAROT.pdf
Liputan6.com. diakses pada tanggal 02 Desember 2018 dari
https://www.liputan6.com/news/read/2904995/massa-aksi-31-maret-
longmarch-dari-istiqlal-ke-istana-merdeka

Liputan6.com. diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 dari


http://pilkada.liputan6.com/read/2436435/ini-101-daerah-yang-gelar-
pilkada-serentak-2017

Liputan6.com. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 dari


http://pilkada.liputan6.com/read/2608896/koalisi-non-ahok-pecah-berapa-
kekuatan-penantang-ahok-djarot
Megapolitan.com diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/13/14583181/survei.lsi.denn
y.ja.dukungan.untuk.ahok-djarot.42.7.persen.anies-sandi.51.4.persen.
Megapolitan.com. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/02/10/20471111/survei.smrc.el
ektabilitas.ahok-djarot.39.1.anies-sandi.33.5.agus-sylvi.19.9.

75
Merdeka.com. diakses pada tanggal 29 Oktober 2018 dari
https://www.merdeka.com/peristiwa/21-februari-fui-gelar-aksi-bela-islam-
di-dpr-tuntut-ahok-dicopot.html

Metronews.com. diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 dari


http://m.metrotvnews.com/read/2017/03/15/671921/timses-akui-
elektabilitas-ahok-djarot-turun-karena-isu-
Okezone.com diakses pada tanggal 20 Oktober 2017 dari
https://news.okezone.com/read/2016/11/24/338/1550336/survei-indikator-
politik-ahok-dinilai-sosok-yang-kurang-santun

Perludem.org. diakses pada tanggal 19 Oktober 2017 dari


http://perludem.org/2015/12/23/siaran -pers-sepak-terjang-petahana-di-
pilkada-serentak-2015 i
Republika.com. diakses pada tanggal 18 Oktober 2017 dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/10/22/offn854-
dinamika-pilkada-dki
Sindonews.com. diakses pada tanggal 22 Oktober 2018 dari
https://metro.sindonews.com/read/1154556/170/73-warga-yakin-ahok-
menistakan-agama-1478838244

Suara.com. diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 dari


https://www.suara.com/news/2016/10/14/172957/demo-ormas-islam-
bubar-sebelum-pergi-rizieq-keluarkan-ancaman

Tempo.co. diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 dari


https://pilkada.tempo.co/read/839320/elektabilitas-ahok-merangkak-naik-
ini-penyebabnya
Tribunnews.com. diakses pada tanggal 02 Desember 2018 dari
http://wartakota.tribunnews.com/2017/03/12/marak-penolakan-
menyalatkan-jenazah-pendukung-ahok-ini-sikap-dewan-masjid-indonesia
Viva.co.id. diakses pada tanggal 07 januari 2018 dari
https://www.viva.co.id/siapa/read/124-djarot-saiful-hidayat

76
LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: Wawancara dengan Rian Ernest Selaku Tim Sukses Ahok-

Djarot Bidang Hukum dan Advokasi

1. Kenapa anda mendukung Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta?

kalo saya lebih loyalitasnya kepada pak ahoknya karena saya sudah kenal

pak ahoknya dari tahun 2012 jadi sudah pernah bantu pak ahok di pilkada Jakarta

2012. Jadi sudah kenal lama meskipun dulu tidak deka, baru dekat ketika bekerja

bersama beliau di balaikota dari 2015 sampe 2017. Jadi soal karakter pak ahok saya

pikir sejauh ini tidak perlu diragukan untuk komitmen beliau memberantas korupsi.

Saya pikir sih itu magnet terbesar pak ahok menurut saya. Jadi itu yang buat saya

yakin untuk mendukung pak ahok.

2. biaya yang dikeluarkan timses ahok? Apakah cukup? Digunakan

untuk apa saja? Bukankah alat dan peraga kampanye sudah

ditanggung KPU?

Sekitar 50 Miliar, digunakan untuk biaya pengamanan, untuk menggaji

timses yang sifatnya professional, serta biaya untuk ajudan-ajudan, dan banyak lagi.

3. Apa saja yang anda lakukan dalam proses kampanye ahok-djarot?

Strategi kampanye dan apa kendalanya selama masa kampanye?

Saya membantu pertama sekali pada saat pemenuhan syarat-syarat

dokumen, itu saya yang handle memang. Bicara soal kampanye saya dulu sangat

77
aktif sekali di tahap administrasinya dan akhirnya saya lebih banyak fokus kerja

bersama tim jubir. Soal strategi kampanye, salah satu yang kita gunakan adalah

kampanye rakyat. kampanye rakyat yang kami galakkan ini merupakan program

penggalangan dana kampanye yang berbasis partisipasi rakyat. Jadi kami ingin

menunjukkan kepada publik sistem pendanaan kampanye kita terbuka dan

transparan. Selama ini kampanye itu sarat akan politik uang makanya kami

menggunakan metode ini. Penggalangan dana ini juga bisa dilakukan secara online

dengan mengunjungi website kami www.ahokdjarot.id.

Kami juga mengandalkan strategi door to door, masuk ke rumah-rumah

warga mensosialisaikan program, dan sekaligus menyampaikan prestasi-presatsi

apa saja yang sudah dicapai oleh pak Ahok-Djarot. Selain itu kita juga fokus ke

daerah-daerah yang punya problem sosial yang tinggi, dan ini merupakan inisiatif

dari pak Ahok sendiri. dalam setiap kegiatan kampanye baik diputaran pertama

maupun kedua kami menghidari kampanye yang berbau SARA, kami fokus soal

kinerja, prestasi dan program kerja. Soal adanya isu SARA, kami kampanyekan

Ahok-Djarot sebagai pasangan yang pro-Islam melalui beberapa kegiatan seperti

tablig akbar dan pengajian. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk fokus

mensosialisasikan program kerja dan prestasi pak Ahok-Djarot secara masif.

4. Sebagai timses, bagaimana anda melihat dinamika politik warga

pemilih pada pilkada DKI Jakarta 2017?

Secara politik saya sebagai timses dan politikus muda, dalam perspektif

saya sentimen agamanya begitu kencang. Maksudnya banyak orang yang tidak mau

membahas yang lain, faktanya lebih banyak membahas persoalan agama.

78
kemenangan diputaran pertama karena masyarakat mampu menerima pesan yang

kita sampaikan. Pola yang kita gunakan selama kampanye terbukti efektif meskipun

keinginan kita untuk menang satu putaran tidak tercapai.

Turunnya elektabilitas pak Ahok menjelang putaran kedua memang karena

isu SARA tadi ya, isunya semakin panas baik itu di media sosial ataupun beberapa

tempat yang memang banyak bertebaran spanduk-spanduk anti Ahok dan itu

memang menyulitkan bagi kami sebagai timses, isunya semakin sulit untuk kami

bendung. Putaran kedua sudah kami prediksi isunya akan semakin panas, seperti

yang saya jelaskan sebelumnya. Adanya aksi besar-besaran dan spanduk anti Ahok

membuat kami harus bekerja keras memebendung isu penistaan agama ini baik di

media sosial maupun bertatap muka langsung dengan warga melalui kampanye

senyap yang kami lakukan di putaran kedua. Jadi memang isu SARA ini menjadi

faktor terbesar pak Ahok-Djarot kalah ya. Menurut saya ini faktor utamanya karena

itu terus yang diserang kepada kami. Tentu di luar faktor agama ada faktor lainnya

yang di share ke publik bahwa pak ahok bermasalah, banyak berita-berita tidak baik

yang di sebar baik dari warganya maupun lawan politiknya.

5. Apa kelemahan yang anda lihat dan rasakan dari pasangan ahok-

djarot pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan apa harapan anda ke

depan?

Secara pasangan kelemahan nya adalah publik terlalu fokus kepada sosok

ahok sehingga sosok djarot tidak terlalu terekspos. Sosok djraot memang sedikit

terangkat apalagi menjelang hari H, tapi selama kampanye sosok ahoklah yang

lebih banyak dilihat.

79
6. berita ahok bagi2 sembako, bagaimana tanggapan anda? anda pribadi

apakah warga dki mayoritas termasuk pemilih rasional, psikologis

atau sosiologis? Kenapa?

Menurut saya ini jelas black campaign ya. Pak ahok itu paling tidak suka

dengan cara-cara tidak sehat seperti ini, pak ahok bisa saja melakukan penyogokan

atau semacamnya, tapi pak ahok lebih memilih cara-cara yang sehat saja.

LAMPIRAN 2: Wawancara dengan warga bernama Siti Mahfuzoh

1. Sejauh mana anda mengenal Ahok-Djarot?

Mayoritas orang Jakarta pasti kenal Ahok ya. Tahunya kan waktu dia nyalon

di Jakarta bareng Jokowi, dia kan dulu sempet mimpin di bangka Belitung juga.

Kalo Djarot gak terlalu kenal banget sebatas tahunya mulai dari dia jadi wagub aja.

Dibanding Ahok, Djarot lebih santun orangnya. Kalo Ahok kan ceplas-ceplos aja

kalo ngomong.

2. Pada pilkada lalu, kenapa anda tidak memilih ahok-djarot?

Ya gimana orang udah terbukti jadi tersangka ngelakuin penistaan agama kok

mau dipilih lagi, enggak lah. Orang islam mana yang ga marah kalo Ayat suci Al-Qur`an

di lecehin apalagi sama orang non-muslim. Makanya mending pilih calon lain aja yang

lebih santun dan seagama sama saya.

3. Kapan anda menentukan pilihan pasangan Cagub-Cawagub?

Ya pas Ahok resmi jadi tersangka, dari situ saya ga akan milih dia, paling milih

kandidatnya lewat debat yak an dari situ bisa kita liat mana yang bagus dan gaknya

80
4. Bagaimana ibu/bapak menanggapi isu-isu yang menerpa ahok? Seperti

kasus penistaan agama, Apakah sepakat atau tidak? Kenapa?

Sebagai orang muslim saya sepakat Ahok menistakan agama, menurut saya gak

boleh lah dia bawa-bawa ayat suci Al-Qur`an dengan cara seperti itu kan melecehkan

orang Islam kalo begitu. Ahok sebenarnya kan udah minta maaf juga ya, saya kasihan

juga sih sebenarnya sebagai orang ya saya maafkan

5. Apakah faktor umur, pekerjaan, pendidikan, agama, suku/etnis, gender

mempengaruhi pilihan anda?

Sebenarnya gak jadi masalah meskipun bukan seagama, buka se suku kalo saya

pribadi, yang penting dia mampu memimpin dan menyejahterakan rakyatnya, itu aja.

Kalo Pendidikan itu harus karena itu modal buat jadi pemimpin.

6. Bagaimana kepemimpinan pak Ahok selama menjadi Gubernur?

Kalo kinerjanya saya akui sebenarnya bagus ya, disiplin juga orangnya

contohnya Kawasan Tanah Abang yang dulunya kurang tertib kondisinya lebih tertib

waktu zaman Ahok.

LAMPIRAN 3: Wawancara dengan warga bernama Rusdi Diantoro

1. Sejauh mana anda mengenal Ahok-Djarot?

Ya orang Jakarta pasti udah pada kenal Ahok-Djarot. Kalo saya memang

kenalnya dari waktu bareng sama Jokowi dulu. Kalo Djarot juga waktu jadi wakil

gubernur. Djarot jauh lah dari Ahok, maksudnya ga terlalu tegas, tapi ga ceplas-

ceplos kaya Ahok.

81
2. Pada pilkada lalu, kenapa anda tidak memilih ahok-djarot?

Saya sempet kemaren itu milih Ahok dan belum terlalu yakin ahok

menistakan agama, tapi nyatanya Ahok gak bisa buktikan kalo dia gak salah berarti

kan Ahok bener dong menistakan agama. Ya udah akhirnya saya ga jadi milih dia

lagi.

3. Kapan anda menentukan pilihan pasangan Cagub-Cawagub?

Setelah Ahok benar-benar mau dipenjara itu kan berarti Ahok beneran salah

akhirnya saya merubah pilihan saya ke dua calon yang lain. Saya lumayan lama nentuin

calon yang mau di pilih karena orangnya belum terlalu kenal, cuman pas diputaran

kedua kan tinggal Ahok sama Anies, nah disitu saya bakalan milih Anies.

4. Bagaimana ibu/bapak menanggapi isu-isu yang menerpa Ahok? Seperti

kasus penistaan agama, Apakah sepakat atau tidak? Kenapa?

Awalnya . Ya itu salah Ahok sendiri kenapa harus bawa-bawa ayat suci Al-

Qur`an waktu kampanye sedangkan dia sendiri kan non-muslim.

5. Apakah faktor umur, pekerjaan, pendidikan, agama, suku/etnis, gender

mempengaruhi pilihan anda?

Saya pribadi ga muluk-muluk buat milih pemimpin, asalkan bisa mimpin

Jakarta, orangnya baik meskipun bukan seagama gak jadi masalah buat saya. Mau dari

suku mana aja juga gak masalah. Kalo Pendidikan itu harus lah karena seorang

pemimpin kan harus berpendidikan.

82
6. Bagaimana kepemimpinan pak Ahok selama menjadi Gubernur?

` Sebenarnya Ahok itu bagus kinerjanya, zaman Ahok masalah banjir dia cepet

penangananya. Terus dia orangnya disiplin, ya contohnya aja waktu zaman dia menjabat

jarang ada yang telat itu orang-orang kaya di kelurahan, PNS-PNS juga. Kan dia suka

nindak langsung kalo ada yg bermasalah. Saya senang juga waktu yang kalijodo di

gusur, itu kan tempat prostitusi, jadi saya setuju kalo tempat kaya gitu digusur.

LAMPIRAN 3: Wawancara dengan warga bernama Hendi Sunardi

1. Sejauh mana anda mengenal Ahok-Djarot?

Kalo Ahok dari lama taunya saya, ya pas dari dia jadi Wagub itu bareng jokowi.

Kalo Djarot baru tau pas gantiin Ahok jadi Wagub kan ahoknya naik jadi gubernur. Kalo

Djarot saya liat ga sekasar Ahok kalo lagi ngomong. Orangnya lebih kalem gitu.

2. Pada pilkada lalu, kenapa anda tidak memilih ahok-djarot?

saya kurang suka pasangan ini ya, apalagi ahok itu kan non-muslim, kalo saya

pribadi mending milih yang seagama aja.

3. Kapan anda menentukan pilihan pasangan Cagub-Cawagub?

saya waktu liat anies maju saya senang, orangnya kan pintar dan santun. Pas

masa kampanye liat ahok menistakan agama saya makin gak suka, pokoknya jangan

ahok lagi deh.

83
4. Bagaimana ibu/bapak menanggapi isu-isu yang menerpa ahok? Seperti

kasus penistaan agama, Apakah sepakat atau tidak? Kenapa?

Menurut saya ya itu menistakan. saya heran dia kan non-muslim kenapa bawa-

bawa ayat suci Al-Qur`an terus ngomongnya begitu lagi di depan warga, saya kan liat

juga tuh videonya di tv. Gak pantes aja dia bawa-bawa ayat suci Al-Qur`an. Makanya

saya senang pas akhirnya dia jadi tersangka. Terus juga ada berita kalo timses Ahok itu

bagi-bagi sembako kan gak boleh sebenarnya, menurut saya itu kan politik kotor ya, gak

bagus cara-cara seperti buat dicontoh.

5. Apakah faktor umur, pekerjaan, pendidikan, agama, suku/etnis, gender

mempengaruhi pilihan anda?

Kalo diri saya pribadi ya, saya intinya milih calon yang seagama aja, yang lainnya gak

jadi masalah.

6. Bagaimana kepemimpinan pak Ahok selama menjadi Gubernur?

Kalo kinerja waktu memimpin Jakarta sih lumayan di bilang bagus banget sih

ga juga. Ahok itu dia main gusur-gusur aja ga ada kompromi. Dia juga kan ngomongnya

kasar, ga bisa di jaga. Tegas sih iya tapi tetap harus santun juga.

LAMPIRAN 4: Wawancara dengan warga bernama Nur Jannah

1. Sejauh mana anda mengenal Ahok-Djarot?

Kalo Ahok taunya udah lama lah yapaling dari dia jadi wakilnya Jokowi

dulu. Setau saya dulu Ahok kalo gak salah pernah di Bangka Belitung kan jadi

84
bupati. Kalo djarot kan taunya baru-baruaja waktu gantiin Ahok jadi Wagub. Saya

kurang tau Djarot sebelumnya dimana.

2. Pada pilkada lalu, kenapa anda tidak memilih Ahok-Djarot?

Saya sih kalo bisa seagama kalo buat pemimpin, kalo bukan seagama jangan

deh. Itu aja sih kalo saya. Ahok itu kan non-muslim meskipun kerjanya bisa dibilang

bagus tapi karena beda agama menurut saya lebih baik pilih yang seagama aja.

3. Kapan anda menentukan pilihan pasangan Cagub-Cawagub?

Ya setelah tau Ahok maju lagi dia kan non-muslim yasaya udah ga akan milih

dia. Terus kan ada dua calon lagi yang seagama lah begitu, jadi saya fokus ke dua calon

itu, terus saya liat pas debat kandidat kan ada beberapa tahap tuh, ya mungkin saya mulai

menentukan pilihannya dari situ.

4. Bagaimana ibu/bapak menanggapi isu-isu yang menerpa ahok? Seperti

kasus penistaan agama, Apakah sepakat atau tidak? Kenapa?

Menurut saya ya menistakan itu. Jujur saya semakin ga suka denganAhok yang

udah jelas non-muslim terus dia pake ngomongin ayat suci Al-Qur'an lagi. Itu kan pas

kampanye kan,kalo ga salah dia bilang jangan mau di bohongi sama surat Al-Maidah,

di ngomong begitu kan ngundang kemarahan orang Islam kalo gitu. Pas ahok jadi

tersangka saya setuju.

85
5. Apakah faktor umur, pekerjaan, pendidikan, agama, suku/etnis, gender

mempengaruhi pilihan anda?

Kalo itu pasti ya karena agama sangat penting menurut saya. Pendidikan juga

menurut saya juga penting, ya pemimpin itu kan harus pinter lah orangnya, kalo yang

lain-lainya gak jadi masalah.

6. Bagaimana kepemimpinan pak Ahok selama menjadi Gubernur?

Kalo yang saya lihat Ahok kerjanya cukup bagus ya, contohnya aja

pelayanan di kelurahan, gurus-ngurus di kelurahan juga ga ribet jaman pak ahok

lebih gampang dan gak ada pumungtan biaya.

LAMPIRAN 3: Wawancara dengan pengamat politik Veri Muhlis

Ariefuzzaman

1. Berdasarkan keterangan timses faktor terbesar kekalahan Ahok

adalah karena isu sara dan dari hasil terjun ke lapangan yaitu

wawancara dengan warga, warga yang tidak memilih Ahok rata-rata

menjawab karena Ahok melakukan penistaan agama tetapi cukup

puas dengan kinerjanya, bagaimana pengamatan anda bang terkait

hal ini?

Kalo ditanya penyebab kekalahan ahok itu banyak sebabnya, tapi dari sudut

pandang perilaku politik di Indonesia ini faktor kepribadian seorang kandidat itu

diperhatikan oleh pemilih. Siapapun orang kalo dia mau dipilih oleh rakyat, apalagi

kulturnya masih kultur tradisional modern tapi nusantara begini, maka dia harus

86
punya sikap yang baik, dia harus mampu menjaga perkataannya dengan baik. Kalo

kita bandingkan dari sisi para pemimpin bangsa, seperti soekarno itu punya daya

pikat yang luar biasa karena dia selalu tampil di depan publik dalam keadaan

berwibawa, lihat cara dia berpakaian, lihat cara dia berbicara, nyaris ga ada celah.

Nah tokoh-tokoh yang tidak bisa menjaga lisan, yang tidak bisa menjaga

perilakunya atau kredibilitasnya buruk itu akan mendapatkan akibatnya yaitu warga

menjadi tidak suka. Suka dan tidak suka itu kan sesuatu yang dinamis, tingkat

kesukaannya bisa naik turun makanya di ukur lewat survei kan tingkat kesukaan,

nah kondisi inilah yang terjadi pada pasangan Ahok-Djarot dimana tingkat

kesukaan warga Jakarta yang relatif naik turun. Mengapa tidak sinkron antara

kinerja dengan kepribadian karena budaya kita masih tradisional baru mau masuk

budaya modern sehingga persoalan pribadi orang, ngomongnya, kehidupan

pribadinya, itu bermasalah. Jadi kenapa elektabilitas pasangan Ahok-Djarot turun

ya karena faktor Ahoklah yang menurunkan elektabilitas pasangan ini dan kenapa

petahana ini bisa kalah juga karena Ahok, Ahok lebih banyak masalahnya sehingga

warga lebih banyak melihat sosok Ahok dibanding Djarot.

Konsepindo punya survei, di survei kami tingkat kepuasan terhadap ahok

itu tinggi tapi tidak tinggi sekali, survei pertama sekitar 56 persen dan survei kedua

sekitar 62 persen, itu pun karena faktor publikasi yang besar-besaran sebenarnya

atau karena faktor perubahan tradisi, contohnya zaman Ahok itu ngurus surat-surat

lebih mudah ketimbang sebelumnya, itu kan sederhana sebetulnya, kemudian

zaman Ahok duit yang banyak itu sama ahok dipakai buat membayar para pegawai

yang pasukan orange itu sehingga sungai-sungai di bersihin sebelumnya kan tidak

87
nah jadi tingkat kepuasannya disitu tapi elektabilitasnya tidak sampai 50 persen di

survei kami.

Di survei pertama Ahok eletabilitasnya 38 persen dengan tingkat pemilih

pasti yang tidak akan berubah itu sekitar 22 persen. Untuk seorang petahana, 38

persen itu kecil wajar karena pertama Ahok itu limpahan dari Jokowi, lalu

kepemimpinan yang revolusioner itu banyak memunculkan kontroversi dan saat

yang sama gaya kepemimpinan Ahok itu out off the book tidak seperti pada

umumnya orang, dia ceplas-ceplos, dia kasar, dan Ahok kadang-kadang mencaci

maki yang akhirnya bikin sakit hati orang. Jadi ada kaitanya ya soal perilaku

pemilih Indonesia itu bergantung pada perilaku orang yang akan dipilih juga. Jadi

faktor terbesar kekalahan Ahok itu karena perilaku pribadi Ahok sendiri. Seandainya

Ahok perilakunya tidak kasar seperti itu mungkin isu sara tidak akan muncul. Saya

melihat persoalan sara dari pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu hadir karena

ketakutan, ketidakpercayaan diri atas perbedaan yang Ahok sadari dari awal, bahwa

dia minoritas, itu kemudian dijadikan senjata atau tameng dan itu akhirnya diserang

oleh lawan dan pernyataannya pun melanggar karena terbukti dia di penjara karena

kalo tidak ada pelanggaran ya tidak akan di penjara.

2. Visi misi dan program kerja yang di tawarkan pasangan ahok-djarot

apakah belum mampu menarik banyak perhatian warga Jakarta?

Di Indonesia ini semenarik apapun visi misi dan program kerja sepanjang

sistemnya dan dana masih seperti ini, legislatif dan eksekutif pola hubungannya

masih belum baik pada akhirnya akan larut pada sistem yang sudah mentradisi

seperti APBND. Salah satu program Ahok-Djarot yaitu ruang terbuka hijau itukan

88
bukan dari APBD itu, kerjasama dengan swasta dan ketika masuk kedalam sistem

di Indonesia itu tidak mudah. Kalo mencoba dikaji program kerja Ahok-Djarot itu

bagus dan menarik. Secara kinerja pelayanan birokrasi Ahok-Djarot lebih baik dan

tidak bisa dibantah, Ahok bisa menegur langsung dan itu fakta sehingga masyarakat

diyakinkan. Tapi diindonesia ini orang itu takut dipimpin sama orang galak dan

meledak-ledak seperti Ahok

3. Dari pengamatan Anda, kampanye darat dan udara yang di lakukan

pasangan Ahok-Djarot tidak mampu menangkal isu-isu tentang sara?

Dalam pemilu, kampanye yang sukses itu kampanye yang mampu

memenangkan kandidatnya. Semahal apapun kampanye kalo kandidatnya kalah ya

kampanye gagal. Jadi apakah kampanye Ahok-Djarot itu efektif menurut saya tidak

efektif karena semuanya jadi jenderal, disosial media itu jadi jenderal semua

mengklaim jadi panglima akhirnya isunya tidak terkomando karena semua orang

ingin terlibat dan banyak sekali orang yang mengeluarkan dana pribadi hanya untuk

memenuhi keterpanggilan jiwanya hanya karena kesamaannya sebagai minoritas.

89

Anda mungkin juga menyukai