Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI MINERAL LOGAM DAN NON-

LOGAM

APLIKASI METODE SEISMIK REFLEKSI PADA EKSPLORASI


BATUBARA

OLEH

WILLIAM JHANESTA – 1706046136

PROGRAM STUDI GEOFISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2019
1
DAFTAR ISI

Halaman Depan ................................................................................................................ 1


Daftar Isi .......................................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan ......................................................................................................... 3
Pengertian Batubara ................................................................................................... 3
Genesa Batubara ........................................................................................................ 3
Proses Terbentuknya Batubara .................................................................................. 4
Jenis Batubara ............................................................................................................ 5
BAB II Cadangan Batubara ............................................................................................. 7
Cadangan Batubara di Indonesia ............................................................................... 7
Contoh Batubara di Indonesia .................................................................................... 7
BAB III Metode Seismik Refleksi ................................................................................... 8
Pengertian Survei Seismik ......................................................................................... 8
Dasar Teori ................................................................................................................. 8
Penampang Seismik pada Eksplorasi Batubara ......................................................... 9
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 11

2
BAB I
BATUBARA

1.1. Pengertian Batubara

Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbentuk dari endapan organik, yang
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur
pembentukan batubara adalah terdiri dari senyawa karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara juga merupakan batuan organik yang memiliki sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya
merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent
moisture. Proses pembentukan batubara dimulai dari bahan organik, utamanya yaitu
tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen,
damar, dan lain-lain. Selanjutnya, bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat
pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun
kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya

Potensi batubara di Indonesia yang begitu besar bisa menjadi alternatif energi seiring
terus berkurangnya bahan bakar minyak bumi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
maka diperlukan upaya eksplorasi guna menemukan sumber daya baru yang potensial
untuk dilakukan eksploitasi. Sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan sebesar
61,366 miliar ton dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan sisanya di Jawa, Sulawesi
dan Irian Jaya. Terkhusus di Provinsi Sumatera Selatan, potensi batubara diketahui
memiliki kandungan sebesar 37,80% dari total sumber daya yang terkandung di
Indonesia, sekitar 23,198 miliar ton (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006)

1.2. Genesa Batubara

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena
proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga mengakibatkan
pengkayaan kandungan karbonnya (Anggayana, 2002). Secara garis besar, batubara
terdiri dari zat organik, air dan bahan mineral. Untuk menjadi batubara, ada beberapa
tahapan penting yang harus dilewati oleh batuan dasar pembentuknya. Tahapan penting
tersebut yaitu: tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang
merupakan proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta
tahap berikutnya adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan
fisika pada endapan pembentukan batubara (geochemical coalification) karena pengaruh
suhu, tekanan dan waktu.

Ada enam parameter yang mengendalikan pembentukan batubara, yaitu adanya sumber
vegetasi, posisi muka air tanah, penurununan yang terjadi bersamaan dengan

3
pengendapan, penurunan yang terjadi setelah pengendapan, kendali lingkungan
geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Model
geologi untuk pengendapan batubara menerangkan hubungan antara genesa batubara dan
batuan sekitarnya baik secara vertikal maupun lateral pada suatu cekungan pengendapan
dalam kurun waktu tertentu.

1.3. Proses Terbentuknya Batubara

Batubara berasal dari tumbuhan yang disebabkan karena adanya proses-proses geologi,
kemudian berbentuk endapan batubara yang dikenal sekarang ini. Bahan-bahan
tumbuhan mempunyai komposisi utama yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Selain itu,
terdapat kandungan mineral nitrogen. Substansi utamanya adalah cellulose yang
merupakan bagian dari selaput sel tumbuhan yang mengandung karbohidrat yang tahan
terhadap perubahan kimiawi. Pembusukan dari bahan tumbuhan merupakan proses yang
terjadi tanpa adanya oksigen, kemudian berlangsung di bawah air yang disertai aksi dari
bakteri, sehingga terbentuklah arang kayu. Tidak adanya oksigen menyebabkan hidrogen
lepas dalam bentuk karbondioksida atau karbonmonoksida dan beberapa dari keduanya
berubah menjadi metan. .Vegatasi pada lingkungan tersebut mati kemudian terbentuklah
peat (gambut).

Gambut tersebut mengalami kompresi dan pengendapan di antara lapisan sedimen dan
juga mengalami kenaikan temperatur akibat geothermal gradient. Akibat proses tersebut
maka akan terjadi pengurangan porositas dan pengurangan moisture sehingga terlepasnya
grup OH, COOH, OCH3, dan CO dalam wujud cair dan gas. Karena banyaknya unsur
oksigen dan hidrogen yang terlepas maka unsur karbon relatif bertambah yang
mengakibatkan terjadinya lignit (brown coal). Kemudian dengan adanya kompresi yang
terus menerus serta kenaikan temperatur maka terbentuklah batubara sub-bituminus dan
bituminus dengan tingkat kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan brown coal.
Bumi tidak pernah berhenti, oleh karena itu kompresi terus berlangsung diiringi
bertambahnya temperatur sehingga moisture sangat sedikit serta unsur karbon yang
banyak merubah batubara sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu antrasit yang
merupakan kasta tertinggi pada batubara (Cook, 1982).

Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara (Cook, 1982)

4
1.4. Jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses coalification (proses pembatubaraan) yang dikontrol oleh


tekanan, panas, dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas, yaitu: gambut,
lignit, Sub-Bituminus, bituminus dan antrasit.

a. Gambut
Gambut berpori dan memiliki kadar air diatas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah. Ciri-ciri dari batubara kelas gambut, yaitu:
• Warna coklat.
• Material belum terkompaksi.
• Mempunyai kandungan air yang sangat tinggi.
• Mempunyai kandungan karbon padat yang sangat rendah.
• Mempunyai kandungan karbon terbang sangat tinggi.
• Sangat mudah teroksidasi.
• Nilai panas yang dihasilkan amat rendah

b. Lignit
Lignit atau biasa dikenal dengan brown coal adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya. Lignit merupakan batubara geologis muda
yang memiliki kandungan karbon terendah, 25- 35%. Nilai panas yang dihasilkan
berkisar antara 4.000 hingga 8.300 BTU per pon. Ciri-ciri batubara kelas lignit, yaitu:
• Warna kecoklatan.
• Material terkompaksi namun sangat rapuh.
• Mempunyai kandungan air yang tinggi.
• Mempunyai kandungan karbon padat rendah.
• Mempunyai kandungan karbon terbang tinggi.
• Mudah teroksidasi.
• Nilai panas yang dihasilkan rendah.

c. Sub-Bituminus
Sub-Bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus, dengan
kandungan karbon 35-45% dan menghasilkan nilai panas antara 8.300 hingga 13.000
BTU per pon. Meskipun nilai panasnya rendah, batubara ini umumnya memiliki
kandungan belerang yang lebih rendah daripada jenis lainnya, yang membuatnya
disukai untuk dipakai karena hasil pembakarannya yang lebih bersih. Ciri-ciri
batubara kelas Sub-Bituminus, yaitu:
• Warna hitam.
• Material sudah terkompaksi.
• Mempunyai kandungan air yang sedang.
• Mempunyai kandungan karbon padat sedang.
• Mempunyai kandungan karbon terbang sedang.
• Sifat oksidasi menengah.
• Nilai panas yang dihasilkan sedang.

5
d. Bituminus
Bituminus mengandung 68-86% unsur karbon (C) serta berkadar air 8 - 10% dari
beratnya. Nilai panas yang dihasilkan antara 10.500 - 15.500 BTU per pon. Ciri-ciri
batubara kelas bituminus, yaitu:
• Warna hitam.
• Material sudah terkompaksi.
• Mempunyai kandungan air yang sedang.
• Mempunyai kandungan karbon padat sedang.
• Mempunyai kandungan karbon terbang sedang.
• Sifat oksidasi menengah.
• Nilai panas yang dihasilkan sedang.

e. Antrasit
Antrasit merupakan kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)
metalik, mengandung antara 86-98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari
8%. Nilai panas yang dihasilkan hampir 15.000 BTU per pon. Ciri-ciri dari kelas
batubara antrasit, yaitu:
• Warna hitam mengkilat.
• Material terkompaksi dengan kuat.
• Mempunyai kandungan air rendah.
• Mempunyai kandungan karbon padat tinggi.
• Mempunyai kandungan karbon terbang rendah.
• Relatif sulit teroksidasi.
• Nilai panas yang dihasilkan tinggi (Sukandarrumidi, 1995).

6
BAB 2
CADANGAN BATUBARA

2.1. Cadangan Batubara di Indonesia

Berdasarkan data terakhir dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), cadangan batubara Indonesia mencapai 26.2 miliar ton. Dengan
produksi batubara sebesar 461 juta ton tahun lalu, maka umur cadangan batubara masih
56 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.Selain cadangan batubara,
masih ada juga sumber daya batubara yang tercatat sebesar 124.6 miliar ton. Untuk itu,
Pemerintah terus mendorong upaya eksplorasi dalam rangka meningkatkan cadangan
batubara tersebut.

Kalimantan tercatat sebagai wilayah yang menyimpan cadangan batubara terbesar, yaitu
14.9 miliar ton, disusul oleh Sumatera (11.2 miliar), dan Sulawesi (0.12 juta). Di wilayah
Kalimantan, cadangan terbesar berada di wilayah Kalimantan Timur sebesar 7,5 miliar
ton, Kalimantan Selatan sebesar 4.2 miliar ton dan Kalimantan Tengah 2,1 miliar ton.
Sementara, Sumatera Selatan menjadi daerah yang memiliki cadangan terbesar di
wilayah Sumatera dengan cadangan 8.9 miliar ton, disusul Jambi sebesar 1.1 miliar ton.
Pada tahun 2017, produksi batubara nasional tahun mencapai 461 juta ton. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 97 juta ton dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri (Domestic
Market Obligation/DMO). Tren pemanfaatan dalam negeri selalu meningkat dari tahun
ke tahun. Terhitung sejak 2013 hanya 72 juta ton kemudian menjadi 97 juta ton pada
2017 dengan rincian yaitu 2014 (76 juta ton), 2015 (86 juta ton) dan 2016 (91 juta ton).

2.2. Contoh Batubara di Indonesia

Salah satu contoh daerah di Indonesia yang memiliki potensi batubara adalah Kabupaten
Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini memiliki cadangan batubara
sebesar 15 juta ton dengan kategori cadangan tereka (PSDMBP, 2018).

Gambar 2. Tektonik Regional Pulau Jawa (Barber, 2005)

7
BAB 3
METODE SEISMIK REFLEKSI

3.1. Pengertian Survei Seismik

Secara umum, akuisisi data seismik adalah serangkaian kegiatan yang dimulai dengan
membuat sumber getaran buatan, seperti vibroseis, dinamit, kemudian mendeteksi jalaran
gelombang tersebut dan merekamnya dengan suatu alat (receiver) yang biasa dikenal
dengan nama geophone. Getaran hasil ledakan akan menembus ke dalam permukaan
bumi, di mana sebagian dari sinyal tersebut akan diteruskan dan sebagian akan
dipantulkan kembali oleh reflector. Sinyal yang dipantulkan kembali akan direkam oleh
geophone di permukaan. Sedangkan sinyal yang menembus permukaan bumi akan
dipantulkan kembali oleh bidang refleksi yang kedua sinyalnya akan diterima kembali
oleh alat perekem dan seterusnya hingga ke alat perekam yang terakhir.

Gambar 3. Contoh Konfigurasi Akuisisi Seismik (PSDMBP, 2015)

3.2. Dasar Teori

Gelombang seismik diilhami oleh gelombang elastic yang merambat pada waktu terjadi
gempabumi. Jika terjadi gempabumi, pada stasiun penerima akan diperoleh bentuk
gelombang yang digambarkan dalam amplitudonya. Gelombang yang datang paling awal
disebut sebagai gelombang primer. Gelombang ini kana bergerak searah dengan arah
perambatan gelombangnya. Berikutnya terdapat gelombang shear yang arah rambatnya
tegak lurus terhadap arah perambatannya. Gelombang P dan S disebut sebagai gelombang
badan. Gelombang Rayleigh dan love disebut sebagai gelombang permukaan.

8
Gambar 4. Arah Perambatan Gelombang Badan dan Permukaan (PSDMBP, 2015)

Dalam teori sinar suatu hokum dasar yang penting adalah Hukum Snellius, yang
menyatakan bahwa jika gelombang merambat pada lapisan pertama dengan kecepatan
V1 dan kemudian menembus lapisan kedua dengan kecepatan V2 maka akan berlaku
sudut pembiasan, berupa sinus sudut datang samadengan sinus sudut pantul.

Gambar 5. Hukum Snellius pada Dua dan Empat Lapisan (PSDMBP, 2015)

3.3. Penampang Seismik pada Eksplorasi Batubara

Depth section dari hasil pengolahan data seismic yang dihasilkan dari konversi
penampang migrasi dalam domain waktu. Penampang kedalaman ini cukup
menggambarkan konfigurasi bawah permukaan dari daerah survei. Walaupun tidak
menunjukkan posisi lapisan batubara, diharapkan dapat menggambarkan konfigurasi
perlapisan batuan dibawah permukaan dapat men-delineasi letak lapisan batubara, karena
liniasi batubara selaras dengan liniasi lapisan formasi pembawanya (PSDMBP, 2015)

9
Penampang ini memberikan gambaran pendeteksian sampai kedalaman 500 m dari
permukaan tanah. Lintasan ini berarah timurlaut hingga baratdaya. Secara umum, pada
lintasan ini dapat diinterpretasikan adanya lebih dari 3 lapisan formasi batuan dengan
kemiringan yang cukup datar mengarah ke baratdaya. Hal ini sesuai dengan informasi
geologi. Berdasarkan data log bor yang berada di lintasan seismik, didapat ketebalan
lapisan batubara yang bervariasi, yaitu 1.3 meter hingga 8.6 meter. Lapisan batubara ini
terdapat pada kedalaman dangkal, yaitu pada kedalaman 6 hingga 28 menter dengan
kemiringan cukup datar (PSDMBP, 2015)

Gambar 6. Penampan Kedalaman Lintasan Seismik daerah Tabak (PSDMBP, 2015)

10
DAFTAR PUSTAKA

Anggayana, K. 2002. Genesa Batubara. Departemen Teknik Pertambangan Fakultas Ilmu


Kebumian dan Teknologi Mineral. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Barber, A.J. 2005. Sumatera-Geology, Resources and Tectonics, The Geological Society
Publishing House. United Kingdom.
Cook, A. C. 1982. The Origin and Petrology of Organic Matter in Coals, Oil, Shales, and
Petroleum Source-Rock. Australia: Geology Departement of Wollonggong University.
Ltd. Malta.
Diessel, C.F.K. 1992. Coal-Bearing Depositional Systems. Springer-Verlag Berlyn
Heidelberg. Germany.
ESDM. 2017. Cadangan Batubara Indonesia Sebesar 26 Miliar Ton.
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/cadangan-batubara-indonesia-
sebesar-26-miliar-ton. Diakses pada 4 November 2019.
Haryono, A. 2010. Intepretasi Log Sebaran Lapisan Batubara Berdasarkan Data Log Gamma
Ray. Samarinda: Universitas Mulawarman.
PSDMBP. 2015. Laporan Survey dan Penelitian Seismik Batubara Daerah Tabak, Kabupaten
Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah.
PSDMBP. 2018. Laporan Prospeksi Batubara Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu,
Provinsi Sumatera Selatan.
Sukandarrumidi. 1995. Batubara dan Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tim Kajian Batubara Nasional. 2006. Batubara Indonesia. Jakarta: Pusat Litbang Teknologi
Mineral dan Batubara.

11

Anda mungkin juga menyukai