CNN Indonesia
Find it on Play StoreGETX
logo
Ekonomi
MASUK DAFTAR
Home
Nasional
Politik Hukum & Kriminal Peristiwa
Internasional
Asean Asia Pasifik Timur Tengah Eropa Amerika
Ekonomi
Keuangan Energi Bisnis Makro
Olahraga
Sepakbola Moto GP F1 Raket
Teknologi
Teknologi Informasi Sains Telekomunikasi Otomotif
Hiburan
Film Musik Seleb Seni Budaya Music At Newsroom
Gaya Hidup
Kesehatan Kuliner Wisata Tren
Fokus
Kolom
Aku & Jakarta
Music at Newsroom
Terpopuler
Infografis
Foto
Video
TV
Indeks
Download Apps
Ikuti Kami
Home Nasional Internasional Ekonomi Olahraga Teknologi Hiburan Gaya Hidup Fokus Kolom
Terpopuler Infografis Foto Video Indeks
Hal ini sudah dianggap mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja melakukan
work from home alias bekerja di rumah. Wacana pembatasan gerak masyarakat pun bergerak
liar.
Faktanya hanya ada beberapa negara yang melakukan lockdown seperti Italia, dan China,
sementara Jepang dan Singapura memiliki strategi yang berbeda untuk menangkal Covid-19.
Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown sebenarnya tidak
dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat. Dalam pengertian umum definisi lockdown
sendiri terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan
sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu.
Pandangan publik terkait lockdown di Jakarta tentu terpecah, ada yang mengusulkan untuk
menutup suatu daerah tertentu seperti Wuhan yakni saat akses keluar masuk ke daerah lainnya
ditutup. Pandangan lainnya, melakukan kerja dari rumah dan mengurangi jam operasional
transportasi publik.
Dampak ekonomi di Jakarta tentunya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Jika
kebijakan isolasi total Jakarta diberlakukan maka ekonomi nasional bisa masuk dalam jurang
krisis lebih cepat dari perkiraan awal.
Sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral bertempat di
DKI Jakarta.
Kepanikan akan terjadi di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank
untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank terancam kering. Sementara
panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan.
Kita perlu belajar dari pembelian barang bermotif ketakutan yang terjadi di beberapa wilayah
Jakarta. Saat pemerintah mengumumkan pasien Corona pertama, terlihat jelas bahwa
pemerintah pusat maupun daerah tak bisa melakukan apapun untuk mencegah pembelian
gila-gilaan itu.
Apalagi April akan memasuki Ramadan, yakni ketika permintaan bahan kebutuhan pangan
musiman naik. Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan farmasi
(obat-obatan, masker, penyanitasi tangan) menambah panjang risiko terjadinya inflasi yang
cukup tinggi.
Perkiraan sederhana inflasi sepanjang tahun 2020 dapat menembus angka 4-6 persen sebagai
konsekuensi dari pemberlakuan lockdown di Jakarta. Angka ini belum mempertimbangkan
adanya spekulan jahat, penimbun gelap yang memanfaatkan situasi untuk melakukan panic
stocking atau sengaja menimbun barang yang dicari orang banyak.
Siapa yang paling kena dampak dari lockdown? Jelas jawabannya bukan orang-orang kaya di
Jakarta.
Orang kaya yang menguasai 46 persen lebih total konsumsi di Jakarta, mampu menimbun
barang dalam jumlah yang besar. Apalagi jika harga obat-obatan, masker, penyanitasi tangan
melambung tinggi seperti terjadi beberapa waktu lalu.
Siapa yang sanggup membeli harga masker di situs belanja ketika menembus Rp1 juta per
boks? Hanya golongan menengah atas yang sanggup. Sementara mereka yang masuk
golongan menengah ke bawah harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang.
Ketika kelas atas melakukan panic buying, masyarakat miskin sebaliknya tidak tahu besoknya
mau makan apa.
Lihat juga:Cegah Corona, Dishub DKI Minta Warga Lencang Depan Saat Antre
Dari sisi kesehatan, asuransi kesehatan dengan fasilitas rumah sakit terbaik merupakan
keistimewaan orang kaya Jakarta. Jika tes kesehatan virus corona tak semuanya dibayar
negara, orang kaya ini tak perlu khawatir. Apalagi soal defisit BPJS Kesehatan, mereka tak mau
peduli.
Sedangkan si miskin merupakan kaum yang paling rentan terhadap turunnya fasilitas
kesehatan, terutama saat kondisi krisis.
Sudah jelas bahwa lockdown merupakan situasi neraka bagi kelas bawah. Kerentanan kaum
papa hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang selama ini masih terjadi. Dalam
kondisi terjepit bukan tidak mungkin konflik horizontal akan pecah.
Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepertinya memang belum menyiapkan diri jika
harus melakukan lockdown untuk saat ini. Terlihat dari kacaunya koordinasi kebijakan pusat
dan daerah.
Pola komunikasi yang saling berebut panggung antar kepala daerah, dan gagapnya stimulus
ekonomi 1 dan 2 yang diluncurkan oleh pemerintah mengisyaratkan wacana lockdown akan
mengarah kepada kekisruhan total.
Ketersediaan rumah sakit, karantina, hingga alat cek virus corona masih belum memadai.
Singapura memberikan masker gratis dari rumah ke rumah, Indonesia justru masker dibuat
mainan oleh penimbun gelap dan menjadi langka di pasaran.
Kesiapan dari sisi ekonomi lebih memprihatinkan, bahan kebutuhan pokok sebagian
bergantung pada impor.
Kejadian wabah virus corona telah merusak rantai pasok impor khususnya dari China, sebut
saja bawang putih. Tidak semudah itu mencari substitusi impor, karena memang jalan
keluarnya mendadak. Kemandirian pangan Indonesia dipertanyakan.
Berbeda dari China, di mana stok kebutuhan pangan untuk memasok warga yang di karantina
dalam apartemen, rumah, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah China. Di
Wuhan, negara hadir menyiapkan kebutuhan warganya.
Bukan cerita aneh ketika ada mahasiswa Indonesia sedang diisolasi dalam kamar asrama nya
di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.
Selain cara lockdown, adakah cara lain yang lebih berimbang antara mereduksi penularan virus
Covid-19 dan tetap mendorong keberlanjutan roda ekonomi?
PM Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa fokus penanganan kesehatan adalah
warga lansia, karena paling rentan terkena Covid-19. Pembatasan perjalanan dari WNA di
banyak negara, dan menunda sementara acara keagamaan juga dilakukan.
Selain itu Singapura juga melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat baik,
dengan tegas Pemerintah Singapura mengalokasikan US$4 miliar setara Rp59,2 triliun untuk
membantu keuangan perusahaan yang terimbas Covid-19.
Jepang lebih melakukan upaya klaster dan penelusuran riwayat kontak korban, dibandingkan
lockdown.
Dikutip dari data John Hopkins University, rasio kasus Covid-19 di Jepang adalah 0,5 per
100.000 orang lebih rendah dari negara OECD lainnya. Sebagai perbandingan rasio China
adalah 5,81 dan Italia 20,6 kasus per 100.000 orang.
Maka, melihat kondisi dan kesiapan Indonesia, sebaiknya skenario lockdown dipikirkan secara
matang. Jangan sampai ikut-ikutan dengan negara lain yang struktur ekonominya lebih kuat
dari Indonesia.
Dan paling penting, harga paling mahal bisa jadi akan ditebus pengusaha UMKM, driver online,
karyawan rendahan, dan kaum miskin yang tak pernah memiliki bekal cukup saat krisis. (asa)
Kenali seluk-beluk virus corona, cara mencegah, serta gejala dan pengobatannya lewat laporan
interaktif CNNIndonesia.com. Cek di sini.
Bagikan :
wni positif corona indonesia positif corona lockdown jakarta kemiskinan panic buying
ARTIKEL TERKAIT
ANALISIS
Mengukur Ancaman Ekonomi dari 'Lockdown' Virus Corona
Ekonomi1 hari yang lalu
Corona, Ekonom Minta Sri Mulyani Bebaskan Pajak Penghasilan
Ekonomi6 hari yang lalu
Ma'ruf Amin Targetkan Kemiskinan Turun Jadi 0 Persen
Ekonomi1 minggu yang lalu
Shampoo NISIM Penumbuh Rambut no 1 ,Garansi Tanpa Syarat
Promoted
Jokowi Bidik Indonesia Zero Kemiskinan Ekstrem pada 2024
Ekonomi1 minggu yang lalu
BACA JUGA
10 WNI di India Dievakuasi ke RS Usai Dicurigai Corona
Promoted
Jokowi Diminta Tutup Akses dari China, Iran, Italia, Korsel