Anda di halaman 1dari 18

PERANAN ZAT PENGATUR TUMBUH SEBAGAI HERBISIDA

Oleh :
Dayana Zulfadillah I. B1J014115
Nurul Jamiah B1J014122
Dimas Eka Wijayanto B1J014125
Duanita Februari P. B1J014138
Amatulloh Wajihah B1J014150
Rombongan : III
Kelompok : 1
Asisten : Ikhwan Mulyadi

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kesulitan petani untuk mendapatkan hasil pertanian yang cukup, sering


terganggu oleh adanya serangan hama dan gulma. Salah satu gangguan dalam
pertanian padi adalah dengan adanya tanaman pengganggu atau gulma yang dalam
pertunbuhannya selalu berkompetisi dengan tanaman budidaya. Dalam bidang
pertanian gulma didefinisikan sebagai setiap tumbuhan yang tumbuh ditempat yang
tidak diinginkan, sehingga manusia berusaha untuk memberantasnya. Pengendalian
gulma dapat dilakukan dengan cara manual, mekanis dan kimiawi. Penggunaan
pestisida khususnya herbisida, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain,
bertujuan untuk mengendalikan gulma pengganggu tanaman budidaya, tetapi dapat
pula menimbulkan efek samping, yaitu akan menimbulkan keracunan pada binatang
ataupun manusia (Sundaru et al., 1976).
Salah satu pengendalian gulma yang umum adalah pengendalian secara kimia
dengan menggunakan herbisida, karena cara ini lebih efektif, efisien, hemat tenaga,
biaya dan waktu (Tjitrosoedirjo, et al., 1984). Pengendalian gulma menggunakan
herbisida penting sebagai alternatif penyiangan manual karena lebih murah, lebih
cepat dan lebih baik dalam mengendalikan gulma. Pengendalian gulma
menggunakan bahan kimia merupakan penyiangan yang lebih baik dari pada
penyiangan manual karena lebih murah, lebih cepat, dan memberikan kontrol lebih
baik (Tesfay et al., 2014).
Pengendalian gulma terutama bertujuan menekan pertumbuhan gulma sampai
batas toleransi merugikan secara ekonomis (Barus, 2003). Metode yang paling
banyak digunakan adalah metode kimiawi dengan menggunakan herbisida. Metode
ini dianggap lebih praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang
lain, terutama jika ditinjau dari segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan
waktu pelaksanaan yang relatif lebih singkat.
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian
untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil
(gulma). Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis atau dua jenis tanaman pertanian,
namun demikian tumbuhan lain juga dapat tumbuh di lahan tersebut. Kompetisi
dalam mendapatkan hara di tanah, perolehan cahaya matahari, dan keluarnya
substansi alelopatik. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian
tumbuhan pengganggu (Abidin, 1982).
2,4-dichorophenoxy acetic acid (2,4-D) adalah senyawa kimia yang banyak
digunakan sebagai herbisida (pembunuh tanaman pengganggu atau gulma).
Herbisida berbahan 2,4 D pertama kali digunakan pada tahun 1940 di Amerika
Serikat. Mekanisme kerja 2,4-D adalah menyebabkan pembelahan sel yang tidak
terkendali di dalam jaringan pembuluh (vaskuler). Paparan senyawa 2,4-D pada
jaringan tumbuhan akan menyebabkan produksi etilen meningkat dan perkembangan
dinding sel tumbuhan menjadi abnormal. Beberapa kelebihan dari herbisida ini
adalah harganya murah dan efektif untuk mengontrol gulma. Selain berguna untuk
membunuh gulma di lahan pertanian, hutan, dan jalan darat, senyawa 2,4-D juga
dapat membunuh gulma di lingkungan perairan, contoh lingkungan perairan tersebut
adalah kanal, sungai, danau, kolam, dan waduk (Sembodo, 2010).
Gulma yang tumbuh di daerah budidaya relatif berbeda daripada gulma yang
tumbuh di daerah yang belum dibudidayakan terdapat kecenderungan jumlah
individu yang sangat melimpah namun jumlah jenis yang tidak begitu banyak
(Puspitasari et al., 2013). Berdasarkan keperluan pengendaliannya, gulma dibedakan
menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Gulma berdaun lebar, seperti Boreria alata, Chromolaena odorata, Mikania sp.
2. Gulma berdaun sempit (golongan rumput), seperti Axonopus, Paspalum, Panicum
repens (Salisbury & Ross, 1995).

B. Tujuan
Tujuan praktikum kali ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi 2,4 D sebagai herbisida.

II. TELAAH PUSTAKA


Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tanaman
(Abidin, 1982). Konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep hormon
tanaman. Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam
konsentrasi yang rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis. Proses-proses
fisiologis ini terutama tentang proses pertumbuhan, differensiasi dan perkembangan
tanaman. Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman, pembukaan stomata,
translokasi dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon tanaman (Dewi, 2008).
Zat Pengatur tumbuh dalam dosis tinggi dapat digunakan sebagai herbisida.
Herbisida merupakan senyawa kimia yang dapat digunakan untuk menanggulangi
tanaman pengganggu terutama pada lahan pertanian. Keuntungan penggunaan
herbisida adalah dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu tanaman
budidaya, mencegah kerusakan perakaran tanaman budidaya dan lebih efektif dalam
membunuh gulma tahunan (Chairul et al., 2000).
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian
untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan
penurunan jumlah gulma. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana
pengendalian gulma. Herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme
senyawa penting seperti pati, asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang
normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki
struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi
sasarannya (Heddy, 1989). Gulma dapat didefinisikan sebagai tumbuh-tumbuhan
yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki manusia. Hal ini dapat berarti
tumbuhan tersebut merugikan baik secara langsung atau tidak langsung atau kadang-
kadang juga belum diketahui kerugian atau kegunaannya. Oleh karena batasan untuk
gulma ini sebetulnya sangat luas sehingga dapat mencakup semua jenis tanaman
dalam dunia tumbuh-tumbuhan (Moenandir, 1990).
Terdapat dua tipe herbisida menurut aplikasinya herbisida pratumbuh
(preemergence herbicide) dan herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide).
Herbisida pratumbuh disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih
ditebar (atau segera setelah benih ditebar), biasanya herbisida jenis ini bersifat
nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Herbisida
pascatumbuh diberikan setelah benih memunculkan daun pertamanya (Abidin,
1982).
Jenis-jenis herbisida yang merupakan zat pengatur tumbuh adalah 2,4-D, 2,4-
DB, MCPA, diklorprop, MCPB, dan mekoprop. Jenis-jenis herbisida tersebut
merupakan kelompok Aryloxyalcanoic Acid yang sering disebut sebagai kelompok
fenoksi. Klomeprop bersifat sistemik dan digunakan sebagai herbisida selektif
pascatumbuh untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan teki pada tanaman padi.
2,4-D (2,4-dichorophenoxy acetic acid) merupakan hormon tumbuhan sintetis dan
bekerja seperti asam indol asetat (IAA), dan bersifat sistemik. 2,4-DB (2,4-
diklorofenoksi asam butirat) merupakan herbisida sistemik yang bersifat selektif,
hanya aktif sebagai herbisida pasca tumbuh untuk gulma berdaun lebar. Diklorprop
merupakan herbisida sistemik dan digunakan sebagai herbisida selektif pascatumbuh
untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan teki pada tanaman serealia. MCPA
merupakan herbisida selektif dan digunakan sebagai herbisida post-emergence
(Djojosumarto, 2005).
Gulma dapat didefinisikan sebagai tumbuh-tumbuhan yang tumbuh pada
tempat yang tidak dikehendaki manusia. Hal ini dapat berarti tumbuhan tersebut
merugikan baik secara langsung atau tidak langsung atau kadang-kadang juga belum
diketahui kerugian/kegunaannya. Oleh karena batasan untuk gulma ini sebetulnya
sangat luas sehingga dapat mencakup semua jenis tanaman dalam dunia tumbuh-
tumbuhan. Kehadiran gulma di sekitar tanaman budidaya tidak dapat dielakkan,
terutama bila lahan pertanaman tersebut tidak dikendalikan. Persyaratan tumbuh
yang sama atau hampir sama bagi gulma dan tanaman dapat mengakibatkan
terjadinya asosiasi gulma di sekitar tanaman budidaya. Gulma yang berasosiasi ini
akan saling memperebutkan bahan-bahan yang dibutuhkannya, apalagi bila
jumlahnya sangat terbatas bagi keduanya (Moenandir, 1990).
Gulma dapat menimbulkan kerugian baik dari segi kuantitas maupun kualitas
produksi. Kerugian yang ditimbulkan dari segi kuantitas adalah (1) penurunan hasil
pertanian akibat persaingan dan perolehan air, udara, unsur hara dan tempat hidup,
(2) menghambat jalannya air, (3) menimbulkan pendangkalan perairan, (4) biaya
produksi meningkat. Kerugian dari segi kualitas adalah (1) penurunan kualitas hasil,
(2) menjadi inang hama dan penyakit, (3) membuat tanaman keracunan akibat
senyawa racun (alelopati) yang dikeluarkan oleh gulma, (4) menyulitkan pekerjaan di
lapangan dan dalam pengolahan hasil, (5) merusak atau menghambat penggunaan
alat pertanian (Moenandir, 1990).
Menurut (Wudianto, 1998) berdasarkan respon terhadap herbisida dan
morfologinya, gulma digolongkan menjadi empat:
a. Gulma rerumputan (grassed weeds)
Contohnya: Eleusine indica, Imperata cylindrical, Panicum repens, Paspalum
conjugatum, Axonopus compressus, Leersea hexandra.
b. Gulma berdaun lebar (broad leaves)
Contohnya: Ageratum conyzoides, Eupatorium odoratum, Melastoma
malabathricum, Phylanthus niruri, dan lain-lain.
c. Gulma golongan teki (sedges)
Contohnya: Cyperus rotundus, Cyperus irinaria, dan lain-lain.
d. Gulma pakisan (fern)
Gulma yang biasa menyerang tanaman pegagan adalah gulma rerumputan,
gulma berdaun lebar dan gulma golongan teki.

III. MATERI DAN METODE

A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum acara peranan zat pengatur tumbuh
sebagai herbisida adalah timbangan analitik, magnetic stirer, sprayer, gelas ukur, dan
batang pengaduk.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu gulma berdaun lebar (Ageratum
conyzoides) dan gulma berdaun sempit (Cyperus kilinga), polybag, herbisida 2,4-D
dengan konsentrasi 1000 ppm, 2000 ppm, dan 3000 ppm.
B. Metode

Cara kerja dalam praktikum kali ini adalah:


Pembuatan larutan baku 2,4-D
1. 2,4-D ditimbang sesuai konsentrasi menggunakan timbangan analitik.
2. 2,4-D dilarutkan terlebih dahulu dengan NaOH agar larut.
3. Larutan dihomogenkan menggunakan magnetic stirer sampai 2000 ml.
4. Larutan 2000 ml tersebut kemudian dibagi menjadi dua, 1000 ml untuk stok dan
1000 ml lagi untuk spray.
Aplikasi 2,4-D pada tanaman
1. Larutan 2,4-D disemprotkan pada tanaman gulma yang sudah ditanam pada
polibag.
2. Penyemprotan dilakukan sebanyak 10 kali setiap dua hari sekali.
3. Pengamatan dilakukan selama 2 minggu.
4. Parameter yang diamati adalah jumlah gulma berdaun lebar dan berdaun sempit
yang masih mampu bertahan atau yang sudah mati lebih dulu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Tabel 4.1. Pengamatan Herbisida
Jumlah Sebelum
Perlakuan Jumlah Setelah Perlakuan
Perlakuan
Jenis
Kons 2,4D 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Gulma
0 5 5 5 5 4 0 5 3 5 4
Daun 1000 5 5 5 5 5 0 0 1 0 0
Lebar 1500 5 5 5 5 4 1 0 1 0 0
2000 5 5 5 5 5 0 0 0 0 0
0 5 5 5 5 4 5 5 3 4 4
Daun 1000 5 5 5 5 2 2 5 4 4 2
Sempit 1500 5 5 5 5 3 4 5 2 5 3
2000 5 6 5 5 4 5 5 2 5 1

Tabel 4.2. Hasil Anova Pengamatan Herbisida


Derajat Jumlah F tabel
Sumber Kuadrat
bebas Kuadrat F hitung Notasi
Keragaman Tengah (KT) 0.05 0.01
(db) (JK)
2,4-D (A) 3 28.875 9.625 6.637931034 ** 2.92 4.51
Gulma (B) 1 87.025 87.025 60.01724138 ** 4.17 7.56
AXB 3 15.475 5.158333333 3.557471264 * 2.92 4.51
Galat 32 46.4 1.45
Total 39 177.775

Tabel 4.3. BNT Pengamatan Herbisida


daun daun daun daun daun daun daun daun
sempit sempit sempit sempit lebar lebar lebar lebar
Perlakuan kontrol 1500 1000 2000 kontrol 1500 1000 2000
Rata-
0.6 0.8 1 1.4 1.4 4.4 4.8 5
rata
daun
sempit 0.6 0 ns
kontrol
daun
sempit 0.8 0.2 ns 0 ns
1500
daun
sempit 1 0.4 ns 0.2 ns 0 ns
1000
daun
sempit 1.4 0.8 ns 0.6 ns 0.4 ns 0 ns
2000

Daun
Lebar 1.4 0.8 ns 0.6 ns 0.4 ns 0 ns 0 ns
Kontrol
daun lebar
4.4 3.8 * 3.6 * 3.4 * 3 * 3 * 0 ns
1500
daun lebar
4.8 4.2 * 4 * 3.8 * 3.4 * 3.4 * 0.4 ns 0 ns
1000
daun lebar
5 4.4 * 4.2 * 4 * 3.6 * 3.6 * 0.6 ns 0.2 ns 0 ns
2000
Gambar
Gambar 4.1
4.1 Gulma
Gulma Kontrol
Kontrol Gambar 4.2 Gulma Konsentrasi
1000 ppm Minggu ke 0

Gambar 4.3 Gulma Konsentrasi Gambar 4.4 Gulma Konsentrasi


1000 ppm Minggu Terakhir 1500 ppm Minggu ke 0
Gambar 4.5 Gulma Konsentrasi Gambar 4.6 Gulma Konsentrasi
1500 ppm Minggu Terakhir 2000 ppm Minggu ke 0

Gambar 4.7 Gulma Konsentrasi


2000 ppm Minggu Terakhir
B. Pembahasan

Praktikum peranan zat pengatur tumbuh sebagai herbisida dilakukan dengan


mengamati 2 jenis gulma, yaitu gulma berdaun lebar dan berdaun sempit yang telah
diberi perlakuan dengan menyemprot herbisida 2.4-D konsentrasi 0 ppm, 1000 ppm,
1500 ppm, dan 2000 ppm. Peranan zat pengatur tumbuh sebagai herbisida dapat
diamati melalui jumlah awal dan jumlah akhir gulma yang telah diberikan perlakuan
selama 14 hari. Data hasil pengamatan kemudian dianalisis menggunkan ANOVA
(Analysis of Varians) untuk melihat pengaruh perlakuan yang diuji. Jika analisis
ragam berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk
melihat pengaruh perbedaan antar perlakuan.
Pengamatan herbisida berdasarkan data ANOVA ini menunjukkan hasil yang
sangat signifikan dan juga signifikan terhadap perlakuan yang dipraktikumkan. Hasil
sangat signifikan terjadi apabila nilai F hitung yang lebih besar daripada F 0,01 dan F
0,05. Hasil yang signifikan ini terjadi apabila nilai F hitung yang lebih besar daripada
F 0,01 atau F 0,05. Berdasarkan data ANOVA, F hitung 2,4-D sebesar 6.637931034
lebih besar dari F 0,01 dan F 0,05 yang berarti sangat signifikan, F hitung gulma
sebesar 60.01724138 lebih besar dari F 0,01 dan F 0,05 yang berarti sangat
signifikan, dan F hitung dari interaksi antara 2,4-D dan gulma sebesar 3.557471264
lebh besar dari F 0,01 yang berarti signifikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Wattimena (1988) bahwa asam 2,4–D mempunyai sifat fitotoksisitas yang tinggi
sehingga dapat bersifat herbisida.
Berdasarkan hasil ANOVA yang sangat signifikan dan signifikan tersebut,
maka analisis dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat
konsentrasi 2,4-D yang efektif untuk membunuh gulma. Hasil uji BNT menunjukkan
bahwa pemberian 2,4-D dengan beberapa konsentrasi yang digunakan tidak
berpengaruh nyata terhadap semua gulma berdaun sempit dan gulma berdaun lebar
kontrol. 2,4-D yang berpengaruh nyata terhadap gulma berdaun lebar yaitu
konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, dan 2000 ppm. 2,4-D yang paling efektif
membunuh gulma berdaun lebar adalah konsentrasi 2000 ppm. Gulma dengan
jumlah paling sedikit ialah gulma berdaun lebar, hal ini menunjukkan bahwa larutan
herbisida 2,4 D lebih efektif peranannya jika diaplikasikan pada gulma berdaun lebar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Moenandir (1990) yang menyatakan bahwa
peningkatan konsentrasi herbisida 2,4-D dapat membunuh gulma berdaun lebar
secara efektif. Hal ini diduga oleh bahan aktif yang cukup tinggi terkandung di dalam
herbisida yang diaplikasikan. Selain itu formulasi herbisida dalam bentuk cair diduga
juga turut membantu partikel herbisida diserap ke dalam tubuh tanaman
menyebabkan terjadinya toksisitas pada gulma.
Daya bunuh efektif ini ditentukan oleh interaksi antara persistensi herbisida
dan lambatnya perkecambahan biji gulma setelah herbisida hilang. Tumbuhan yang
masih muda kurang mampu bertahan dibandingkan dengan tumbuhan yang sudah
tua. Jadi umur dari suatu tumbuhan sering menentukan tanggapan terhadap herbisida.
Stadia pertumbuhan gulma yang sudah hampir menyelesaikan siklus hidupnya
kurang peka terhadap herbisida, tetapi sebaliknya gulma yang sedang aktif tumbuh
lebih peka dan mudah dikendalikan oleh herbisida (Hastuti et al., 2014).
Herbisida memiliki dua cara kerja yang berbeda, yaitu herbisida kontak dan
herbisida sistemik. Pengolahan tanah atau pencabutan gulma setelah penyemprotan
herbisida tidak disarankan, karena dapat mengurangi efektivitasnya. Pengolahan
tanah akan memutuskan hubungan antara tajuk dan akar gulma, sehingga herbisida
tidak dapat mencapai akar gulma. Jika pengolahan tanahdilakukan pada saat
herbisida sistemik belum sampai mematikan rhizome atau stolon, gulma baru akan
tumbuh dari rhizome atau stolon yang terputus (Novizan, 2007).
Hampir sejalan dengan pembagian gulma, menurut Dewi (2008) herbisida
dibagi menjadi tiga kelompok.
a. Herbisida yang kuat mengendalikan gulma dari kelompok rumput, misalnya
alaktor, butaklor, ametrinfluazifop.
b. Herbisida yang kuat dalam mengendalikan gulma daun lebar, misalnya 2,4-D,
MCPA.
c. Herbisida yang aktif terhadap semua kelompok gulma. Herbisida ini disebut pula
sebagai herbisida yang non-selektif. Herbisida jenis ini mampu membunuh semua
tumbuhan hijau, misalnya glifosat glufosinat, dan paraquat.
Menurut Wudianto (1998), klasifikasi herbisida berdasarkan bidang sasarannya
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Herbisida yang diaplikasikan ke tanah.
Bekerja umumnya dengan cara menghambat perkecambahan gulma atau
membunuh biji-biji gulma yang masih berada dalam tanah dan umumnya
disemprotkan sebelum gulma tumbuh.
2. Herbisida yang diaplikasikan ke daun-daun gulma.
Herbisida yang diaplikasikan langsung pada daun-daun gulma yang tentunya
sudah tumbuh. Herbisida yang digunakan herbisida pasca-tumbuh.
Menurut gerakannya pada gulma sasaran, herbisida juga bisa dibagi menjadi
dua golongan berikut.
1. Herbisida kontak (non-sistemik), yaitu herbisida yang membunuh jaringan
jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida tersebut dan tidak
ditranslokasikan di dalam jaringan tumbuhan, sehingga hanya mampu membunuh
bagian gulma yang berada di atas tanah.
2. Herbisida sistemik, yaitu herbisida yang bisa masuk ke dalam jaringan tumbuhan
dan ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lainnya. Oleh karena sifatnya yang
sistemik, herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang berada di dalam
tanah (akar, rimpang, umbi) (Barus, 2003).
2,4-D (2,4-dichorophenoxy acetic acid) adalah senyawa kimia yang banyak
digunakan sebagai herbisida (pembunuh tanaman pengganggu atau gulma).
Herbisida berbahan 2,4-D pertama kali digunakan pada tahun 1940 di Amerika
Serikat. 2,4-D merupakan jenis herbisida yang telah lama dan sampai saat ini paling
banyak digunakan dalam budidaya tanaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
2,4-D merupakan senyawa berbentuk kristal putih dan tidak berbau dengan titik
leburnya 140,50C dan mendidih pada suhu 1600C. 2,4-D sukar larut dalam air,
dengan mereaksikan 2,4-D dengan garam dapat dibuat menjadi sangat larut, bersifat
cepat larut dan menyebar merata di dalam air tanpa memerlukan pengadukan terus-
menerus. 2,4-D merupakan golongan fenoksi, memiliki rantai yang mempunyai
gugus karboksil dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen sehingga
memberikan aktivitas yang optimal. 2,4-D ada dalam berbagai bentuk kimia,
termasuk garam, ester, dan bentuk asam. Nama bahan aktifnya antara lain: asam 2,4-
D butil sihalofop; 2,4-D amina; 2,4-D butil ester; 2,4-D dimeti amina; 2,4-D IBE;
2,4-D isopropil amina dan 2,4-D natrium (Moenandir, 1990).
Herbisida 2,4-D merupakan herbisida yang mempunyai tingkat selektivitas
yang tinggi. Herbisida ini dapat membunuh gulma dan relatif tidak mengganggu
tanaman budidaya. Herbisida 2,4-D banyak digunakan karena harganya yang relatif
murah, keselektivitasannya yang tinggi, lebih efektif dan tingkat keracunannya
rendah. Mekanisme aksi dari herbisida 2,4-D berupa gangguan dalam pembentukan
klorofil dan asam-asam amino tertentu, dengan gejala-gejala visual awal berupa daun
yang menguning dan diikuti dengan klorosis (Moenandir, 1990). Senyawa 2,4-D
diserap oleh akar lalu ditranslokasikan dalam tanaman dan diakumulasi saat
pertumbuhan akar sehingga akan menghambat pertumbuhan akar (Chairul et al.,
2000).
Abidin (1982), menyatakan bahwa asam 2,4-D adalah salah satu zat pengatur
tumbuh yang digolongkan auksin. Peran auksin adalah merangsang pembelahan dan
perbesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan
pucuk-pucuk baru. Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih besar, atau
penambahan auksin yang lebih stabil, seperti asam 2,4-D cenderung menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk
tanaman (Wetherell, 1982). Menurut Suryowinoto (1996) pada suatu dosis tertentu
asam 2,4-D sanggup membuat mutasi-mutasi. Hal tersebut disebabkan oleh letak
utama aktivitas herbisida 2,4-D yang dapat mengubah pola pertumbuhan dengan
cepat, sehingga bagian sel parenkim akar membengkak, menghasilkan jaringan
kalus dan perluasan primodia akar. Pemanjangan akar berhenti dan ujung akar
membengkak.
Herbisida berpenetrasi lewat daun dan ditranslokasikan dalam tubuh tumbuhan
baik secara intraseluler yang menuju titik peka dari tumbuhan. Translokasi herbisida
dalam tubuh tumbuhan terjadi setelah herbisida masuk ke dalamnya, respons
herbisida yang masuk ke dalam tubuh tumbuhan bisa menyebabkan warna daun
menjadi pudar dari hijau menjadi kecoklatan. Hal ini merupakan gejala umum dari
tindakan suatu herbisida dalam mematikan suatu tumbuhan (Moenandir, 1990).
Herbisida mematikan gulma dengan berbagai macam cara. Menurut (Hance,
1987), beberapa efek herbisida terhadap gulma adalah sebagai berikut :
1. Herbisida yang mempengaruhi respirasi gulma.
2. Herbisida yang mempengaruhi proses fotosintesis gulma.
3. Herbisida penghambat perkecambahan.
4. Herbisida yang memiliki efek terhadap asam amino.
5. Herbisida yang mempengaruhi metabolisme lipida.
6. Herbisida yang bekerja sebagai hormon.
Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984) dalam Puspitasari et al. (2013),
penggunaan herbisida bertujuan untuk mendapatkan pengendalian gulma yang
selektif yaitu mematikan gulma tanpa mematikan tanaman budidaya. Selektivitas
herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis herbisida, formulasi
herbisida, volume semprotan, ukuran butiran semprotan dan waktu pemakaian (pra
tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh). Beberapa herbisida pra tumbuh efektif
digunakan untuk mengendalikan gulma, terutama untuk gulma rumput semusim.
Aplikasi kedua dengan dosis yang lebih rendah terutama diperlukan untuk
pengendalian gulma tahunan, terutama untuk gulma pasca tumbuh (Shurtleff et al.,
1987) dalam Puspitasari et al. (2013).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Penggunaan 2,4-D yang berpengaruh nyata terhadap gulma berdaun lebar yaitu
konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, dan 2000 ppm. 2,4-D yang paling efektif
membunuh gulma berdaun lebar adalah konsentrasi 2000 ppm. Herbisida 2,4 D
lebih efektif peranannya jika diaplikasikan pada gulma berdaun lebar.
B. Saran

Sebaiknya praktikan lebih hati-hati dalam melakukan penyemprotan gulma


menggunakan herbisida sesuai dengan konsentrasi yang disediakan agar gulma dari
pot lain tidak terkena sehingga hasil yang didapat maksimal.
DAFTAR REFERENSI

Abidin, Z. 1982. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.


Bandung : Penerbit Angkasa.

Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Yogyakarta : Kanisius.

Chairul, S. M., Mulyadi & Idawati. 2000. Translokasi Herbisida 2,4-D-14C pada
Tanaman Gulma dan Padi pada Sistem Persawahan. Risalah Pertemuan Ilmiah
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Jakarta.

Dewi, I. R. 2008. Peranan dan Fungsi Fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman.


Bandung : Universitas Padjajaran.

Djojosumarto, P. 2005. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian.Yogyakarta : Kanisius.

Hance, R.J. 1987. An Introduction to Weed Control. Basle : Ciba-Geigy Agro


Division.

Hastuti, Rusman & Zaenal K. 2014. Respons Pertumbuhan Gulma Tukulan Kelapa
Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Beberapa Jenis dan Dosis
Herbisida Di PTPN VIII Kebun Cisalak Baru. Jur.Agroekotek. 6(2): pp.178-
187.

Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta : Rajawali Press.

Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Jakarta : Rajawali Press.

Novizan. 2007. Petunjuk Pemakaian Pestisida. Jakarta : PT Agromedia Pustaka.

Puspitasari, K., Sebayang, H.T. & Guritno, B. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida
Ametrin dan 2,4-D dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.). Jurnal Produksi Tanaman. 1(2): pp. 72-80.

Salisbury, F.B., & Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung : ITB Press.

Sembodo, J. R. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sundaru, M., Mahyudin S. & Janari B. 1976. Beberapa Jenis Gulma pada Padi
Sawah. Bogor : Lembaga Pusat Pertanian.

Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Yogyakarta : Kanisius.

Tesfay, A., Mohammed A. & Negeri M. 2014. Management of Weeds in Maize (Zea
mays L.) through Various Pre and Post Emergency Herbicides. Advances in
Crop Science and Technology. 2(5): pp. 1-5.

Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo & J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di


Perkebunan. Jakarta : Gramedia.

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor : PAU IPB.


Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara in Vitro. New Jersey :
Avery Publishing Group Inc.

Wudianto, R. 1998. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta : Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai