DISUSUN OLEH :
Sarah Hayati
030.13.177
PEMBIMBING :
dr. Gita Handayani Tarigan, MPH
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 06 JANUARI – 14 MARET 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
A. PENDAHULUAN
Bencana merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari begitu saja oleh
manusia. Fenomena tersebut dapat terjadi setiap saat, secara tiba-tiba atau melalui
proses yang berlangsung secara perlahan dimanapun dan kapanpun. Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana
merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Indonesia memiliki potensi bencana dan mengalami berbagai jenis bencana.
Secara geografis, Indonesia terletak pada dua samudera dan dua benua. Hal ini
menyebabkan Indonesia mempunyai musim hujan dan musim kemarau serta
menyebabkan daerah Indonesia memiliki cuaca yang selalu berubah-ubah. Secara
geologis, letak Indonesia yang berada di pertemuan lempeng tektonik yaitu lempeng
Asia, lempeng Australia, lempeng Pasifik, dimana lempeng- lempeng tadi saling
bergesekan dan tak jarang bisa menyebabkan gempa. Akibat dari letak Indonesia secara
geografis dan secara geologis tersebut mengakibatkan Indonesia sangat berpotensi
sekaligus rentan terhadap bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami,
banjir, dan tanah longsor.
Menurut Cruden, longsor didefinisikan sebagai pergerakan massa batuan,
puing-puing, atau bumi yang menuruni lereng. Tanah longsor adalah jenis gerakan
tanah dan batuan di bawah pengaruh langsung gravitasi. Lebih lanjut United States
Geological Survey (USGS) menerangkan bahwa meskipun gaya gravitasi yang bekerja
pada lereng adalah hal utama terjadinya longsor, namun terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya, seperti erosi oleh sungai, gletser, atau gelombang laut membuat
lereng tidak stabil, batu dan tanah lereng melemah melalui saturasi dengan pencairan
salju atau hujan lebat, gempa bumi dengan dengan skala besar memicu tanah longsor,
letusan gunung berapi, kelebihan massa dari akumulasi hujan atau salju, penimbunan
batuan, tumpukan sampah, atau da
Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah paling rawan longsor. Surono, Pusat
Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi (BGPVMBG, 2010) menyebutkan bahwa
lebih dari 70% dari total kejadian longsor di Indonesia. Kerentanan pergerakan tanah
di Jawa Barat, tampaknya lebih cenderung selain dipengaruhi oleh kondisi geologi yang
1
tidak stabil juga dikarenakan intensitas hujan yang cukup tinggi. Berdasarkan data
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2010) dari 26 kabupaten di Jabar,
sebanyak 21 kabupaten di antaranya berpotensi besar terjadi longsor, terutama Kab.
Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, Sukabumi, Bogor dan Cianjur yang berada
pada dataran menengah dan tinggi.
B. GEOGRAFI
Letak Kabupaten Bandung secara administratif di dalam Provinsi Jawa Barat
terletak diantara Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Wilayah Kabupaten Bandung memiliki
luas wilayah sebesar 176.238,67 Ha, yang terdiri dari 31 kecamatan, 270 desa, dan 10
kelurahan. Batas wilayah administrasi Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut:
▪ Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan
Kabupaten Sumedang
▪ Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
▪ Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur
▪ Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan
Kota Cimahi
2
C. KEPADATAN PENDUDUK
D. HAZARD
Menurut data dari RPJMD Kabupaten Bandung Barat penggunaan lahan eksisting
di Kabupaten Bandung terdiri atas kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, non
pertanian, dan kawasan lainnya. Penggunaan lahan di kawasan lindung meliputi belukar,
danau/waduk, hutan, rawa, semak, dan sungai. Sedangkan kawasan budidaya pertanian
meliputi kebun campur, perkebunan, sawah, ladang, dan tegal.
Lahan di Kabupaten Bandung digunakan sebagian besar sebagai kawasan
budidaya pertanian, yaitu seluas 53,22% dari luas keseluruhan 176.238,67 Ha, sebagian
3
besar wilayah Kabupaten Bandung masih berupa kawasan ruang terbuka, dimana mampu
menyerap air larian hujan yang mencapai 2.000-3.500 mm per tahun. Kabupaten
Bandung Barat didominasi oleh kemiringan lereng yang sangat terjal >40 (46,5%). Hal
ini tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung Barat wilayahnya didominasi oleh
kawasan yang berfungsi lindung. Sedangkan kawasan yang wilayahnya bertopografi
datar dan bergelombang sampai berbukit relatif kecil dan diusahakan sebagian besar
untuk lahan pertanian.
Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan
curah hujan rata-rata tahunan bervariasi antara 2.000 mm – 4.500 mm. Curah hujan rata-
rata bulanan yang relatif paling basah (lebih dari 2000 mm) terjadi pada bulan November
hingga April, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan yang relatif kering (di bawah
2.000 mm) terjadi pada bulan Mei hingga Oktober. Untuk wilayah utara Kabupaten
Bandung sebagain besar curah hujannya 2.000 mm sedangkan untuk wilayah selatan
Kabupaten Bandung mayoritas curah hujan nya antara 2.500 – 3.000 mm.
4
Gambar 3. Peta resiko bencana tanah longsor di kabupaten bandung
E. VULNERABILITY
Vulnerability adalah kerentanan dari manusia itu sendiri. Keadaan atau sifat dan
perilaku manusia yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk menghadapi
bahaya atau ancaman.
1. Aspek Lingkungan
Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, terutama dalam
pemanfaatan lahan untuk pertanian di daerah perbukitan dengan kemiringan tertentu
serta alih fungsi lahan (dari hutan menjadi lahan pertanian) menyebabkan terjadinya
pergerakan tanah (longsor), erosi dan sedimentasi serta bertambahnya lahan kritis di
5
Kabupaten Bandung. Tingginya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi permukiman
juga menyebabkan terganggunya sistem jaringan irigasi dan drainase. Dampak
perubahan guna lahan yang terjadi di Kabupaten Bandung adalah timbulnya genangan
dan kejadian banjir di beberapa titik terutama wilayah permukiman seperti banjir di
Cieunteung – Baleendah, Dayeuhkolot serta Jalan terusan Kopo. Di beberapa tempat
terutama daerah perkotaan di Kabupaten Bandung, saluran irigasi berubah fungsi
menjadi saluran drainase. Sementara untuk penanganan limpasan air ke badan jalan,
telah diupayakan pembangunan saluran drainase di 14 ruas jalan sepanjang 6.494,56
m, yang selanjutnya perlu perhatian terkait pemeliharaan saluran tersebut agar limpasan
air ke badan jalan dapat diminimal
2. Sosial-ekonomi
Jumlah penduduk merupakan modal dasar pembangunan yang harus dikelola
secara baik guna mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses pembangunan. Di
samping itu jumlah penduduk juga dapat menimbulkan ekses pembangunan, bila terjadi
kesenjangan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu penanganan jumlah penduduk
harus diimbangi dengan penekanan terhadap laju pertumbuhan penduduk agar terdapat
keseimbangan.
Pembangunan bidang ekonomi dapat dipandang sebagai pijakan dasar yang
sangat fundamental dalam kaitannya dengan aspek-aspek pembangunan lainnya.
Representasi pembangunan ekonomi diantaranya dapat ditunjukkan dalam bentuk
pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, distribusi pendapatan perkapita,
maupun ketersediaan infrastruktur lainnya.
6
F. CAPACITY
1. Jumlah sarana kesehatan
Sarana pelayanan kesehatan di Kabupaten Bandung yang meliputi
Puskesmas dan jajarannya, Rumah Sakit Pemerintah dan serta sarana lainnya
ditampilkan pada tabel berikut.
Jumlah rumah sakit sebanyak 6 unit, Puskesmas berjumlah 37 unit yang tersebar
di seluruh kecamatan, dan 1 unit Palang Merah Indonesia (PMI). Sarana pelayanan lain
terdiri dari klinik dan praktik dokter mandiri. Terdapat 3037 orang tenaga kesehatan
yang terdiri dari 219 orang dokter, 837orang perawat, 636 orang bidan, 105 orang
bagian farmasi, 30 orang dari bidang kesehatan masyarakat, 44 orang dari bidang
kesehatan lingkungan, 34 orang di bidang gizi dan 127 orang lainnya merupakan tenaga
kesehatan lainnya.
Selain itu terdapat beberapa alat juga yang sudah dipasang pada area gunung
ciremai sebagai deteksi dini untuk menghadapi bencana letusan gunung berapi. Alat
tersebut antara lain seismometer, tiltmeter, dan akselerometer. Akselerometer
digunakan untuk mengukur percepatan. Seismometer digunakan untuk mengukur
gerakan tanah, termasuk gelombang seismik yang dihasilkan oleh gempa bumi, letusan
gunung berapi, dan sumber gempa lainnya. Tiltmeter digunakan untuk
mengukurdeformasi gunung yang berfungsi untuk mendeteksi pengembungan atau
pengempisan tubuh gunung.
7
G. Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Mitigasi merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum terjadi bencana untuk
mengurangi dan mencegah dampak yang ditimbulkan, sesuai dengan UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun
2015 tentang Sistem Penanggulangan Bencana di Daerah.
Pra Bencana
Untuk Penduduk:
• Dengar dan simaklah siaran radio atau televisi menyangkut prakiraan terkini
cuaca setempat (curah hujan).
• Waspadalah terhadap perubahan cuaca
• Waspadalah terhadap tanda tanda bahaya sebagai berikut :
o Langit gelap pertanda hujan akan datang
o Reruntuhan batu (rock fall) dan tanah (debris) pada jalan.
o Retakan baru pada lereng,jalan atau dinding penahan tanah.
o Material berupa tanah, batuan, pohon berjatuhan dari lereng..
o Air mengalir dari lereng atau saluran air konstruksi penahan
tanah berubah warnanyadari bening menjadi coklat.
o Air terkonsentrasi dan alirannya memotong badan jalan atau
menuju wilayah yang lebih rendah.
o Konstruksi penahan tanah merusak akibat erosi.
o Saluran air rusak akibat derasnya saluran air.
o Air dibagian puncak tidak tertampung lagi dan mengalir deras
kebadan jalan.
o Rembesan air semakin banyak dan terjadi tibatibai pada lereng
atau konstruksi penahan air.
• Segera mengevakuasi atau memindahkan penduduk yang terancam tanah
longsor atau setelah diketahui tanda-tanda tebing akan longsor ke tempat yang
lebih aman
a. Pada saat ini kita sebagai tenaga kesehatan bisa berkoordinasi
dengan petugas masyarakat seperti ketua camat atau kelurahan serta jajaran
dibawahnya (RT/RW) untuk memberikan pengumuman terhadap masyarakat
mengenai resiko yang akan terjadi, pada ilustrasi kasus ini ialah tanah longsor.
8
b. Memastikan kepada pihak berwenang untuk menentukan
dimana tempat penampungan sementara untuk para masyarakat yang terancam
bencana tanah longor ( Sekolah, Balai desa atau tempat peribadatan)
c. Segera menghubungi puskesmas yang ada di desa setempat
(Puskesmas Ciangsana) memiliki 1 orang dokter umum dan 3 perawat , 2
petugas apotik memastikan peralatan dan obat-obatan dapat dipergunakan)
dalam peristiwa tanah longsor lebih disiapkan alat-alat Hecting, Bidai maupun
obat-obatan seperti analgetik.
Penting untuk selalu menyiapkan diri atas kemungkinan terburuk dari suatu
bencana. Tas siaga adalah ‘teman’ yang akan meringankan beban pasca bencana.
Selain itu, mencontoh penduduk Jepang, mereka selalu menyiapkan pasokan air dan
makanan (cepat saji) untuk keadaan darurat. Checklist perlengkapan yang harus
disiapkan dalam “tas siaga” dan “bunker persediaan” dapat dilihat pada lampiran.
Perubahan geometri lereng ini pada prisnsipnya bertujuan untuk mengurangi gaya
pendorong dari masa tanah atau gaya-gaya yang menggerakan yang menyebabkan
gerakan lereng. Perbaikan dengan perubahan geometri lereng ini meliputi pelandaian
kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku/teras (benching) dengan
perhitungan yang tepat.
9
2. Mengendalikan Aliran Air Permukaan
Tumbuhan dapat digunakan untuk mengontrol erosi pada tanah yang tidak stabil.
Metode penanaman ini bertujuan untuk melindungi lereng, karena akar-akar pohon
akan menyerap air dan mencegah air berinfiltrasi ke dalam zona tanah tidak stabil.
Akar-akaran dalam kelompoknya membentuk rakit yang menahan partikel tanah tetap
di tempatnya. Dalam kondisi demikian umunua akar-akar tumbuhan menambah kuat
geser tanah.
4. Sementasi
5. Betonisasi
Cara ampuh sedikit mahal dari Grouting yaitu dengan cara pembetonan namun
cara ini hanya bersifat sementara karena hanya menguatkan komposisi tanah luarnya
saja sedangkan dalamnya sama saja jadi bersifat sementara saja.
10
Saat Bencana
11
- Menentukan tempat yang aman untuk pengungsian, misalnya balai desa,
sekolah, masjid ( tempat ibadah ).
- Menunjuk command leader di puskesmas yaitu salah satu dokter
puskesmas.
- Membuat jalur dan lokasi evakuasi bencana.
- Mengumpulkan obat - obatan dan alat-alat medis penunjang.
- Meminta bantuan dinas kesehatan setempat bila ada obat - obatan atau
alat penunjang yang kurang.
- Mengumpulkan obat-obatan dan alat-alat medis penunjang serta bahan
sandang dan pangan bagi warga pengungsian.
- Meminta bantuan dari mantri - mantri desa dan bidan - bidan desa untuk
membantu puskesmas ataupun tempat pengungsian.
- Bekerjasama dengan Tim SAR, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, mahasiswa kedokteran, tim medis, warga, maupun relawan untuk
mengevakuasi korban - korban bencana.
- Menentukan triase, memilah - milah korban berdasarkan tingkat
keparahan atau kegawatdaruratannya.
- Membagi ruangan/tempat khusus di puskesmas untuk pasien
berdasarkan triase tersebut
- Membuat traffic flow dari pintu masuk puskesmas ke ruang - ruang yang
sudah ditentukan sesuai dengan keadaan korban, sampai pintu keluar yang berbeda
dengan pintu masuk awal.
- Membangun WC umum bagi warga pengungsian dilengkapi dengan air
bersih guna mencegah terjadinya penyakit yang dapat terjadi di tempat pengungsian.
- Membuat papan informasi di depan puskesmas berisi tentang data
korban yang berada di puskesmas sebagai sumber informasi untuk keluarga /
masyarakat.
- Membuat daftar RS yang dekat dengan lokasi bencana untuk merujuk
pasien yang tidak dapat ditangani di puskesmas.
Pengendalian penyakit pasca bencana
12
memiliki masalah psikis akibat harta bendanya yang rata dengan tanah. Perlu ditinjau
aspek-aspek berikut yang bisa dilakukan tenaga medis dalam menangani kasus-kasus pasca
bencana.
13